Pengujian model
dilakukan untuk
membuktikan bahwa model tersebut layak untuk digunakan. Caranya adalah :
Mempelajari nilai sisa untuk melihat apakah masih terdapat beberapa pola
yang belum dipertimbangkan.
Mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat
apakan model tersebut masih dapat disederhanakan.
Tahap 4 :Penetapan model ARIMA
Tahap ini hanya merupakan penyelesaian setelah ketiga tahap sebelumnya.
Gambar 7 Skema pendekatan Box- Jenkins
Sumber: Makridakis,1983
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Spektral Curah Hujan dan Niño 3.4 dengan IOD
Analisis spektral pada curah hujan bertujuan untuk mengetahui periodisitas curah
hujan di daerah yang akan diuji. Gambar 8 menunjukkan periode curah hujan pada dua
kawasan yaitu Sukamandi dan Padang Panjang.
Hasil analisis spektral dari curah hujan di
Sukamandi dan
Padang Panjang
menunjukkan bahwa kedua kota tersebut memiliki osilasi curah hujan 12 bulanan atau
yang lebih dikenal dengan monsun. Di daerah Sukamandi menunjukkan puncak yang lebih
tinggi daripada daerah Padang Panjang,hal ini berarti kekuatan monsun di Sukamandi lebih
kuat dibandingkan dengan di Padang Panjang. Perhatian selanjutnya adalah bagaimana
telekoneksi yang terjadi antara SST Niño 3.4 dengan IOD mempengaruhi osilasi monsun
yang terjadi di Sukamandi dan Padang Panjang.
Telekoneksi yang terjadi di antara tahun 1996 dan tahun 1999 merupakan gabungan
kekuatan dari Niño 3.4 dan IOD. Gabungan kekuatan itu memungkinkan ketika keduanya
berada dalam fase yang sama. Niño 3.4 dan IOD memiliki dua fase yaitu fase negatif dan
fase positif. Fase positif adalah fase ketika suhu muka laut lebih panas dari rata
– ratanya begitu pula sebaliknya, pada fase negatif,suhu
muka laut lebih dingin daripada rata –
ratanya. Ketika Niño 3.4 dan IOD memasuki fase positif atau negatif secara bersamaan
maka terjadilah telekoneksi.
Gambar 8. Power Spectral Density Sukamandi dan Padang Panjang periode 1 Januari 1996 – 31
Desember 1999.
Gambar 9. Deret waktu telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD. Gambar 9 menunjukkan anomali SST
Niño 3.4 dan IOD serta hasil penjumlahan dari
kedua indeks
tersebut. Periode
pengamatannya dari tahun 1996 – 1999,
diwakili oleh warna biru, hijau, dan coklat. Garis vertikal pada Gambar 9 menunjukkan
ketika Niño 3.4 dan IOD berada dalam satu fase. Garis vertikal menunjukkan awal dan
akhir dari satu fase. Fase positif berlangsung pada bulan April 1997
– April 1998 sedangkan fase negatif berlangsung pada
Juni 1998 – Juni 1999.
Ketika telekoneksi berlangsung dapat dilihat di grafik bahwa terjadi peningkatan
indeks yang
ditandai dengan
garis coklat.Peningkatan yang terjadi cukup
signifikan yaitu ketika fase positif Niño 3.4 dan IOD berada di puncaknya pada bulan
Oktober tahun 1997 masing bernilai 2,33 dan
3,55 ketika
ditambahkan yang
menyebabkan kejadian telekoneksi nilai indeksnya menjadi 5,88. Pada fase negatif,
Niño 3.4 dan IOD mencapai puncaknya pada bulan Desember 1998 dengan nilai -2,11 dan
-1,56 sehingga ketika ditambahkan menjadi -3,67.
Hal inilah yang membuat kejadian telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD patut
diwaspadai. Karena puncak – puncak yang
terbentuk hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan kejadian Niño 3.4 dan
IOD yang berbeda fase, tidak terjadi telekoneksi. Gambar 10
menunjukkan perbandingan antara grafik telekoneksi
dengan kejadian curah hujan di Sukamandi dan Padang Panjang. Kejadian telekoneksi
yang menyebabkan curah hujan di dua daerah pengujian mengalami kenaikan dan
penurunan. Pada daerah yang dibatasi oleh dua garis vertikal awal menunjukkan
telekoneksi berada pada fase positif sehingga
menyebabkan curah
hujan mengalami penurunan. Puncak telekoneksi
yang terjadi pada bulan Oktober diikuti dengan anomali curah hujan yang juga turun
ke titik negatif pada dua daerah tersebut. Pada telekoneksi fase negatif curah hujan
justru akan naik nilai anomalinya sedangkan indeks telekoneksi berada di bawah nol. Hal
ini
sesuai dengan
hipotesa ENSO
diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya, berbanding
terbalik dengan peristiwa La Niña yang justru menghasilkan curah hujan melebihi
batas normal Ropelweski dan Halpert, 1987.
Gambar 10. Pebandingan deret waktu antara kejadian telekoneksi dengan anomali curah hujan.
Secara umum, telekoneksi ini terjadi pada dua Lautan yang mengapit Indonesia.
Lautan Hindia di sebelah barat dan Lautan Pasifik di sebelah timur. Jarak kedua lautan
itu terpisah ribuan kilometer sehingga kejadian telekoneksi ini membutuhkan
waktu untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia,baik itu telekoneksi positif atau
negatif. 4.2 Analisis Korelasi Silang
Pengaruh dari telekoneksi yang terjadi di dua lautan yang mengapit Indonesia tidak
serta merta terjadi terhadap curah hujan. Karena tempat kejadiannya yang jauh,
telekoneksi antara SST Niño 3.4 dan IOD membutuhkan
waktu untuk
dapat mempengaruhi curah hujan. Hal ini sangat
penting untuk dianalisis karena berkaitan dengan persiapan di Indonesia untuk
menghadapi musim kering panjang dan musim basah panjang.
Analisis korelasi silang ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
bagi telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Waktu yang dibutuhkan
untuk telekoneksi adalah dengan melihat lag number
pada Tabel 1 dan Tabel 2. Lag number
ini berperan sebagai waktu tunda lag time danyang harus diperhatikan
adalah yang bernilai positif dengan asumsi ketika lag number positif maka telekoneksi
antara SST Niño 3.4 dan IOD terjadi lebih dulu baru kemudian curah hujan di
Indonesia akan naik atau turun. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
bulanan sehingga satuan untuk lag number adalah bulan.
Tabel 3 Korelasi silang gabungan antara
SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase positif
Cross Correlations
Nino3.4plus with CH_Sukamandi Lag
Cross Correlation Std. Error
a
-5 -.198
.354 -4
-.343 .333
-3 -.472
.316 -2
-.591 .302
-1 -.513
.289 -.206
.277 1
.237 .289
2 .473
.302 3
.690 .316
4 .743
.333 5
.568 .354
Gambar 11. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan
anomali curah hujan Sukamandi fase positif.
Tabel 3 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa ada waktu tunda sebelum telekoneksi
mempengaruhi curah hujan yang ada di kawasan Sukamandi. Pada Gambar 11
terlihat bahwa grafik yang menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 3
dengan nilai korelasi silang dapat dilihat pada Tabel 3 sebesar 0,69. Hal ini berarti
untuk wilayah Sukamandi curah hujan baru akan turun setelah adanya telekoneksi positif
selama 3 bulan. Tabel 4 Korelasi silang gabungan antara
SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase
positif.
Cross Correlations
Nino34_IOD with Padang_Panjang Lag
Cross Correlation
Std. Error
a
-5 -.031
.354 -4
-.300 .333
-3 -.635
.316 -2
-.632 .302
-1 -.549
.289 -.412
.277 1
.023 .289
2 .420
.302 3
.642 .316
4 .662
.333 5
.524 .354
Gambar 12. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan
anomali curah hujan Padang Panjang fase positif
Pada daerah Padang Panjang sama halnya dengan daerah Sukamandi,yaitu ada
waktu tunda yang dibuthkan telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di daerah
tersebut. Gambar 12 menunjukkan grafik yang pertama kali menyentuh batas atas
adalah pada saat lag number bernilai 3 dengan nilai korelasi silang pada Tabel 4
adalah 0,642. Oleh karena itu, untuk daerah Padang
Panjangpun sama
dengan Sukamandi yaitu telekoneksi membutuhkan
waktu 3 bulan untuk dapat mempengaruhi curah hujan di kota Padang Panjang.
Tabel 5 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali
curah hujan
Sukamandi fase
negatif.
Cross Correlations
Nino3.4plus with CH_Sukamandi Lag
Cross Correlation
Std. Error
a
-5 .515
.333 -4
.654 .316
-3 .543
.302 -2
.370 .289
-1 .048
.277 -.330
.267 1
-.590 .277
2 -.676
.289 3
-.572 .302
4 -.240
.316 5
-.088 .333
Gambar 13 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan
anomali curah hujan Sukamandi fase negatif
Tabel 6 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali
curah hujan Padang Panjang fase negatif
Cross Correlations
Nino34 IOD with Padang Panjang Lag
Cross Correlation
Std. Error
a
-5 .470
.354 -4
.317 .333
-3 .319
.316 -2
.086 .302
-1 -.241
.289 -.547
.277 1
-.507 .289
2 -.347
.302 3
-.293 .316
4 .027
.333 5
.123 .354
Gambar 14 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan
anomali curah hujan Padang Panjang fase negatif
Telekoneksi pada fase negatif sama seperti
ketika fase
positif yaitu
membutuhkan waktu untuk menaikkan curah hujan di daerah Indonesia. Pada
daerah Sukamandi, waktu yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 7 ketika grafik
menyentuh batas bawah pada lag number 1. Nilai korelasi silang untuk lag number 1
dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu sebesar - 0,59. Maka, ketika fase negatif, telekoneksi
membutuhkan waktu 1 bulan sebelum curah hujan di daerah Sukamandi mengalami
peningkatan.
Gambar 8 menyajikan hasil korelasi silang untuk daerah Padang Panjang. Grafik
yang menyentuh batas bawah adalah ketika lag number
bernilai 0 dengan nilai korelasi silang sebesar -0,547. Maka dapat dikatakan
bahwa pengaruh
telekoneksi untuk
menaikkan curah hujan di kawasan Padang Panjang bersifat spontan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi
pada fase negatif untuk menurunkan curah hujan pada daerah Padang Panjang lebih
kecil daripada waktu tunda pada daerah Sukamandi,bahkan bersifat spontan. Hal ini
disebabkan oleh dekatnya daerah Padang Panjang
dengan salah
satu kejadian
telekoneksi yaitu IOD yang terjadi di Lautan Hindia sehingga mempercepat pengaruh dari
telekoneksi itu sendiri. Waktu tunda ini sangat penting bagi
kedua daerah tersebut karena menentukan hal apa yang harus dilakukan untuk
mengantisipasi dampak dari telekoneksi yang mempengaruhi curah hujan di kedua
daerah tersebut. Tabel 7 merangkum waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada
kedua daerah tersebut dalam fase negatif dan juga fase positif.
Persamaan yang terdapat dalam Tabel 4 menunjukkan hubungan antara telekoneksi
dengan anomali curah hujan. Variabel Y menunjukkan
anomali curah
hujan sedangkan variabel X menunjukkan kejadian
telekoneksi yaitu indeks Niño 3.4 dengan IOD dan t menunjukkan waktu dalam
bulan. Waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada fase positif di kedua kota
sama,yaitu tiga bulan, namun perbedaan yang ditunjukkan ada pada R
2
kedua persamaan tersebut. Persamaan korelasi
silang pada kota Sukamandi memiliki R
2
yang lebih besar yaitu 0,59 dibandingkan dengan R
2
yang dimiliki oleh persamaan korelasi silang pada kota Padang Panjang
yaitu 0,17. Hal ini menunjukkan bahwa kota Sukamandi menunjukkan respon yang lebih
besar pada telekoneksi fase positif yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut.
Untuk telekoneksi fase negatif, daerah Padang Panjang menunjukkan respon lebih
besar daripada Sukamandi dengan lebih dahulu mengalami kenaikan curah hujan.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh telekoneksi fase positif berbeda dengan fase negatif.
Penyebabnya adalah perbedaan sumber dari telekoneksi tersebut. Pada fase positif,SST
Niño 3.4 lebih berperan untuk menurunkan curah hujan sehingga Sukamandi yang
berada lebih dekat dengan SST Niño 3.4 lebih responsif daripada Padang Panjang,hal
ini dibuktikan oleh R
2
pada persamaan korelasi silang yang lebih besar. Ketika fase
negatif, IOD lebih berperan dalam hal menaikkan curah hujan, sehingga Padang
panjang lebih responsif daripada Sukamandi. Hal ini dibuktikan dengan waktu tunda yang
lebih pendek jika dibandingkan antara Padang Panjang dengan Sukamandi.
4.3 Model Prediksi Berbasis ARIMA 4.3.1
Analisis Jangka Panjang
Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang
dilakukan dengan
membuat persamaan matematis untuk memprediksi
data iklim global. Model telekoneksi yang akan digunakan dibuat dengan metode
ARIMA. Data yang digunakan dalam proses ARIMA ini adalah anomali SST Niño 3.4
dan IOD periode Januari 1958
– Desember 1999.
Tabel 7 Persamaan regresi nonlinier untuk setiap daerah. Kota
Fase Persamaan
Lag Time R
2
Sukamandi Positif
Y = -0.474X
t-3
+ 1.687 3 bulan
0.59 Negatif
Y = -0.401X
t-1
- 0.873 1 bulan
0.42 Padang Panjang
Positif Y = -0.783X
t-3
+ 2.651 3 bulan
0.17 Negatif
Y = -0.592X
t
- 1.266 0 bulan
0.30
Gambar 15 Power Spectral Density kejadian telekoneksi Niño 3.4 dan IOD yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah.
Gambar 15 menunjukkan bahwa ketika telekoneksi terjadi maka nilai spektralnya
juga akan
juga akan
mengalami peningkatan.
Periode dari
kejadian telekoneksi ini berkisar antara 42
– 60 bulan atau 3.5
– 5 tahun. Hal ini dikarenakan sumber dari telekoneksi adalah anomali SST
Niño 3.4 dan IOD yang mempunyai periodisitas yang sama. Setelah data tersebut
diperiksa melalui analisis spektral, data tersebut diperiksa stasioneritasnya.
Stasioneritas sangat penting dalam pembuatan model, karena data yang tidak
stasioner sulit untuk diprediksi sehingga model yang dihasilkan tidak maksimal.
Untuk memeriksa stasioneritas dapat dilihat melalui
fungsi autokorelasi,
fungsi autokorelasi parsial, dan plot deret waktu
dari data
yang akan
diperiksa stasioneritasnya.
Gambar 16a
menunjukkan pemeriksaan
terhadap data
untuk stasioneritas. Hasil dari pemeriksaan ketiga
metode tersebut menunjukkan bahwa data yang digunakan, yaitu data anomali SST
Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 –
Desember 1999,
membentuk pola
alternating yaitu pola yang menunjukkan
ketidakstasioneran dalam varians. Oleh karena itu, data tersebut diolah kembali
dengan teknik differencing supaya menjadi data yang stasioner.
a
b Gambar 16. Deret waktu, fungsi autokorelasi, dan autokorelasi parsial dari data anomali SST Niño
3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999 a sebelum proses differencing
b setelah proses differencing.
Gambar 16b
merupakan hasil
differencing yang dilakukan terhadap data
anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958
– Desember 1999. Setelah dilakukan differencing, terlihat bahwa pola
yang terlihat pada deret waktu, fungsi autokorelasi
dan autokorelasi
parsial menjadi hilang. Data menjadi lebih stasioner
dan dapat diperkirakan daripada sebelum dilakukan differencing.
Dengan menggunakan metode Box- Jenkins dan melalui proses identifikasi,
penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model prediksi ARIMA1,1,1 untuk sebagai
model telekoneksi.
Persamaan ARIMA1,1,1 untuk model telekoneksi
adalah Z
t
= 1,647Z
t-1
– 0,647Z
t-2
+ a
t
– 0,151a
t-1
. Persamaan ini kemudian divalidasi dengan menggunakan data observasi.
Tabel 8
Hasil validasi
persamaan ARIMA1,1,1 untuk Niño 3.4
dan IOD.
No Waktu
Data Asli ARIMA
1,1,1 Galat
1 Jan-00
-2.2171 -2.2076
0.0095 2
Feb-00 -1.6509
-2.2739 -0.6229
3 Mar-00
-0.9908 -1.1855
-0.1946 4
Apr-00 -0.4476
-0.5294 -0.0817
5 May-00
-0.2597 -0.0788
0.1808 6
Jun-00 -0.0639
-0.1604 -0.0964
7 Jul-00
-0.0075 0.0823
0.0898 115 Jun-09
0.8359 0.7642
-0.0716 116 Jul-09
1.0402 1.0065
-0.0336 117 Aug-09
0.9178 1.1825
0.2646 118 Sep-09
0.8590 0.8037
-0.0553 119 Oct-09
1.3038 0.8343
-0.4695 120 Nov-09
2.1413 1.6675
-0.4737 R
2
= 0.9 ; MAD = 0.2844
Validasi dilakukan
dengan membandingkan hasil perhitungan model
dengan data observasi, periode waktu yang digunakan untuk memvalidasi model adalah
Januari 2000 – November 2009. Plot data
untuk model ARIMA1,1,1 mendekati data asli dengan R
2
sebesar 0.9 dan nilai Mean Absolute Deviation
MAD yaitu rata-rata galat hasil prediksi dengan nilai aktual
sebesar 0.2844. Hasil prediksi dari ARIMA1,1,1 ini
cukup baik dengan nilai galat yang kecil. Model
untuk memprediksi
kejadian telekoneksi ini sangat penting untuk dapat
meramalkan kejadian curah hujan di Indonesia karena telekoneksi yang terjadi
adalah gabungan dari kejadian anomali SST Niño 3.4 dan IOD yang merupakan kejadian
yang berpengaruh langsung terhadap curah hujan di kawasan Indonesia. Dengan adanya
model ARIMA1,1,1 ini diharapkan dapat mengantisipasi
dampak dari
kejadian telekoneksi
terhadap curah
hujan di
Indonesia 4.3.2
Analisis Jangka Pendek
Analisis jangka pendek ini dilakukan terhadap curah hujan di dua wilayah kajian
yaitu Sukamandi
dan Padang
Panjang.Periode waktu yang diambil adalah Januari 1976
– Desember 1990. Data curah hujan selama 25 tahun ini didapat
menggunakan persamaan yang terdapat pada Tabel 5, dengan demikian didapatlah data
curah hujan yang lengkap untuk periode tersebut.
Gambar 17. Plot data asli Niño 3.4+IOD dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 2000
– November 2009.
-3 -2
-1 1
2 3
Jan -00
Jun -00
No v
-00 A
p r-
01 Sep
-01 F
eb -02
Ju l-
02 D
ec -02
M ay
-03 O
ct -03
M ar
-04 A
u g
-04 Jan
-05 Jun
-05 No
v -05
A p
r- 06
Sep -06
F eb
-07 Ju
l- 07
D ec
-07 M
ay -08
O ct
-08 M
ar -09
A u
g -09
Nin o
3.4
Waktu Nino3.4+IOD
ARIMA1,1,1
Dengan menggunakan metode Box- Jenkins dan melalui proses identifikasi,
penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model
prediksi ARIMA1,1,1
untuk Sukamandi dan Padang Panjang. Persamaan
ARIMA1,1,1 untuk kedua daerah tersebut adalah Z
t
= 1,491Z
t-1
– 0,491Z
t-2
+ a
t
– 0,025a
t-1
. Persamaan ARIMA1,1,1 untuk Sukamandi dan Padang Panjang tidak
berbeda. Hal ini disebabkan oleh persamaan ARIMA1,1,1 yang berasal dari sumber
yang sama yaitu persamaan korelasi silang pada Tabel 5. Persamaan ARIMA1,1,1 ini
kemudian
divalidasi untuk
melihat keakuratan modelnya.
Tabel 9
Hasil validasi
persamaan ARIMA1,1,1
untuk Sukamandi.
No Waktu Data Asli ARIMA
1,1,1 Galat
1 Jan-91
1.2719 2
Feb-91 1.2689
3 Mar-91
1.2003 1.2675
0.0671 4
Apr-91 1.0179
1.1650 0.1471
5 May-91 0.7188
0.9247 0.2059
6 Jun-91
0.5578 0.5668
0.0089 7
Jul-91 0.5912
0.4787 -0.1126 91
Jul-99 -0.8859 -1.1808 -0.2949
92 Aug-99 -0.8578 -0.9031 -0.0453
93 Sep-99 -1.1459 -0.8429 0.3030
94 Oct-99 -0.0329 -1.2949 -1.2620
95 Nov-99 2.1291
0.5451 -1.5840 96 Dec-99
0.5401 3.2303
2.6901 R
2
= 0.57 ; MAD = 0.4649 Validasi
antara persamaan
ARIMA1,1,1 dengan data observasi curah hujan Sukamandi cukup bagus dengan nilai
R
2
0.57 dan MAD 0.4649. nilai R
2
yang hanya sedikit melewati 0.5 yaitu 0.57
menunjukkan persamaan ARIMA1,1,1 ini tidak terlalu bagus dalam menjelaskan
peristiwa curah hujan yang terjadi di Sukamandi.
Gambar 18. Plot data asli anomali curah hujan Sukamandi dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 1991
– Desember 1999. Tabel
10 Hasil
validasi persamaan
ARIMA1,1,1 untuk Padang Panjang.
No Waktu
Data Asli ARIMA
1,1,1 Galat
1 Jan-91
-3.3356 2
Feb-91 -3.3406
3 Mar-91
-3.4538 -3.3430
0.1108 4
Apr-91 -3.7551
-3.5122 0.2429
5 May-91
-4.2493 -3.9091
0.3401 6
Jun-91 -4.5151
-4.5004 0.0147
7 Jul-91
-4.46 -4.6460
-0.186 43
Jul-99 1.1173
0.1540 0.154
44 Aug-99
1.1067 1.0934
1.0934 45
Sep-99 -0.4804
-1.1237 1.1237
46 Oct-99
0.9807 -2.4725
2.4725 47
Nov-99 4.8948
2.2015 2.2015
48 Dec-99
2.2651 -0.1882
0.1881 R
2
= 0.75 ; MAD = 0.6669
-8.0 -6.0
-4.0 -2.0
0.0 2.0
4.0 6.0
Jan -91
Ju n
-91 N
o v
-91 Ap
r- 92
Se p
-92 Fe
b -93
Ju l-
93 Dec
-93 Ma
y -94
Oct -94
Ma r-
95 Aug
-95 Jan
-96 Ju
n -96
N o
v -96
Ap r-
97 Se
p -97
Fe b
-98 Ju
l- 98
Dec -98
Ma y
-99 Oc
t- 99
Anomali CH Sukamandi ARIMA 1,1,1
Gambar 19. Plot data asli anomali curah hujan Padang Panjang dengan hasil prediksi ARIMA1,1,1 periode Januari 1991
– Desember 1999. Validasi antara data asli anomali curah
hujan kota Padang Panjang dengan model ARIMA1,1,1 lebih baik jika dibandingkan
dengan kota Sukamandi. Hal ini terlihat dengan nilai R
2
yang lebih besar yaitu 0.75 namun rata-rata galat yang diperoleh lebih
besar, yaitu
0.6669. Persamaan
ARIMA1,1,1 mampu
menjelaskan kejadian curah hujan di Padang Panjang
dengan baik. Hasil validasi model ARIMA1,1,1
untuk kota Sukamandi dan Padang Panjang tidak sebagus pada kejadian telekoneksi.
Perbedaan nilai R
2
dan MAD yang signifikan antara kejadian telekoneksi dan
kedua kota disebabkan oleh penggunaan data
untuk menurunkan
model ARIMA1,1,1. Untuk kejadian telekoneksi,
karena rentang data yang panjang, maka tidak perlu menggunakan persamaan apapun
untuk membuatnya. Pada kota Sukamandi dan Padang Panjang, data yang tersedia
pendek sehingga digunakan persamaan korelasi silang untuk menyediakan data yang
akan digunakan untuk membuat model ARIMA1,1,1.
Secara umum
persamaan ARIMA1,1,1 dapat menjelaskan kejadian
curah hujan yang telah terpengaruh oleh telekoneksi di kota Sukamandi dan Padang
Panjang. Hal ini sangat penting karena kedua kota tersebut merupakan kawasan
sentra produksi pangan, fluktuasi curah hujan pada daerah tersebut harus diawasi.
Model ARIMA1,1,1 ini membantu untuk memperkirakan curah hujan ketika kejadian
telekoneksi berlangsung sehingga dapat diambil
tindakan yang
tepat untuk
mengantisipasinya.
V. PENUTUP