Kawasan konservasi ETNOEKOLOGI DAN DINAMIKA LINGKUNGAN MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA

2006 kehadiran hewan- hewan liar di sesapan sangat ditentukan oleh kondisi alami daerah di sekelilingnya dan kondisi alami sesapan itu sendiri.

D. Kawasan konservasi

1. Ewei teweletn Hutan peliharaan Ewei teweletn adalah sejenis tanah adat yang kondisinya adalah berupa hutan lebat yang di dalamnya tumbuh berbagai jenis tumbuhan bernilai ekonomis seperti berbagai jenis rotan dan berbagai pohon berharga serta tempat hidup berbagai jenis hewan hutan yang diakui secara adat sebagai milik suatu keluarga atau kelompok. Ewei teweletn berasal dari kata ewei atau ngewei yang berarti mengontrol atau mengawasi dan teweletn yang berarti milik, jadi berarti suatu lahan milik perseorangan atau keluarga yang selalu dikontrol oleh pemiliknya pada waktu tertentu. Konsep ewei teweletn hampir sama dengan tana ulen pada masyarakat Dayak Kenyah Soedjito, 2005. Tana ulen dan ewei teweletn sebenarnya merupakan implementasi paham konservasi masa kini. Pada saat ini, konservasi keanekaragaman hayati bukanlah sekedar pelestarian jenis satwa dan tumbuhan, namun juga pemanfaatan yang berkelanjutan sustainable tanpa mengorbankan fungsi ekosistemnya. Lahan ewei teweletn tidak dibenarkan untuk dibuka dan dijadikan lahan pertanian baik oleh anak cucu pemiliknya maupun oleh orang lain. Sebab peruntukkannya khusus untuk tujuan memperoleh hasil hutan bagi keluarga pemiliknya. Caranya adalah dengan meminta ijin pada keluarga tertua dan setelah diijinkan harus memberitahukan kepada sanak saudara lainnya yang mau ikut memungut hasil dari hutan itu pada hari yang telah ditentukan. Pada saat yang lain hutan ini harus dibiarkan hingga beberapa tahun untuk memberi kesempatan agar hutan tersebut beregerasi kembali. Bagi siapa saja yang mengambil hasil hutan tersebut tidak pada saat dibukanya, maka hukumnya tergolong pencurian walaupun itu dilakukan oleh keluarga dari pemiliknya sendiri. Walaupun demikian, pada saat ini beberapa hutan ewei teweletn di Kecamatan Muara Lawa pemanenan hasil kayunya diserahkan ke perusahaan kayu dan si pemilik menerima bagian dari hasil tersebut. Berdasarkan komposisi tumbuhan penyusunnya ewei teweletn dikelompokkan dalam beberapa bentuk. Ewei teweletn biasa atau yang umum dikenal adalah suatu lahan hutan yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuh- tumbuhan yang menjadi habitat bagi satwa liar seperti babi hutan, burung, kancil, kera, rusa, ular, dan berbagai jenis hewan lainnya baik yang hidup darat maupun di dalam sungai. Penangkapan hewan biasanya tidak begitu dibatasi namun untuk jenis tumbuhan seperti rotan dan pohon penghasil kayu pemanenannya perlu waktu dan jadwal tertentu berdasarkan keputusan musyawarah keluarga pemilik atau pewaris lahan tersebut. Ewei teweletn berupa keletn yaitu lahan hutan yang di dalamnya terdapat pohon yang hampir sama jenisnya atau didominasi oleh satu jenis pohon sehingga dikena l keletn uwe karena di dalamnya didominasi oleh jenis-jenis rotan dan keletn tanyut karena di dalamnya di dominasi oleh pohon- pohon besar yang biasanya digunakan oleh lebah madu bersarang. Bentuk tanah adat ewei teweletn ini memang agak rentan terhadap gangguan, karena orang yang tidak tahu asal-usul kepemilikannya akan menganggap lahan itu sebagai hutan tak bertuan. Apalagi ewei teweletn merupakan lahan untuk cadangan dan hanya dikunjungi pada waktu tertentu. Intensitas kunjungan oleh pemiliknya biasanya meningkat pada musim buah dan musim madu atau musim panen hasil hutan lainnya. Namun bagi masyarakat lokal Benuaq biasanya mengetahui pemilik atau pewaris suatu lahan hutan karena telah diatur oleh hukum adat setempat. Oleh sebab itu mereka tidak akan melakukan penggarapan atau pemanenan hasil- hasil hutan tersebut kecuali ada kesepakatan dengan pihak pemiliknya. Menurut Fox 1993 masyarakat adat di Kalimantan Timur umumnya mempunyai kontrol formal terhadap klaim wilayah hutan mereka dengan negosiasi bersama kelompok lainnya yang berdekatan atau bahkan dengan peperangan antar suku pada masa lalu. Wilayah hutan mereka biasanya ditandai secara geografi dengan ciri-ciri alam seperti jajaran gunung- gunung atau sungai- sungai yang menjadi batas mereka. Kontrol ini ditentukan oleh hukum adat yang menetapkan pemanfaatan atau eksploitasi dan konversi suatu kawasan hutan. 2. Tanah kuburan Menurut kodifikasi lahan oleh nenek moyang masyarakat Dayak Benuaq, lahan kuburan terletak di belakang suatu rumah panjang lou dan berada di dalam kawasan simpukng. Pada setiap kampung biasanya telah ditetapkan lahan untuk lahan kuburan yang dikenal dengan istilah simpukng lubakng. Secara hukum adat lahan kuburan ini dilindungi sehingga akan diberikan denda kepada siapa saja yang melakukan pengrusakan di wilayah ini. Denda yang diberikan disesuaikan dengan umur kuburan yang ada pada tempat tersebut karena suku Dayak Benuaq menggolongkan kuburan ke dalam 3 katagori berdasarkan umur kuburan yaitu kuburan baru, kuburan lama dan keluhukng kuburan tua. Pengkeramatan dan perlindungan komplek kuburan biasa ditemukan pada masyarakat Dayak di Kalimantan, seperti dikemukakan oleh Wadley dan Colfer 2004 bahwa secara umum dapat dibedakan dua macam tempat-tempat hutan keramat pada masyarakat Dayak Iban yaitu tempat yang diperuntukkan bagi orang yang telah meninggal kuburan dan tempat yang diperuntukkan untuk didiami oleh roh-roh mahkluk halus. Pada masyarakat Dayak Benuaq, tempat keramat yang diperuntukkan untuk didiami oleh roh-roh mahkluk halus dikenal dengan istilah lati pingit. 3. Lati pingit Hutan keramat Lati Pingit adalah hutan yang dikeramatkan atau dilindungi sacred forest. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq kawasan ini adalah areal hutan yang dihuni oleh roh-roh jahat, yaitu roh Madakng dan Liaaq yang dapat menyebabkan orang jatuh sakit. Kawasan ini terdapat di beberapa tempat dan merupakan kawasan tertutup dari kegiatan warga seperti membuka ladang atau pemukiman. Secara hukum adat kawasan ini dilindungi dan tidak boleh dimasuki kecuali untuk tempat pertapaan dan berhajat oleh masyarakat. Budaya menentukan kawasan hutan sebagai kawasan yang dilindungi merupakan kekhasan pada masyarakat Dayak dalam memandang alam yang harus dilindungi dan dilestarikan. Contohnya hutan Lati Pingit Kajuq dan Lati Pingit Simpukng Niwung di Kampung Tolan Muara Lawa. Nilai religius adalah satu contoh estetis dan alasan yang tepat untuk melakukan konservasi yang mungkin kontras dengan alasan ilmiah dan ekonomi Jepson and Canney, 2003, walaupun perbedaan ini tidak begitu jelas pada masyarakat lokal yang melaksanakannya. Menurut Cotton 1996 pengelolaan dan penggunaan tumbuhan secara tradisional tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia semata tetapi juga dipengaruhi oleh adat- istiadat dimana tumbuhan merupakan bagian penting dalam konteks sosial-budaya. Hal ini memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan tertentu -seperti hutan keramat pada masyarakat Dayak Benuaq- mungkin dimengerti jika nilai- nilai budaya yang berkaitan dengan hal tersebut diketahui. Meskipun budaya tersebut dipandang tidak rasional namun dapat menjadi gagasan yang memiliki konsekuensi yang penting. Contohnya, Lati Pingit Taman Ronuq di Kampung Muara Begai yang dipercaya sebagai tempat kediaman Taman Ronuq roh jahat yang apabila dimasuki dapat menyebabkan celaka bagi manusia. Sehingga kawasan ini di anggap hutan keramat yang tidak boleh dimasuki oleh manusia, walaupun banyaknya jenis-jenis tumbuhan berguna dan hewan buruan terdapat di dalamnya. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang memungkinkan untuk menjaga stabilitas keberadaan tetumbuhan berguna dan kepadatan hewan-hewan buruan secara regional. Ukuran hutan- hutan larangan tersebut di atas tidaklah terlalu luas namun penting untuk perlindungan jenis-jenis tumbuhan dan hewan buruan yang berguna bagi masyarakat lokal. Hutan larangan yang tidak terlalu luas tersebut merupakan tempat perlindungan yang aman bagi tumbuh-tumbuhan, burung-burung, mamalia dan hewan-hewan lain yang hidup di dalamnya. Hal ini dinyatakan oleh Decher 1997 dan McWilliam 2001 bahwa hutan larangan yang tidak terlalu luas bisa jadi bermanfaat bagi kebutuhan sumber daya lokal sekaligus mewujudkan tujuan- tujuan konservasi internasional. Hal-hal yang mengkhawatirkan tentang keberadaan hutan keramat ini adalah status hutan dan perubahan pola pikir masyarakat ke arah modernisasi yang meyebabkan perubahan sikap terhadap hal- hal yang bersifat magis yang dianggap kurang bermanfaat. Sehingga keberadaan hutan ini kurang diperhatikan dan kawasan yang diperuntukan untuk lati pingit telah berkurang di Kabupaten Kutai Barat. Padahal perlindungan suatu kawasan dengan cara aturan adat atau cara dikeramatkan dapat lebih menjaga lingkungan jika dibandingkan dengan aturan formal pemerintah. Masyarakat tradisional masih menghargai adat yang menjadi kesepakatan bersama dan mematuhinya. Pengaruh sangsi yang sifatnya magis lebih ditaati dibandingkan dengan sangsi fisik atau materi. Beberapa ahli menyatakan ada hubungan yang erat antara hutan larangan dan konservasi keanekaragaman hayati. Menurut mereka nilai-nilai religius dan kebiasaan- kebiasaan yang dilekatkan pada lingkungan mungkin kritis supaya usaha konservasi dapat berhasil Berkes, 1999; Byers et al, 2001; Colding Folke, 2001.

E. Kawasan alami 1. Sunge sungai dan butokng danau