I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Global Earth Observation System to System
GEOSS adalah simposium untuk memperkuat jaringan internasional di suatu
kawasan. Pada acara GEOSS keempat yang berlangsung di Bali mempunyai tujuan untuk
memperkuat kemampuan kawasan Asia- Pasifik untuk mengawasi variabilitas iklim.
Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari simposium tersebut adalah perlunya dilakukan
kajian secara seksama tentang fenomena iklim global terutama El-Niño dan IOD. Terutama
jika kejadian tersebut terjadi secara simultan.
Indonesia terletak di antara dua lautan yang luas yaitu Lautan Pasifik dan Lautan
Hindia. Pada kedua Lautan tersebut terdapat kejadian global yaitu, El-Niño di Lautan
Pasifik dan Indian Ocean Dipole IOD di Lautan Hindia. Di Indonesia peristiwa ENSO
menyebabkan kekeringan selama El-Niño dan curah hujan tinggi pada kejadian La-Niña
Dupe et.al.,2002. IOD terjadi secara bebas, tidak saling mengikat dengan El-Niño dan
osilasi selatan serta merupakan fenomena interaksi atmosfer-laut yang unik di Lautan
Hindia tropis Saji et.al.,1999.
Pemerintah Indonesia melalui Dewan Ketahanan
Pangan Nasional
DKPN berupaya
mempersiapkan daerah
yang merupakan sentra produksi pangan di
Indonesia untuk menghadapi dampak dari kejadian El-Niño dan IOD. Dampak dari
kejadian El-Niño dan IOD ini akan buruk jika terjadi pada kawasan yang merupakan daerah
sentra pangan yang terdiri dari Sumatra Utara, Lampung, Sumatra Selatan, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Daerah yang sangat sensitif karena kejadian El-Niño ekstrim adalah Sumatra Selatan,
Kalimantan Selatan, Jawa, Bali, dan NTB Kishore,2007. Kejadian El-Niño dan IOD
ini bukan hanya sekali terjadi di Indonesia. Dampak kejadian ini menyebabkan anomali
terhadap curah hujan, yaitu musim basah panjang ataupun musim kering panjang.
Osilasi ini termasuk osilasi zonal yaitu fenomena El-Niño yang diimbangi dengan
adanya IOD Hermawan et. al.,2011 Kedua kejadian ini mempunyai fase,yaitu fase
negatif dan fase positif. Apabila fase positif maupun negatif terjadi secara bersamaan
maka efeknya akan lebih kuat terhadap curah hujan di Indonesia. Beberapa contoh nyata
ketika terjadi musim kering panjang diikuti dengan musim basah panjang adalah tahun
1997 sampai tahun 1998. Pada periode tersebut di Indonesia mengalami musim
kering panjang hampir 10 bulan lamanya dan juga musim basah yang panjang. Pada
periode
tersebut diperkirakan
terjadi telekoneksi antara El-Niño dan IOD.
Interaksi yang terjadi dapat saling menguatkan maupun saling melemahkan.
Telekoneksi yang terjadi ketika tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 adalah ketika El-
Niño dan IOD saling menguatkan sehingga efeknya terhadap curah hujan juga signifikan.
1.2 Tujuan a. Mengkaji telekoneksi antara El-Niño dan
IOD serta pengaruhnya terhadap fluktuasi curah hujan di dua sentra produksi
pangan. b. Menentukan model antara curah hujan
dengan kejadian telekoneksi, serta waktu tunda.
c. Memodelkan data deret waktu Niño 3.4 dan IOD.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 El-Niño
El-Niño merupakan
anomali suhu
permukaan laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu
menghangatnya permukaan
laut hingga
mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata
– rata bulanan selama empat bulan berturut
– turut Bhalme,1991. Kondisi yang lazim terjadi adalah pusat konveksi yang
berada di bagian barat Samudera Pasifik. Namun, ketika terjadi kondisi El-Niño, pusat
konveksi yang seharusnya berada di bagian barat Samudera Pasifik bergeser ke wilayah
tengah dan timur Samudera Pasifik. Hal ini menyebabkan kekeringan di Indonesia karena
pusat konveksi yang seharusnya berada di bagaian barat Samudera Pasifik dekat dengan
Indonesia bergeser ke bagian tengah dan timur menjauhi Indonesia.
Gambar 1. Skema kejadian El-Niño sumber :
http:www.grida.noimagesseriesvg-africagraphics04-elninopheno.jpg
Fenomena ini tidak berlangsung terus menerus sepanjang tahun.Kejadian El-Niño
ini mempunyai periodisitas selama 3 – 7 tahun
Behera dan Yamagata, 2001. Dari periode osilasi tersebut, El-Niño paling sering terjadi
5 tahun sekali. El-Niño dibagi ke beberapa wilayah
kejadian yaitu Niño 1, Niño 2, Niño 3, Niño 3.4, Niño 4. Daerah yang fluktuasi suhu
permukaan lautnya sangat mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah daerah Niño
3.4. Sehingga dalam penelitian ini digunakan data anomali suhu permukaan laut di daerah
Niño 3.4.Wilayah Niño 3.4 terletak pada 5
o
LU – 5
o
LS dan 120
o
BB – 170
o
BB Trenberth, 1997.
Fluktuasi suhu permukaan laut pada wilayah Niño 3.4 ini terjadi sepanjang tahun.
Namun, pada tahun 1997 ini merupakan fluktuasi yang besar sehingga wilayah
Indonesia mengalami kekeringan panjang. Suhu permukaan laut di wilayah ini naik dan
tetap tinggi selama beberapa bulan sehingga dampaknya terhadap curah hujan di Indonesia
juga bertahan cukup lama. Tahapan yang terjadi pada peristiwa El
– Niño tahun 1997 terbagi
menjadi enam
tahap yaitu
pendahuluan Agustus 1996 – Oktober 1996,
dimulai November 1996 – Januari 1997,
berkembang Maret 1997 – Mei 1997,
transisi Juli 1997 – September 1997, dewasa
November 1997 – Januari 1998, melemah
Februari 1998 – April 1998 Wang and
Weisberg, 2000. Bulan Maret
– Mei tahun 1997, curah hujan di Indonesia masih normal, namun
ketika memasuki bulan Juni – Agustus,
semakin banyak wilayah yang mengalami defisit curah hujan yaitu meluas ke wilayah
barat kecuali di Sumatera Utara. Puncak kekeringan panjang pada tahun 1997 terjadi
pada
bulan September
– November mengalami defisit curah hujan sampai 400
– 500 mm. Pulau Sumatera merupakan pulau
yang tidak terlalu parah dalam kekeringan yang disebabkan oleh El-Niño ini.
Gambar 2. Pembagian wilayah El-Niño sumber :http:www.cpc.ncep.noaa.gov
Gambar 3. Sebaran pola curah hujan di Indonesia bulan September 1997 sumber :http:cics.umd.edu
2.2 Indian Ocean Dipole IOD