1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap
anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang
mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu
kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam
hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia
harmonis atau tidak bahagia disharmonis pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya Gunarsa, 1995.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya eksistensi atau aktualisasi diri yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga.
Sebaliknya, keluarga disebut disharmonis apabila ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi konflik, ketegangan,
kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan serta
Universitas Sumatera Utara
2 keberadaan dirinya. Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap lingkungan sosialnya Gunarsa, 1995.
Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Apabila konflik dapat diselesaikan secara
sehat maka masing-masing pasangan suami-istri akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan
pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik
suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui
komunikasi dan kebersamaan. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dan semakin membahayakan
bagi keluarga khususnya suami dan istri yang terlibat konflik. Penyelesaian konflik seperti ini terjadi bila setiap pihak tidak mampu bekerjasama untuk
menciptakan suatu hubungan yang selaras. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Penyelesaian bisa dilakukan
dengan kemarahan yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian berupa kata-kata kotor maupun
ekspresi wajah merah padam menyeramkan yang dilakukan oleh suami maupun istri Bachtiar, 2004. Seringkali pula muncul pola-pola perilaku yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
3 menyerang, memaksa, menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang
dilakukan oleh pasangan suami-istri. Pola-pola perilaku seperti ini menjurus pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga KDRT yang secara lebih luas
diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lain dengan melanggar hak individu Poerwandari,
2000. Kekerasan dalam rumah tangga, selanjutnya disingkat KDRT, sebenarnya
bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, ayah, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit sebagai
penganiayaan istri oleh suami. Hal ini dikarenakan terminologi kejahatan KDRT sesungguhnya berhubungan dengan ibu rumah tangga atau istri sebagai korban
Martha, 2003. Seperti yang dialami oleh Andri 29, seorang perempuan alumnus PTS terkenal yang mempunyai dua orang anak dan telah menjadi korban
pemukulan suaminya selama empat tahun berumah tangga : “Hampir seminggu saya dipukuli. Teman-teman sekantor semuanya tahu,
kalau kekantor wajah saya sering biru dan kepala benjol karena pukulan mas Anto 31, suami Andri” Rusmaladewi, 2002.
KDRT juga dialami oleh Bu Aida, seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama yang mengaku:
“Suami saya seringkali memukul saya, bahkan didepan anak-anak. Saya dilarang memakai hiasan atau kosmetik apapun kalau kekampus. Makian
itu jadi makanan sehari-hari yang saya terima, kadang tanpa sebab yang jelas. Uang kuliah anak-anak juga tetap saya yang harus membayarnya.
Saya tidak tahu uang gajinya dikemanakan. Kalo ngomong sama keluarga bisa bahaya” Anshoriyah, 2007.
Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di Indonesia memang belum
tersedia secara lengkap namun sejumlah informasi dan studi yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
4 berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat LSM perempuan, telah cukup
menunjukkan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan KPP mencatat,
sedikitnya 11,4 persen atau 24 juta perempuan dari 217 penduduk Indonesia mengaku pernah mengalami KDRT. Sebagian besar kasus kekerasan domestik itu,
terjadi dipedesaan yang bisa juga dianalogikan dialami oleh kaum perempuan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Catatan yang diberikan LSM dan
organisasi perempuan seperti Women’s Crisis Center WCC selama periode 1997 hingga 2000, telah menerima 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga hanya untuk daerah Jakarta. Tingginya jumlah kasus KDRT ini belum menggambarkan jumlah kasus secara menyeluruh karena masih banyak
korban KDRT yang tidak mau melaporkan kasusnya kepihak yang berwajib atau LSM perempuan Dian, 2004.
Berangkat dari banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi terdapat banyak pula bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban.
KDRT tidak hanya perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan fisik
tetapi juga termasuk kesengsaraan atau penderitaan seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga Kolibonso, 2000. Salah satunya yaitu penekanan secara ekonomis
dialami oleh Maryati seorang ibu rumah tangga, yang mengatakan: “Saya nggak cuma disiksa fisik, Pak Tapi juga tak pernah diberi nafkah
lahir” Dian, 2004.
Universitas Sumatera Utara
5 Bentuk kekerasan yang lainnya dialami oleh Juwarnik 36 warga Desa
Cluring, Kecamatan Kalitengah yang menyatakan selain penyiksaan fisik, dia juga sering mendapat siksaan batin. Selama berumah tangga, suaminya secara terang-
terangan beberapa kali pulang membawa wanita untuk diajak tidur dikamarnya. Juwarnik juga mengaku pernah melihat langsung suaminya bersama pekerja seks
komersial PSK di sebuah warung lokalisasi saat mengambil motor orang lain yang dibawanya Setyawan, 2007.
Banyak pihak yang tidak menyadari kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga tersebut terjadi terus menerus atau berulang-ulang dan setiap peristiwa
menjadi lebih keras atau kejam Johnson, 2007. Kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan korban akan
menimbulkan dampak fisik dan psikologis bagi korban. Poerwandari 2004 menyatakan bahwa praktek-praktek kekerasan merupakan pemaksaan tubuh
terhadap jiwa. Jiwa, diri, ide dan kehendak harus tergantung, takluk pada kemampuan tubuh untuk menahan sakit dan penderitaan. Tubuh yang mengalami
praktek kekerasan perlahan-lahan mengharuskan pikiran dan hati tunduk dan menyerah.
Dampak fisik menyangkut kesehatan non reproduksi seperti cedera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen sedangkan yang
menyangkut kesehatan reproduksi seperti hamil tidak diinginkan, penyakit menular seksual serta abortus Dian, 2004. Dampak psikologis dapat berupa
jatuhnya harga diri dan konsep diri. Korban akan melihat diri negatif, banyak menyalahkan diri, menganggap diri menjadi penanggungjawab tindak kekerasan
Universitas Sumatera Utara
6 yang dialaminya. Korban juga dapat mengalami trauma, depresi dan bentuk-
bentuk gangguan lain sebagai akibat dari bertumpuknya tekanan, kekecewaan, ketakutan dan kemarahan yang tidak dapat diungkap secara terbuka Poerwandari,
2000. Hal tersebut terjadi pada Andri 29 yang mengaku mengalami trauma dan ketakutan dalam menjalani aktivitas sehari-hari setelah kasus penganiayaan oleh
suaminya diajukan ke meja hijau. Selama beberapa bulan dia tidak berani berangkat ke kantor sendiri. Dia selalu minta diantar adik atau ayahnya
Rusmaladewi, 2002. Worthington Wade 1999 menyatakan bahwa pengalaman emosi
”dingin” yang meliputi kemarahan, kepahitan, bahkan kebencian atau disebut sebagai unforgiveness merupakan pengalaman yang sering dirasakan seseorang
setelah mengalami peristiwa yang menyakitkan. Setelah mengalami unforgiveness seseorang perlu mempertimbangkan forgiveneness sebagai usaha untuk
melepaskan unforgiveness dan berdamai dengan orang yang telah menyakitinya. Oleh karena itu, salah satu yang efektif untuk mengatasi perasaan menyesal, rasa
bersalah, kemarahan, kecemasan dan takut, seperti yang dialami oleh korban KDRT adalah dengan memaafkan orang yang telah melakukan hal-hal
menyakitkan forgiveness. Hal ini dikarenakan adanya perasaan dendam dan sakit hati bisa mengganggu hubungan intim atau berhubungan dekat dengan orang
lain,. Melepaskan rasa tidak senang dan usaha untuk forgiveness pada orang lain merupakan suatu hal penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan
intim dengan orang lain Corey Corey 2006.
Universitas Sumatera Utara
7 Forgiveness merupakan sesuatu yang penting tapi juga merupakan hal
yang sulit untuk dilakukan bahakan terkadang sangat menyakitkan bagi seseorang. Forgiveness tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat tapi membutuhkan waktu
yang lama dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan lainnya Enright, 2001. Hal ini sesuai dengan pengakuan Juwarnik 36
yang mengaku menutup pintu maaf untuk suaminya. Sampai kapanpun, dia tidak akan mengampuni suaminya Setyawan, 2007.
Denton Martin’s 1998 dalam Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo Deveney, 2000 menjelaskan bahwa forgiveness itu sendiri
melibatkan dua orang, yang salah satunya adalah sebagai penerima luka yang dalam sebagai akibat dari peristiwa yang menyakitkan baik secara psikologis,
emosional, fisik atau moral. Forgiveness merupakan proses dari dalam diri dimana orang yang terluka melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut
yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam. Pada umumnya forgiveness ini melibatkan pemberian maaf pada seseorang
dimana pemberi maaf berinteraksi secara terus menerus dengan orang tersebut pasangan, anak, anggota keluarga lainnya, rekan kerja, teman dan kenalan
Worthington Wade, 1999. Seseorang yang forgive atau mampu melepaskan diri dari rasa marah, kecewa dan tidak ingin balas dendam bisa saja tetap
mengingat peristiwa menyakitkan tersebut tetapi dia cenderung untuk mengingat peristiwa traumatis itu dalam keadaan forgiving, seseorang dapat saja
mengingatnya dengan cara yang berbeda, tidak terus menerus dengan rasa marah yang mendalam Baskin Enright, 2004.
Universitas Sumatera Utara
8 Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo Deveney 2000
menjelaskan bahwa forgiveness merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan well-being dan memperbaiki
hubungan interpersonal interpersonal relationship. Walaupun literatur ilmiah tentang hal ini masih sedikit, tapi studi-studi awal setuju bahwa forgiveness efektif
dalam mengatasi rasa penyesalan yang dalam, rasa bersalah, ketakutan, kecemasan dan kemarahan. Keuntungan ini dapat ditemukan lebih banyak pada
korban-korban incest, penyalahgunaan narkoba dan penderita kanker. Hubungan forgiveness dengan kesehatan dan kesejahteraan manusia dapat
diperoleh melalui dua mekanisme. Pertama, forgiving orang yang telah menyakiti diri dapat membangun kembali, memelihara dukungan dan menjaga hubungan
antara korban dan pelaku. Kedua, selalu berusaha untuk memberi forgiveness dapat mengontrol rasa bermusuhan dalam diri seseorang McCullough Snyder,
2000. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness dapat
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan psikologis seseorang serta memperbaiki hubungan interpersonal khususnya antara korban orang yang
disakiti dan pelaku orang yang melakukan hal menyakitkan setelah terjadinya peristiwa yang menyakitkan dan menimbulkan dampak traumatis. Terkait dengan
fenomena diatas maka istri sebagai korban KDRT memerlukan forgiveness untuk melepaskan rasa marah, benci, dendam dan sakit hati setelah mengalami peristiwa
mengakitkan yang mendalam untuk waktu yang lama. Kemampuan istri untuk memaafkan suami dapat menentukan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara
9 psikologis serta membangun kembali hubungannya dengan suami di masa yang
akan datang. Melalui forgiveness diharapkan hubungan masing-masing individu dalam keluarga akan semakin harmonis dan bahagia. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melihat tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga KDRT.
I.B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tahapan forgiveness yang
dilalui oleh istri korban kekerasan dalam rumah tangga KDRT.
I.C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga KDRT.
I.D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
I.D.1. Manfaat teoritis
a. Untuk memperkaya kajian ilmu psikologi klinis khususnya yang
berhubungan dengan istri sebagai korban KDRT. b.
Untuk memberikan dasar pengetahuan bagi peneliti lain yang juga ingin meneliti tentang istri sebagai korban KDRT.
Universitas Sumatera Utara
10
I.D.2. Manfaat praktis
a. Sebagai wacana bagi setiap keluarga mengenai perilaku kekerasan
dalam rumah tangga dan dampak yang ditimbulkan terhadap kelangsungan keluarga dan korban jika KDRT terus terjadi.
b. Sebagai masukan bagi istri sebagai korban KDRT terkait dengan
masalah forgiveness terhadap pasangan sebagai pelaku KDRT. c.
Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan kasus-kasus KDRT yang banyak terjadi.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan
berisikan inti sari dari : BAB I
: Pendahuluan Berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
: Landasan Teori Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian ini yaitu teori mengenai forgiveness definisi, faktor- faktor yang mempengaruhi, proses dan dimensi, teori kekerasan
dalam rumah tangga definisi, bentuk-bentuk, penyebab, dan dampak psikologis dan paradigma berpikir.
Universitas Sumatera Utara
11 BAB III
: Metode Penelitian Berisi tentang pendekatan kualitatif yang digunakan, metode
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan prosedur penelitian.
BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Berisi mengenai data hasil dan analisis masing-masing partisipan yang meliputi data observasi, latar belakang kehidupan, data
observasi dan analisis data masing-masing partisipan, serta rangkuman hasil analisis antar partisipan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh berdasarkan data yang telah dianalisis, diskusi dan saran-saran yang dapat diberikan
sesuai hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB II LANDASAN TEORI