PENGUJIAN AWAL MEDIA KULTIVASI KINETIKA KULTIVASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGUJIAN AWAL MEDIA KULTIVASI

Banyak bahan yang dapat digunakan sebagai media kultivasi salah satunya limbah cair tahu. Limbah cair tahu merupakan cairan yang berasal dari sari kedelai yang disaring dalam proses menjadi tahu melalui proses pengumpalan protein sari kedelai. Sebelum digunakan sebagai media kultivasi perlu diketahui terlebih dahulu komposisi karbon, nitrogen dan mineral pada limbah cair tahu oleh karena itu dilakukan analisis pra kultivasi. Kadar karbon dan kadar nitrogen dalam limbah cair tahu sebagai substrat kultivasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar karbon dan nitrogen dalam limbah cair tahu No Komponen Kadar bb Kadar gl 1 Glukosa 0,26 2,613 2 Nitrogen N 0,05 0,5025 3 Abu 0,11 - 4 Air 99,34 - Hasil analisa kadar karbon dan nitrogen pada limbah cair tahu adalah 0,26 dan 0,05 persen. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Kuswardani 1985 pada Tabel 1 dan limbah cair tahu ini dapat digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan P. putida.

B. PENGARUH LAJU AERASI 1. Pola Perubahan pH

Pengukuran pH cairan kultur kultivasi bertujuan untuk mengamati perubahan pH selama kultivasi. Perubahan pH yang terjadi diharapkan berada pada kisaran toleransi pH pertumbuhan bakteri P. putida. Pengamatan pH ini berkorelasi dengan pendapat Rehm dan Reed, seperti dikutip Judoamidjojo et al., 1989 yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan bakteri sangat tergantung pda pH, karena pH dapat mempengaruhi kinerja membran sel, enzim dan komponen intra seluler lainnya. Hasil pengukuran pH terhadap cairan selama kultivasi cenderung konstan. Gambar 9 dan Lampiran 4. Gambar 9. Grafik hubungan antara pH dan waktu kultivasi Berdasarkan Gambar 9, memperlihatkan bahwa pH cairan kultivasi berkisar antara 7,22 – 8,81. Kisaran pH ini masih berada pada kisaran pH pertumbuhan P. putida yaitu pH 4 – 8 Moat,1979. Menurut Judoamidjojo 1992 derajat keasaman pH merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk karena protein mempunyai gugusan yang dapat terionisasi, sehingga perubahan pH akan berpengaruh terhadap katalitik dan konformasi enzim.

2. Pertumbuhan Pseudomonas putida dan Total Gula Sisa

Pengukuran bobot kering biomassa dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sel dan menghitung laju pertumbuhan maksimum P. putida selama kultivasi. Hasil pengukuran bobot kering biomassa menunjukkan bahwa dari semua perlakuan mempunyai pola pertumbuhan yang hampir sama yaitu fase awal, fase eksponensial, dan fase stasioner. Ketiga fase yang terbentuk ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Wang, et al., 1978, yaitu bahwa pertumbuhan mikroorganisme mempunyai tiga fase, yaitu fase awal, eksponensial, stasioner dan penurunan. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 6 12 18 24 30 36 42 48 p H W aktu jam Laju Aerasi 0,5 v v m Laju Aerasi 1 v v m Laju Aerasi 1,5 v v m b 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2,200 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 6 12 18 24 30 36 42 48 To tal gu la g l B io m as sa g l Waktu jam biomassa gl t ot al gula g l 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2,200 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 6 12 18 24 30 36 42 48 To tal G u la g l B io m as sa g l Waktu jam biomassa gl total gula gl a c Gambar 10. Grafik hubungan antara biomassa dan total gula sisa a : laju aerasi 0,5 vvm, b laju aerasi 1 vvm, c laju aerasi 1,5 vvm Berdasarkan Gambar 10 a,b,c, pada laju aerasi 1 vvm dan 1,5 vvm fase eksponensial pertumbuhan P. putida dimulai pada jam ke-6 sedangkan pada laju aerasi 0,5 vvm fase eksponensial terjadi pada jam ke- 24. Perbedaan waktu fase eksponensial ini dapat terjadi karena pada laju aerasi 0,5 vvm konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil dari pada laju aerasi 1 dan 1.5 vvm. Bobot kering biomassa tertinggi diperoleh pada laju aerasi 0,5 vvm dan 1,5 vvm pada jam ke-30, sedangkan pada laju aerasi 1,0 vvm bobot kering biomassa tertinggi pada jam ke-36. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, pada laju aerasi 1,0 vvm bobot kering biomassa pada jam ke 36 tidak berbeda nyata dengan bobot kering biomasa pada jam ke- 30. Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu optimun dari seluruh perlakuan adalah pada jam ke-30. Oleh karena itu untuk menghemat waktu, proses kultivasi dapat dilakukan hanya sampai jam ke-30. Pada akhir kultivasi jam ke-48, bobot kering biomassa yang dihasilkan bervariasi dari 1,147 gl sampai 1,228 gl. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bobot kering biomassa yang tinggi terdapat pada laju aerasi 1 vvm yaitu 1,228 gl Gambar 10b, Lampiran 9. Hal ini menunjukan bahwa pada sistem tersebut proses transfer oksigen ke dalam sel berlangsung secara optimal untuk pertumbuhan. 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2,200 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 6 12 18 24 30 36 42 48 To tal G u la g l B io m as sa g l Waktu jam biomassa gl total gula gl Penambahan laju aerasi ternyata dapat menurunkan perolehan bobot kering biomassa, begitu juga apabila laju aerasinya dikurangi. Jika konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil dari konsentrasi oksigen kritis, maka metabolisme sel akan terganggu Rachman, 1989. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, jumlah oksigen yang dimasukkan lebih banyak dan menyebabkan oksigen cenderung pada fase gas dan gelembung gas ini akan cepat pecah kembali sebelum terjadi pelarutan oksigen ke dalam kultur Stanbury Whitaker, 1984. Menurunnya jumlah oksigen terlarut di dalam kultur menyebabkan berkurangnya oksigen yang dikonsumsi oleh sel. Pasokan oksigen ke dalam kultur harus seimbang dengan laju konsumsi oksigen. Pada proses kultivasi, sel memerlukan sumber karbon yang akan dikonversi menjadi biomassa dan produk. Pada penelitian ini sumber karbon berasal dari glukosa yang terdapat pada limbah cair tahu. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi glukosa yang ditunjukkan dengan total gula sisa. Tinggi rendahnya total gula sisa dalam medium kultivasi dipengaruhi oleh kemampuan sel dalam mengkonversi substrat dari glukosa menjadi biomassa dan produk. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya suhu dan pH. Berdasarkan Gambar 10 a,b,c, total gula sisa secara umum memperlihatkan nilai yang menurun pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan glukosa tersebut digunakan oleh sel untuk dikonversi menjadi biomassa. Gambar 11. Grafik efisiensi penggunaan substrat pada saat biomassa maksimum Xmax pada semua perlakuan 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 0,5 1 1,5 P e rs e n ta se P e n g g u n a a n S u b st ra t Laju Aerasi vvm Perbedaan penggunaan glukosa pada setiap perlakuan akan lebih terlihat pada efisiensi penggunaan substrat yang terlihat pada Gambar 11. Berdasarkan data dari gambar 11, nilai efisiensi penggunaan substrat So-StSo pada saat X max untuk laju aerasi 1,0 dan 1,5 vvm besarnya hampir sama yaitu 0,414 41 dan 0,418 42, sedangkan yang paling rendah terjadi pada kultivasi dengan laju aerasi 0,5 vvm yaitu sebesar 0,361 36. Penggunaan substrat pada laju aerasi 1,0 dan 1,5 vvm lebih efisien daripada penggunaan substrat pada laju aerasi 0,5 vvm.

3. Uji Toksisitas

Uji toksisitas digunakan untuk menentukan aktivitas bahan aktif dari biopestisida terhadap nematoda P. brachyurus. Tingkat keefektifan biopestisida mikrobial ditentukan berdasarkan kemampuan bahan aktif biopestisida membunuh nematoda target yang ditunjukkan oleh tingkat mortalitas nematoda yang tinggi. Gambar 12. Grafik hasil uji toksisitas semua perlakuan Berdasarkan Gambar 12 tingkat mortalitas tertinggi diperoleh pada laju aerasi 1 vvm. Pendugaan tingginya tingkat mortalitas nematoda pada laju aerasi 1 vvm disebabkan oleh banyaknya jumlah metabolit yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah metabolit pada laju aerasi 0,5 dan 1,5 vvm. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Harni 2005, perlakuan kultur filtrat Pseudomonas E26, Bacillus 20 40 60 80 100 120 0,5 1 1,5 Ju m lah n e m ato d a laju Aerasi vvm jum lah hidup jum lah m at i NA22 dan Bacillus NJ46 memberikan pengaruh tinggi terhadap mortalitas nematoda. Tingginya mortalitas pada P. brachyurus diduga karena P. putida menghasilkan metabolit sekunder seperti enzim kitinase yang merupakan toksin terhadap P brachyurus. Enzim kitinase merupakan enzim penting yang dihasilkan P. putida, karena enzim ini dapat mendegradasi kutikula nematoda Tian et al., 2000.

C. KINETIKA KULTIVASI

Judoamidjojo et al., 1989 mengemukakan bahwa kinetika kultivasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk. Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh kemampuan sel Gumbira-Sa’id, 1987. Menurut Mangunwidjaja dan Suryani 1994, hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan Pseudomonas putida dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa. Hasil perhitungan kinetika kultivasi adalah Tabel 7. Tabel 7. Hasil Perhitungan parameter kinetika kultivasi Parameter Kinetika Laju Aerasi 0,5 vvm Laju aerasi 1 vvm Laju Aerasi 1,5 vvm X-max gl 1,191 jam ke-30 1,608 jam ke-36 1,352 jam ke-30 µ x max jam -1 0,111 jam ke-30 0,160 jam ke-12 0,156 jam ke-12 Td jam 6,245 4,332 4,453 So-StSo pada Xmax 0,361 0,414 0,418 Yxs pada Xmax 1,401 1,442 1,227 Berdasarkan perhitungan kinetika kultivasi pada Tabel 7. dapat diketahui bahwa nilai efisiensi penggunaan substrat So-StSo, maka nilai yang paling baik terjadi pada kultivasi 1 dan 1,5 vvm. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme sel pada kedua sistem ini lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pada laju aerasi 0,5 vvm. Hasil ini berkorelasi positif terhadap pembentukan biomassa. Berdasarkan hasil perhitungan parameter kinetika kultivasi seperti pada Tabel 7. dapat diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum µ x-maks tertinggi dimiliki oleh perlakuan laju aerasi 1 vvm yaitu 0,160jam dan menghasilkan bobot biomassa maksimum tertinggi yaitu 1,608 gl. Tingginya laju pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh substrat yang terdapat pada media dan lamanya mikroorganisme menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Selain substrat, laju pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh temperatur, pH, aerasi dan agitasi. Nilai µ x-maks digunakan untuk menghitung waktu yang dibutuhkan oleh sel memperbanyak diri dua kali massa sel semula. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa waktu ganda sel tercepat berdasarkan massanya td sebesar 4,332 jam terdapat pada laju aerasi 1 vvm. Semakin cepat sel menggandakan jumlah massanya menunjukkan semakin baik laju pertumbuhannya. Tingginya laju pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh substrat yang terdapat di dalam media dan lamanya mikroorganisme menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Selain substrat, laju pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh temperatur, pH, aerasi dan agitasi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah cair tahu dapat digunakan sebagai substrat bagi pertumbuhan Pseudomonas putida untuk memproduksi biopestisida. Perolehan bobot kering biomassa tertinggi dicapai pada kultivasi dengan laju aerasi 1 vvm setelah kultivasi berlangsung selama 36 jam, yaitu sebesar 1,608 gl. Berdasarkan hasil perhitungan kinetika fermentasi, dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan spesifik berdasarkan bobot kering biomassa µ x dan efisiensi pengubahan substrat menjadi biomassa Yxs tertinggi dicapai pada kultivasi dengan laju aerasi 1 vvm, yaitu sebesar 0,160jam dan 1,442 g selg substrat. Hasil uji toksisitas terhadap nematoda P. brachyurus, produk yang dihasilkan pada kultivasi dengan aerasi 1 vvm memperlihatkan tingkat mortalitas nematoda tertinggi yaitu 99 persen.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu disarankan, diantaranya : 1. Perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui bahan aktif yang terkandung pada P. putida yang dapat mengendalikan nematoda. 2. Penelitian produksi biopestisida pada skala pilot