Metode Box-Jenkins TINJAUAN PUSTAKA

t = 1,2,...,n 2.1 dengan = � = 1 � =1 , 2 = 1 −1 =1 � = 2 � −1 cos 2 , = 2 � −1 cos 2 = 1,2,3, … , 2 − 1 Hal yang harus dilakukan pada setiap analisis data deret waktu dan analisis statistika lainnya adalah menstasionerkan data yang akan dianalisis. Jika data yang akan dianalisis belum stasioner maka harus distasionerkan melalui proses diferensi. Persamaan untuk membangun model spektral ketika data yang dimiliki telah stasioner, yaitu x1, x2,...,xn, adalah � = cos � � + sin � � dengan u ωt dan vωt merupakan fungsi kontinu yang tidak berkorelasi, yang didefinisikan pada selang 0 ≤ � ≤ . Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diturunkan fungsi Fωt yang berkorelasi dengan uωt dan vωt sehingga jika rk fungsi autokorelasi, maka = cos � � yang merupakan sajian spektral dalam fungsi autokorelasi. Pada persamaan ini Fωk = 0, jika ωk 0, dan Fπ = σx 2 , yang merupakan varians data deret waktu. Sehingga jika didefinisikan fungsi � = � � 2 maka diperoleh fungsi distribusi kumulatif spektral dan fungsi spektral kuasa � � = � � jika Gωt dan gωt ada, maka persamaan r k dapat dinyatakan oleh = cos � � � � sehingga � � = 1 − � ∞ = −∞ = 1 cos � ∞ = −∞ karena r k fungsi genap, maka persamaan di atas setara dengan � � = 1 0 + 2 cos � ∞ = −1 yang merupakan sajian fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Karena gωk = 0, jika ωk 0 dan gπ = σx 2 , maka fungsi spektrum kuasa yang setara dengan fungsi distribusi kumulatifnya, disajikan pada persamaan ℎ � = � � � 2 = 1 1 + 2 cos � ∞ =1 yang juga merupakan fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Melihat pernyataan spektral tersebut, dapat disimpulkan bahwa data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret Fourier yang merupakan fungsi harmonis seperti pada persamaan 2.1, sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodisitas dapat ditentukan. Tetapi, menentukannya tidak dapat dalam kawasan waktu, melainkan harus dalam kawasan frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi dalam autokorelasi dan frekuensi. Jika dilakukan penaksiran pada fungsi spektrum kuasa, dan nilai – nilai penaksirannya dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Telaahan periodisitas data dapat dilakukan terhadap frekuensi yang berpasangan dengan titik – titik puncak dari garis spektrum.

2.6 Metode Box-Jenkins

Dalam klimatologi dibedakan dua kelompok metode peramalan, yaitu metode kausal dan time series. Metode kausal mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat antara masukan dan keluaran sistem, sedangkan metode Time Series Box-Jenkins memperlakukan sistem seperti suatu kotak hitam tanpa berusaha mengetahui sistem tersebut. Sistem dianggap sebagai sutau pembangkit proses karena tujuan utama dari metode ini adalah ingin menduga APA yang akan datang, bukan mengetahui MENGAPA hal itu terjadi Bey, 1988. Model ARIMA Autoregressive Integrated Moving Average telah dipelajari secara mendalam oleh George Box dan Gwilym Jenkins 1976, dan nama mereka sering disinonimkan dengan proses ARIMA yang diterapkan untuk analisis deret berkala, peramalan dan pengendalian. ARIMA adalah suatu model gabungan yang meliputi model Autoregressive AR Yule, 1926 dan Moving Average MA Slutzky, 1937 dalam Makridakis et. al., 1988. Peramalan dengan metode Box-Jenkins pada umumnya akan memberikan hasil yang lebih baik dari metode-metode peramalan yang lain, sebab metode ini tidak mengabaikan kaidah-kaidah pada data deret waktu, tetapi proses perhitungannya cukup kompleks jika dibandingkan dengan metode peramalan yang lainnya. Peramalan dengan metode Box-Jenkins didasarkan pada model regresi deret waktu stasioner tanpa komponen musiman, sehingga jika yang dianalisis data bulanan, maka perlu ditelaah keberadaan komponen musimannya, sebab jika ada, komponen ini harus dieliminasi melalui sebuah proses diferensi. 2.6.1 Stasioneritas Stasioneritas data diartikan sebagai data yang memiliki konsistensi dalam hal rata – rata dan varian sepankang waktu. Jenis data yang tidak stasioner bisa merupakan data trend atau acak, karena selalu berubah varian dan rata – ratanya sepanjang waktu. Kestasioneran data merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis regresi deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner,maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi. Berdasarkan deskripsinya, bentuk stasioner ada dua yaitu stasioner kuat dan stasioner lemah. Deskripsi umum kestasioneran adalah sebagai berikut, data deret Z1, Z2,... disebut stasioner kuat jika distribusi gabungan Z t1 , Z t2 ,..., Z tn sama dengan distribusi gabungan Z t1+k , Z t2+k ,..., Z tn+k untuk setiap nilai t1, t2,..., tn, dan k. Sedangkan data tersebut stasioner lemah jika rata – rata data hitung konstan, EZ t = µ, dan autokovariansnya merupakan fungsi dari lag ρ k = fk. Sedangkan ketidakstasioneran diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, 1. Tidak stasioner dalam rata – rata hitung, jika trend tidak datar tidak sejajar sumbu waktu dan data tersebar. 2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya pola terompet. 3. Tidak stasioner dalam rata – rata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan membangun pola terompet. Untuk menelaah ketidak- stasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilakukan pada peta data atas waktu, karena biasanya “mudah”, dan jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya ditelaah pada gambar ACF dengan PACF. Telaahan pada gambar ACF, jika data tidak stasioner maka gambarnya akan membangun pola, 1. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata – rata hitung. Trend naik atau turun. 2. Alternating, jika data tidak stasioner dalam varians. 3. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata – rata hitung dan varians. Mulyana, 2004 Apabila data yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang umum dipakai adalah metode pembedaan Differencing. Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi nilai data pada suatu periode dengan nilai periode sebelumnya. 2.6.2 Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial Konsepsi autokorelasi setara dengan korelasi Pearson untuk data bivariat, yang berarti, autokorelasi merupakan korelasi antara suatu deret dengan dirinya sendiri. Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan dengan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda Makridakis, 1988. Notasi untuk fungsi autokorelasi adalah = − + − − =1 − 2 −1 dengan k = 0,1,2,... Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi ACF, autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya dan hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi parsial PACF. Koefisien autokorelasi parsial mengukur keeratan hubungan antara Z t dan Z t-k dengan menghilangkan pengaruh dari Z t-1 , Z t-2 ,..., Z t-k+1 . Gambar ACF dan PACF dinamakan korelogram dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh � = � 1 , − −1 , −2 , … , − +1 Φ kk adalah koefisien dalam distribusi bivariat Z 1 ,Z t-k yang bergantung kepada Z t-1 , Z t-2 ,..., Z t-k+1 . Dengan kata lain, menentukan korelasi antara dua peubah Z t dan Z t-k dengan mengontrol peubah lainnya Z t-1 , Z t-2 ,..., Z t-k+1 . Secara umum bentuk fungsi autokorelasi adalah = � 1 −1 + � 2 −2 + + � − j = 1,2,...,k atau dapat ditulis 1 1 … −1 1 −1 1 −2 … … −2 1 � 1 � 2 � = 1 2 Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol atau tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunyadengan rumus � = 1 Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan autokorelasi parsial Cryer dalam Evana, 2009. 2.6.3 Model Autoregressive AR Proses autoregresif merupakan regresi yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Dalam model ARIMA p,d,q, proses autoregresif dinotasikan sebagai p. Persamaan autoregresif adalah = ∅ 1 −1 + ∅ 2 −2 + + ∅ − + Dimana, Z t = deret waktu stasioner Φ p = koefisien model autoregresif Z t-p = nilai masa lalu yang berhubungan a t = residual pada waktu t 2.6.4 Model Moving Average MA Model moving average menunjukkan bahwa nilai Z t , nilai yang ingin diketahui, bergantung pada error orde q sebelumnya. Dalam model ARIMA p,d,q, moving average dinotasikan dengan huruf q. Persamaan moving avergae ditunjukkan oleh = − � 1 −1 − � 2 −2 − − � − Dimana, Z t = deret waktu stasioner θ p = koefisien model moving average a t-q = residual lampau yang digunakan oleh model 2.6.5 Model Autoregressive-Moving Average ARMA Model ARMA merupakan gabungan dari model autoregresif dan moving average . Asumsi yang diterapkan adalah ketika deret waktu merupakan campuran dari fungsi autoregresif dan moving average , maka persamaan model ARMA p,q menjadi Z t = ϕ 1 Z t-1 + ϕ 2 Z t-2 +...+ ϕ p Z t-p +a t - θ 1 a t-1 - θ 2 a t-2 -...- θ q a t-q Dimana Z t dan a t sama seperti sebelumnya, Z t adalah konstanta, ϕ dan θ adalah koefisien model. Z t dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q. 2.6.6 Model Autoregressive-Integrated- Moving Average ARIMA Syarat sebuah deret yang harus stasioner untuk dapat dimodelkan. Data yang tidak stasioner sangat sering ditemukan dalam kehidupan nyata.Untuk membuat suatu deret menjadi stasioner dilakukan proses diferencing,contoh pada model AR1 = ∅ −1 + Dari persamaan AR di atas, terlihat bahwa a t tidak berkorelasi dengan Z t-1 , Z t- 2 , ... agar solusinya stasioner memenuhi persamaan di atas haruslah -1 ϕ 1. Jika ϕ=1, maka persamaan di atas menjadi = −1 + Atau ∇ = dimana ∇ = Z t – Z t-1 adalah pembeda pertama dari Z. Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel acak Z t dikatakan model integrasi autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Notasinya adalah ARIMA p,d,q. secara umum persamaan untuk model ARIMA 1,1,1 adalah Z t = 1+Ø 1 Z t-1 + -Ø 1 Z t-2 + a t – θ 1 a t-1 Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot ACF dan PACF. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial. Plot yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masing – masing model memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ρ k = 0 bagi k q dalam model MAq dan ϕ kk = 0 bagi k pdalam model ARp. Arti dari ARIMA p,d,q sendiri adalah model tersebut menggunakan p nilai lag dependen, d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011. Tempat penelitian ini adalah di Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara LAPAN Bandung dan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Darmaga. 3.2 Data dan Alat Penelitian 3.2.1 Data Penelitian  Data curah hujan stasiun penakar hujan Sukamandi, Subang dan Padang Panjang periode Januari 1996 – Desember 1999. Data ini merupakan data rata – rata curah hujan bulanan.  Data iklim global, yaitu data Anomali suhu permukaan laut Niño 3.4 dan IOD periode 1958 – 1999 dan bersifat bulanan. http:www.cpc.noaa.govdataindices nino34.mth.ascii.txt . 3.2.2 Alat Penelitian  Seperangkat Komputer.  Software Ms. Excel dan Ms. Word 2010. Software ini digunakan untuk mencari anomali curah hujan dan anomali dari Niño 3.4 serta analisis dari ARIMA.  Software Mathlab 7.6.0.324 Software ini melakukan analisis spektral menggunakan FFT Fast Fourier Transform kepada data curah hujan, data iklim global dan data hasil telekoneksi.  Software SPSS 16.0 Software ini digunakan untuk analisis statistik yaitu korelasi silang untuk data curah hujan dan anomali SST Niño3.4 serta metode Box-Jenkins untuk membuat model prediksi data telekoneksi. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Spektral