Analisis Spektral Curah Hujan dan Niño 3.4 dengan IOD

Pengujian model dilakukan untuk membuktikan bahwa model tersebut layak untuk digunakan. Caranya adalah :  Mempelajari nilai sisa untuk melihat apakah masih terdapat beberapa pola yang belum dipertimbangkan.  Mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat apakan model tersebut masih dapat disederhanakan. Tahap 4 :Penetapan model ARIMA Tahap ini hanya merupakan penyelesaian setelah ketiga tahap sebelumnya. Gambar 7 Skema pendekatan Box- Jenkins Sumber: Makridakis,1983

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Spektral Curah Hujan dan Niño 3.4 dengan IOD

Analisis spektral pada curah hujan bertujuan untuk mengetahui periodisitas curah hujan di daerah yang akan diuji. Gambar 8 menunjukkan periode curah hujan pada dua kawasan yaitu Sukamandi dan Padang Panjang. Hasil analisis spektral dari curah hujan di Sukamandi dan Padang Panjang menunjukkan bahwa kedua kota tersebut memiliki osilasi curah hujan 12 bulanan atau yang lebih dikenal dengan monsun. Di daerah Sukamandi menunjukkan puncak yang lebih tinggi daripada daerah Padang Panjang,hal ini berarti kekuatan monsun di Sukamandi lebih kuat dibandingkan dengan di Padang Panjang. Perhatian selanjutnya adalah bagaimana telekoneksi yang terjadi antara SST Niño 3.4 dengan IOD mempengaruhi osilasi monsun yang terjadi di Sukamandi dan Padang Panjang. Telekoneksi yang terjadi di antara tahun 1996 dan tahun 1999 merupakan gabungan kekuatan dari Niño 3.4 dan IOD. Gabungan kekuatan itu memungkinkan ketika keduanya berada dalam fase yang sama. Niño 3.4 dan IOD memiliki dua fase yaitu fase negatif dan fase positif. Fase positif adalah fase ketika suhu muka laut lebih panas dari rata – ratanya begitu pula sebaliknya, pada fase negatif,suhu muka laut lebih dingin daripada rata – ratanya. Ketika Niño 3.4 dan IOD memasuki fase positif atau negatif secara bersamaan maka terjadilah telekoneksi. Gambar 8. Power Spectral Density Sukamandi dan Padang Panjang periode 1 Januari 1996 – 31 Desember 1999. Gambar 9. Deret waktu telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD. Gambar 9 menunjukkan anomali SST Niño 3.4 dan IOD serta hasil penjumlahan dari kedua indeks tersebut. Periode pengamatannya dari tahun 1996 – 1999, diwakili oleh warna biru, hijau, dan coklat. Garis vertikal pada Gambar 9 menunjukkan ketika Niño 3.4 dan IOD berada dalam satu fase. Garis vertikal menunjukkan awal dan akhir dari satu fase. Fase positif berlangsung pada bulan April 1997 – April 1998 sedangkan fase negatif berlangsung pada Juni 1998 – Juni 1999. Ketika telekoneksi berlangsung dapat dilihat di grafik bahwa terjadi peningkatan indeks yang ditandai dengan garis coklat.Peningkatan yang terjadi cukup signifikan yaitu ketika fase positif Niño 3.4 dan IOD berada di puncaknya pada bulan Oktober tahun 1997 masing bernilai 2,33 dan 3,55 ketika ditambahkan yang menyebabkan kejadian telekoneksi nilai indeksnya menjadi 5,88. Pada fase negatif, Niño 3.4 dan IOD mencapai puncaknya pada bulan Desember 1998 dengan nilai -2,11 dan -1,56 sehingga ketika ditambahkan menjadi -3,67. Hal inilah yang membuat kejadian telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD patut diwaspadai. Karena puncak – puncak yang terbentuk hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan kejadian Niño 3.4 dan IOD yang berbeda fase, tidak terjadi telekoneksi. Gambar 10 menunjukkan perbandingan antara grafik telekoneksi dengan kejadian curah hujan di Sukamandi dan Padang Panjang. Kejadian telekoneksi yang menyebabkan curah hujan di dua daerah pengujian mengalami kenaikan dan penurunan. Pada daerah yang dibatasi oleh dua garis vertikal awal menunjukkan telekoneksi berada pada fase positif sehingga menyebabkan curah hujan mengalami penurunan. Puncak telekoneksi yang terjadi pada bulan Oktober diikuti dengan anomali curah hujan yang juga turun ke titik negatif pada dua daerah tersebut. Pada telekoneksi fase negatif curah hujan justru akan naik nilai anomalinya sedangkan indeks telekoneksi berada di bawah nol. Hal ini sesuai dengan hipotesa ENSO diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya, berbanding terbalik dengan peristiwa La Niña yang justru menghasilkan curah hujan melebihi batas normal Ropelweski dan Halpert, 1987. Gambar 10. Pebandingan deret waktu antara kejadian telekoneksi dengan anomali curah hujan. Secara umum, telekoneksi ini terjadi pada dua Lautan yang mengapit Indonesia. Lautan Hindia di sebelah barat dan Lautan Pasifik di sebelah timur. Jarak kedua lautan itu terpisah ribuan kilometer sehingga kejadian telekoneksi ini membutuhkan waktu untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia,baik itu telekoneksi positif atau negatif. 4.2 Analisis Korelasi Silang Pengaruh dari telekoneksi yang terjadi di dua lautan yang mengapit Indonesia tidak serta merta terjadi terhadap curah hujan. Karena tempat kejadiannya yang jauh, telekoneksi antara SST Niño 3.4 dan IOD membutuhkan waktu untuk dapat mempengaruhi curah hujan. Hal ini sangat penting untuk dianalisis karena berkaitan dengan persiapan di Indonesia untuk menghadapi musim kering panjang dan musim basah panjang. Analisis korelasi silang ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan bagi telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Waktu yang dibutuhkan untuk telekoneksi adalah dengan melihat lag number pada Tabel 1 dan Tabel 2. Lag number ini berperan sebagai waktu tunda lag time danyang harus diperhatikan adalah yang bernilai positif dengan asumsi ketika lag number positif maka telekoneksi antara SST Niño 3.4 dan IOD terjadi lebih dulu baru kemudian curah hujan di Indonesia akan naik atau turun. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan sehingga satuan untuk lag number adalah bulan. Tabel 3 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase positif Cross Correlations Nino3.4plus with CH_Sukamandi Lag Cross Correlation Std. Error a -5 -.198 .354 -4 -.343 .333 -3 -.472 .316 -2 -.591 .302 -1 -.513 .289 -.206 .277 1 .237 .289 2 .473 .302 3 .690 .316 4 .743 .333 5 .568 .354 Gambar 11. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase positif. Tabel 3 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa ada waktu tunda sebelum telekoneksi mempengaruhi curah hujan yang ada di kawasan Sukamandi. Pada Gambar 11 terlihat bahwa grafik yang menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 3 dengan nilai korelasi silang dapat dilihat pada Tabel 3 sebesar 0,69. Hal ini berarti untuk wilayah Sukamandi curah hujan baru akan turun setelah adanya telekoneksi positif selama 3 bulan. Tabel 4 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase positif. Cross Correlations Nino34_IOD with Padang_Panjang Lag Cross Correlation Std. Error a -5 -.031 .354 -4 -.300 .333 -3 -.635 .316 -2 -.632 .302 -1 -.549 .289 -.412 .277 1 .023 .289 2 .420 .302 3 .642 .316 4 .662 .333 5 .524 .354 Gambar 12. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase positif Pada daerah Padang Panjang sama halnya dengan daerah Sukamandi,yaitu ada waktu tunda yang dibuthkan telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di daerah tersebut. Gambar 12 menunjukkan grafik yang pertama kali menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 3 dengan nilai korelasi silang pada Tabel 4 adalah 0,642. Oleh karena itu, untuk daerah Padang Panjangpun sama dengan Sukamandi yaitu telekoneksi membutuhkan waktu 3 bulan untuk dapat mempengaruhi curah hujan di kota Padang Panjang. Tabel 5 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase negatif. Cross Correlations Nino3.4plus with CH_Sukamandi Lag Cross Correlation Std. Error a -5 .515 .333 -4 .654 .316 -3 .543 .302 -2 .370 .289 -1 .048 .277 -.330 .267 1 -.590 .277 2 -.676 .289 3 -.572 .302 4 -.240 .316 5 -.088 .333 Gambar 13 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase negatif Tabel 6 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase negatif Cross Correlations Nino34 IOD with Padang Panjang Lag Cross Correlation Std. Error a -5 .470 .354 -4 .317 .333 -3 .319 .316 -2 .086 .302 -1 -.241 .289 -.547 .277 1 -.507 .289 2 -.347 .302 3 -.293 .316 4 .027 .333 5 .123 .354 Gambar 14 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase negatif Telekoneksi pada fase negatif sama seperti ketika fase positif yaitu membutuhkan waktu untuk menaikkan curah hujan di daerah Indonesia. Pada daerah Sukamandi, waktu yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 7 ketika grafik menyentuh batas bawah pada lag number 1. Nilai korelasi silang untuk lag number 1 dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu sebesar - 0,59. Maka, ketika fase negatif, telekoneksi membutuhkan waktu 1 bulan sebelum curah hujan di daerah Sukamandi mengalami peningkatan. Gambar 8 menyajikan hasil korelasi silang untuk daerah Padang Panjang. Grafik yang menyentuh batas bawah adalah ketika lag number bernilai 0 dengan nilai korelasi silang sebesar -0,547. Maka dapat dikatakan bahwa pengaruh telekoneksi untuk menaikkan curah hujan di kawasan Padang Panjang bersifat spontan. Hasil analisis menunjukkan bahwa waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada fase negatif untuk menurunkan curah hujan pada daerah Padang Panjang lebih kecil daripada waktu tunda pada daerah Sukamandi,bahkan bersifat spontan. Hal ini disebabkan oleh dekatnya daerah Padang Panjang dengan salah satu kejadian telekoneksi yaitu IOD yang terjadi di Lautan Hindia sehingga mempercepat pengaruh dari telekoneksi itu sendiri. Waktu tunda ini sangat penting bagi kedua daerah tersebut karena menentukan hal apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari telekoneksi yang mempengaruhi curah hujan di kedua daerah tersebut. Tabel 7 merangkum waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada kedua daerah tersebut dalam fase negatif dan juga fase positif. Persamaan yang terdapat dalam Tabel 4 menunjukkan hubungan antara telekoneksi dengan anomali curah hujan. Variabel Y menunjukkan anomali curah hujan sedangkan variabel X menunjukkan kejadian telekoneksi yaitu indeks Niño 3.4 dengan IOD dan t menunjukkan waktu dalam bulan. Waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada fase positif di kedua kota sama,yaitu tiga bulan, namun perbedaan yang ditunjukkan ada pada R 2 kedua persamaan tersebut. Persamaan korelasi silang pada kota Sukamandi memiliki R 2 yang lebih besar yaitu 0,59 dibandingkan dengan R 2 yang dimiliki oleh persamaan korelasi silang pada kota Padang Panjang yaitu 0,17. Hal ini menunjukkan bahwa kota Sukamandi menunjukkan respon yang lebih besar pada telekoneksi fase positif yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut. Untuk telekoneksi fase negatif, daerah Padang Panjang menunjukkan respon lebih besar daripada Sukamandi dengan lebih dahulu mengalami kenaikan curah hujan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh telekoneksi fase positif berbeda dengan fase negatif. Penyebabnya adalah perbedaan sumber dari telekoneksi tersebut. Pada fase positif,SST Niño 3.4 lebih berperan untuk menurunkan curah hujan sehingga Sukamandi yang berada lebih dekat dengan SST Niño 3.4 lebih responsif daripada Padang Panjang,hal ini dibuktikan oleh R 2 pada persamaan korelasi silang yang lebih besar. Ketika fase negatif, IOD lebih berperan dalam hal menaikkan curah hujan, sehingga Padang panjang lebih responsif daripada Sukamandi. Hal ini dibuktikan dengan waktu tunda yang lebih pendek jika dibandingkan antara Padang Panjang dengan Sukamandi. 4.3 Model Prediksi Berbasis ARIMA 4.3.1 Analisis Jangka Panjang Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan membuat persamaan matematis untuk memprediksi data iklim global. Model telekoneksi yang akan digunakan dibuat dengan metode ARIMA. Data yang digunakan dalam proses ARIMA ini adalah anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999. Tabel 7 Persamaan regresi nonlinier untuk setiap daerah. Kota Fase Persamaan Lag Time R 2 Sukamandi Positif Y = -0.474X t-3 + 1.687 3 bulan 0.59 Negatif Y = -0.401X t-1 - 0.873 1 bulan 0.42 Padang Panjang Positif Y = -0.783X t-3 + 2.651 3 bulan 0.17 Negatif Y = -0.592X t - 1.266 0 bulan 0.30 Gambar 15 Power Spectral Density kejadian telekoneksi Niño 3.4 dan IOD yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah. Gambar 15 menunjukkan bahwa ketika telekoneksi terjadi maka nilai spektralnya juga akan juga akan mengalami peningkatan. Periode dari kejadian telekoneksi ini berkisar antara 42 – 60 bulan atau 3.5 – 5 tahun. Hal ini dikarenakan sumber dari telekoneksi adalah anomali SST Niño 3.4 dan IOD yang mempunyai periodisitas yang sama. Setelah data tersebut diperiksa melalui analisis spektral, data tersebut diperiksa stasioneritasnya. Stasioneritas sangat penting dalam pembuatan model, karena data yang tidak stasioner sulit untuk diprediksi sehingga model yang dihasilkan tidak maksimal. Untuk memeriksa stasioneritas dapat dilihat melalui fungsi autokorelasi, fungsi autokorelasi parsial, dan plot deret waktu dari data yang akan diperiksa stasioneritasnya. Gambar 16a menunjukkan pemeriksaan terhadap data untuk stasioneritas. Hasil dari pemeriksaan ketiga metode tersebut menunjukkan bahwa data yang digunakan, yaitu data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999, membentuk pola alternating yaitu pola yang menunjukkan ketidakstasioneran dalam varians. Oleh karena itu, data tersebut diolah kembali dengan teknik differencing supaya menjadi data yang stasioner. a b Gambar 16. Deret waktu, fungsi autokorelasi, dan autokorelasi parsial dari data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999 a sebelum proses differencing b setelah proses differencing. Gambar 16b merupakan hasil differencing yang dilakukan terhadap data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999. Setelah dilakukan differencing, terlihat bahwa pola yang terlihat pada deret waktu, fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsial menjadi hilang. Data menjadi lebih stasioner dan dapat diperkirakan daripada sebelum dilakukan differencing. Dengan menggunakan metode Box- Jenkins dan melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model prediksi ARIMA1,1,1 untuk sebagai model telekoneksi. Persamaan ARIMA1,1,1 untuk model telekoneksi adalah Z t = 1,647Z t-1 – 0,647Z t-2 + a t – 0,151a t-1 . Persamaan ini kemudian divalidasi dengan menggunakan data observasi. Tabel 8 Hasil validasi persamaan ARIMA1,1,1 untuk Niño 3.4 dan IOD. No Waktu Data Asli ARIMA 1,1,1 Galat 1 Jan-00 -2.2171 -2.2076 0.0095 2 Feb-00 -1.6509 -2.2739 -0.6229 3 Mar-00 -0.9908 -1.1855 -0.1946 4 Apr-00 -0.4476 -0.5294 -0.0817 5 May-00 -0.2597 -0.0788 0.1808 6 Jun-00 -0.0639 -0.1604 -0.0964 7 Jul-00 -0.0075 0.0823 0.0898 115 Jun-09 0.8359 0.7642 -0.0716 116 Jul-09 1.0402 1.0065 -0.0336 117 Aug-09 0.9178 1.1825 0.2646 118 Sep-09 0.8590 0.8037 -0.0553 119 Oct-09 1.3038 0.8343 -0.4695 120 Nov-09 2.1413 1.6675 -0.4737 R 2 = 0.9 ; MAD = 0.2844 Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan model dengan data observasi, periode waktu yang digunakan untuk memvalidasi model adalah Januari 2000 – November 2009. Plot data untuk model ARIMA1,1,1 mendekati data asli dengan R 2 sebesar 0.9 dan nilai Mean Absolute Deviation MAD yaitu rata-rata galat hasil prediksi dengan nilai aktual sebesar 0.2844. Hasil prediksi dari ARIMA1,1,1 ini cukup baik dengan nilai galat yang kecil. Model untuk memprediksi kejadian telekoneksi ini sangat penting untuk dapat meramalkan kejadian curah hujan di Indonesia karena telekoneksi yang terjadi adalah gabungan dari kejadian anomali SST Niño 3.4 dan IOD yang merupakan kejadian yang berpengaruh langsung terhadap curah hujan di kawasan Indonesia. Dengan adanya model ARIMA1,1,1 ini diharapkan dapat mengantisipasi dampak dari kejadian telekoneksi terhadap curah hujan di Indonesia 4.3.2 Analisis Jangka Pendek Analisis jangka pendek ini dilakukan terhadap curah hujan di dua wilayah kajian yaitu Sukamandi dan Padang Panjang.Periode waktu yang diambil adalah Januari 1976 – Desember 1990. Data curah hujan selama 25 tahun ini didapat menggunakan persamaan yang terdapat pada Tabel 5, dengan demikian didapatlah data curah hujan yang lengkap untuk periode tersebut. Gambar 17. Plot data asli Niño 3.4+IOD dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 2000 – November 2009. -3 -2 -1 1 2 3 Jan -00 Jun -00 No v -00 A p r- 01 Sep -01 F eb -02 Ju l- 02 D ec -02 M ay -03 O ct -03 M ar -04 A u g -04 Jan -05 Jun -05 No v -05 A p r- 06 Sep -06 F eb -07 Ju l- 07 D ec -07 M ay -08 O ct -08 M ar -09 A u g -09 Nin o 3.4 Waktu Nino3.4+IOD ARIMA1,1,1 Dengan menggunakan metode Box- Jenkins dan melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model prediksi ARIMA1,1,1 untuk Sukamandi dan Padang Panjang. Persamaan ARIMA1,1,1 untuk kedua daerah tersebut adalah Z t = 1,491Z t-1 – 0,491Z t-2 + a t – 0,025a t-1 . Persamaan ARIMA1,1,1 untuk Sukamandi dan Padang Panjang tidak berbeda. Hal ini disebabkan oleh persamaan ARIMA1,1,1 yang berasal dari sumber yang sama yaitu persamaan korelasi silang pada Tabel 5. Persamaan ARIMA1,1,1 ini kemudian divalidasi untuk melihat keakuratan modelnya. Tabel 9 Hasil validasi persamaan ARIMA1,1,1 untuk Sukamandi. No Waktu Data Asli ARIMA 1,1,1 Galat 1 Jan-91 1.2719 2 Feb-91 1.2689 3 Mar-91 1.2003 1.2675 0.0671 4 Apr-91 1.0179 1.1650 0.1471 5 May-91 0.7188 0.9247 0.2059 6 Jun-91 0.5578 0.5668 0.0089 7 Jul-91 0.5912 0.4787 -0.1126 91 Jul-99 -0.8859 -1.1808 -0.2949 92 Aug-99 -0.8578 -0.9031 -0.0453 93 Sep-99 -1.1459 -0.8429 0.3030 94 Oct-99 -0.0329 -1.2949 -1.2620 95 Nov-99 2.1291 0.5451 -1.5840 96 Dec-99 0.5401 3.2303 2.6901 R 2 = 0.57 ; MAD = 0.4649 Validasi antara persamaan ARIMA1,1,1 dengan data observasi curah hujan Sukamandi cukup bagus dengan nilai R 2 0.57 dan MAD 0.4649. nilai R 2 yang hanya sedikit melewati 0.5 yaitu 0.57 menunjukkan persamaan ARIMA1,1,1 ini tidak terlalu bagus dalam menjelaskan peristiwa curah hujan yang terjadi di Sukamandi. Gambar 18. Plot data asli anomali curah hujan Sukamandi dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 1991 – Desember 1999. Tabel 10 Hasil validasi persamaan ARIMA1,1,1 untuk Padang Panjang. No Waktu Data Asli ARIMA 1,1,1 Galat 1 Jan-91 -3.3356 2 Feb-91 -3.3406 3 Mar-91 -3.4538 -3.3430 0.1108 4 Apr-91 -3.7551 -3.5122 0.2429 5 May-91 -4.2493 -3.9091 0.3401 6 Jun-91 -4.5151 -4.5004 0.0147 7 Jul-91 -4.46 -4.6460 -0.186 43 Jul-99 1.1173 0.1540 0.154 44 Aug-99 1.1067 1.0934 1.0934 45 Sep-99 -0.4804 -1.1237 1.1237 46 Oct-99 0.9807 -2.4725 2.4725 47 Nov-99 4.8948 2.2015 2.2015 48 Dec-99 2.2651 -0.1882 0.1881 R 2 = 0.75 ; MAD = 0.6669 -8.0 -6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 Jan -91 Ju n -91 N o v -91 Ap r- 92 Se p -92 Fe b -93 Ju l- 93 Dec -93 Ma y -94 Oct -94 Ma r- 95 Aug -95 Jan -96 Ju n -96 N o v -96 Ap r- 97 Se p -97 Fe b -98 Ju l- 98 Dec -98 Ma y -99 Oc t- 99 Anomali CH Sukamandi ARIMA 1,1,1 Gambar 19. Plot data asli anomali curah hujan Padang Panjang dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 1991 – Desember 1999. Validasi antara data asli anomali curah hujan kota Padang Panjang dengan model ARIMA1,1,1 lebih baik jika dibandingkan dengan kota Sukamandi. Hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang lebih besar yaitu 0.75 namun rata-rata galat yang diperoleh lebih besar, yaitu 0.6669. Persamaan ARIMA1,1,1 mampu menjelaskan kejadian curah hujan di Padang Panjang dengan baik. Hasil validasi model ARIMA1,1,1 untuk kota Sukamandi dan Padang Panjang tidak sebagus pada kejadian telekoneksi. Perbedaan nilai R 2 dan MAD yang signifikan antara kejadian telekoneksi dan kedua kota disebabkan oleh penggunaan data untuk menurunkan model ARIMA1,1,1. Untuk kejadian telekoneksi, karena rentang data yang panjang, maka tidak perlu menggunakan persamaan apapun untuk membuatnya. Pada kota Sukamandi dan Padang Panjang, data yang tersedia pendek sehingga digunakan persamaan korelasi silang untuk menyediakan data yang akan digunakan untuk membuat model ARIMA1,1,1. Secara umum persamaan ARIMA1,1,1 dapat menjelaskan kejadian curah hujan yang telah terpengaruh oleh telekoneksi di kota Sukamandi dan Padang Panjang. Hal ini sangat penting karena kedua kota tersebut merupakan kawasan sentra produksi pangan, fluktuasi curah hujan pada daerah tersebut harus diawasi. Model ARIMA1,1,1 ini membantu untuk memperkirakan curah hujan ketika kejadian telekoneksi berlangsung sehingga dapat diambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasinya.

V. PENUTUP