Pengembangan Model Telekoneksi antara Kejadian El-Niño dengan IOD dan Pengaruhnya Terhadap Fluktuasi Curah Hujan di Daerah Sentra Produksi Pangan (Studi Kasus : Sukamandi dan Padang Panjang).

(1)

PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI ANTARA KEJADIAN

EL-NIÑO DENGAN IOD DAN PENGARUHNYA TERHADAP FLUKTUASI

CURAH HUJAN DI DAERAH SENTRA PRODUKSI PANGAN

Studi Kasus : Sukamandi dan Padang Panjang

RIZKI KRISNANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ABSTRAK

RIZKI KRISNANTO. Pengembangan Model Telekoneksi antara Kejadian El-Niño dengan IOD dan Pengaruhnya Terhadap Fluktuasi Curah Hujan di Daerah Sentra Produksi Pangan (Studi Kasus : Sukamandi dan Padang Panjang). Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN dan EDDY HERMAWAN.

Simposium Asia Pasifik GEOSS (Global Earth Observation System to System) ke 4 merekomendasikan telekoneksi antara semua fenomena iklim global dan dampaknya terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia, terutama antara SST Nino 3.4 and IOD ketika kedua fenomena tersebut terjadi secara simultan, sangat penting untuk diteliti secara seksama. Berdasarkan rekomendasi tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengembangkan sebuah model yang dapat menjelaskan bagaimana telekoneksi antara El-Niño dan IOD mempengaruhi fluktuasi curah hujan di Indonesia. Penelitian ini mengambil contoh Sukamandi dan Padang Panjang, kedua daerah tersebut merupakan sentra produksi tanaman pangan di Indonesia. Poin pertama dalam penelitian ini adalah analisis jangak pendek. Metode yang digunakan adalah analisis spektral dan korelasi silang. Gagasannya adalah untuk memadukan anomali suhu permukaan laut Niño 3.4 dan IOD (Niño 3.4+IOD) untuk membentuk indeks baru yang mewakili telekoneksi kemudian memeriksa hubungannya dengan anomali curah hujan didua lokasi penelitian yang telah disebutkan di atas. Hasil dari korelasi silang adalah merupakan respon dari fluktuasi curah hujan di kedua kota tersebut terhadap kejadian telekoneksi. Respon tersebut berbeda untuk setiap kota terutama waktu tunda yang tercipta ketika telekoneksi akan berpengaruh terhadap curah hujan. Poin kedua dalam penelitian ini adalah analisis jangka panjang. Analisis ini bertujuan untuk membuat model dari Niño 3.4+IOD, model ini nantinya akan digunakan sebagai indikasi awal dari kejadian telekoneksi akan akan berdampak buruk bagi Indonesia. Metode yang digunakan untuk analisis ini adalah ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil dari analisis ini adalah persamaan model ARIMA(p,d,q) yang dapat memprediksi beberapa bulan berikutnya, sehingga tindakan yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak buruk dari musim kering panjang dan musim basah panjang dapat dilakukan.

Kata kunci : Telekoneksi, Niño3.4+IOD, Fluktuasi Curah Hujan di Sukamandi dan Padang Panjang, Korelasi Silang, Persamaan ARIMA(p,d,q).


(3)

ABSTRACT

RIZKI KRISNANTO. Development of Teleconnection Model between El-Niño with IOD event and Its Effect to Food Production Centre (Case Study : Sukamandi and Padang Panjang). Supervised by SONNI SETIAWAN and EDDY HERMAWAN.

Geoss4th (Global Earth Observation System to System) Asia-Pacific Symposium, March 2010 in Bali, suggested that teleconnection between all the global climate data and their impacts to the rainfall variability over Indonesia, especially between SST Nino 3.4 and IOD when both phenomena come simultaneously in the same time is very important to be investigated comprehensively. Based on that suggestion, this paper objective is to develop a model that can explain how teleconnection between El-Niño and IOD influence rainfall fluctuation in Indonesia. Location that used in this paper are Sukamandi and Padang Panjang, those are food centre region in Indonesia. First point of this paper is short term analysis. Methods to accomplish the goal of this analysis are spectral analysis and cross correlation. The idea is to combine Anomaly SST Niño 3.4 with IOD (Niño 3.4+IOD) to form a new index that present teleconnection and then check the cross correlation between Niño 3.4+IOD and rainfall anomaly on two cities mentioned above. The result from cross correlation between those data are the response about teleconnection from those cities are different and also there is a lag time before teleconnection take effect to those cities. After the short term analysis is complete, which is analyze response of two cities to teleconnection, it was continued by long term analysis. The target of this analysis is to develop a model from Niño3.4+IOD, the model is used as a precursor when will the teleconnection will have a very bad effect to our climate. This analysis is done by using ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) method. The result of this analysis is an ARIMA(p,d,q) equation that can predict until few next month, so preventive action can be taken to minimalise the impact of long wet season or long dry season

Key words : Teleconnection, Niño3.4+IOD, Rainfall Fluctuation in Sukamandi and Padang Panjang, Cross Correlation, ARIMA(p,d,q) Equation.


(4)

PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI ANTARA KEJADIAN

EL-NIÑO DENGAN IOD DAN PENGARUHNYA TERHADAP FLUKTUASI

CURAH HUJAN DI DAERAH SENTRA PRODUKSI PANGAN

Studi Kasus : Sukamandi dan Padang Panjang

RIZKI KRISNANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan segala nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Telekoneksi antara El-Niño dengann IOD dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan di Sentra Produksi Pangan (Studi kasus : Sukamandi dan Padang Panjang)“ dilakukan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bandung, Jawa

Barat.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sonni Setiawan, S.Si, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberi masukan dan koreksi terhadap penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, membagi ilmu pengetahuan, dan sangat sabar dalam membimbing penulis. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Sudirman dan Ibu Mulyaningsih sebagai orangtua yang telah mencurahkan segala daya, upaya, kasih sayang yang besar, dan kepercayaan terhadap penulis.

2. Dimas Prayogi sebagai kakak yang menjadi role model dan memberi masukan serta pengalaman kepada penulis. Nasya’u Hasna sebagai adik yang selalu ceria sehingga penulis tidak kehilangan semangat.

3. Tia Erfiyanti yang selalu mendampingi dalam suka duka serta memberikan hati, pikiran, tenaga, dan cinta kepada penulis.

4. Luthfi dan Anang yang telah meminjamkan rumah kosnya dan menemani saat berakivitas di laboratorium untuk menggunakan bandwidth kampus.

5. Dipa, Uji, Egi, Ridwan, Daniel, Sarah, Abie, Tara, Uti, Rika, Yuli, dan teman – teman GFM43 lainnya atas pertemanan dan kekeluargaan yang penulis dapatkan selama perkuliahan.

6. Pak Terson, Pak Martono, Bu Ina, atas segala bantuannya ketika penulis berada di LAPAN. 7. Winda, Riri, Nanaz, dan Robbi sebagai teman seperjuangan di LAPAN yang selalu bersikap

mendukung dan juga distribusi data antara semuanya.

8. Penghuni kos di Bandung yang telah mengalihkan fokus penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Rista dan Mara yang telah memberi pengetahuan baru terhadap penulis.

9. Pengguna forum Bluefame Hitam_Pekat atas bantuannya dalam mengunduh jurnal-jurnal terkait penelitian ini dan forum Bluefame atas konten dan penghuninya yang sangat beragam sehingga penulis merasa nyaman di sana.

10. Segenap civitas GEOMET FMIPA yaitu staff dan pengajar atas bimbingan dan kuliahnya selama ini.

11. Teman – teman di laboratorium klimatologi dan meteorologi yang telah mengizinkan penulis menggunakannya sebagai tempat bermalam alternatif.

Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi selama pengerjaan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih.Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi masyarakat luas.

Bogor, Maret 2012


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan buah hati kedua dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Bapak Sudirman dan Ibu Mulyaningsih. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juni tahun 1988. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Cut Nyak Dhien pada tahun 1992 hingga tahun 1994. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SDN Cimone 3 1994-1996, kemudian penulis pindah ke SDN Karawaci Baru 5 pada tahun 1996-1998. Pada tahun 1998-2000 penulis pidah ke SDN Sukasari 4 karena mengikuti program kelas unggulan. Pada tahun 2000-2003, penulis menjalani pendidikan formal lanjutan di SMP Negeri 9 Perum.Setelah menjalani pendidikan lanjutan, penulis tetap melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 2 Tangerang dari tahun 2003 hingga tahun 2006. Setelah lulus SMA pada tahun 2006, penulis dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Setelah menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yang merupakan program pendidikan tahun pertama di IPB, penulis diterima pada program studi Meteorologi Terapan. Program studi ini dinaungi oleh departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Penulis aktif di himpunan keprofesian Himagreto sebagai anggota pada Departemen Sosial Humas (2007-2008) dan sebagai Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (2008-2009). Selain itu penulis juga mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia sebagai kepala Divisi Komunikasi dan Informasi (2008-2009).

Selain itu, penulis pernah menjalani kegiatan magang di stasiun Meteorologi dan Klimatologi Klas I Cengkareng selama satu bulan. Penulis juga pernah menjadi manajer projek pembuatan website untuk kelompok kerja mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

...

v

DAFTAR GAMBAR

...

v

DAFTAR LAMPIRAN

... vii

BAB I PENDAHULUAN

...

1

1.1 Latar Belakang ...

1

1.2 Tujuan ...

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

...

1

2.1 El - Niño ...

1

2.2

Indian Ocean Dipole

(IOD) ...

3

2.3Telekoneksi ...

4

2.4 Curah Hujan ...

5

2.4.1 Sukamandi ...

5

2.4.2 Padang Panjang ...

6

2.5 Analisis Spektral ...

6

2.6 Metode Box-Jenkins ...

7

2.6.1 Stasioneritas ...

7

2.6.2 Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial ...

8

2.6.3 Model

Autoregressive

(AR) ...

9

2.6.4 Model

Moving Average

(MA) ...

9

2.6.5 Model

Autoregressvie-Moving Average

(ARMA) ...

9

2.6.6 Model

Autoregressive-Integreated-Moving Average

(ARIMA) .

9

BAB III METODE PENELITIAN

...

9

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...

9

3.2 Data dan Alat Penelitian ...

9

3.2.1 Data Penelitian ...

9

3.2.2 Alat Penelitian ... 10

3.3 Metode Penelitian ... 10

3.3.1 Analisis Spektral ... 10

3.3.2 Metode Korelasi Silang ... 10

3.3.3 Metode Box-Jenkins ... 10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

... 11

4.1 Analisis Spektral Curah Hujan dan Niño 3.4 dengan IOD ... 11

4.2 Analisis Korelasi Silang ... 13


(8)

4.3.1 Analisis Jangka Panjang ... 15

4.3.2 Analisis Jangka Pendek ... 17

BAB V PENUTUP

... 19

5.1 Kesimpulan ... 19

5.2 Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA

... 20


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Kejadian IOD Positif dan Negatif ... 4

Tabel 2 Profil Kemiringan Tanah Padang Panjang ... 6

Tabel 3 Korelasi Silang Gabungan Antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Sukamandi Fase Positif ... 13

Tabel 4 Korelasi Silang Gabungan Antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Padang Panjang Fase Positif ... 13

Tabel 5 Korelasi Silang Gabungan Antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Sukamandi Fase Negatif ... 14

Tabel 6 Korelasi Silang Gabungan Antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Padang Panjang Fase Negatif ... 14

Tabel 7 Persamaan Regresi Non Liner Untuk Setiap Daerah... 15

Tabel 8 Hasil Validasi Persamaan ARIMA(1,1,1) Untuk Niño 3.4 dan IOD 17

Tabel 9 Hasil Validasi Persamaan ARIMA(1,1,1) Untuk Sukamandi ... 18

Tabel 10 Hasil Validasi Persamaan ARIMA(1,1,1) Untuk Padang Panjang... 18

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Skema Kejadian El

Niño ... 2

Gambar 2 Pembagian Wilayah El

Niño ... 2

Gambar 3 Sebaran Pola Curah Hujan di Indonesia Bulan September 1997 .... 3

Gambar 4 Ilustrasi Kejadian IOD di Samudera Hindia ... 3

Gambar 5 Sebaran Pengaruh IOD dan El

Niño Terhadap

Anomali Temperatur dan Kelembaban ... 4

Gambar 6 Pola Curah Hujan di Indonesia ... 5

Gambar 7 Skema Pendekatan Box-Jenkins ... 11

Gambar 8

Power Spectral Density

Sukamandi dan Padang Panjang

Periode 1 Januari 1996

31 Desember 1999 ... 11

Gambar 9 Deret Waktu Telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD ... 12

Gambar 10 Perbandingan Deret Waktu antara Kejadian Telekoneksi

dengan Anomali Curah Hujan ... 12

Gambar 11 Korelasi Silang Gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Sukamandi Fase Positif ... 13

Gambar 12 Korelasi Silang Gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Padang Panjang Fase Positif ... 14

Gambar 13 Korelasi Silang Gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan


(10)

Gambar 14 Korelasi Silang Gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan

Anomali Curah Hujan Padang Panjang Fase Negatif ... 14

Gambar 15

Power Spectral Density

Kejadian Telekoneksi Niño 3.4 dan IOD

yang Ditunjukkan oleh Garis Berwarna Merah ... 16

Gambar 16 Deret Waktu, Fungsi Autokorelasi, dan Autokorelasi Parsial dari

Data Anomali SST Niño 3.4 dan IOD Periode Januari

1958

Desember 1999 (a) sebelum

differencing

(b) sesudah

differencing

... 16

Gambar 17 Plot Data Asli Niño 3.4+IOD dengan Hasil Prediksi

ARIMA(1,1,1) Periode Januari 2000

November 2009 ... 17

Gambar 18 Plot Data Asli Anomali Curah Hujan Sukamandi dengan

Hasil Prediksi ARIMA(1,1,1) Periode Januari 1991

Desember 1999 ... 18

Gambar 19 Plot Data Asli Anomali Curah Hujan Padang Panjang dengan

Hasil Prediksi ARIMA(1,1,1) Periode Januari 1991


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Korelasi Silang Fase Positif pada Kota Solok dan Pacitan ... 22

Lampiran 2 Korelasi Silang Fase Negatif pada Kota Solok dan Pacitan ... 23

Lampiran 3 Tipe Curah Hujan Berbagai Kota di Sumatera Barat ... 24

Lampiran 4

Power Spectral Density

Berbagai Kota di Sumatera Barat ... 25

Lampiran 5 Bahasa Pemrograman

Power Spectral Density

... 28

Lampiran 6 Deskripsi statistik data Niño3.4+IOD ... 29


(12)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Global Earth Observation System to System (GEOSS) adalah simposium untuk memperkuat jaringan internasional di suatu kawasan. Pada acara GEOSS keempat yang berlangsung di Bali mempunyai tujuan untuk memperkuat kemampuan kawasan Asia-Pasifik untuk mengawasi variabilitas iklim. Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari simposium tersebut adalah perlunya dilakukan kajian secara seksama tentang fenomena iklim global terutama El-Niño dan IOD. Terutama jika kejadian tersebut terjadi secara simultan.

Indonesia terletak di antara dua lautan yang luas yaitu Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Pada kedua Lautan tersebut terdapat kejadian global yaitu, El-Niño di Lautan Pasifik dan Indian Ocean Dipole (IOD) di Lautan Hindia. Di Indonesia peristiwa ENSO menyebabkan kekeringan selama El-Niño dan curah hujan tinggi pada kejadian La-Niña (Dupe et.al.,2002). IOD terjadi secara bebas, tidak saling mengikat dengan El-Niño dan osilasi selatan serta merupakan fenomena interaksi atmosfer-laut yang unik di Lautan Hindia tropis (Saji et.al.,1999).

Pemerintah Indonesia melalui Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKPN) berupaya mempersiapkan daerah yang merupakan sentra produksi pangan di Indonesia untuk menghadapi dampak dari kejadian El-Niño dan IOD. Dampak dari kejadian El-Niño dan IOD ini akan buruk jika terjadi pada kawasan yang merupakan daerah sentra pangan yang terdiri dari Sumatra Utara, Lampung, Sumatra Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Daerah yang sangat sensitif karena kejadian El-Niño ekstrim adalah Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa, Bali, dan NTB (Kishore,2007). Kejadian El-Niño dan IOD ini bukan hanya sekali terjadi di Indonesia. Dampak kejadian ini menyebabkan anomali terhadap curah hujan, yaitu musim basah panjang ataupun musim kering panjang.

Osilasi ini termasuk osilasi zonal yaitu fenomena El-Niño yang diimbangi dengan adanya IOD (Hermawan et. al.,2011) Kedua kejadian ini mempunyai fase,yaitu fase negatif dan fase positif. Apabila fase positif

maupun negatif terjadi secara bersamaan maka efeknya akan lebih kuat terhadap curah hujan di Indonesia. Beberapa contoh nyata ketika terjadi musim kering panjang diikuti dengan musim basah panjang adalah tahun 1997 sampai tahun 1998. Pada periode tersebut di Indonesia mengalami musim kering panjang hampir 10 bulan lamanya dan juga musim basah yang panjang. Pada periode tersebut diperkirakan terjadi telekoneksi antara El-Niño dan IOD.

Interaksi yang terjadi dapat saling menguatkan maupun saling melemahkan. Telekoneksi yang terjadi ketika tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 adalah ketika El-Niño dan IOD saling menguatkan sehingga efeknya terhadap curah hujan juga signifikan.

1.2 Tujuan

a. Mengkaji telekoneksi antara El-Niño dan IOD serta pengaruhnya terhadap fluktuasi curah hujan di dua sentra produksi pangan.

b. Menentukan model antara curah hujan dengan kejadian telekoneksi, serta waktu tunda.

c. Memodelkan data deret waktu Niño 3.4 dan IOD.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El-Niño

El-Niño merupakan anomali suhu permukaan laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu menghangatnya permukaan laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata – rata bulanan selama empat bulan berturut – turut (Bhalme,1991). Kondisi yang lazim terjadi adalah pusat konveksi yang berada di bagian barat Samudera Pasifik. Namun, ketika terjadi kondisi El-Niño, pusat konveksi yang seharusnya berada di bagian barat Samudera Pasifik bergeser ke wilayah tengah dan timur Samudera Pasifik. Hal ini menyebabkan kekeringan di Indonesia karena pusat konveksi yang seharusnya berada di bagaian barat Samudera Pasifik dekat dengan Indonesia bergeser ke bagian tengah dan timur menjauhi Indonesia.


(13)

Gambar 1. Skema kejadian El-Niño

(sumber :http://www.grida.no/images/series/vg-africa/graphics/04-elninopheno.jpg) Fenomena ini tidak berlangsung terus

menerus sepanjang tahun.Kejadian El-Niño ini mempunyai periodisitas selama 3 – 7 tahun (Behera dan Yamagata, 2001). Dari periode osilasi tersebut, El-Niño paling sering terjadi 5 tahun sekali.

El-Niño dibagi ke beberapa wilayah kejadian yaitu Niño 1, Niño 2, Niño 3, Niño 3.4, Niño 4. Daerah yang fluktuasi suhu permukaan lautnya sangat mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah daerah Niño 3.4. Sehingga dalam penelitian ini digunakan data anomali suhu permukaan laut di daerah Niño 3.4.Wilayah Niño 3.4 terletak pada 5oLU – 5oLS dan 120oBB – 170oBB (Trenberth, 1997).

Fluktuasi suhu permukaan laut pada wilayah Niño 3.4 ini terjadi sepanjang tahun. Namun, pada tahun 1997 ini merupakan fluktuasi yang besar sehingga wilayah Indonesia mengalami kekeringan panjang. Suhu permukaan laut di wilayah ini naik dan tetap tinggi selama beberapa bulan sehingga

dampaknya terhadap curah hujan di Indonesia juga bertahan cukup lama. Tahapan yang terjadi pada peristiwa El – Niño tahun 1997 terbagi menjadi enam tahap yaitu pendahuluan (Agustus 1996 – Oktober 1996), dimulai (November 1996 – Januari 1997), berkembang (Maret 1997 – Mei 1997), transisi (Juli 1997 – September 1997), dewasa (November 1997 – Januari 1998), melemah (Februari 1998 – April 1998) (Wang and Weisberg, 2000).

Bulan Maret – Mei tahun 1997, curah hujan di Indonesia masih normal, namun ketika memasuki bulan Juni – Agustus, semakin banyak wilayah yang mengalami defisit curah hujan yaitu meluas ke wilayah barat kecuali di Sumatera Utara. Puncak kekeringan panjang pada tahun 1997 terjadi pada bulan September – November mengalami defisit curah hujan sampai 400 – 500 mm. Pulau Sumatera merupakan pulau yang tidak terlalu parah dalam kekeringan yang disebabkan oleh El-Niño ini.

Gambar 2. Pembagian wilayah El-Niño (sumber :http://www.cpc.ncep.noaa.gov)


(14)

Gambar 3. Sebaran pola curah hujan di Indonesia bulan September 1997 (sumber :http://cics.umd.edu/)

2.2 Indian Ocean Dipole (IOD)

Fenomena global yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan laut juga terjadi di Samudera Hindia yang terletak di antara benua Afrika dengan Indonesia. Fenomena itu disebut dengan Indian Ocean Dipole dan melibatkan variasi yang cukup besar dalam gradien suhu permukaan laut, sirkulasi walker di ekuator, dan anomali dalam curah hujan di wilayah tropis (Saji et. al., 2005). Fenomena ini mirip dengan fenomena El – Niño, oleh karena itu dampak dari fenomena dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh dari El – Niño dalam kaitannya dengan curah hujan.

Lokasi dimana terjadinya fenomena IOD ditunjukkan oleh Gambar 4.IOD ini terjadi di

samudera Hindia dan pengamatannya terletak di dua kutub yaitu bagian barat Pulau Sumatera (90oBT – 110oBT dan 10oLS – ekuator) dan bagian timur Benua Afrika (50oBT – 70oBT dan 10oLS – 10o) (Saji et. al., 1999). Fenomena ini terjadi menyangkut keadaan suhu permukaan laut di dua tempat, oleh karena itu disebut dipole. Fase positif IOD terjadi ketika suhu permukaan laut di pantai timur Afrika menghangat dan suhu permukaan laut di pantai barat Sumatera mendingin sehingga pusat tekanan rendah berada di pantai timur Afrika dan awan yang berpotensi hujan menjauh dari Indonesia sehingga curah hujan Indonesia mengalami penurunan.

Gambar 4.Ilustrasi kejadian IOD di Samudera Hindia. (sumber:http://www.jamstec.go.jp)


(15)

Fase negatif IOD terjadi ketika suhu permukaan laut di pantai barat Sumatera menghangat dan suhu permukaan laut di pantai timur Afrika mendingin sehingga pusat tekanan rendah terbentuk di sekitar pulau Sumatera sehingga awan yang berpotensi hujan bergerak menuju Indonesia yang menyebabkan kenaikan curah hujan di Indonesia.

Tabel 1. Kejadian IOD positif dan negatif

Sumber : Saji et. al., 2005

Pada Tabel 1 disajikan data kejadian IOD sejak tahun 1958 sampai tahun 1998. Hal ini membuktikan bahwa ketika peristiwa El – Niño pada tahun 1997 diikuti pula dengan kejadian IOD poisitf. Kedua kejadian tersebut berdampak sama pada curah hujan di Indonesia yaitu menurunkan curah hujan di Indonesia sehingga pengaruh dari El – Niño diperkuat oleh IOD. Pada tahun 1998, terjadi kejadian La – Niña yang menaikkan curah hujan di Indonesia dan pada saat bersamaan terjadi pula kejadian IOD negatif yang berdampak sama pada curah hujan yaitu

menaikkan curah hujan di Indonesia. Hal ini menyebabkan musim basah yang panjang.

Kejadian El – Niño dan IOD yang berada di dua samudera yang berbeda dapat menyebabkan fluktuasi pada curah hujan di Indonesia. Hal ini akan diperkuat ketika kedua fenomena tersebut terjadi secara bersamaan dan mempunyai efek yang sama.

2.3 Telekoneksi

Kata telekoneksi dalam ilmu atmosfer merujuk kepada anomali iklim yang berhubungan satu dengan yang lain pada jarak yang terpisah ribuan kilometer. Pertukaran antar belahan bumi utara dan belahan bumi selatan dalam hal massa, bahang, momentum sudut, dan uap air merupakan faktor penting untuk diamati (Wang and Zhao, 1987). Contoh yang paling baik untuk ilustrasinya adalah perbedaan tekanan muka laut di Tahiti dan Darwin yang dikenal sebagai osilasi selatan.

Penelitian Konrad (1997) menyatakan bahwa telekoneksi sering diamati pada kejadian iklim yang terpisah pada jarak ribuan kilometer. Hal ini konsisten dengan kejadian El – Niño dan IOD yang mana kejadian tersebut berlangsung di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. El – Niño telah dikenal dalam menyebabkan variabilitas iklim (Philander, 1990). Pengaruhnya dapat dirasakan di berbagai negara di wilayah tropis maupun subtropis, terutama negara - negara yang berada di sekitar Samudera Pasifik tempat terjadinya El – Niño. IOD yang terjadi di Samudera Hindia juga mempengaruhi variabilitas iklim pada tempat – tempat di sekitarnya, contohnya pada Benua Afrika dan Indonesia yang fluktuasi curah hujannya dapat dimodulasi oleh kejadian IOD, baik itu fase negatif maupun fase positif (Webster et. al., 1999).

Gambar 5. Sebaran pengaruh IOD dan El – Niño terhadap anomali temperatur dan kelembaban (sumber : http://www.jamstec.go.jp)

Positive IOD years Negative IOD years

1961

1958

1963

1960

1967

1964

1972

1971

1977

1974

1982

1975

1983

1989

1994

1992

1997

1993

1996

1998


(16)

El – Niño dan IOD merupakan fenomena yang terjadi di lautan, namun, keduanya mempengaruhi pola aliran atmosfer global lewat anomali suhu permukaan laut yang mana kaitannya erat dengan atmosfer. Pengaruh dari kedua samudera ini, yangmengarah pada batas bawah atmosfer, menjalar dengan bentuk gelombang atmosfer secara vertikal maupun horizontal sehingga pengaruhnya mencapai tempat yang jauh dari asal kejadiannya.Mekanisme unik inilah yang disebut dengan telekoneksi dan hal itu menyediakan informasi penting untuk orang – orang yang hidup di dunia.

2.4 Curah Hujan

Hujan adalah curahan yang terdiri dari tetes air yang diameternya lebih besar dari 0,5 mm dan kecepatan jatuhnya melebihi 3 meter tiap detik ke permukaan tanah selama jangka waktu tertentu (Prawirodiryo, 1996). Sebagian besar hujan yang terjadi dihasilkan oleh udara yang naik dan mengalami penurunan suhu atau kondensasi. Udara yang naik ini setelah melewati ketinggian tertentu akan mengalami kondensasi dan menjadi awan. Proses yang terjadi di dalam awan ini adalah tumbukan dan penggabungan antar butir – butir air membuat massa dan volume awan bertambah. Pertambahan massa dan volume ini menyebabkan gaya berat pada satu waktu akan melebihi gaya angkat ke atas sehingga butir – butir air akan turun sebagai hujan.

Berdasarkan genetiknya, suatu presipitasi dapat terjadi apabila didukung oleh tiga faktor utama yaitu udara yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain – lain), dan suatu sarana untuk menaikkan

udara lembab berkondensasi. Proses naiknya udara lembab ini dibagi menjadi tiga cara yaitu konvektif, orografik, dan siklonik.

Hujan merupakan gejala cuaca yang tidak bebas karena tergantung dari berbagai macam faktor.Curah hujan dihitung dalam satuan milimeter (mm), merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Indonesia ini memiliki berbagai macam tipe curah hujan jika dihitung rata – ratanya.

 Tipe curah hujan monsun, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokkan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau).

 Tipe curah hujan ekuatorial, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk kriteria musim hujan. Musim hujan biasanya terjadi sekitar bukan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.

 Tipe curah hujan lokal, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola curah hujan monsun. Cirinya adalah pola hujan unimodial dan bentuknya berlawanan dengan monsun.

Gambar 6. Pola curah hujan di Indonesia (sumber : Bayong dalam Kadarsah, 1999)


(17)

2.4.1 Sukamandi

Desa Sukamandi terletak di 6o 42’

28” LS -107o 37’ 27”, termasuk ke Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayahnya 3.923,39 Ha yang berada pada ketinggian 600 – 1000 mdpl. Topografi dari desa ini adalah pegunungan sehingga suhu dari wilayah ini cukup sejuk. Wilayah ini merupakan salah satu dari 11 sentra produksi pangan yang berarti wilayah ini merupakan wilayah yang banyak ditanami tanaman padi. Sebagian besar petani padi di daerah ini bergantung pada hujan karena masih menggunakan sawah tadah hujan. Oleh karena itu, kekeringan akan sangat berdampak buruk bagi para petani disana dan dapat mempengaruhi produksi tanaman pangan.

Karena Desa Sukamandi ini termasuk di Pulau Jawa, maka pola curah hujan yang terjadi termasuk pola curah hujan monsun. Pengaruh monsun sangat kuat di daerah ini, maka peru diamati apakah pengaruh dari telekoneksi ini akan menyebabkan musim hujan dan musim kemarau yang berkepanjangan. Normalnya, Desa Sukamandi ini mengalami musim hujan pada bulan DJF (Desember, Januari, Februari) dan mengalami musim kemarau pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus). Namun, ketika pengaruh monsun ini terganggu dengan adanya telekoneksi antara El – Niño dan IOD, maka musim kemarau dapat berlangsung lebih lama hingga bulan November hingga Desember. Pada musim hujan, telekoneksi akan mengganggu pengaruh monsun sehingga menyebabkan musim hujan berlangsung lebih lama sampai bulan Maret hingga April.

2.4.2 Padang Panjang

Padang Panjang merupakan kota di Sumatera Barat yang terletak pada 0o27’

00” LS dan 100o25’ 00”

. Sebagian besar wilayahnya juga merupakan pegunungan sehingga kota Padang Panjang ini terletak pada ketinggian 650 – 850 mdpl. Suhu udara di kota ini juga sejuk dengan kisaran suhu 22oC – 26oC. Beberapa gunung juga terletak di kota ini. Curah hujan di kota ini juga terbilang cukup tinggi yaitu 3295 mm/tahun. Dengan curah hujan yang cukup tinggi ini Padang Panjang juga merupakan wilayah yang subur dan banyak ditanami tanaman

pangan sehingga juga merupakan sentra produksi pangan.

Tabel 2. Profil kemiringan tanah Padang Panjang

Sumber :www.padangpanjagkota.go.id Menurut letak geografisnya, kota Padang Panjang ini terletak dekat dengan ekuator, namun pengaruh monsun dalam fluktuasi curah di kota ini sangat kuat. Seperti Sukamandi yang mempunyai perbedaan yang jelas antara musim kering dan musim basah, kota ini juga mempunyai siklus 12 bulanan. DJF merupakan musim basah dan JJA musim kering. Oleh karena itu, kota ini juga rentan terhadap gangguan dari telekoneksi.

2.5 Analisis Spektral

Analisis spektral adalah metode untuk memperkirakan fungsi densitas spektral dari sebuah deret waktu (Chatfield, 1989). A. Schuster, seorang peneliti pada dasarnya

fokus untuk mencari “periodisitas tersembunyi” dalam sebuah data, tetapi

seperti yang kita ketahui, analisis spektral utamanya adalah untuk memperkirakan spektrum dari seluruh jangkauan frekuensi. Implementasi dari analisis spektral ini sangat luas yaitu dalam bidang ilmu teknik elektro, fisika, meteorologi, dan ilmu kelautan.

Ilmu fisika mempergunakan analisis spektral untuk memperkirakan gelombang, seperti gelombang elektromagnetik, getaran acak, atau gelombang akustik. Spektral densitas dari gelombang bila dikalikan dengan faktor yang tepat maka akan memberikan daya yang dibawaoleh gelombang yang dikenal dengan Power Spectral Density (PSD). Dengan menggunakan PSD inilah kita dapat memperkirakan periodisitas dari suatu deret waktu. Dan karena analisis spektral modern didasarkan pada fenomena bahwa data deret waktu merupakan hasil proses stokastikmaka setiap data deret waktu dapat disajikan dalam deret Fourier. Jika Xt, dimana t = 1,2,3,...,n, adalah data deret waktu, maka Xt dapat ditulis dalam formulasi,

� = 0+ cos

2

+ sin2 +

2

cos

2−1

=1

Kemiringan

Luas (Ha) Persentase (%)

Datar, kemiringan 0 - 8%

45

1,96

Bergelombang lereng 8 - 15%

419

18,22

Curam, lereng 15 - 40%

766

33,3

Terjal, lereng > 40%

1070

46,52


(18)

t = 1,2,...,n (2.1) dengan

0=� = 1

=1 , 2

=1 =1−1 �

=2 1� cos2 , =2 1� cos2

= 1,2,3,…, 2−1

Hal yang harus dilakukan pada setiap analisis data deret waktu dan analisis statistika lainnya adalah menstasionerkan data yang akan dianalisis. Jika data yang akan dianalisis belum stasioner maka harus distasionerkan melalui proses diferensi. Persamaan untuk membangun model spektral ketika data yang dimiliki telah stasioner, yaitu x1, x2,...,xn, adalah

� = cos� �

0

+ sin� �

0

dengan u(ωt) dan v(ωt) merupakan fungsi kontinu yang tidak berkorelasi, yang didefinisikan pada selang 0≤ � ≤ .

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat

diturunkan fungsi F(ωt) yang berkorelasi dengan u(ωt) dan v(ωt) sehingga jika r(k)

fungsi autokorelasi, maka

= cos� �

0

yang merupakan sajian spektral dalam fungsi

autokorelasi. Pada persamaan ini F(ωk) = 0, jika (ωk) < 0, dan F(π) = σx2, yang merupakan varians data deret waktu. Sehingga jika didefinisikan fungsi

� = �

�2

maka diperoleh fungsi distribusi kumulatif spektral dan fungsi spektral kuasa

� � = �

jika G(ωt) dan g(ωt) ada, maka persamaan rk dapat dinyatakan oleh

= cos� � � �

0

sehingga

� � =1 − �

=−∞

=1 cos�

=−∞

karena rk fungsi genap, maka persamaan di atas setara dengan

� � =1 0 + 2 cos�

=−1

yang merupakan sajian fungsi Fourier dalam

fungsi autokorelasi. Karena g(ωk) = 0, jika ωk < 0 dan g(π) = σx2

, maka fungsi spektrum kuasa yang setara dengan fungsi distribusi kumulatifnya, disajikan pada persamaan

ℎ � =� �

�2 =

1

1 + 2 cos�

=1

yang juga merupakan fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi.

Melihat pernyataan spektral tersebut, dapat disimpulkan bahwa data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret Fourier yang merupakan fungsi harmonis seperti pada persamaan (2.1), sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodisitas dapat ditentukan. Tetapi, menentukannya tidak dapat dalam kawasan waktu, melainkan harus dalam kawasan frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi dalam autokorelasi dan frekuensi. Jika dilakukan penaksiran pada fungsi spektrum kuasa, dan nilai – nilai penaksirannya dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Telaahan periodisitas data dapat dilakukan terhadap frekuensi yang berpasangan dengan titik – titik puncak dari garis spektrum.

2.6 Metode Box-Jenkins

Dalam klimatologi dibedakan dua kelompok metode peramalan, yaitu metode kausal dan time series. Metode kausal mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat antara masukan dan keluaran sistem, sedangkan metode Time Series (Box-Jenkins) memperlakukan sistem seperti suatu kotak hitam tanpa berusaha mengetahui sistem tersebut. Sistem dianggap sebagai sutau pembangkit proses karena tujuan utama dari metode ini adalah ingin menduga APA yang akan datang, bukan mengetahui MENGAPA hal itu terjadi (Bey, 1988).

Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) telah dipelajari secara mendalam oleh George Box dan Gwilym Jenkins (1976), dan nama mereka sering disinonimkan dengan proses ARIMA yang diterapkan untuk analisis deret berkala, peramalan dan pengendalian. ARIMA adalah suatu model gabungan yang meliputi model Autoregressive (AR) (Yule, 1926) dan Moving Average (MA) (Slutzky, 1937) dalam Makridakis et. al., 1988.

Peramalan dengan metode Box-Jenkins pada umumnya akan memberikan hasil yang lebih baik dari metode-metode peramalan yang lain, sebab metode ini tidak mengabaikan kaidah-kaidah pada data deret waktu, tetapi proses perhitungannya cukup kompleks jika dibandingkan dengan metode peramalan yang lainnya. Peramalan dengan metode Box-Jenkins didasarkan pada model


(19)

regresi deret waktu stasioner tanpa komponen musiman, sehingga jika yang dianalisis data bulanan, maka perlu ditelaah keberadaan komponen musimannya, sebab jika ada, komponen ini harus dieliminasi melalui sebuah proses diferensi.

2.6.1 Stasioneritas

Stasioneritas data diartikan sebagai data yang memiliki konsistensi dalam hal rata – rata dan varian sepankang waktu. Jenis data yang tidak stasioner bisa merupakan data trend atau acak, karena selalu berubah varian dan rata – ratanya sepanjang waktu.

Kestasioneran data merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis regresi deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner,maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi.

Berdasarkan deskripsinya, bentuk stasioner ada dua yaitu stasioner kuat dan stasioner lemah. Deskripsi umum kestasioneran adalah sebagai berikut, data deret Z1, Z2,... disebut stasioner kuat jika distribusi gabungan Zt1, Zt2,..., Ztn sama dengan distribusi gabungan Zt1+k, Zt2+k,..., Ztn+k untuk setiap nilai t1, t2,..., tn, dan k. Sedangkan data tersebut stasioner lemah jika rata – rata data hitung konstan, E(Zt) = µ, dan autokovariansnya merupakan

fungsi dari lag ρk = f(k).

Sedangkan ketidakstasioneran diklasifikasikan menjadi tiga yaitu,

1. Tidak stasioner dalam rata – rata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu) dan data tersebar.

2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet).

3. Tidak stasioner dalam rata – rata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan membangun pola terompet.

Untuk menelaah ketidak-stasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilakukan pada peta data

atas waktu, karena biasanya “mudah”,

dan jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya ditelaah pada gambar ACF dengan PACF. Telaahan pada gambar ACF, jika data tidak

stasioner maka gambarnya akan membangun pola,

1. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata – rata hitung. Trend naik atau turun.

2. Alternating, jika data tidak stasioner dalam varians.

3. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata – rata hitung dan varians.

(Mulyana, 2004)

Apabila data yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang umum dipakai adalah metode pembedaan (Differencing). Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi nilai data pada suatu periode dengan nilai periode sebelumnya.

2.6.2 Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial

Konsepsi autokorelasi setara dengan korelasi Pearson untuk data bivariat, yang berarti, autokorelasi merupakan korelasi antara suatu deret dengan dirinya sendiri. Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan dengan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda (Makridakis, 1988). Notasi untuk fungsi autokorelasi adalah

= − + −

=1

( − )2

−1

dengan k = 0,1,2,...

Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya dan hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Koefisien autokorelasi parsial mengukur keeratan hubungan antara Zt dan Zt-k dengan menghilangkan pengaruh dari Zt-1, Zt-2,..., Zt-k+1. Gambar ACF dan PACF dinamakan korelogram dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh

� =� 1, 1, 2,…, +1

Φkk adalah koefisien dalam distribusi

bivariat Z1,Zt-k yang bergantung kepada Zt-1, Zt-2,..., Zt-k+1. Dengan kata lain, menentukan korelasi antara dua peubah Zt dan Zt-k dengan mengontrol peubah lainnya (Zt-1, Zt-2,..., Zt-k+1). Secara umum bentuk fungsi autokorelasi adalah


(20)

=� 1 −1+� 2 −2+ +� − j = 1,2,...,k

atau dapat ditulis

1 11

1 −1 1 −2 … … −2 1 � 1 � 2 � = 1 2

Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol atau tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunyadengan rumus

� = 1

Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan autokorelasi parsial (Cryer dalam Evana, 2009).

2.6.3 Model Autoregressive (AR) Proses autoregresif merupakan regresi yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Dalam model ARIMA (p,d,q), proses autoregresif dinotasikan sebagai p. Persamaan autoregresif adalah

=∅1 −1+∅2 −2+ +∅ − +

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

Φp = koefisien model autoregresif

Zt-p = nilai masa lalu yang

berhubungan

at= residual pada waktu t

2.6.4 Model Moving Average (MA) Model moving average menunjukkan bahwa nilai Zt, nilai yang ingin diketahui, bergantung pada error orde q sebelumnya. Dalam model ARIMA (p,d,q), moving average dinotasikan dengan huruf q. Persamaan moving avergae ditunjukkan oleh

= − �1 −1− �2 −2− − � −

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

θp = koefisien model moving average

at-q = residual lampau yang digunakan oleh model

2.6.5 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA)

Model ARMA merupakan gabungan dari model autoregresif dan moving average. Asumsi yang diterapkan adalah ketika deret waktu merupakan campuran dari fungsi autoregresif dan moving average, maka persamaan model ARMA (p,q) menjadi

Zt=ϕ1Zt-1+ϕ2Zt-2+...+ϕpZt-p+at-θ1at-1-θ2at-2-...-θqat-q

Dimana Zt dan atsama seperti sebelumnya, Zt adalah konstanta, ϕdan θ adalah koefisien model. Zt dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q.

2.6.6 Model Autoregressive-Integrated -Moving Average (ARIMA) Syarat sebuah deret yang harus stasioner untuk dapat dimodelkan. Data yang tidak stasioner sangat sering ditemukan dalam kehidupan nyata.Untuk membuat suatu deret menjadi stasioner dilakukan proses diferencing,contoh pada model AR(1)

=∅ 1+

Dari persamaan AR di atas, terlihat bahwa at tidak berkorelasi dengan 1, Zt-2, ... agar solusinya stasioner memenuhi persamaan di atas haruslah -1<ϕ< 1. Jika ϕ=1, maka persamaan di atas menjadi

= 1+

Atau

∇ =

dimana∇ = Zt – Zt-1 adalah pembeda pertama dari Z.

Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel acak Zt dikatakan model integrasi autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Notasinya adalah ARIMA (p,d,q). secara umum persamaan untuk model ARIMA (1,1,1) adalah

Zt = (1+Ø1)Zt-1 + (-Ø1)Zt-2 + at –θ1 at-1 Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot ACF dan PACF. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial.

Plot yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masing – masing model memiliki pola

yang khusus. Secara teoritis ρk = 0 bagi k > q dalam model MA(q) dan ϕkk = 0 bagi k > pdalam model AR(p). Arti dari ARIMA (p,d,q) sendiri adalah model tersebut menggunakan p nilai lag dependen, d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual.


(21)

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011. Tempat penelitian ini adalah di Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara (LAPAN) Bandung dan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Darmaga.

3.2 Data dan Alat Penelitian 3.2.1 Data Penelitian

 Data curah hujan stasiun penakar hujan Sukamandi, Subang dan Padang Panjang periode Januari 1996 – Desember 1999. Data ini merupakan data rata – rata curah hujan bulanan.

 Data iklim global, yaitu data Anomali suhu permukaan laut Niño 3.4 dan IOD periode 1958 – 1999 dan bersifat bulanan.

(http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/ nino34.mth.ascii.txt).

3.2.2 Alat Penelitian

 Seperangkat Komputer.

 Software Ms. Excel dan Ms. Word 2010.

Software ini digunakan untuk mencari anomali curah hujan dan anomali dari Niño 3.4 serta analisis dari ARIMA.

 Software Mathlab 7.6.0.324

Software ini melakukan analisis spektral menggunakan FFT (Fast Fourier Transform) kepada data curah hujan, data iklim global dan data hasil telekoneksi.

 Software SPSS 16.0

Software ini digunakan untuk analisis statistik yaitu korelasi silang untuk data curah hujan dan anomali SST Niño3.4 serta metode Box-Jenkins untuk membuat model prediksi data telekoneksi.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Spektral

Analisis spektral sangat diperlukan dalam membuat analisa tentang data deret waktu. Analisis spektral merupakan transformasi dari analisis Fourier yang sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield,1984).

Persamaan matematis dari analisis spektral ini menggunakan autokovarians untuk memodifikasi analisis Fourier. Jika �(k)

adalah fungsi dari autokovarians dari Xt yang merupakan proses stokastik dengan k = ..., -2, -1, 0, 1, 2, ..., maka spektrum f(�) adalah transformasi Fourier dan fungsi autokovarians. Ekspresi matematisnya adalah

� � =

� � � ���⁡(−���) ∞

�= −∞

Analisis spektral ini menentukan periodisitas dari data deret waktu sehingga dapat melihat pengulangan dari suatu kejadian dengan deret waktu tertentu. Analisis ini dapat digunakan contohnya pada data curah hujan dan data iklim global.

3.3.2 Metode Korelasi Silang

Hubungan antara parameter dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan metode korelasi silang.Hal ini untuk menentukan persamaan non linier. Parameter yang menggunakan metode korelasi silang adalah SST niño 3.4, IOD, anomali curah hujan Sukamandi dan Padang Panjang.

Persamaan matematika untuk korelasi silang adalah (Makridakis,1988):

� � = � (�)

� � ( )

= �

� �

Dimana :� � adalah korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke - k 3.3.3 Metode Box-Jenkins

Tahap 1 : Identifikasi model

Pada tahap pertama ini dilakukan pemeriksaan stasioneritas dari sebuah deret waktu karena aspek yang berkaitan dengan ARIMA harus deret waktu yang bersifat stasioner. Oleh karena itu, diperlukan notasi yang berlainan untuk deret berkala non-stasioner yang asli dengan pasangan stasionernya, sesudah pembedaan (differencing) (Makridakis,1983).

Differencing adalah menghitung perubahan atau selisih nilai observasi.Nilai selisih yang diperoleh diperiksa apakah stasioner atau tidak. Apabila belum maka dilakukan differencing lagi.

Tahap 2 : Pendugaan parameter model

 Cara trial and error, yaitu menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih satu nilai yang meminimumkan jumlah kudarat nilai sisa.

 Perbaikan secara iteratif, memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program komputer memperhalus taksiran tersebut.


(22)

Pengujian model dilakukan untuk membuktikan bahwa model tersebut layak untuk digunakan. Caranya adalah :

 Mempelajari nilai sisa untuk melihat apakah masih terdapat beberapa pola yang belum dipertimbangkan.

 Mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat apakan model tersebut masih dapat disederhanakan.

Tahap 4 :Penetapan model ARIMA

Tahap ini hanya merupakan penyelesaian setelah ketiga tahap sebelumnya.

Gambar 7 Skema pendekatan Box-Jenkins

(Sumber: Makridakis,1983)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Spektral Curah Hujan dan Niño 3.4 dengan IOD

Analisis spektral pada curah hujan bertujuan untuk mengetahui periodisitas curah hujan di daerah yang akan diuji. Gambar 8 menunjukkan periode curah hujan pada dua kawasan yaitu Sukamandi dan Padang Panjang.

Hasil analisis spektral dari curah hujan di Sukamandi dan Padang Panjang menunjukkan bahwa kedua kota tersebut memiliki osilasi curah hujan 12 bulanan atau yang lebih dikenal dengan monsun. Di daerah Sukamandi menunjukkan puncak yang lebih tinggi daripada daerah Padang Panjang,hal ini berarti kekuatan monsun di Sukamandi lebih kuat dibandingkan dengan di Padang Panjang. Perhatian selanjutnya adalah bagaimana telekoneksi yang terjadi antara SST Niño 3.4 dengan IOD mempengaruhi osilasi monsun yang terjadi di Sukamandi dan Padang Panjang.

Telekoneksi yang terjadi di antara tahun 1996 dan tahun 1999 merupakan gabungan kekuatan dari Niño 3.4 dan IOD. Gabungan kekuatan itu memungkinkan ketika keduanya berada dalam fase yang sama. Niño 3.4 dan IOD memiliki dua fase yaitu fase negatif dan fase positif. Fase positif adalah fase ketika suhu muka laut lebih panas dari rata – ratanya begitu pula sebaliknya, pada fase negatif,suhu muka laut lebih dingin daripada rata – ratanya. Ketika Niño 3.4 dan IOD memasuki fase positif atau negatif secara bersamaan maka terjadilah telekoneksi.

Gambar 8. Power Spectral Density Sukamandi dan Padang Panjang periode 1 Januari 1996 – 31 Desember 1999.


(23)

Gambar 9. Deret waktu telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD. Gambar 9 menunjukkan anomali SST

Niño 3.4 dan IOD serta hasil penjumlahan dari kedua indeks tersebut. Periode pengamatannya dari tahun 1996 – 1999, diwakili oleh warna biru, hijau, dan coklat. Garis vertikal pada Gambar 9 menunjukkan ketika Niño 3.4 dan IOD berada dalam satu fase. Garis vertikal menunjukkan awal dan akhir dari satu fase. Fase positif berlangsung pada bulan April 1997 – April 1998 sedangkan fase negatif berlangsung pada Juni 1998 – Juni 1999.

Ketika telekoneksi berlangsung dapat dilihat di grafik bahwa terjadi peningkatan indeks yang ditandai dengan garis coklat.Peningkatan yang terjadi cukup signifikan yaitu ketika fase positif Niño 3.4 dan IOD berada di puncaknya pada bulan Oktober tahun 1997 masing bernilai 2,33 dan 3,55 ketika ditambahkan yang menyebabkan kejadian telekoneksi nilai indeksnya menjadi 5,88. Pada fase negatif, Niño 3.4 dan IOD mencapai puncaknya pada bulan Desember 1998 dengan nilai -2,11 dan -1,56 sehingga ketika ditambahkan menjadi -3,67.

Hal inilah yang membuat kejadian telekoneksi antara Niño 3.4 dan IOD patut

diwaspadai. Karena puncak – puncak yang terbentuk hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan kejadian Niño 3.4 dan IOD yang berbeda fase, tidak terjadi telekoneksi. Gambar 10 menunjukkan perbandingan antara grafik telekoneksi dengan kejadian curah hujan di Sukamandi dan Padang Panjang. Kejadian telekoneksi yang menyebabkan curah hujan di dua daerah pengujian mengalami kenaikan dan penurunan. Pada daerah yang dibatasi oleh dua garis vertikal awal menunjukkan telekoneksi berada pada fase positif sehingga menyebabkan curah hujan mengalami penurunan. Puncak telekoneksi yang terjadi pada bulan Oktober diikuti dengan anomali curah hujan yang juga turun ke titik negatif pada dua daerah tersebut. Pada telekoneksi fase negatif curah hujan justru akan naik nilai anomalinya sedangkan indeks telekoneksi berada di bawah nol. Hal ini sesuai dengan hipotesa ENSO diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya, berbanding terbalik dengan peristiwa La Niña yang justru menghasilkan curah hujan melebihi batas normal (Ropelweski dan Halpert, 1987).


(24)

Secara umum, telekoneksi ini terjadi pada dua Lautan yang mengapit Indonesia. Lautan Hindia di sebelah barat dan Lautan Pasifik di sebelah timur. Jarak kedua lautan itu terpisah ribuan kilometer sehingga kejadian telekoneksi ini membutuhkan waktu untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia,baik itu telekoneksi positif atau negatif.

4.2 Analisis Korelasi Silang

Pengaruh dari telekoneksi yang terjadi di dua lautan yang mengapit Indonesia tidak serta merta terjadi terhadap curah hujan. Karena tempat kejadiannya yang jauh, telekoneksi antara SST Niño 3.4 dan IOD membutuhkan waktu untuk dapat mempengaruhi curah hujan. Hal ini sangat penting untuk dianalisis karena berkaitan dengan persiapan di Indonesia untuk menghadapi musim kering panjang dan musim basah panjang.

Analisis korelasi silang ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan bagi telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Waktu yang dibutuhkan untuk telekoneksi adalah dengan melihat lag number pada Tabel 1 dan Tabel 2. Lag number ini berperan sebagai waktu tunda (lag time) danyang harus diperhatikan adalah yang bernilai positif dengan asumsi ketika lag number positif maka telekoneksi antara SST Niño 3.4 dan IOD terjadi lebih dulu baru kemudian curah hujan di Indonesia akan naik atau turun. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan sehingga satuan untuk lag number adalah bulan.

Tabel 3 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase positif

Cross Correlations

Nino3.4plus with CH_Sukamandi

Lag Cross Correlation Std. Errora

-5 -.198 .354

-4 -.343 .333

-3 -.472 .316

-2 -.591 .302

-1 -.513 .289

0 -.206 .277

1 .237 .289

2 .473 .302

3 .690 .316

4 .743 .333

5 .568 .354

Gambar 11. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase positif.

Tabel 3 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa ada waktu tunda sebelum telekoneksi mempengaruhi curah hujan yang ada di kawasan Sukamandi. Pada Gambar 11 terlihat bahwa grafik yang menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 3 dengan nilai korelasi silang dapat dilihat pada Tabel 3 sebesar 0,69. Hal ini berarti untuk wilayah Sukamandi curah hujan baru akan turun setelah adanya telekoneksi positif selama 3 bulan.

Tabel 4 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase positif.

Cross Correlations

Nino34_IOD with Padang_Panjang

Lag Cross

Correlation

Std. Errora

-5 -.031 .354

-4 -.300 .333

-3 -.635 .316

-2 -.632 .302

-1 -.549 .289

0 -.412 .277

1 .023 .289

2 .420 .302

3 .642 .316

4 .662 .333


(25)

Gambar 12. Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase positif

Pada daerah Padang Panjang sama halnya dengan daerah Sukamandi,yaitu ada waktu tunda yang dibuthkan telekoneksi untuk mempengaruhi curah hujan di daerah tersebut. Gambar 12 menunjukkan grafik yang pertama kali menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 3 dengan nilai korelasi silang pada Tabel 4 adalah 0,642. Oleh karena itu, untuk daerah Padang Panjangpun sama dengan Sukamandi yaitu telekoneksi membutuhkan waktu 3 bulan untuk dapat mempengaruhi curah hujan di kota Padang Panjang.

Tabel 5 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase negatif.

Cross Correlations

Nino3.4plus with CH_Sukamandi Lag

Cross

Correlation Std. Errora

-5 .515 .333

-4 .654 .316

-3 .543 .302

-2 .370 .289

-1 .048 .277

0 -.330 .267

1 -.590 .277

2 -.676 .289

3 -.572 .302

4 -.240 .316

5 -.088 .333

Gambar 13 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Sukamandi fase negatif

Tabel 6 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase negatif

Cross Correlations

Nino34 IOD with Padang Panjang

Lag Cross

Correlation Std. Error

a

-5 .470 .354

-4 .317 .333

-3 .319 .316

-2 .086 .302

-1 -.241 .289

0 -.547 .277

1 -.507 .289

2 -.347 .302

3 -.293 .316

4 .027 .333

5 .123 .354

Gambar 14 Korelasi silang gabungan antara SST Niño 3.4+IOD dengan anomali curah hujan Padang Panjang fase negatif

Telekoneksi pada fase negatif sama seperti ketika fase positif yaitu membutuhkan waktu untuk menaikkan curah hujan di daerah Indonesia. Pada daerah Sukamandi, waktu yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 7 ketika grafik


(26)

menyentuh batas bawah pada lag number 1. Nilai korelasi silang untuk lag number 1 dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu sebesar -0,59. Maka, ketika fase negatif, telekoneksi membutuhkan waktu 1 bulan sebelum curah hujan di daerah Sukamandi mengalami peningkatan.

Gambar 8 menyajikan hasil korelasi silang untuk daerah Padang Panjang. Grafik yang menyentuh batas bawah adalah ketika lag number bernilai 0 dengan nilai korelasi silang sebesar -0,547. Maka dapat dikatakan bahwa pengaruh telekoneksi untuk menaikkan curah hujan di kawasan Padang Panjang bersifat spontan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada fase negatif untuk menurunkan curah hujan pada daerah Padang Panjang lebih kecil daripada waktu tunda pada daerah Sukamandi,bahkan bersifat spontan. Hal ini disebabkan oleh dekatnya daerah Padang Panjang dengan salah satu kejadian telekoneksi yaitu IOD yang terjadi di Lautan Hindia sehingga mempercepat pengaruh dari telekoneksi itu sendiri.

Waktu tunda ini sangat penting bagi kedua daerah tersebut karena menentukan hal apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari telekoneksi yang mempengaruhi curah hujan di kedua daerah tersebut. Tabel 7 merangkum waktu tunda yang dibutuhkan telekoneksi pada kedua daerah tersebut dalam fase negatif dan juga fase positif.

Persamaan yang terdapat dalam Tabel 4 menunjukkan hubungan antara telekoneksi dengan anomali curah hujan. Variabel Y menunjukkan anomali curah hujan sedangkan variabel X menunjukkan kejadian telekoneksi yaitu indeks Niño 3.4 dengan IOD dan t menunjukkan waktu dalam bulan. Waktu tunda yang dibutuhkan

telekoneksi pada fase positif di kedua kota sama,yaitu tiga bulan, namun perbedaan yang ditunjukkan ada pada R2 kedua persamaan tersebut. Persamaan korelasi silang pada kota Sukamandi memiliki R2 yang lebih besar yaitu 0,59 dibandingkan dengan R2 yang dimiliki oleh persamaan korelasi silang pada kota Padang Panjang yaitu 0,17. Hal ini menunjukkan bahwa kota Sukamandi menunjukkan respon yang lebih besar pada telekoneksi fase positif yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut. Untuk telekoneksi fase negatif, daerah Padang Panjang menunjukkan respon lebih besar daripada Sukamandi dengan lebih dahulu mengalami kenaikan curah hujan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh telekoneksi fase positif berbeda dengan fase negatif. Penyebabnya adalah perbedaan sumber dari telekoneksi tersebut. Pada fase positif,SST Niño 3.4 lebih berperan untuk menurunkan curah hujan sehingga Sukamandi yang berada lebih dekat dengan SST Niño 3.4 lebih responsif daripada Padang Panjang,hal ini dibuktikan oleh R2 pada persamaan korelasi silang yang lebih besar. Ketika fase negatif, IOD lebih berperan dalam hal menaikkan curah hujan, sehingga Padang panjang lebih responsif daripada Sukamandi. Hal ini dibuktikan dengan waktu tunda yang lebih pendek jika dibandingkan antara Padang Panjang dengan Sukamandi.

4.3 Model Prediksi Berbasis ARIMA 4.3.1 Analisis Jangka Panjang

Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan membuat persamaan matematis untuk memprediksi data iklim global. Model telekoneksi yang akan digunakan dibuat dengan metode ARIMA. Data yang digunakan dalam proses ARIMA ini adalah anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999.

Tabel 7 Persamaan regresi nonlinier untuk setiap daerah.

Kota Fase Persamaan Lag Time R2

Sukamandi Positif Y = -0.474Xt-3 + 1.687 3 bulan 0.59 Negatif Y = -0.401Xt-1 - 0.873 1 bulan 0.42 Padang Panjang Positif Y = -0.783Xt-3 + 2.651 3 bulan 0.17 Negatif Y = -0.592Xt - 1.266 0 bulan 0.30


(27)

Gambar 15 Power Spectral Density kejadian telekoneksi Niño 3.4 dan IOD yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah.

Gambar 15 menunjukkan bahwa ketika telekoneksi terjadi maka nilai spektralnya juga akan juga akan mengalami peningkatan. Periode dari kejadian telekoneksi ini berkisar antara 42 – 60 bulan atau 3.5 – 5 tahun. Hal ini dikarenakan sumber dari telekoneksi adalah anomali SST Niño 3.4 dan IOD yang mempunyai periodisitas yang sama. Setelah data tersebut diperiksa melalui analisis spektral, data tersebut diperiksa stasioneritasnya.

Stasioneritas sangat penting dalam pembuatan model, karena data yang tidak stasioner sulit untuk diprediksi sehingga model yang dihasilkan tidak maksimal. Untuk memeriksa stasioneritas dapat dilihat

melalui fungsi autokorelasi, fungsi autokorelasi parsial, dan plot deret waktu dari data yang akan diperiksa stasioneritasnya.

Gambar 16(a) menunjukkan pemeriksaan terhadap data untuk stasioneritas. Hasil dari pemeriksaan ketiga metode tersebut menunjukkan bahwa data yang digunakan, yaitu data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999, membentuk pola alternating yaitu pola yang menunjukkan ketidakstasioneran dalam varians. Oleh karena itu, data tersebut diolah kembali dengan teknik differencing supaya menjadi data yang stasioner.

(a)

(b)

Gambar 16. Deret waktu, fungsi autokorelasi, dan autokorelasi parsial dari data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999 (a) sebelum proses differencing (b) setelah proses differencing.


(28)

Gambar 16(b) merupakan hasil differencing yang dilakukan terhadap data anomali SST Niño 3.4 dan IOD periode Januari 1958 – Desember 1999. Setelah dilakukan differencing, terlihat bahwa pola yang terlihat pada deret waktu, fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsial menjadi hilang. Data menjadi lebih stasioner dan dapat diperkirakan daripada sebelum dilakukan differencing.

Dengan menggunakan metode Box-Jenkins dan melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model prediksi ARIMA(1,1,1) untuk sebagai model telekoneksi. Persamaan ARIMA(1,1,1) untuk model telekoneksi adalah Zt = 1,647Zt-1 – 0,647Zt-2 + at – 0,151at-1. Persamaan ini kemudian divalidasi dengan menggunakan data observasi. Tabel 8 Hasil validasi persamaan

ARIMA(1,1,1) untuk Niño 3.4 dan IOD.

No Waktu Data Asli ARIMA

(1,1,1) Galat

1 Jan-00 -2.2171 -2.2076 0.0095

2 Feb-00 -1.6509 -2.2739 -0.6229

3 Mar-00 -0.9908 -1.1855 -0.1946

4 Apr-00 -0.4476 -0.5294 -0.0817

5 May-00 -0.2597 -0.0788 0.1808

6 Jun-00 -0.0639 -0.1604 -0.0964

7 Jul-00 -0.0075 0.0823 0.0898

115 Jun-09 0.8359 0.7642 -0.0716

116 Jul-09 1.0402 1.0065 -0.0336

117 Aug-09 0.9178 1.1825 0.2646

118 Sep-09 0.8590 0.8037 -0.0553

119 Oct-09 1.3038 0.8343 -0.4695

120 Nov-09 2.1413 1.6675 -0.4737

R2

= 0.9 ; MAD = 0.2844

Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan model dengan data observasi, periode waktu yang digunakan untuk memvalidasi model adalah Januari 2000 – November 2009. Plot data untuk model ARIMA(1,1,1) mendekati data asli dengan R2 sebesar 0.9 dan nilai Mean Absolute Deviation (MAD) yaitu rata-rata galat hasil prediksi dengan nilai aktual sebesar 0.2844.

Hasil prediksi dari ARIMA(1,1,1) ini cukup baik dengan nilai galat yang kecil. Model untuk memprediksi kejadian telekoneksi ini sangat penting untuk dapat meramalkan kejadian curah hujan di Indonesia karena telekoneksi yang terjadi adalah gabungan dari kejadian anomali SST Niño 3.4 dan IOD yang merupakan kejadian yang berpengaruh langsung terhadap curah hujan di kawasan Indonesia. Dengan adanya model ARIMA(1,1,1) ini diharapkan dapat mengantisipasi dampak dari kejadian telekoneksi terhadap curah hujan di Indonesia

4.3.2 Analisis Jangka Pendek

Analisis jangka pendek ini dilakukan terhadap curah hujan di dua wilayah kajian yaitu Sukamandi dan Padang Panjang.Periode waktu yang diambil adalah Januari 1976 – Desember 1990. Data curah hujan selama 25 tahun ini didapat menggunakan persamaan yang terdapat pada Tabel 5, dengan demikian didapatlah data curah hujan yang lengkap untuk periode tersebut.

Gambar 17. Plot data asli Niño 3.4+IOD dengan hasil prediksi ARIMA(1,1,1) periode Januari 2000 – November 2009.

-3 -2 -1 0 1 2 3 Jan -00 Jun -00 No v -00 A p r-01 Sep -01 F eb -02 Ju l-02 D ec -02 M ay -03 O ct -03 M ar -04 A u g -04 Jan -05 Jun -05 No v -05 A p r-06 Sep -06 F eb -07 Ju l-07 D ec -07 M ay -08 O ct -08 M ar -09 A u g -09 Nin o 3.4 Waktu Nino3.4+IOD ARIMA(1,1,1)


(29)

Dengan menggunakan metode Box-Jenkins dan melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, maka diperoleh model prediksi ARIMA(1,1,1) untuk Sukamandi dan Padang Panjang. Persamaan ARIMA(1,1,1) untuk kedua daerah tersebut adalah Zt = 1,491Zt-1 – 0,491Zt-2 + at – 0,025at-1. Persamaan ARIMA(1,1,1) untuk Sukamandi dan Padang Panjang tidak berbeda. Hal ini disebabkan oleh persamaan ARIMA(1,1,1) yang berasal dari sumber yang sama yaitu persamaan korelasi silang pada Tabel 5. Persamaan ARIMA(1,1,1) ini kemudian divalidasi untuk melihat keakuratan modelnya.

Tabel 9 Hasil validasi persamaan

ARIMA(1,1,1) untuk

Sukamandi.

No Waktu Data Asli ARIMA

(1,1,1) Galat 1 Jan-91 1.2719

2 Feb-91 1.2689

3 Mar-91 1.2003 1.2675 0.0671 4 Apr-91 1.0179 1.1650 0.1471

5 May-91 0.7188 0.9247 0.2059 6 Jun-91 0.5578 0.5668 0.0089 7 Jul-91 0.5912 0.4787 -0.1126

91 Jul-99 -0.8859 -1.1808 -0.2949 92 Aug-99 -0.8578 -0.9031 -0.0453 93 Sep-99 -1.1459 -0.8429 0.3030 94 Oct-99 -0.0329 -1.2949 -1.2620 95 Nov-99 2.1291 0.5451 -1.5840 96 Dec-99 0.5401 3.2303 2.6901

R2 = 0.57 ; MAD = 0.4649

Validasi antara persamaan ARIMA(1,1,1) dengan data observasi curah hujan Sukamandi cukup bagus dengan nilai R2 0.57 dan MAD 0.4649. nilai R2 yang hanya sedikit melewati 0.5 yaitu 0.57 menunjukkan persamaan ARIMA(1,1,1) ini tidak terlalu bagus dalam menjelaskan peristiwa curah hujan yang terjadi di Sukamandi.

Gambar 18. Plot data asli anomali curah hujan Sukamandi dengan hasil prediksi ARIMA(1,1,1) periode Januari 1991 – Desember 1999.

Tabel 10 Hasil validasi persamaan ARIMA(1,1,1) untuk Padang Panjang.

No Waktu Data Asli ARIMA

(1,1,1) Galat

1 Jan-91 -3.3356

2 Feb-91 -3.3406

3 Mar-91 -3.4538 -3.3430 0.1108

4 Apr-91 -3.7551 -3.5122 0.2429

5 May-91 -4.2493 -3.9091 0.3401

6 Jun-91 -4.5151 -4.5004 0.0147

7 Jul-91 -4.46 -4.6460 -0.186

43 Jul-99 1.1173 0.1540 0.154

44 Aug-99 1.1067 1.0934 1.0934

45 Sep-99 -0.4804 -1.1237 1.1237

46 Oct-99 0.9807 -2.4725 2.4725

47 Nov-99 4.8948 2.2015 2.2015

48 Dec-99 2.2651 -0.1882 0.1881

R2

= 0.75 ; MAD = 0.6669

-8.0 -6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 Jan -91 Ju n -91 N o v -91 Ap r-92 Se p -92 Fe b -93 Ju l-93 Dec -93 Ma y -94 Oct -94 Ma r-95 Aug -95 Jan -96 Ju n -96 N o v -96 Ap r-97 Se p -97 Fe b -98 Ju l-98 Dec -98 Ma y -99 Oc t-99


(30)

Gambar 19. Plot data asli anomali curah hujan Padang Panjang dengan hasil prediksi ARIMA(1,1,1) periode Januari 1991 – Desember 1999.

Validasi antara data asli anomali curah hujan kota Padang Panjang dengan model ARIMA(1,1,1) lebih baik jika dibandingkan dengan kota Sukamandi. Hal ini terlihat dengan nilai R2 yang lebih besar yaitu 0.75 namun rata-rata galat yang diperoleh lebih besar, yaitu 0.6669. Persamaan ARIMA(1,1,1) mampu menjelaskan kejadian curah hujan di Padang Panjang dengan baik.

Hasil validasi model ARIMA(1,1,1) untuk kota Sukamandi dan Padang Panjang tidak sebagus pada kejadian telekoneksi. Perbedaan nilai R2 dan MAD yang signifikan antara kejadian telekoneksi dan kedua kota disebabkan oleh penggunaan data untuk menurunkan model ARIMA(1,1,1). Untuk kejadian telekoneksi, karena rentang data yang panjang, maka tidak perlu menggunakan persamaan apapun untuk membuatnya. Pada kota Sukamandi dan Padang Panjang, data yang tersedia pendek sehingga digunakan persamaan korelasi silang untuk menyediakan data yang akan digunakan untuk membuat model ARIMA(1,1,1).

Secara umum persamaan

ARIMA(1,1,1) dapat menjelaskan kejadian curah hujan yang telah terpengaruh oleh telekoneksi di kota Sukamandi dan Padang Panjang. Hal ini sangat penting karena kedua kota tersebut merupakan kawasan sentra produksi pangan, fluktuasi curah hujan pada daerah tersebut harus diawasi. Model ARIMA(1,1,1) ini membantu untuk memperkirakan curah hujan ketika kejadian telekoneksi berlangsung sehingga dapat diambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasinya.

V. PENUTUP 5.1.Kesimpulan

Pada saat kering panjang, faktor yang dominan adalah El-Niño yang akan menurunkan curah hujan setelah tiga bulan kemudian. Namun ketika basah panjang, faktor yang dominan adalah IOD yang akan menaikkan curah hujan dalam waktu kurang dari 1 bulan.

Model regresi non linier yang dihasilkan untuk kedua lokasi penelitian masing – masing adalah Yt = -0.474Xt-3 + 1.687 dan Yt = -0.401Xt-1 - 0.873 untuk kota Sukamandi pada fase negatif dan positif. Untuk kota Padang panjang fase positif Yt = -0.783Xt-3 + 2.651 dan Yt = -0.592Xt - 1.266.

Melalui metode Box Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu Niño 3.4 + IOD adalah ARIMA (1,1,1), yang berarti prakiraan data Niño 3.4 + IOD untuk waktu mendatang tergantung dari data 2 bulan dan galat 1 bulan sebelumnya. Hasil validasi nilai Niño 3.4 + IOD dengan nilai prediksi untuk periode Januari 2000 – November 2009 menunjukkan model ARIMA (1,1,1) mendekati nilai asli dengan rata – rata galat 0.28.

5.2.Saran

 Ketidaksempurnaan ini dapat diperbaiki dengan menyediakan data curah hujan in situ sepanjang 15 – 20 tahun.

 Penggunaan metode prediksi lain seperti SARMA (Seasonal ARMA), dan lainnya juga dapat memperbaiki model yang akan didapat.

-8.0 -6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 Jan -91 Ju n -91 N o v -91 Ap r-92 Se p -92 Fe b -93 Ju l-93 De c-93 Ma y -94 Oct -94 Mar -95 Au g -95 Jan -96 Ju n -96 N o v -96 Ap r-97 Se p -97 Fe b -98 Ju l-98 De c-98 Ma y -99 Oct -99


(31)

DAFTAR PUSTAKA

[CPC-NCEP] Climate Center Prediction – National Centers for Environmental Prediction. 2002.El-Niño Year.

http://www.grida.no/images/series/vg-africa/graphics/04-elninopheno.jpg[09 September 2011].

[CPC-NCEP] Climate Center Prediction – National Centers for Environmental Prediction. 2005. Graphical depiction of the four Niño regions. http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/a nalysis_monitoring/ensostuff/nino_regio ns.shtml. [09 September 2011].

[CPC-NCEP] Climate Center Prediction – National Centers for Environmental Prediction.Mothly Atmospheric and SST Indices.http://www.cpc.noaa.gov/data/in dices/nino34.mth.ascii.txt[September 2010].

[Jamstec] The Indian Ocean

Dipole.http://www.jamstec.go.jp/frsgc/re search/d1/iod [September 2010].

[Jamstec] Applied Fields and Adaptable

Measures for Realizing an “Adaptive society for climate change”.http:// www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod [September 2010].

Behera SK, and Yamagata T. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Southern Oscillation. Tokyo : The University of Tokyo.

Bey, Ahmad. 1987. Metode Kausal dan Time Series Untuk Analisis Data Iklim. Bogor : IPB.

Bhalme HN. 1991. El-Niño-Southern Oscillation (ENSO) – Onset, Growth, and Decay.WMO/TD. 496 : 84-87. Box GEP, Jenkins GM, Reinsel GC. 1976.

Time Series Analysis : Forecasting and Control. San Francisco : Holden-Day. Chatfield C. 1989. The Analysis of Time

Series An Introduction. England : Chapman & Hall, Inc.

Dupe ZL, Hadi TW, Lubis A. 2002. El-Niño/La-Niña forecasting using adaptive fuzzy interference system (ANFIS). Seminar Nasional Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim. Bandung, 30 Juli 2002.

Evana, L. 2009. Pengembangan Model Prediksi Madden Julian Oscillation (MJO) Berbasis pada Hasil Analisis Data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Kishore K. 2007. Indonesia Country Case Study: Impacts and Responses to the 1997-98 El Niño Event.Colorado : UCAR.

Konrad CE. 1997. Intramonthly Indices of the Pacific/North American Teleconnection Pattern and Temperature Regimes over the United States.Theor. Appl. Climatol. 60 : 11-19.

Makridakis S., Wheelwright SC., McGree VE. 1988. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jilid Satu Ed ke-2. Untung SA dan Abdul B, penerjemah.Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Forecasting, 2nd Edition.

Mulyana. 2004. Analisis Data Deret Waktu. Bandung : Universitas Padjadjaran. Hermawan E., Visa J., Noersomadi. 2011.

Pengembangan Model Interkonneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi Awal (precursor) Datangnya Kejadian Ekstrem (khususnya curah hujan) Di Sentra Produksi Tanaman Pangan. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Fisika 2011, Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Puspiptek, Tangerang Selatan. 12 – 13 Juli 2011. Philander SG. 1990. El Niño, La Niña, and

The Southern Oscillation. USA : Academic Press San Diego.

Prawirodiryo S. 1996. Meteorologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Ropelweski CF., and Halpert MS. 1987.

Global and Regional Scale Rainfall Pattern Associated with the El Niño Southern Oscillation (ENSO). Mon. Wea.Rev., 115:1606 - 1626.


(32)

Saji NH, Ambrizzi T., Ferraz SET. 2005. Indian Ocean Dipole mode events and austral surface air temperature anomalies. Dyn.of Atmo. and Ocean., 39 : 87 – 101.

Saji NH, Goswami BN, Vinaychandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. J Nature. 401:360-363.

Trenberth KE. 1997. The Definiton of El Niño. Bull. Amer. Meteo. Soc., 78 : 2771

– 2777.

Wang C, Weisberg RH. 2000. The 1997 – 1998 El Niño Evolution Relative to Previous El Niño Events. J Clim.13 : 488

– 501.

Webster, PJ., Moore, AM., Loschingg, JP., Leben, RR. 1999. Coupled Ocean-atmosphere Dynamics in The Indian Ocean during 1997 – 1998. J Nature.401 : 356 – 360.


(33)

(34)

(35)

Lampiran 3 Tipe curah hujan berbagai kota di Sumatera Barat

Kota Tipe Osilasi

Maninjau SAO

Sasak SAO

Tanjung Pati SAO

Kandang Empat SAO

Sicincin AO

Limau Purut AO

Bandar Buat AO

Solok AO

Padang Panjang AO

Batusangkar AO

Balai Selasa AO

Tapan AO

Payakumbuh AO

Lubuk Sikaping AO

Petok AO

Gobah AO

Calogandang AO

Rambatan AO

Lubuk Gadang AO


(36)

(37)

(38)

(39)

Lampiran 5 Bahasa pemrograman dalam Matlab untuk menghasilkan Power Spectral Density

%load data dari excel data=xlsread('f',s,'K:B'); [m,n]=size(data);

t=1:length(data); y=data;

[spec,f]= fourier(y,t);

spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f;

figure;semilogx(f,spec);grid on

set (gca,'xtick',[0 10^0 5 6 7 8 9 10 12 15]) %h= legend('DMI','Nino 3.4','ESPI',5)

xlabel('Periode (bulan)','fontweight','bold','fontsize',16)

ylabel('Energi Spektral (W/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density Nino+IOD Periode Januari 1958 - Desember 2009','fontweight','bold','fontsize',16)


(40)

Lampiran 6 Deskripsi statistik data Niño3.4+IOD

Descriptive Statistics

N MinimumMaximum Mean Std.

Deviation Variance Statistic Statistic Statistic Statistic Std.

Error Statistic Statistic Niño3.4 +

IOD 480 -3.42 6.09 -.0318 .07336 1.60723 2.583

DIFF(Niño3.4

+ IOD,1) 479 -1.18 1.13 .0075 .02146 .46960 .221

Valid N


(41)

(42)

ABSTRAK

RIZKI KRISNANTO. Pengembangan Model Telekoneksi antara Kejadian El-Niño dengan IOD dan Pengaruhnya Terhadap Fluktuasi Curah Hujan di Daerah Sentra Produksi Pangan (Studi Kasus : Sukamandi dan Padang Panjang). Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN dan EDDY HERMAWAN.

Simposium Asia Pasifik GEOSS (Global Earth Observation System to System) ke 4 merekomendasikan telekoneksi antara semua fenomena iklim global dan dampaknya terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia, terutama antara SST Nino 3.4 and IOD ketika kedua fenomena tersebut terjadi secara simultan, sangat penting untuk diteliti secara seksama. Berdasarkan rekomendasi tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengembangkan sebuah model yang dapat menjelaskan bagaimana telekoneksi antara El-Niño dan IOD mempengaruhi fluktuasi curah hujan di Indonesia. Penelitian ini mengambil contoh Sukamandi dan Padang Panjang, kedua daerah tersebut merupakan sentra produksi tanaman pangan di Indonesia. Poin pertama dalam penelitian ini adalah analisis jangak pendek. Metode yang digunakan adalah analisis spektral dan korelasi silang. Gagasannya adalah untuk memadukan anomali suhu permukaan laut Niño 3.4 dan IOD (Niño 3.4+IOD) untuk membentuk indeks baru yang mewakili telekoneksi kemudian memeriksa hubungannya dengan anomali curah hujan didua lokasi penelitian yang telah disebutkan di atas. Hasil dari korelasi silang adalah merupakan respon dari fluktuasi curah hujan di kedua kota tersebut terhadap kejadian telekoneksi. Respon tersebut berbeda untuk setiap kota terutama waktu tunda yang tercipta ketika telekoneksi akan berpengaruh terhadap curah hujan. Poin kedua dalam penelitian ini adalah analisis jangka panjang. Analisis ini bertujuan untuk membuat model dari Niño 3.4+IOD, model ini nantinya akan digunakan sebagai indikasi awal dari kejadian telekoneksi akan akan berdampak buruk bagi Indonesia. Metode yang digunakan untuk analisis ini adalah ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil dari analisis ini adalah persamaan model ARIMA(p,d,q) yang dapat memprediksi beberapa bulan berikutnya, sehingga tindakan yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak buruk dari musim kering panjang dan musim basah panjang dapat dilakukan.

Kata kunci : Telekoneksi, Niño3.4+IOD, Fluktuasi Curah Hujan di Sukamandi dan Padang Panjang, Korelasi Silang, Persamaan ARIMA(p,d,q).


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 5 Bahasa pemrograman dalam Matlab untuk menghasilkan Power Spectral Density

%load data dari excel data=xlsread('f',s,'K:B'); [m,n]=size(data);

t=1:length(data); y=data;

[spec,f]= fourier(y,t);

spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f;

figure;semilogx(f,spec);grid on

set (gca,'xtick',[0 10^0 5 6 7 8 9 10 12 15]) %h= legend('DMI','Nino 3.4','ESPI',5)

xlabel('Periode (bulan)','fontweight','bold','fontsize',16)

ylabel('Energi Spektral (W/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density Nino+IOD Periode Januari 1958 - Desember 2009','fontweight','bold','fontsize',16)


(5)

Lampiran 6 Deskripsi statistik data Niño3.4+IOD

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std.

Deviation Variance

Statistic Statistic Statistic Statistic Std.

Error Statistic Statistic Niño3.4 +

IOD 480 -3.42 6.09 -.0318 .07336 1.60723 2.583 DIFF(Niño3.4

+ IOD,1) 479 -1.18 1.13 .0075 .02146 .46960 .221 Valid N


(6)