Gambar 9. Grafik hubungan antara pH dan waktu kultivasi
Berdasarkan Gambar 9, memperlihatkan bahwa pH cairan kultivasi berkisar antara 7,22 – 8,81. Kisaran pH ini masih berada pada kisaran pH pertumbuhan P.
putida yaitu pH 4 – 8 Moat,1979. Menurut Judoamidjojo 1992 derajat keasaman pH merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan
produk karena protein mempunyai gugusan yang dapat terionisasi, sehingga perubahan pH akan berpengaruh terhadap katalitik dan konformasi enzim.
2. Pertumbuhan Pseudomonas putida dan Total Gula Sisa
Pengukuran bobot kering biomassa dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sel dan menghitung laju pertumbuhan maksimum P. putida selama kultivasi. Hasil
pengukuran bobot kering biomassa menunjukkan bahwa dari semua perlakuan mempunyai pola pertumbuhan yang hampir sama yaitu fase awal, fase eksponensial,
dan fase stasioner. Ketiga fase yang terbentuk ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Wang, et al., 1978, yaitu bahwa pertumbuhan mikroorganisme mempunyai tiga
fase, yaitu fase awal, eksponensial, stasioner dan penurunan.
0,00 1,00
2,00 3,00
4,00 5,00
6,00 7,00
8,00 9,00
10,00
6 12 18 24 30 36 42 48
p H
W aktu jam
Laju Aerasi 0,5 v v m Laju Aerasi 1 v v m
Laju Aerasi 1,5 v v m
b
1,000 1,200
1,400 1,600
1,800 2,000
2,200
0,000 0,200
0,400 0,600
0,800 1,000
1,200 1,400
1,600 1,800
6 12
18 24
30 36
42 48
To tal
gu la
g l
B io
m as
sa g
l
Waktu jam
biomassa gl
t ot al gula g l
1,000 1,200
1,400 1,600
1,800 2,000
2,200
0,000 0,200
0,400 0,600
0,800 1,000
1,200 1,400
1,600 1,800
6 12
18 24
30 36
42 48
To tal
G u
la g
l
B io
m as
sa g
l
Waktu jam
biomassa gl total gula gl
a
c Gambar 10. Grafik hubungan antara biomassa dan total gula sisa a : laju aerasi 0,5
vvm, b laju aerasi 1 vvm, c laju aerasi 1,5 vvm Berdasarkan Gambar 10 a,b,c, pada laju aerasi 1 vvm dan 1,5 vvm fase
eksponensial pertumbuhan P. putida dimulai pada jam ke-6 sedangkan pada laju aerasi 0,5 vvm fase eksponensial terjadi pada jam ke- 24. Perbedaan waktu fase
eksponensial ini dapat terjadi karena pada laju aerasi 0,5 vvm konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil dari pada laju aerasi 1 dan 1.5 vvm.
Bobot kering biomassa tertinggi diperoleh pada laju aerasi 0,5 vvm dan 1,5 vvm pada jam ke-30, sedangkan pada laju aerasi 1,0 vvm bobot kering biomassa
tertinggi pada jam ke-36. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, pada laju aerasi 1,0 vvm bobot kering biomassa pada jam ke 36 tidak berbeda nyata dengan bobot kering
biomasa pada jam ke- 30. Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu optimun dari seluruh perlakuan adalah pada jam ke-30. Oleh karena itu untuk menghemat waktu,
proses kultivasi dapat dilakukan hanya sampai jam ke-30. Pada akhir kultivasi jam ke-48, bobot kering biomassa yang dihasilkan
bervariasi dari 1,147 gl sampai 1,228 gl. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bobot kering biomassa yang tinggi terdapat pada laju aerasi 1 vvm yaitu
1,228 gl Gambar 10b, Lampiran 9. Hal ini menunjukan bahwa pada sistem tersebut proses transfer oksigen ke dalam sel berlangsung secara optimal untuk pertumbuhan.
1,000 1,200
1,400 1,600
1,800 2,000
2,200
0,000 0,200
0,400 0,600
0,800 1,000
1,200 1,400
1,600 1,800
6 12
18 24
30 36
42 48
To tal
G u
la g
l
B io
m as
sa g
l
Waktu jam
biomassa gl total gula gl
Penambahan laju aerasi ternyata dapat menurunkan perolehan bobot kering biomassa, begitu juga apabila laju aerasinya dikurangi. Jika konsentrasi oksigen
terlarut lebih kecil dari konsentrasi oksigen kritis, maka metabolisme sel akan terganggu Rachman, 1989. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, jumlah oksigen yang
dimasukkan lebih banyak dan menyebabkan oksigen cenderung pada fase gas dan gelembung gas ini akan cepat pecah kembali sebelum terjadi pelarutan oksigen ke
dalam kultur Stanbury Whitaker, 1984. Menurunnya jumlah oksigen terlarut di dalam kultur menyebabkan berkurangnya oksigen yang dikonsumsi oleh sel. Pasokan
oksigen ke dalam kultur harus seimbang dengan laju konsumsi oksigen. Pada proses kultivasi, sel memerlukan sumber karbon yang akan dikonversi
menjadi biomassa dan produk. Pada penelitian ini sumber karbon berasal dari glukosa yang terdapat pada limbah cair tahu. Hal ini ditandai dengan berkurangnya
konsentrasi glukosa yang ditunjukkan dengan total gula sisa. Tinggi rendahnya total gula sisa dalam medium kultivasi dipengaruhi oleh kemampuan sel dalam
mengkonversi substrat dari glukosa menjadi biomassa dan produk. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya suhu dan pH. Berdasarkan Gambar
10 a,b,c, total gula sisa secara umum memperlihatkan nilai yang menurun pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan glukosa tersebut digunakan oleh sel untuk
dikonversi menjadi biomassa.
Gambar 11. Grafik efisiensi penggunaan substrat pada saat biomassa maksimum Xmax pada semua perlakuan
33 34
35 36
37 38
39 40
41 42
0,5 1
1,5 P
e rs
e n
ta se
P e
n g
g u
n a
a n
S u
b st
ra t
Laju Aerasi vvm
Perbedaan penggunaan glukosa pada setiap perlakuan akan lebih terlihat pada efisiensi penggunaan substrat yang terlihat pada Gambar 11. Berdasarkan data dari
gambar 11, nilai efisiensi penggunaan substrat So-StSo pada saat X
max
untuk laju aerasi 1,0 dan 1,5 vvm besarnya hampir sama yaitu 0,414 41 dan 0,418 42,
sedangkan yang paling rendah terjadi pada kultivasi dengan laju aerasi 0,5 vvm yaitu sebesar 0,361 36. Penggunaan substrat pada laju aerasi 1,0 dan 1,5 vvm
lebih efisien daripada penggunaan substrat pada laju aerasi 0,5 vvm.
3. Uji Toksisitas