betina memulihkan energinya, maka induk jantan yang menggantikan mengeram pada pagi hingga siang hari. Induk jantan mengerami dengan waktu lebih pendek
dari pada induk betina. Perilaku mengeram secara bergantian antara jantan dan betina juga terjadi pada burung merpati Columba livia dan Streptopelia chinensis
Saxena et al. 2008.
D. Perilaku Khusus pada Fase Pengasuhan Anak
Pada fase pengasuhan anak, perilaku mendekap anak memiliki frekuensi paling tinggi 55.40 kalihari dan durasi tertinggi 12.28 menitperilaku atau
680.38 menithari. Perilaku ini diduga dilakukan oleh induk walet agar anak mendapatkan perlindungan dari ancaman hewan pengganggu dan perubahan
kondisi habitat mikro ruang bersarang. Frekuensi perilaku memberi makan anak paling tinggi terjadi pada hari pertama anak berumur 1 hari sebanyak 10 kali
Gambar 44. Pada hari ke-34 dan ke-40 induk tidak memberi makan anak walet. Diduga walet tidak mendapat makanan pada saat hujan turun atau angin sedang
bertiup kencang. Nguyen et al. 2002 melaporkan bahwa serangga terbang dapat berkurang akibat tersapu air hujan dan angin kencang.
Frekuensi memberi makan anak walet rumahan di Sidayu lebih tinggi dibanding laporan Lim Cranbrook 2002. Dalam laporannya, walet gua di
Serawak tidak memberi makan anaknya secara teratur pada fase pengasuhan anak. Induk walet hanya memberi makan anaknya maksimal 3-5 kali dalam satu hari.
Perilaku ini terjadi meskipun pada bulan tersebut sumber makanan walet serangga terbang sedang melimpah Lim Cranbrook 2002.
Perilaku berpindah ke sisi bawah sarang dan menelisik bulu leherkepala anak walet memiliki tujuan yang hampir sama. Kedua perilaku ini berguna agar
anak walet terhindar jatuh dari sarangnya. Perilaku berpindah ke sisi bawah sarang memiliki frekuensi tertinggi pada hari ke-13. Walet induk berusaha
mendorong anak agar tetap berada di dalam sarang. Hal ini dilakukan karena anak walet sering bergerak mendekati bibir sarang. Banyaknya aktivitas gerak
anak walet disebabkan kedua matanya mulai dapat melihat pada minggu kedua Mardiastuti et al. 1998. Selain itu, anak walet mendekati bibir sarang karena
berusaha membuang kotoran dengan cara bertengger pada bibir sarang. Ketidak seimbangan pada saat bertengger dapat menyebabkan anak walet jatuh ke lantai.
Anak walet mati karena jatuh dari sarangnya merupakan salah satu faktor utama penyebab kematian anak walet Lim Cranbrook 2002.
Perilaku menelisik bulu leherkepala anak pada penelitian ini memiliki frekuensi tertinggi pada hari ke-34. Perilaku ini dilakukan karena anak walet
banyak melakukan aktivitas gerak. Aktivitas gerak yang tinggi dapat disebabkan anak walet sedang lapar. Akibat dari keadaan ini anak walet sangat peka terhadap
suara walet dari sarang lainnya. Kejadian ini juga menyebabkan anak walet terjatuh dari sarangnya dan mati Lim Cranbrook 2002.
Kondisi Habitat Mikro Walet Rumahan A.
Suhu
Suhu ruang bersarang dalam penelitian ini adalah 27-29
o
C. Suhu paling tinggi terjadi di bulan Oktober dan menurun sampai Desember. Suhu tersebut
memiliki kisaran hampir sama dengan penelitian Mardiastuti et al. 1997 pada rumah walet di Semarang, yaitu 26-28
o
C. Kisaran suhu pada penelitian ini juga masih berada di dalam rentang suhu gua kering di Vietnam yaitu 25-30
o
C. Suhu tertinggi terjadi pada bulan Juli-September, dan terendah pada bulan Desember-
Pebruari Nguyen Voisin 1998. Suhu di dalam rumah walet Sidayu ini diduga telah sesuai dengan kondisi
fisiologis walet rumahan terhadap toleransi suhu lingkungannya. Chaiyabutr 2004 melaporkan unggas di Thailand memiliki kemampuan lebih toleran
terhadap perubahan suhu tinggi dibanding mamalia. Cekaman panas heat stress pada unggas biasanya disebabkan kombinasi antara faktor lingkungan dan dari
dalam tubuh hewan. Tekanan panas eksternal direspons oleh unggas dengan perilaku bernapas secara cepat panting untuk mendinginkan tubuh. Pada anak
ayam broiler mulai bernapas cepat pada suhu 35.5
o
C dan kelembaban 50-70. Apabila keadaan ini tetap berlanjut dapat menyebabkan kerusakan pada
hipothalamus.
Radiasi panas tubuh hanya bisa turun di bawah suhu tubuh ketika suhu lingkungan lebih rendah dari pada suhu tubuh. Kisaran suhu yang dapat
ditoleransi thermoneutral hewan homeothermal adalah: 18-36
o
C, sedangkan suhu internal tubuh bersifat konstan. Stabilitas suhu tubuh merupakan faktor
penting untuk efisiensi energi aktivitas harian Chaiyabutr 2004 Suhu ruang bersarang selama fase pengeraman pada walet di Sidayu telah
sesuai dengan kebutuhan suhu pengeraman telur. Hal ini dapat diketahui dengan lama fase pengeraman walet rumahan di Sidayu 25 hari hampir sama dengan
lama fase pengeraman walet rumahan di Semarang rataan 23.6 hari Mardiastuti et al.
1997. Caldwell Cornwell 1975 melaporkan bahwa perilaku mengeram sangat dipengaruhi oleh faktor rangsangan eksternal. Kombinasi antara suhu
tubuh induk dan suhu lingkungan menghasilkan suhu yang sesuai dengan perkembangan embrio di dalam telur 36
o
C. Penurunan suhu telur selama masa pengeraman terjadi karena peningkatan ukuran embrio, sirkulasi, dan panas hasil
metabolisme embrio. Suhu udara di dalam sarang diperkirakan naik secara perlahan selama masa pengeraman seiring dengan turunnya gradien suhu telur.
Cuaca tidak berpengaruh terhadap suhu telur pada saat dierami induknya. Suhu di dalam ruang sangat berpengaruh bila telur sedang ditinggalkan oleh induk dalam
jangka waktu yang relatif lama. Peningkatan suhu ruangan juga akan mendorong induk untuk mengerami
telur agar suhu optimum telur selalu terjaga. Tindakan ini diperlukan untuk mencegah panas yang berlebih pada telur hingga membawa kematian embrio. Hal
ini dilakukan pada suhu di atas 27
o
C. Apabila suhu telur terlalu tinggi, maka induk mengubah posisi menjauhkan permukaan tubuhnya dari telur untuk
mendinginkan telur Caldwell Cornwell 1975. Penurunan suhu telur terjadi karena telur ditinggalkan oleh induknya. Induk segera akan mengerami telur
sebelum suhu ruang turun sampai di bawah 20
o
C Smith Montgomerie 1992.
B. Kelembaban Relatif