AKTIFITAS PERLADANGAN BERPINDAH DALAM BUDAYA MASYARAKAT DAYAK BENUAQ

4. AKTIFITAS PERLADANGAN BERPINDAH DALAM BUDAYA MASYARAKAT DAYAK BENUAQ

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa mengelola sistem pertanian meliputi klasifikasi ladang, tahapan pengerjaan ladang, pengetahuan keanekaragaman varietas padi, pembagian kerja dalam pengerjaan ladang, dan suksesi lahan ladang yang diberakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnobotani: pendekatan digunakan untuk memperoleh data-data etnobotani varietas padi dan sistem peladangan berpindah tradisonal. Data diperoleh dengan teknik parstisipasi langsung dan wawancara langsung dengan informan kunci tentang kegiatan dan persepsi mereka tentang peladangan yang mereka lakukan. Wawancara bebas dilakukan untuk mengetahui pengetahuan mereka tentang aktifitas peladangan termasuk keanekaragaman padi. Kemudian data kuantitatif diperoleh dari kuisioner yang dikombinasikan dengan wawancara terstruktur dengan informan kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem lokal, praktek dan preferensinya menjaga keanekaragaman padi mereka. Sistem perladangan padi pada lahan kering, pemilihan lahan untuk ladang, tumbuhan indikator kesuburan dan kisaran luas ladang masyarakat Benuaq mengindikasikan pengalaman mereka dalam mengelola pertaniannya. Pengetahuan dan keterlibatan secara krusial dalam mengembangkan sumberdaya alam yang lestari. Sayangnya telah terjadi degradasi pengetahuan lokal pada kalangan muda masyarakat Benuaq. Abstract This research aim to study how to Benuaq society around Muara Lawa District, manage agriculture system, internal knowledge about rice varieties, labor distribution, and successional of land fallow. This research use ethnobotanical approach: the approach used is collecting ethnobotanical data of rice varieties and traditional system of shifting cultivation. Data was obtained by using direct participatory technique by interview the people key informants about their practice and perception. The interviews were unstructured open-ended discussion on knowledge and farming activities included about diversity in rice varieties. Subsequently, quantitative data from questionnaires was combined with depth- interview data from key informants. As a result the Benuaq indigenous systems, practices and preferences are guarded towards maintaining rice diversity. The Benuaq systems of upland rice cultivation, site selection for umaq establishment, fertility indicator plant species and cultivation of a wide range of upland rice varieties indicate a clearly sophisticated knowledge system at work. Their knowledge and involvement are crucial in sustainable development on these natural resources. Unfortunately there has been degradation in the indigenous knowledge among the young Benuaqs. Key words: Benuaq, ethnobotanical, indigenous, shifting, upland rice 87 Pendahuluan Perladangan berpindah merupakan suatu lapangan usaha para petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sampai saat ini masih terus dilakukan di Kalimantan Timur. Sebagian besar masyarakat Dayak mempraktekkan sistem perladangan berpindah dan padi merupakan tanaman utama dalam sistem perladangan mereka. Kegiatan perladangan ini merupakan perwujudan dari akal pikiran manusia yang selalu mengikuti bioritme alam sekitarnya, sehingga berhasil menciptakan teknik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Teknik tersebut untuk mewujudkan kesejahteraannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggerakkan tenaga, daya dan modal dalam menggali sumber daya alam yang tersedia, sehingga tercipta upaya pemanfaatan hutan yang dilaksanakan oleh manusia baik secara modern maupun tradisional. Sistem perladangan berpindah tradisonal swidden cultivation ditemukan pada banyak wilayah di kawasan tropis. Dove 1983 menyatakan bahwa sistem perladangan berpindah dipraktekkan oleh 240 sampai 300 juta penduduk di daerah tropis. Sistem pertanian ladang ini dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang jika mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan kondisi lokal, dan mendapat dukungan dari strategi subsisten lainnya.. Selain itu, akses lahan dan sumberdaya alam lainnya harus terjamin serta daya dukungnya tidak terlampaui. Masyarakat Benuaq salah satu masyarakat lokal di Kalimantan Timur yang masih melakukan aktivitas peladangan berpindah, meramu dan berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tradisional ini merupakan salah satu kelompok masyarakat lokal yang menghadapi tekanan dinamika budaya akibat perkembangan Indonesia yang cepat dan desentralisasi sektor kehutanan. Masyarakat Dayak Benuaq merupakan bagian dari kelompok Dayak Lawangan dan perkampungan mereka terletak sepanjang anak-anak Sungai Mahakam sebelah selatan. Pertanian ladang berpindah mempunyai sejarah panjang dalam kehidupan masyarakat Dayak Benuaq. Pada masa lalu perkampungan mereka selalu berpindah-pindah karena aktifitas perladangan dan mencari tempat yang aman dari serangan musuh manakala terjadi perang antar suku Dayak, namun pada saat ini 88 perkampungan mereka telah menetap. Penelitian ini mempelajari pengetahuan lokal tentang pertanian indigenous agricultural knowledge masyarakat Benuaq yang menitik beratkan pada sistem pengetahuan lokal meliputi teknik bercocok tanam tanaman pangan yang diadaptasikan pada kondisi lingkungannya. Sistem perladangan merupakan mata pencaharian subsistence economics sebagian besar masyarakat Dayak Benuaq dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya mereka. Perlu dilakukan penelitian dan dokumentasi sistem penggunaan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq karena terjadi perubahan mendasar akibat tekanan dinamika budaya dan faktor desentralisasi kehutanan tersebut. Apalagi sering dikaitkan masalah kerusakan hutan, maka tidak terlepas dari tudingan bahwa peladang berpindah merupakan salah satu komponen, penyebab kerusakan hutan serta makin meluasnya areal padang alang-alang di hutan Kalimantan Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memahami sistem pertanian masyarakat Benuaq di Kutai Barat dalam arti luas. Secara lebih rinci dapat diuraikan tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Dayak Benuaq tentang lingkungan hidupnya berkaitan dengan sistem peladangan berpindah dari perspektif mereka sendiri. Pengetahuan tersebut meliputi klasifikasi ladang, proses pengelolaan ladang, pembagian kerja dalam pengelolaan ladang, suksesi lahan bera dalam sistem perladangan. 2. Mengetahui dinamika vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas perladangan berpindah terutama pada hutan- hutan sekunder yang terbentuk akibat proses pemberaan lahan ladang. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan bulan Juni 2005 hingga Juni 2007 pada Kampung Cempedas, Kampung Dingin, dan Kampung Muara Lawa. Alasan pemilihan kampung-kampung tersebut adalah sebagai berikut: a mayoritas penduduknya hidup 89 dari berladang; b penduduk kampung ini relatif homogen penduduk asli yang merupakan konsekuensi dari penelitian yang dilaksanakan yaitu untuk meneliti etnoekologi perladangan masyarakat Benuaq; c masih banyak orang tua yang mengetahui tentang adat tradisional mereka. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Alat rekam suara, rol meter ukuran 50 meter, kompas, peta, diameter tape, altimeter, soiltester, clinometer, hygrometer, magnifying lope, binokuler, jangka sorong, mistar, parang, gunting stek, haga altimeter, tali plastik, kantong plastik berbagai ukuran, amplop sample, kertas mounting, label gantung, kertas koran, kantong plastik, sasak, kamera, film dan alat-alat tulis. Bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 70, formalin 5, dan spiritus. Metode Penelitian a. Pengumpulan data etnoekologi dan etnobotani di lapangan mela lui dua pendekatan: emik dan etik i. Pendekatan emik pengetahuan 1. Membuat deskripsi tentang satuan-satuan lingkungan berkaitan dengan sistem perladangan yang dikenali masyarakat praxis. 2. Menyusun kembali pola pemikiran masyarakat tadi ke dalam sebuah sistem melalui daftar pertanyaan baku. Selanjutnya dilakukan berbagai teknik wawancara seperti wawancara semi terstruktur Grandstaff Grandstaff, 1987, wawancara terstruktur dan wawancara bebas open ended Gambar 13. Daftar pertanyaan baku yang disiapkan meliputi: - Klasifikasi ladang. - Tata cara dan siklus perladangan. - Luas ladang dan jumlah produksinya. - Jenis tanaman budidaya selain padi. - Pembagian kerja dalam pengolahan ladang. - Kondisi lahan dan suksesi perladangan. 90 Gambar 13 Wawancara pengumpulan data di lapangan 3. Melakukan penilaian berdasarkan katagori pemanfaatan terhadap sumber daya tumbuhan dari masing- masing satuan lingkungan. ii. Pendekatan etik ilmu pengetahuan 1. Melakukan analisis vegetasi pada setiap perubahan klasifikasi lokal perladangan dengan membuat plot sampling untuk memperoleh gambaran tentang dinamika ekosistem perladangan. Setiap tipe la han suksesi bekas ladang diambil sampel tanah lapisan atas 0-20 cm untuk dianalisa pada Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 2. Melakukan analisis hubungan antara masing-masing satuan lingkungan dengan melibatkan aktifitas kegiatan masyarakat penghuninya penetapan informan, melalui pertimbangan peubah demografi. 3. Melakukan identifikasi untuk memperoleh nama baku ilmiah sumber daya tumbuhan. Identifikasi tumbuhan dilakukan pada Herbarium Bogoriense dan Herbarium Wanariset Samboja. 91 b. Pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya Data sosial ekonomi dikumpulkan untuk me mperoleh gambaran umum tentang masyarakat setempat. Data dikumpulkan dengan metode survei terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan memilih secara acak peladang responden secara proporsional yang meliputi: - Kelompok dalam pengelolaan ladang. - Ritual-ritual perladangan. - Hasil panen ladang. - Hasil lain yang didapatkan dari hutan. - Hasil musiman yang dia mbil dari hutan. Data sekunder dikumpulkan dari lembagainstansi yang ada kaitannya dengan penelitian ini seperti Kantor Kecamatan, Kantor Bupati Daerah Tk II, Dinas Pertanian Kabupaten dan Biro Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat yang meliputi: - Jumlah dan kepadatan penduduk. - Komposisi umur dan kelamin penduduk. - Pendidikan tidak sekolahSDSMPSMAPT - Mata pencaharian penduduk. - Penggunaan lahan. - Kelembagaan. - Pendapatan per kapita. - Organisasi kemasyarakatan. Hasil Klasifikasi ladang Sistem peladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq umumnya bersifat rotasi pemakaian lahan atau dikenal dengan istilah lokal perladangan gilir-balik rotational cultivation. Setelah satu hingga dua kali panen ladang akan diberakan untuk waktu yang tidak ditent ukan, tergantung suksesi alami dari lahan tersebut. Bekas lahan tadi akan tumbuh menjadi belukar sampai menjadi hutan sekunder dan merupakan warisan turun-temurun bagi keluarga si penggarap. 92 Lokasi perladangan umumnya di luar kawasan kampung dikenal dengan istilah umaq lati tana. Kawasan ini memang dikhususkan untuk kegiatan pertanian terutama peladangan berpindah shifting cultivation. Peladangan berpindah adalah suatu bentuk kegiatan pertanian pada masyarakat pedalaman umumnya dan masyarakat Dayak khusus nya yang berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam yang disesuaikan dengan kondisi dan kaidah-kaidah ekologi setempat, secara mudah dan murah. Suku Dayak dalam berladang berprinsip pada pola daur penggunaan lahan dalam skala lokal yang sering dicampurbaurkan dengan perpindahan penduduk migrasi. Berdasarkan urutan pengerjaan ladang dan setelah masa panen yang pertama masyarakat Dayak Benuaq mengklasifikasikan ladang sebagai berikut: 1. Baber Baber adalah areal ladang yang terus digunakan untuk kegiatan berladang pada tahun ke dua. Hal ini dipertimbangkan karena lahan masih produktif, walaupun lahan baber ini sudah ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan gulma terutama kelompok tumbuhan perintis. Lahan ini umumnya ditanami jagung, ubi kayu dan talas disamping tanaman utama padi ladang. Pengerjaan ladang pada lahan ini lebih dominan dikerjakan oleh kaum wanita sehingga secara hukum adat Benuaq hasil ladang yang dibuat pada satuan lingkungan ini merupakan milik kaum ibu. 2. Kelewako Kelewako adalah areal ladang yang terus digunakan hingga tahun ke tiga atau merupakan lanjutan dari baber. Pengerjaan ladang pada tipe ini lebih berat jika dibandingkan dengan baber karena beberapa jenis tumbuhan perintis berkayu telah berukuran agak besar. Biasanya peladang hanya menanami sebagian dari areal ladang dengan tanaman ubi kayu jebao, ubi jalar ayaq, talas tenayan atau tonai. Peladang mungkin lebih menghargai rotasi tanaman karena cara ini mengurangi tenaga kerja dan persyaratan distribusi tenaga kerja selama suatu jangka waktu yang panjang. Selanjutnya berdasarkan letak atau posisinya masyarakat Dayak Benuaq mengenal beberapa jenis ladang yaitu: 93 1. Umaq Buu Umaq Buu adalah ladang yang diolah oleh satu keluarga penggarap dan letaknya terpencil jauh dari ladang- ladang yang lain. Ladang ini dibuat biasanya sebagai uji coba kesuburan suatu lahan baru di dalam hutan atau lebih tepatnya sebagai upaya membuka hutan baru sebelum dimulai suatu perladangan secara beramai- ramai. 2. Umaq Temikng Umaq Temikng adalah ladang yang dibuat berdampingan dengan ladang milik tetangga atau sanak saudara dari satu kelompok keluarga maupun antar kelompok yang berbeda namun masih bertetangga. Umaq Temikng sesuai dengan namanya yang berarti ladang kembar atau ladang berdampingan yang terdiri dari paling sedikit dua atau lebih ladang yang dibangun pada waktu yang bersamaan. Pasangan suami- istri, duda atau janda dengan anak remajanya yang belum menikah biasanya merupakan kesatuan yang membuat ladang dengan tipe seperti ini. Bentuk ladang yang dibuat berdampingan juga ditemukan pada masyarakat Bentian pada Kecamatan Bentian Besar Sillander, 2002. 3. Umaq Lelekng Umaq Lelekng adalah ladang yang dibuat secara beramai-ramai oleh satu keluarga besar atau beberapa keluarga sehingga kelihatan seperti hamparan ladang yang luas. Pembuatan ladang tipe ini hanya dapat dilakukan pada masa lalu dimana hutan yang tersedia untuk peladangan masih sangat luas. Untuk mencegah silang sengketa karena aktifitas berladang maka ada aturan adat yang harus dipatuhi dikenal dengan adat bekumaq. Misalnya pada umaq temikng dan umaq lelekng maka pada setiap batas lahan milik setiap penggarap dibuat suatu batas yang jelas berupa pohon-pohon yang sengaja dibiarkan tetap berdiri berjejer sepanjang batas ladang tersebut. Pohon-pohon pembatas ini disebut Elakng dan jika pohon-pohon tadi musnah pada saat pembakaran ladang yang dilakukan beramai- ramai maka untuk penggantinya harus ditanami dengan pohon-pohon baru berupa jenis tumbuhan berumur panjang seperti kayu teluyatn Eusideroxylon zwagerii atau kala kng Durio zibethinus. Hal ini untuk memudahkan kepada ahli waris pemilik 94 ladang di kemudian hari mengenal batas-batas ladang atau agroforestri simpukng peninggalan orang tua mereka. Batas-batas ladang ini tercermin dalam peribahasa yang menjadi salah satu unsur falsafah dalam kehidupan mereka yaitu Umaq naan elakng, belai naan binturat. Kayuq naan tonar, sunge naan maraq artinya berladang ada batasnya, berumahpun ada batasnya. Pohon ada pangkalnya, sunga i pasti ada muaranya. Maksud dari pepatah ini adalah sebagai landasan berpikir dalam melakukan aktifitas kehidupan memang bebas namun ada batasannya. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat tradisional Benuaq melestarikan sumber dayanya dan menghindari over konsumsi dengan aturan tabu. Hasil yang diharapkan adalah kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam karena kesimbangan ekologi alamnya terjaga. Tahapan pengerjaan ladang Pelaksanaan pengerjaaan ladang oleh masyarakat Benuaq melalui tahap-tahap yang merupakan siklus pengerjaan ladang yang dilakukan sepanjang tahun Gambar 14. Tahap-tahap awal pembukaan ladang oleh masyarakat Dayak Benuaq sangat mempercayai hal-hal atau peristiwa-peristiwa alam di sekitar lokasi perladangan yang dianggap sebagai tanda nyahuq. Peristiwa-peristiwa alam ini diangga p pertanda baik dan pertanda buruk. Pertanda yang dianggap baik bila pada tahap-tahap mengerjakan ladang tidak dijumpai hal- hal yang merugikan, misalnya kecelakaan atau terluka pada saat bekerja. Sedangkan pertanda yang dianggap buruk bila pada tahap pengerjaan ladang ditemui hal-hal yang kurang baik, misalnya ditemukannya hewan yang mati pada lahan yang akan dijadikan ladang, suara burung atau binatang yang aneh, mimpi buruk , pohon yang tumbang secara tiba-tiba ketika akan pergi ke tempat berladang dan lain- lain. Jik a mendapatkan pertanda buruk pada saat pembukaan ladang maka pekerjaan ini akan ditunda atau dibatalkan oleh si peladang. Gambar 14 Siklus pengerjaan ladang pada masyarakat Dayak Benuaq modifikasi Boissiere, 2003 1 2 3 4 5 6 7 8 Perencanaan Maduq mede Kawasan per ladangan Uma lat i t ana Tanda nyahuq Indikator kesuburan Seleksi Ngerakng 9 Arah penebasan Ritual tanda Peralatan ekek Ritual tanda Alat Tekhnik Gender ? Gerak pembakaran Arah angin Kerongo Sekat Ladekng Mengumpulkan sisa pembakaran Pembakaran ke 2 Ritual muat luwikng Alat tajak Biji, stek, tunas Teknik penyiangan Alat lingga waktu Gender ? Ritual Alat gentuk Penyimpanan Suksesi alami Agroforestri simpukng Perkebunan kebotn 1. Pemilihan lahan 2. Penebasan Nokap 3. Menebang Nowang 4. Membakar Nyuru 5. Membakar ulang Mongkekng Pengaturan batas 6. Menugal Ngasak niruq 7. Menyiang Ngejikut 8. Panen Ngotepm 9. Pemberaan Namun bila dilanjutkan maka diadakan suatu upacara ritual yang dimaksudkan untuk membersihkan dan menangkal diri dari bahaya yang dapat mengancam saat mengerjakan ladang. Ritual tersebut dikenal dengan Melas lati tana dan yang umum dilakukan adalah Pakatn nyahuq yaitu memberi makan para roh penunggu hutan yang akan dijadikan ladang. 1. Perencanaan Maduq mede Tradisi dan keyakinan masyarakat Dayak Benuaq secara turun temurun untuk memulai suatu pekerjaan besar seperti membangun rumah dan membuka ladang dimulai dengan melihat tanda-tanda alam, terutama tanda-tanda bintang dan bulan. Dengan melihat bintang-bintang itulah mereka akan menentukan perencanaan pembuatan ladang dan menentukan waktu pemilihan la han. Khusus untuk kegiatan berladang, bintang yang jadi patokan adalah Bintang Bemari yaitu tanda untuk memilih lahan dan Bintang Piyuluq Pengkuluq yang merupakan tanda untuk memulai pengerjaan ladang. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Dayak lainnya sebagaimana dinyatakan oleh Sellato 1989 bahwa orang Dayak memilih waktu untuk berbagai kegiatannya dengan melihat bintang. Khusus untuk tanda bulan, hal yang diperhatikan adalah tidak boleh memulai suatu pekerjaan pada saat bulan gelap bulatn sirepm atau pada akhir bulan bulatn liyetn. Selain memperhatikan tanda bintang dan bulan, masyarakat juga sangat memperhatikan tanda-tanda alam lainnya seperti suara-suara binatang liar nyahuq. Menjadi tradisi pula dalam masyarakat Benuaq untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti pembuatan ladang secara gotong-royong bergiliran yang dikenal dengan istilah pelo atau beroh. Pelo merupakan suatu kelompok tani dalam melakukan pekerjaan perladangan yang dilakukan secara bergiliran pada lahan setiap anggotanya. Anggota pelo umumnya merupakan kerabat dekat dan tetangga yang memiliki ladang berdekatan. Pelo dilakukan bukan hanya dalam pekerjaan mengolah ladang tetapi juga dalam pekerjaan lainnya seperti membuat rumah. Sebelum melakukan pekerjaan pembukaan ladang biasanya anggota kelompok pelo berkumpul dan bermusyawarah untuk membicarakan waktu dimulainya kegiatan pembuatan ladang dan jadwal pengaturan pelo. Kegiatan ini dikenal dengan istilah berinu atau musyawarah. Menurut Dyson 1979 terbentuknya kelompok di daerah perladangan masyarakat Dayak Benuaq lebih mempermudah jalannya sistem pengerahan tenaga kerja terutama dalam bidang pertanian dan menghemat waktu serta tenaga yang biasanya digunakan selama perjalanan dari rumah ke kawasan ladang. Hal ini salah satu bentuk usaha mengatasi keterbatasan tenaga kerja di kampung- kampung di pedalaman Kalimantan. 2. Pemilihan lahan ladang Nusaq lati tana Nusaq lati tana artinya mencari lahan yang baik untuk dijadikan tempat berladang. Pemilihan lahan biasanya dilakukan dengan penjajagan ke beberapa lokasi yang dianggap layak. Hal ini dilakukan sebagian masyarakat bahkan 1 atau 2 tahun sebelum dimulainya penggarapan lahan dan bila mereka menemukan lahan yang dianggap ideal untuk dijadikan ladang maka di tempat tersebut diberi tanda berupa pemancangan yang disebut Tonyokng. Tonyokng berupa potongan kayu yang ditancapkan ke tanah yang panjangnya sekitar 1 depa orang dewasa. Pada ujung bagian atas potongan kayu tersebut dikuliti dan dibelah menjadi empat, kemudian pada belahan tersebut diselipkan ranting-ranting kayu yang masih berdaun. Tanda tersebut dapat juga berupa penggarapan awal pada kedua ujung lokasi yang menandakan bahwa lokasi tersebut sudah direncanakan untuk dijadikan ladang oleh seseorang atau sekelompok orang. Tahap ini pada masyarakat Benuaq dan Tunjung dikenal dengan istilah ngerakng selecting. Lahan yang sudah ditandai tadi ditinggalkan beberapa bulan hingga tiba saat yang tepat untuk memulai penggarapan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain yang mungkin saja mengakui bahwa lahan tersebut miliknya atau warisannya. Agar tidak terjadi sengketa lahan, maka faktor pertama yang harus dipertimbangkan adalah status kepemilikan lahan yang akan dijadikan ladang. Kegiatan penjajagan ini hanya dilakukan dalam membuka ladang baru di hutan primer dan tidak perlu dilakukan jika membuat ladang pada bekas ladang sebelumnya. Jarak antara lokasi ladang penduduk dengan kampung rata-rata lebih dari 2 jam perjalanan yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Lahan ladang yang jauh dari kampung pada umumnya adalah jenis hutan sekunder tua bataakng dengan masa bera 20-30 tahun, sedangkan ladang yang berada di sekitar kampung umumnya adalah hutan sekunder muda balik bataakng dengan masa bera berkisar 5-15 tahun. Kesuburan tanah diindikasikan dengan kehadiran jenis-jenis tumbuhan tertentu yang sebenarnya erat kaitannya dengan tahapan suksesi vegetasi seperti jenis-jenis Bateteq Horstedtia spp, Bengkuukng Macaranga gigantea, Isaaq Ngkookng Cominsia gigantea, Nagak Schima wallichii, dan Tentakng Campnosperma auriculatum. Disamping itu kesuburan diindikasikan juga dengan ukuran diameter pohon yang tumbuh di lahan tersebut seperti pohon Belaban Tristaniopsis whiteana yang dapat tumbuh dengan ukuran normal pada tanah yang subur dan akan menjadi kerdil pada tanah yang tidak subur hutan kerangas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peladang Benuaq mengenal beberapa jenis tumbuhan indikator ekologis yang berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah pada lahan yang diberakan dan menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan lahan Tabel 5. Tabel 5 Jenis-jenis tumbuhan indikator kesuburan tanah pada masyarakat Benuaq No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku 1 Belayatn Merremia sp Convolvulaceae 2 Bengkuukng Macaranga gigantea Reichb. f. Zoll. Mull. Arg. Euphorbiaceae 3 Bateteq Hornstedtia sp Zingiberaceae 4 Jaung Nicolaia speciosa Bl. Horan Zingiberaceae 5 Kayu sirih Piper aduncum L. Piperaceae 6 Tentakng Campnosperma auriculatum Bl. Hook. f. Myrsinaceae 7 Biruq Licuala valida Becc. Palmae 8 Beramboyut Macropanax dispermus Bl. Cucurbitaceae cf. 9 Tempuro Dillenia sp Dilleniaceae 10 Pisaaq Fordia splendidissima Bl. Fabaceae 11 Pipit Lithocarpus elegans Bl. Hatus. Ex S. Fagaceae 12 Butootn Stachypterinum sp Maranthaceae 13 Isaaq Ngkookng Cominsia gigantea K. Schum. Maranthaceae 14 Nagak Schima wallichii D.C. Korth. Theaceae 15 Belaban Tristaniopsis whiteana Griff. Wilson Waterhouse Myrtaceae Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan ladang adalah warna dan struktur tanah. Berdasarkan warna dan struktur tanah masyarakat Benuaq membedakan beberapa tipe tanah yaitu 1. tana metapm yaitu tanah yang berwarna hitam; 2. tana meaq yaitu tanah yang berwarna merah; 3. tana ronan yaitu tanah yang strukturnya lempung tanah liat; dan 4. tana one yaitu tanah berpasir yang dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu: a. tana one lemit tanah berpasir kuning biasanya ditemukan di daerah pinggir sungai; b. tana one metapm tanah berpasir hitam biasanya di lahan bengkar; dan c. tana one bura tanah berpasir putih biasanya ditemukan pada lahan lati jaras yang merupakan lahan kerangas yang tidak subur. Tipe tanah-tanah di atas kecuali tana one bura biasanya relatif subur walaupun tingkat kesuburannya bervariasi tergantung tingkatan suksesi lahan. Peladang Dayak Benuaq umumnya lebih senang membuat ladang pada tipe tanah yang strukturnya lempung karena biasanya lebih subur. Menurut Ohta et al. 1993 partikel-partikel lempung berperana n penting dalam menyimpan nutrien- nutrien tanah. Oleh karena itu, kemungkinan masa bera yang diperlukan untuk meningkatkan kandungan nutrien mungkin lebih pendek pada tanah bertekstur lempung. Sedangkan berdasarkan topografinya, lahan kerereng yang merupakan lahan dilereng- lereng bukit lebih disukai untuk membuat ladang. Menurut masyarakat peladang tanah pada lereng bukit lebih subur dan cepat kembali kesuburannya saat diberakan. Pengetahuan lokal indigenous knowledge yang dimiliki oleh peladang Benuaq ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Mackinnon et al. 2000 menyatakan bahwa batuan pulau Kalimantan ini miskin kandungan logam dan pelapukan sempurna yang dalam disertai dengan pelindian menghasilkan tanah yang kesuburannya rendah di berbagai dataran rendah. Lereng yang lebih curam mungkin lebih subur karena erosi dan tanah longsor terus membuka bahan induk yang baru. 3. Ritual pembukaan ladang Ritual diadakan untuk melakukan komunikasi antara peladang dengan makhluk gaib penunggu hutan. Ritual ini dilakukan dengan berbagai cara dan yang paling sederhana untuk persyaratan pembukaan ladang adalah ritual Ngentas ritual ini dapat diartikan sebagai ritual bertanya pada makhluk gaib apakah hutan tersebut boleh digarap atau tidak, tetapi ritual ini sudah sangat jarang dilakukan dalam pembukaan ladang namun masih dilakukan dalam ritual pengobatan. Ritual yang masih dilakukan dalam membuka ladang pada saat ini adalah ritual Melas Lati Tana atau Pakatn Nyahuq memberi makan roh-roh penjaga hutan. Apabila para makhluk gaib dapat menerima dengan baik, maka dipercaya akan ada tanda- tanda atau isyarat tertentu yang diperlihatkan kepada para peladang melalui mimpi atau tanda-tanda lainnya nyahuq. Tradisi melaksanakan upacara ritual untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan tempat berladang sesuai dengan penelitian Sumual 1998. Upacara ritual pembukaan ladang juga untuk lebih mempererat komunikasi antar peladang di sekitar kawasan peladangan karena makin terjalin kerjasama dan keharmonisan sekaligus merupakan antisipasi paling efektif untuk menangkal hal- hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Walaupun upacara yang berhubungan dengan aktifitas-aktifitas perladangan sudah mulai berkurang di Kecamatan Muara Lawa pada saat ini, namun para peladang masih mematuhi beberapa larangan- larangan religius dalam memilih lahan tempat berladang. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemilihan lahan pada saat ini lebih berdasarkan aspek-aspek pragmatis, seperti jarak dan mudah dicapai dari kampung, lamanya masa bera, dan jarak dengan lahan sanak famili. 4. Menebas Nokap nerap Penggarapan awal lahan dimulai dengan pekerjaan yang disebut nokap atau menebas. Nokap adalah pekerjaan menebang pohon-pohon kecil dan semak belukar. Alat yang digunakan adalah ekek parang khas Dayak dan dikerjakan oleh kaum pria dan wanita bersama-sama. Pekerjaan menebas dilakukan sekitar bulan April hingga Mei jika membuat ladang pada hutan primer Bengkar tetapi biasanya dikerjakan pada bulan Juni bagi masyarakat yang membuat ladang pada hutan sekunder bekas ladang yang diberakan Balik batakng dan Batakng. Pekerjaan menebas ladang pada prinsipnya dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga karena itu keluarga atau rumah tangga merupakan unit tenaga kerja, produk si, dan konsumsi dalam sistem perladangan seperti dikemukakan oleh Dove 1988. Tujuan penebasan lokasi perladangan adalah untuk membersihkan semak belukar di lokasi ladang dan untuk membersihkan lantai hutan guna menunjang efisiensi pekerjaan penebanga n dan pembakaran ladang pada tahap-tahap berikutnya. Arah penebasan yang dilakukan oleh peladang biasanya berlawanan dengan arah rebahnya semak belukar yang ditebas. Misalnya, lokasi ladang di lereng bukit maka pekerja bergerak naik, sedangkan arah rebahan semak belukar yang ditebas selalu mengarah ke bawah. Arah gerakan ini dilakukan dengan teratur untuk memudahkan pekerjaan penebangan pohon pada tahap berikutnya. Selanjutnya alur penebasan menurut adat Benuaq tidak boleh terputus-putus sehingga mereka akan menebas dengan pola yang teratur. Pekerjaan penebasan tergantung pada jenis hutan yang dijadikan ladang. Penebasan yang dilakukan di hutan primer relatif lebih cepat karena di lantai hutan primer tidak terlalu banyak terdapat semak belukar jika dibandingkan hutan sekunder. Pada tahap ini masih banyak tanda-tanda atau isyarat tertentu yang perlu diperhatikan. Bila tanda-tanda yang diturunkan menunjukkan pada hal- hal yang aneh, misalnya ditemukan binatang beranak di lokasi lahan yang sedang digarap atau terdengar suara makhluk yang tidak sebagaimana biasa maka kebanyakan peladang lebih memilih menunda atau membatalkan pekerjaannya. Setiap kali peladang mendengar atau melihat pertanda-pertanda jelek, pertanda itu harus diikuti dengan ritual dan pantang bekerja di ladang. Dove 1988 memaknai kepercayaan ini omen sebagai sistem pengetahuan asli orang Dayak dalam membaca pertanda lingkungan hidup, terutama yang berhubungan dengan perladangan mereka. 5. Menebang Nowang Nowang adalah kegiatan menebang pohon-pohon besar dan memotongnya menjadi bagian yang lebih kecil, biasanya dilakukan bulan Juli dan Agustus. Tahap ini dilakukan sekitar sebulan setelah tahap nokap agar pohon-pohon kecil dan belukar yang ditebas mengering. Waktu menebang umumnya dilakukan sekitar tiga sampai empat minggu setelah menebas. Alat yang digunakan untuk menebang adalah beliung, kapak dan parang, namun pada saat ini penggunaan gergaji mesin Chain saw sangat berperan untuk efisiensi waktu. Menurut informan peladang Benuaq ada beberapa teknik penebangan pohon, namun dari pengamatan lapangan selama penelitian hanya ditemukan penebangan dengan menggunakan gergaji mesin Chain saw. Hal ini dilakukan peladang karena teknik penebangan dengan gergaji mesin dapat menyelesaikan pekerjaan ini dalam waktu relatif singkat. Pelaksanaan tahap penebangan ini juga masih dipengaruhi oleh isyarat alam. Bila selama pengerjaan tidak tampak tanda-tanda aneh maka pekerjaan bisa dilanjutkan. Namun bila terdapat tanda-tanda atau isyarat yang kurang baik, maka biasanya peladang memberikan persembahan dan meminta maaf pada penunggu hutan melalui Pawang Belian yang disebut ritual Bebayar Betahur. Upacara Bebayar Betahur pelaksanaannya biasanya dapat menunggu sampai setelah musim panen. Sebelumnya dilakukan acara perjanjian yang disebut Besapaq Besawei yaitu permohonan si penggarap lahan kepada makhluk gaib agar dilindungi dari bahaya. Pekerjaan menebang hanya dilakukan oleh kaum pria saja walaupun terkadang ada kaum wanita ikut membantu. Menurut Dove 1988 ada dua tujuan utama dari tahapan menebang. Pertama pohon-pohon perlu ditebang supaya mati dan cepat kering dan pembakaran ladang akan menghasilkan banyak abu. Abu ini merupakan faktor penting bagi keberhasilan ladang, karena dapat dipakai sebagai sumber makanan bagi tanaman yang sedang tumbuh. Kedua adalah untuk memungkinkan matahari menyinari permukaan ladang. Jika pohon-pohon dibiarkan berdiri maka permukaan ladang akan tertutup oleh kanopi pohon dan kurang baik bagi pertumbuhan padi. 6. Membakar Nyuru Lahan yang telah ditebang dibiarkan selama 20 hingga 45 hari hingga kayu-kayu dan daun-daunnya mengering. Tahap berikutnya adalah nyuru atau membakar ladang yang dilakukan pada bulan September atau Oktober. Pembakaran adalah teknik menghilangkan gulma, hama serta penyakit. Pada pembakaran ladang terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu arah angin dan pemerataan tumpukan bekas tebangan sehingga tidak terjadi kebakaran ke lahan- lahan di sekitarnya. Beberapa hal yang harus dilakukan pada saat melakukan pembakaran ladang adalah: 1. Pembuatan suatu sekat seperti jalan di sekeliling ladang yang akan dibakar untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan di luar lokasi ladang. Ranting-ranting dan daun-daun kering pada area sekat tersebut disapu dan dibersihkan. Sekat ini dikenal dengan istilah ladekng pada masyarakat Benuaq dan merupakan cara tradisional untuk melokalisasi kebakaran hutan. Cara ini juga dikenal pada etnis Dayak lainnya seperti ngeladih pada etnis Iban dan ikkar pada etnis Tamambaloh Supardiyono, 1999. 2. Dilakukan penyiraman bila dianggap perlu untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan peladang biasanya menyiapkan beberapa ember atau jerigen air pada saat membakar ladang. Pekerjaan ini umumnya dilakukan secara bergotong-royong oleh kaum pria dan wanita. 3. Memperhatikan arah angin biasanya dengan menggunakan alat sederhana, yakni dengan menggantungkan sebuah nyiruh didepan pondok. Pada nyiruh tersebut diberi lukisan bocah dungu bernama Kerongo. Menurut lagenda Benuaq bocah dungu ini bertuah dan sakti serta mempunyai banyak kelebihan dan ikut berperan dalam sejarah masa lalu. 4. Kaum perempuan pada hari akan membakar ladang dianjurkan pagi-pagi sekali sudah membersihkan semua ruangan rumah sampai ke halaman. Selanjutnya mereka mandi dan berkeramas serta berdandan dengan pakaian rapi agar kelihatan lebih menarik dari biasanya, tak ubahnya seperti menyambut tamu agung. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Benuaq agar lahan yang mereka bakar pada hari itu menjadi hangus sempurna sehingga tak bersisa sepotong kayupun di dalamnya. 5. Memberi tahu dan bekerja sama dengan pemilik lahan di sekitar untuk membakar ladang secara beramai-ramai pada saat yang bersamaan. Pembakaran ladang oleh peladang Benuaq dimulai dari tengah-tengah ladang dengan gerak pembakaran bersifat lingkaran konsentris. Gerak pembakaran ladang konsentris ini sama dengan gerak pembakaran ladang yang oleh masyarakat Dayak Tunjung seperti dikemukakan oleh Lahajir 2001. Namun hal tersebut berbeda dengan pembakaran ladang pada masyarakat Kantu yang dimulai dari pinggir ladang dengan gerak pembakaran bersifat lurus simetris Dove, 1988. 7. Membersihkan lahan setelah dibakar Mongkekng Mongkekng adalah membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak habis dilalap api agar lahan bersih dan lebih mudah untuk ditanami Gambar 15. Sisa-sisa tumbuhan yang tidak terbakar dikumpulkan pada suatu tempat setelah itu dilakukan pembakaran kembali. Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq ladang adalah suatu lautan yang akan dilayari oleh Dewi Padi Luwikng sehingga bila ladang bersih maka diibaratkan lautan yang tenang dan tidak bergejolak, dengan demikian pelayaran roh padi akan tenang dan nyaman. Pekerjaan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 hingga 8 hari tergantung dari hasil pembakaran ladang pertama dan dilakukan oleh kaum pria dan wanita secara bersama-sama. Kegiatan ini juga dilakukan oleh masyarakat peladang Dayak lainnya di Kalimantan Timur seperti masyarakat Dayak Kenyah yang menyebut tahap ini dengan istilah Mekup kom. pri. Gambar 15 Tahap membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar 8. Menugal Ngasak niruk Penanaman padi ladang yang disebut ngasak niruk dilakukan setelah pembakaran dianggap sempurna. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada bulan September dan Oktober setelah pekerjaan membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar. Penanaman padi ini dilakukan dengan cara kolektif yaitu gotong- royong bergiliran pelo dan beroh oleh kaum pria dan wanita. Pelo merupakan bentuk kerja gotong royong bergiliran diantara sesama anggotanya, sedangkan beroh merupakan tenaga yang membantu dalam pekerjaan di ladang. Sehari sebelum upacara ngasak niruk dilakukan, pada lokasi ladang sudah disiapkan bakul-bakul berisi benih padi yang akan ditanam. Tempat meletakkan bakul-bakul benih ini disebut Pukatn Bini. Pada tempat tersebut akan ditanami berbagai jenis tumbuhan yang berkhasiat seperti kwayatn lemit Bambusa vulgaris Schrad. var. striata, biowo Cordyline fruticosa Back. dan berbagai tumbuhan hias yang bermanfaat sebagai obat-obatan tradisional. Lokasi ini menurut kepercayaan masyarakat Benuaq adalah tempat perahu Dewi Padi yang akan digunakan untuk berlayar. Pada tempat ini disusun beberapa potongan kayu sebagai tempat duduk yang merupakan dermaga bagi sang Dewi saat berangkat berlayar maupun saat tiba dari perantauan. Tempat ini diatur sedemikian rupa agar Dewi Padi merasa senang karena mendapat perhatian penuh dari pemilik ladang. Prosesi upacara ngasek dimulai pagi sekali sebelum burung-burung atau lalat berterbangan. Hal ini dipercaya agar dalam proses pertumbuhan tanaman akan terhindar dari gangguan hama dan penyakit. Upacara dimulai dengan mengantarkan semua bibit yang akan ditanam dan diletakkan di Pukatn Bini. Kemudian seorang tetua dari keluarga pemilik ladang atau pawang akan membacakan mantra- mantra serta memberi makanan pada Juata Tonoi penunggu lahan agar ikut memelihara dan menjaga tanaman sepanjang tahun. Setelah membacakan mantra- mantra beberapa jenis makanan untuk kegiatan menugal dibawa ke tengah ladang dan diletakkan tidak jauh dari Pukatn Bini. Para anggota pelo yang ikut bergotong-royong sebelum memulai pekerjaan terlebih dahulu harus memakan makanan kecil berupa lemang, tumpi, ketupat dan makanan kecil lainnya. Gambar 16 Tahap menugal pada pengerjaan ladang Ket: Barisan depan adalah kelompok yang membuat lobang tugalan Barisan ke dua adalah kelompok yang mengisi lubang dengan bibit Selanjutnya dimulai pekerjaan menugal, yakni kaum pria akan membuat lubang tugalan dengan tongkat kayu ulin yang ujungnya diruncingkan dan kaum wanita mengiringi di belakang dengan membawa bibit di dalam bisatn kantung anyaman dan mengisi setiap lubang dengan bibit padi Gambar 16. Kegiatan mengisi lubang tugalan yang dilakukan oleh kaum wanita ini dikenal dengan istilah lokal moyas. Bentuk peladangan padi pada masyarakat Benuaq ini menunjukkan bahwa sangat sedikit dilakukan pengolahan tanah sebelum ditanami. Bentuk pengolahan tanah yang diolah seperlunya dengan menggunakan tajak untuk membuat lubang pada peladangan merupakan salah satu metoda mekanik dalam konservasi tanah, karena hal ini akan mengurangi erosi pada permukaan tanah. Friedberg 1989 menyatakan bahwa peladangan lestari tradisional dicirikan oleh sedikitnya persiapan lahan, hanya menggunakan tajak tongkat yang ujungnya diruncingkan untuk membuat lubang yang akan digunakan untuk menanam biji. Sedikitnya gangguan terhadap permukaan tanah ikut andil dalam mempertahankan kesuburan tanah dengan mengurangi erosi. Upacara terbesar dalam adat menanam padi pada masyarakat Dayak Benuaq adalah Muat Luwikng. Pada saat ini sangat jarang dilakukan upacara ini karena mahalnya biaya yang diperlukan dan biasanya dilakukan pemotongan seekor kerbau di tengah ladang untuk dimakan bersama-sama. Kegiatan menugal yang disertai dengan upacara Muat Lawikng biasanya dimeriahkan dengan berbagai permainan kesenian anak negeri seperti Bedeguq Bedongkoi Ngeloak menari, Prentangin berpantun, dan Besimbur bersiram-siraman air di tengah ladang. Kegiatan ini juga dimeriahkan olah raga tradisional seperti Begasing permainan gasing, Dokar pacu egrang, Dopakng adu jentikan jari, Rancaq adu kekuatan jari-jemari dan kekuatan tangan seperti panco, dan Tapi atau Bebentek adu kekuatan kaki. Puncak acara pada sore hari setelah selesai menugal diadakan acara Engket-Engkuni yaitu kegiatan seperti panjat pinang namun pohon yang digunakan adalah pohon Potung Euodia glabra yang dikuliti sehingga akan sangat licin ketika dipanjat. Pada bagian cabang dan ranting serta daunnya dibiarkan tersisa untuk menggantungkan hadiah-hadiah yang akan diperebutkan berupa makanan. Tabel 6 Tahap pertumbuhan padi ladang menurut masyarakat Dayak Benuaq No Tahap pertumbuhan Karakter 1. Nokoq Padi ladang mulai tumbuh setelah disemaikan. 2. Meriwih luang asak Pertumbuhan padi ladang sudah mencapai sekitar 20 cm. 3. Makur lokatn Pertumbuhan padi ladang sudah mencapai sekitar 40 cm. 4. Beramaaq Pertumbuhan padi ladang antara 80 cm hingga setinggi pinggang orang dewasa. 5. Untuq maih Batang padi sudah meruncing ke atas. 6. Buluq titukng Awal munculnya bunga padi. 7. Entur urakng Bunga dan bakal buah padi sudah mulai muncul tetapi belum merata pada seluruh tanaman padi di ladang. 8. Meetn Belampaar Sudah muncul buah padi secara keseluruhan. 9. Sengayo seloit Tangkai padi sebagian mulai merunduk karena mulai berisi. 10. Ngejatas Isi bulir padi sudah putih menyerupai susu. 11. Ngertak Bulir padi sudah bernas. 12. Lemit morakng Luai uruk Padi mulai menguning pada bagian ujung tangkai. 13. Luai tengah Padi sudah mulai menguning sampai bagian tengah tangkai. 14. Luai melus Padi sudah menguning semuanya dan saatnya untuk dipanen Padi merupakan tanaman utama pada ladang masyarakat Dayak Benuaq. Padi bukan hanya sekedar makanan pokok bagi mereka tetapi suatu kebudayaan yang ikut menentukan cara penghidupan mereka. Lebih jauh mereka mengenal karakter-karakter pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman pokok tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peladang tradisonal Benuaq mempunyai kearifan lokal tentang pertumbuhan padi sehingga mengenal tingkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dalam ladang mereka yang diuraikan menjadi 14 tahap pertumbuhan dalam terminologi lokal Tabel 6. Tabel 7 Keanekaragaman jenis tanaman pangan yang dibudidayakan di ladang masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa No Nama Jenis Jumlah kultivar Kegunaan 1 Pare Oryza sativa 67 Makanan pokok 2 Pulut Oryza glutinosa 36 Makanan tambahan 3 Jagookng Zea mays 3 Makanan tambahan 4 Jebao Manihot utilissima 16 Makanan tambahan dan sayuran 5 Ayak Ipomoea batatas 13 Makanan tambahan 6 Jelok Musa spp 26 Buah-buahan 7 Uwiq Dioscorea spp 2 Makanan tambahan 8 Tou Saccharum officinarum 17 Penyegar 9 Tou toli Saccharum edule 1 Sayuran 10 Sabe Capsicum spp 11 Bumbu 11 Timun Cucumis sativus 9 Sayuran 12 Loyaaq Zingiber officinale 4 Bumbu 13 Bawang Balooq Allium sp 1 Sayuran 14 Tomat Lycopersicon esculentum 1 Sayuran 15 Toyung Solanum spp 3 Sayuran 16 Ulapm Solanum melongena 1 Sayuran 17 Tenayan Colocasia esculenta 3 Makanan tambahan 18 Tonai Xanthosoma violaceum 1 Makanan tambahan 19 Serempolum siwai Portulaca grandiflora 1 Obat padi 20 Bayam Amaranthus spp 2 Sayuran 21 Botong Cucurbita moschata 2 Sayuran 22 Periaq Luffa acutangula 1 Sayuran 23 Paria Momordica charantia 2 Sayuran 24 Serei Andropogon nardus 2 Bumbu 25 Sekur Kaempferia galanga 1 Bumbu 26 Jomit Curcuma spp 4 Bumbu 27 Keretak Vigna unguiculata 1 Sayuran 28 Kacang tanah Arachis hypogea 1 Makanan tambahan 29 Trincikng Ananas comosus 1 Buah-buahan Masyarakat Dayak Benuaq juga menanam beberapa jenis tanaman pangan lainnya selain padi ladang. Berbeda dengan penanaman padi yang dilakukan secara kolektif maka penanaman tanaman non-padi ini dilakukan sendiri oleh pemilik ladang. Menurut Dove 1988 hampir semua peladang berpindah berpindah di Asia Tenggara menanam makanan pokok biji-bijian atau campuran tanaman berbiji dan umbi- umbian. Beberapa cara yang dilakukan untuk menanam tanaman non-padi tersebut oleh peladang Benuaq diantaranya adalah: 1. menugal dan menaburkan bibitnya yang biasanya dilakukan untuk menanam jagung. Hal ini biasanya dilakukan oleh wanita dewasa dengan alat tugal sambil membawa keranjang berisi bibit jagung; 2. menaburkan benih pada lokasi di dalam ladang yang telah dibersihkan, biasanya digunakan untuk menanam bayam, terong dan tanaman lain yang mempunyai biji berukuran halus; 3. menanam batang stek atau bagian tunas tumbuhan tersebut yang biasanya dilakukan untuk menanam keladi, nenas, pisang, tebu, dan ubi kayu. Penanaman jenis tanaman non-padi tidak selalu sama pada setiap ladang tergantung kemauan pemilik ladang. Bagi pemilik ladang yang rajin maka ladangnya akan ditanami dengan berbagai macam tanaman pangan, namun sebaliknya bagi pemilik yang malas hanya menanam beberapa jenis tanaman saja. Keanekaragaman jenis tanaman yang dibudidayakan di ladang masyarakat Dayak Benuaq seperti ditampilkan pada tabel 7. Penanaman jagung dan palawija lainnya sering dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman padi. Sedangkan penanaman ubi kayu biasanya dilakukan sebagai tanaman terakhir sebelum masa bera dalam daur perladangan karena ubi kayu masih memberikan hasil yang lumayan di tanah-tanah tandus dan bahkan tanah tererosi. Selain itu ubi kayu tidak mempunyai waktu panen khusus, sehingga umbinya dapat dipanen sesuai kebutuhan dan merupakan sumber karbohidrat bila bahan pangan lainnya mulai berkurang. 9. Menyiangi Ngejikut Menyiangi rumput atau memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma di ladang oleh peladang Benuaq disebut ngejikut, dilakukan setelah padi berumur satu hingga tiga bulan. Pertumbuhan padi akan lambat karena bersaing dengan rumput-rumput liar jika ladang tidak disiangi. Penyiangan dilakukan sekitar bulan Oktober hingga November ketika pertumbuhan padi mencapai sekitar setinggi lutut orang dewasa. Pekerjaan ini akan dilakukan sebelum batang padi keras karena jika batang padi sudah keras akan mudah patah akib at aktifitas penyiangan. Sebelum padi berumur lebih dari tiga bulan pekerjaan menyiangi ini lebih diintensifkan oleh kaum wanita yang dilakukan dengan gotong-royong secara bergiliran. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan tangan atau menggunakan alat seperti cangkul kecil yang disebut lingga. Penyiangan dengan tangan dilakukan dengan mencabuti rumput atau gulma yang tumbuh diantara tanaman padi. Pencabutan gulma menggunakan jari-jari dengan menggenggam setiap rumput liar sedekat mungkin dengan pangkalnya lalu dicabut ke atas sehingga sistem perakaran rumput tersebut juga ikut tercerabut dari tanah. Penyiangan dengan menggunakan alat lingga dilakukan dengan memotong secara mendatar bagian tanah yang berada di bawah rumpun rumput liar tersebut. Tangan kiri peladang biasanya digunakan untuk mencabut setiap rumpun rumput yang dibabat dengan alat tadi. Pekerjaan menyiangi umumnya dilakukan oleh kaum perempuan karena me merlukan ketelitian, sikap dan perilaku yang halus. Menyiangi merupakan salah satu pekerjaan perawatan terhadap tanaman- tanaman budidaya pada ladang masyarakat Dayak Benuaq. Disamping itu juga dilakukan perawatan lainnya, antara lain membakar beberapa jenis tumbuhan yang dipercaya dapat mengusir hama seperti berentanuq Diospyros pendula, nunuk singa Pachycentria constricta dan wakai sar Gmelina uniflora. Dalam kurun waktu padi mulai tumbuh sampai berumur tiga bulan, terkadang dilakukan lagi upacara Pakatn Nyahuq yakni semacam upacara syukur pada makhluk gaib pemberi tanda-tanda baik dan buruk. Selanjutnya saat tanaman mulai menghasilkan buah dilakukan penjagaan yang lebih intensif agar tidak diserang oleh hama burung, kodek monyet dan bawiq babi hutan. 10. Panen Ngotepm Upacara panen padi pada masyarakat Dayak Benuaq disebut Nema Pare, yaitu suatu upacara sederhana dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat dalam satu rumah atau satu keluarga besar. Upacara ini mesti dilakukan sebelum memulai pekerjaan memotong padi Ngotepm yang bertujuan untuk tanda selamat datang pada Dewi Padi yang baru datang dari perantauan. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq selama pertumbuhan tanaman padi sampai masa panen oleh peladang, maka selama itu Dewi Padi dianggap merantau ke suatu negeri asal mereka dan ke sana pula mereka kelak akan kembali. Semua peralatan yang dipakai dalam proses pembuatan ladang hingga panen diikut sertakan dalam upacara dan ditepung tawari serta dimantrai sebagai ucapan terima kasih peladang atas bantuan alat-alat tersebut sehingga panen berhasil dengan baik. Tujuan upacara ini juga untuk memberi ucapan selamat kepada bumi yang telah menanggung beban berat ibarat ibu yang sedang hamil dan sekarang melahirkan bayinya berupa padi yang siap dipanen. Demikian juga para roh halus penjaga ladang turut disapa pawang dengan mantra- mantranya sebagai ucapan terima kasih atas bantuan mereka ikut menjaga dan memelihara isi ladang dari gangguan hama dan semua roh jahat yang dapat menggagalkan panen. Menurut Sellato 1989a pada masyarakat Dayak padi merupakan sumber segala kehidupan dan daur pemanenannya disertai banyak larangan tabu dan upacara ritual. Pemanenan padi ngotepm umumnya dilakukan hanya oleh kaum perempuan saja yaitu ibu dan anak-anak perempuannya dilakukan secara gotong- royong oleh para ibu- ibu secara bergiliran pelo. Pemanenan dilakukan dengan alat ani-ani gentuk, selanjutnya padi hasil panenan dimasukkan ke kantong yang dibuat dari anyaman bambu dan rotan yang diikatkan pada pinggang yang disebut gamak Benuaq. Setelah gamak penuh mereka memindahkan ke keranjang anyaman yang lebih besar yang disebut lamar. Isi atau volume lamar dapat menampung sekitar 4-5 kali isi gamak dan selanjutnya lamar digunakan untuk membawa hasil panen ke rumah. Pada zaman dulu padi disimpan dalam lumbung padi yang dikenal dengan istilah kelengkikng namun sudah sangat jarang ditemukan saat ini. Umur padi ladang dapat dipanen berkisar 4-6 bulan, tergantung varietas padi yang di tanam karena setiap varietas mempunyai masa panen yang berbeda. Masyarakat biasanya menghitung hasil panen padi dengan ukuran kaleng bekas minyak goreng. Satu kaleng setara dengan 10 kg gabah kering, dimana untuk ladang seluas sekitar 1 ha didapatkan hasil berkisar 100 hingga 250 kaleng atau sekitar 1 hingga 2 ton gabah kering. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh kesuburan lahan, masa bera lahan dan umur ladang. Hasil panen ladang pada tahun pertama biasanya lebih banyak dan semakin berkurang pada panen berikutnya. Perladanga n padi secara gilir-balik mempunyai peran sentral dalam pertanian tradisional masyarakat Dayak Benuaq. Hal ini tercermin pada produksi padi di Kabupaten Kutai Barat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 tercatat luas panen padi ladang sebesar 14.515 ha dan padi sawah sebesar 2.597 ha sehingga luas panen padi keseluruhan mencapai 17.112 ha. Produksi padi ladang mencapai 35.829 ton yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produksi padi sawah yang hanya sebesar 8.245 ton, namun hasil per hektar untuk padi sawah sebesar 31,75 Kwha jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan 24,68 Kwha untuk padi ladang Anonim, 2006. Pada tahun berikutnya 2006 luas panen keseluruhan berkurang menjadi 15.096 ha terdiri dari padi ladang seluas 13.506 ha dan padi sawah seluas 1.597 ha. Hal ini menyebabkan produksi padi ladang berkurang menjadi 35.100 ton dan produksi padi sawah menjadi 5.177 ton. Namun hasil per hektar menunjukkan adanya peningkatan untuk padi ladang 25,99 Kwha dan padi sawah 32,56 Kwha Anonim, 2007. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari peladang, hasil panen yang didapatkan lebih banyak pada ladang di hutan primer terutama pada musim panen ke dua jika dibandingkan dengan ladang yang dibuat pada hutan sekunder. Namun masyarakat Dayak Benuaq jarang membuka hut an primer dalam aktivitas perladangan saat ini. Pembukaan hutan sekunder atau bekas ladang terdahulu lebih disukai berkaitan dengan biaya pengolahan yang lebih murah jika dibandingkan membuka hutan primer. Hal ini juga dibatasi oleh berkurangnya luas hutan primer di sekitar kampung yang dapat dijadikan ladang. Pengetahuan tentang keanekaragaman padi Hasil penelitian pada masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa didapatkan 67 varietas padi lokal biasa dan 36 varietas padi ketan yang dikenal oleh para peladang sehingga total varietas yang dikenal sebanyak 103 varietas. 97 varietas dari padi tersebut ditanam pada ladang berpindah dengan berbagai kondisi topografi dan enam jenis ditanam pada lahan berpayau. Umumnya varietas-varietas tersebut merupakan padi lokal dan beberapa varietas merupakan padi dari luar. Masuknya varietas-varietas padi dari luar merupakan hal yang biasa ditemukan pada masyarakat Dayak seperti Dayak Iban Freeman, 1970. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peladang Benuaq mempunyai katagori spesifik untuk masing- masing varietas padi mereka. Setiap varietas mempunyai nama lokal dan para peladang familiar dengan karakter khusus yang dimilikinya atau dari mana varietas tersebut berasal. Terkadang nama yang diberikan menunjukkan asal dari bibit padi tersebut seperti pare bentian dan pare kenyah. Beberapa varietas padi mempunyai mitos pada masyarakat Benuaq seperti pare bawiiq yang dipercaya bibitnya pertama kali ditemukan pada usus babi dan pare tekayo dari usus rusa. Kebanyakan peladang Benuaq lebih suka menanam varietas padi lokal walaupun produksinya lebih rendah dibandingkan varietas yang datang dari luar, namun padi mereka lebih adaptif pada kondisi tanah yang miskin dan rasanya lebih disukai. Beberapa peladang mengakui bahwa mereka lebih menyukai rasa beras dari padi ladang dibandingkan padi sawah. Pada saat ini pencarian plasma nutfah padi untuk meningkatkan hasil panen dan tahan terhadap penyakit giat dilakukan oleh Departemen Pertanian dan keanekaragaman varietas padi yang sangat tinggi di lingkungan masyarakat Dayak termasuk yang dimiliki peladang Benuaq merupakan sesuatu yang mungkin untuk dimanfaatkan. Hasil penelitian ini diperoleh informasi penting bahwa para peladang memiliki pengetahuan yang unik tentang padi mereka dan memelihara keanekaragaman genetik padi mereka dengan kondisi lingkungan setempat seperti dikemukakan juga oleh beberapa peneliti padi lokal yaitu pada suku Dayak Kenyah Setyawati, 1997 dan suku Filipino di luar Kalimantan Fujisaka, 1987. Beberapa para peladang yang berumur lanjut masih menyimpan dan memelihara beberapa varietas padi yang mereka sukai. Mereka menanam varietas padi tersebut tidak untuk dimakan tetapi untuk memperbarui bibitnya sehingga suatu ketika mereka dapat memanfaatkan kembali bibit tersebut. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat lokal tersebut mempunyai pemikiran dalam memelihara dan menyelamatkan plasma nutfah yang berada di tangan mereka. Beberapa petani yang berusia lanjut, kepala adat mantiq dan istrinya dapat me nyebutkan semua varietas yang ditemukan dalam penelitian ini 103 varietas sedangkan yang lainnya hanya dapat menyebutkan 10 hingga 40 varietas saja. Secara umum responden yang berusia lebih tua dapat menyebutkan dan mengetahui lebih banyak varietas padi dibandingkan dengan yang muda Tabel 8. Peladang yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menyebutkan sekitar 60 sedangkan yang lebih muda 40-50 tahun hanya dapat menyebutkan 40 dari total varietas. Pengetahuan ini terus berkurang hingga para responden yang paling muda 20-30 tahun hanya dapat menyebutkan sekitar 20 saja dari total varietas. Pengetahuan tentang keanekaragaman padi ini diperoleh dari pengalaman mereka, tukar pikiran dengan anggota pelo, dan observasi pada peladang lainnya. Namun tampaknya pengetahuan ini semakin berkurang pada kalangan pemuda seiring masuknya pengaruh budaya dari luar. Tabel 8 Rata-rata jumlah varietas padi yang diketahui peladang berdasarkan kelompok umur Umur tahun Rata-rata jumlah varietas padi yang diketahui Jumlah responden N 20-30 18 10 31-40 25 16 41-50 42 14 50 62 10 Total 50 Pada setiap musim tanam, kebanyakan peladang menanam beberapa varietas yang berbeda dari musim sebelumnya. Ini merupakan upaya mereka untuk mencoba bibit ya ng baru. Kondisi lingkungan yang tidak begitu subur membuat para peladang selalu mencoba varietas yang lain dan berharap dapat tumbuh baik serta menghasilkan panen yang banyak. Jika hasil panen dari bibit tersebut cukup baik maka pada musim tanam yang akan datang akan ditanam kembali. Apapun alasannya apakah pengetahuan tradisional mengenai ekologi yang tidak disadari atau kesukaan untuk menanam berbagai kultivar padi dengan rasa berbeda, terbukti dari banyak penelitian bahwa peladangan dengan diversifikasi tanaman dapat merupakan sebuah strategi pertanian yang lebih berhasil jika dibandingkan dengan pertanian monokultur. Peladang Benuaq lebih menyukai varietas-varietas lokal untuk ditanam, yang mungkin tidak begitu produktif seperti jenis-jenis unggul, tetapi lebih tahan terhadap hama dan lebih menyesuaikan diri terhadap kondisi setempat. Peladang lebih menyukai menanam padi varietas lokal yang dianggap mempunyai rasa lebih enak dan lebih sesuai dengan tanah yang relatif miskin. Hal ini juga didukung adanya anggapan yang berkaitan dengan budaya masyarakat berkaitan dengan pembedaan antara parai taai padi kita dan parai ulutn padi orang. Padi kita adalah padi yang berasal dari lingkungan sendiri sedangkan padi orang adalah padi yang dibeli di pasar atau beredar di pasaran. Padi kita dipandang berjiwa dan mempunyai roh, sedangkan padi orang tidak berjiwa sehingga tidak ada tabu yang berlaku kepadanya. Perspektif ini berkembang karena dalam pola pikir masyarakat Benuaq selalu mempertanyakan tentang asal- usul segala sesuatunya Hopes, 1997. Salah satu mitos tempuutn mengenai asal- usul padi adalah bahwa sisa penciptaan langit dan bumi kemudian dijadikan beberapa jenis yang salah satunya adalah padi luikng. Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa padi adala h Luikng Walo roh padi yang berjumlah delapan gadis anak dari pasangan Beritutn Tautn dan Diakng Serunai Madrah Karaakng, 1997. Keragaman varietas padi sangat tinggi di lingkungan masyarakat Dayak, hal ini juga berkaitan dengan kelompok masyarakat Dayak yang berbeda-beda. Banyaknya keragaman habitat, iklim, budaya dan praktek bertanam padi pada masyarakat Dayak menyebabkan timbulnya seleksi varietas padi selama ribuan tahun. Berkaitan dengan kekayaan varietas padi lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak ini, menimbulkan kekuatiran dengan berakhirnya perladangan berpindah secara bertahap dapat menjadi penyebab hilangnya keragaman genetik padi. Karena padi gogo yang mereka budidayakan dapat ditanam pada kondisi tanah yang dari segi pertanian dianggap miskin. Padi mereka dapat hidup pada kondisi lahan yang sering tidak menunjang kehidupan tanaman perdagangan lainnya, sehingga membuat lahan yang sebetulnya tidak dapat digunakan untuk pertanian menjadi lahan yang produktif. Menurut Bernsten et al. 1982 di kawasan Indonesia sendiri diperkirakan terdapat lebih dari 8000 varietas padi lokal. Pembagian kerja dalam pengerjaan ladang Dalam kehidupan sehari- hari hampir tidak ada pembagian kerja yang jelas antara pria dan wanita Dayak Benuaq. Kaum wanita, sebagaimana pria juga bekerja di ladang menenteng ekek parang, ikut menores karet, menjala dan memancing ikan di sungai dan rawa-rawa serta pekerjaan harian lainnya. Bahkan pengerjaan ladang pada tahun kedua lebih didominasi oleh kaum ibu sehinggga secara adat pun diakui bahwa hasil panen yang diperoleh pada panen ke dua dan seterusnya merupakan hak kaum wanita. Hal ini seperti dinyatakan oleh Mulyoutami et al. 2006 bahwa wanita suku Benuaq memainkan peranan penting dalam aktivitas utama berladang meliputi menanam, memelihara dan memanen. Bahkan sayur-sayuran dan tanaman palawija lainnya pun umumnya ditanam dan dipelihara oleh kaum wanita. Aktifitas utama masyarakat Benuaq selain berladang adalah berkebun karet dan aktifitas ini tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja namun kaum wanita juga sangat berperanan. Seperti aktifitas menyadap karet nores yang merupakan kegiatan harian untuk mendapatkan uang tunai bagi kebutuhan keluarga, selain dilakukan oleh kaum pria juga banyak oleh dikerjakan oleh kaum wanita. Pada tabel 9 ditampilkan persentase pembagian kerja antara pria dan wanita dalam tahapan-tahapan pengerjaan ladang dan kebun karet pada beberapa responden di Kecamatan Muara Lawa. Tabel 9 Pembagian kerja antara pria dan wanita di ladang dan kebun karet Aktifitas Pria Wanita UmaqLadang Nokap Menebas 90 10 Noweng Menebang 95 5 Nyuru Membakar 75 25 Ngasaq Menugal 50 50 Ngejikut Menyiangi 25 75 Ngotapm Panen 25 75 Mengangkut ke kampung 75 25 Mengeringkan 20 80 Menggiling 50 50 Kebun karet Mencari bibit 95 5 Menanam 75 25 Menyiangi tahap 1 70 30 Menyiangi tahap 2 70 30 Memangkas 95 5 Nores menyadap 50 50 Menjual 50 50 Masyarakat Dayak Benuaq menginvestasikan sebagian besar waktunya pada ladang berpindah karena merupakan mata pencaharian utama mereka. Perkiraan waktu yang dialokasikan untuk peladangan berpindah dari 50 orang peladang yang dipilih secara acak dilihat pada tabel 10 berikut ini. Rata-rata hari kerja yang dilakukan oleh peladang dalam satu musim adalah 86 hingga 220 hari. Hal ini sangat tergantung pada luas ladang dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki namun umumnya luas ladang mereka berkisar antara 1-2 hektar. Jumlah rata-rata hari kerja peladang Benuaq di Kecamatan Muara Lawa tidak jauh berbeda dengan masyarakat Benuaq di Kecamatan Tanjung Isui yang berkisar 57 hingga 184 hari Gonner, 2000 dan hari kerja masyarakat Kantu di Kalimantan Barat yang berkisar 88 hingga 170 hari Dove, 1985. Tabel 10 Rata-rata hari kerja dalam kegiatan ladang masyarakat Be nuaq Tahap Pekerjaan Perkiraan Waktu hari kerja Seleksi Lahan 1 – 7 Membuat Pondok 5 – 30 Nokap menebas 6 – 30 Noweng menebang 10 – 30 Nyuru membakar 1 – 2 Mongkekng membakar sisa 2 – 10 Ngasaq menugal 10 – 14 Ngejikut menyiangi 10 – 30 Durukng Umaq menjaga ladang 10 – 15 Ngotapm panen 25 – 40 Mengangkut Panen ke Kampung 6 – 12 Total 86 – 220 Masyarakat Dayak Benuaq tidak mendedikasikan keseluruhan waktunya untuk berladang namun juga untuk berbagai kegiatan lainnya. Gambar 17 menunjukkan alokasi waktu tahunan masyarakat Benuaq di Kutai Barat. Mereka juga memiliki penghidupan lain seperti berkebun karet, beternak, budidaya rotan, berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, dan kerajinan tangan. Penelitian Nanang 2004 menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan untuk berladang berpindah ± 4,37 bulantahun 37. Kerja di kebun rotan memakan waktu hanya 1,60 bulan 13 meliputi penanaman, pemeliharaan dan pemanenan karena kebun rotan tidak memerlukan perawatan ekstra. Bekerja untuk tanaman palawija timun, jagung, sayur-sayuran dan lain- lain dan memelihara ternak memakan waktu 1,70 bulan 14 pertahun. Penanaman tumbuhan palawija biasanya bersamaan waktunya dengan menanam padi jadi mereka tidak memerlukan waktu ekstra untuk menyiangi lahan tersebut karena lahan yang digunakan bersamaan dengan tanaman padi ladang. Kegiatan mengukir dan pekerjaan membuat kerajinan tangan memerlukan waktu masing- masing 0,57 bulan 5 dan 0,7 bulan 6, sedangkan waktu 1,60 bulan 13 digunakan untuk berburu dan mencari ikan. Sisa waktu lainnya dihabiskan untuk kegiatan- kegiatan yang lainnya. Sumber: Nanang 2004 Gambar 17 Alokasi waktu tahunan masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat Suksesi dan kondisi tanah perladangan Klasifikasi tahapan suksesi lahan yang diberakan dalam terminologi lokal Benuaq ditampilkan pada Gambar 18. Klasifikasi lahan bera bekas ladang pada masyarakat Benuaq dimulai dari satu lapisan jenis pionir hingga berkembang menjadi struktur yang komplek seperti halnya sistem klasifikasi ilmiah. Secara umum peladang Benuaq mengenal 5 tahap perkembangan lahan yang diberakan. Sistem klasifikasi ini menggambarkan peralihan dari ladang yang baru ditinggalkan hingga menjadi hutan primer seperti yang digambarkan oleh para ahli ekologi tropis Richards, 1996; Whitmore, 1984. Suksesi hutan sekunder akibat kegiatan perladangan oleh masyarakat Benuaq dimulai dari urat yaitu lahan yang baru diberakan antara 1-3 tahun yang ditumbuhi oleh semak belukar. Tahap kedua yaitu balikng bataakng merupakan hutan sekunder muda yang diberakan 5-15 tahun ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir dengan diameter batang rata-rata sebesar lengan orang dewasa. Tahap ketiga yaitu bataakng merupakan hutan sekunder yang telah diberakan 20-30 tahun dengan - Ladang berpindah; 38 Budidaya rotan; 13 Berburu Mencari Ikan; 13 Mengukir; 5 Berkebun beternak; 14 Kerajinan tangan; 5 Lainnya; 12 Gambar 18 Tahapan regenerasi hutan bekas ladang berdasarkan pengetahuan lokal Dayak Benuaq Ladang Umaq Belukar Urat Hutan sekunder awal Balikng bataakng Hutan sekunder muda Bataakng Hutan sekunder tua Bengkar uraq Waktu tahun 40 30 50 20 1 5 10 T I N G G G i M 1 30 15 Lo Sw Tw Ak Ix Lc De Lg Go Ps Ek Pl Mg Mg Mg Mt Mt Eg Vp Pc Vp En Gp Fsp To To Vp Ma Ms Mtc Vp Hutan sekunder lebih tua Bengkar tuhaq 120 Keterangan Gambar 18: Ak: Artocarpus kemando, De: Dillenia excelsa , Eg: Euodia glabra, Ek: Eugenia kunstleri, En: Eurya nitida, Fsp: Ficus sp., Go: Glochidion obscurum, Gp: Guioa pleuropteris, Ix: Ixonanthes sp., Lc: Lithocarpus canocarpus, Lg: Lithocarpus gracilis, Lo: Litsea odorata , Ma: Melastoma affine, Mg: Macaranga gigantea, Mt: Macaranga triloba, Mtc: Macaranga trichocarpa, Pc: Pternandra courulescens, Pl: Phoebe laevis, Ps: Pithecellobium splendens, Sw: Schima wallichi, To: Trema orientalis, Tw: Tristianopsis whiteana, Vp: Vitex pinnata. diameter pohon rata-rata sebesar paha orang dewasa. Tahap keempat yaitu bengkar uraq merupakan hutan sekunder tua yang telah diberakan antara 30-40 tahun dan tahap ini berlanjut hingga ke tahap kelima bengkar tuhaq yang merupakan hutan sekunder lebih tua yang telah diberakan lebih dari 45 tahun. Setelah mencapai tahapan klimaks kemungkinan dapat pulih kembali menjadi hutan primer seperti sedia kala asli bengkar namun membutuhkan waktu yang sangat lama. Riswan et al. 1985 yang meneliti regenerasi dan suksesi jenis di hutan Dipterocarpaceae campuran di Kalimantan Timur menaksir bahwa setelah terbentuk rumpang yang luas, diperlukan waktu 60 hingga 70 tahun bagi sejumlah jenis dalam tahap perkembangannya untuk mencapai maksimumnya dan selama itu pula bagi jenis tahap dewasa untuk menjadi jenis yang dominan. Oleh karena itu diperlukan waktu ratusan tahun untuk pulih kembali seperti semula. 1. Urat Urat adalah bekas ladang yang telah diberakan 1 hingga 3 tahun. Secara umum urat berarti semak belukar. Pada tingkat regenerasi ini bekas ladang telah ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir sebesar jari tangan. Vegetasi pada satuan lingkungan ini tidak ditemukan pohon, hanya berisi belta dan semai dari beberapa jenis tumbuhan pionir. Hasil pencuplikan data pada bekas perladangan yang diberakan selama 1 tahun didapatkan 39 jenis tumbuhan pionir awal early pioneer species. Beberapa jenis yang menonjol pada petak ini berturut-turut adalah Bekakang Melastoma affine dengan Indeks Nilai Penting INP sebesar 69,33 diikuti oleh Kelebotok Trema orientalis 41,85, Tenterisik Gaertnera vaginans 29,85, Kelepapa Vitex pinnata 22,32, Keranyik Milletia sericea 12,61, Empar Ficus padana 12,55, 121 Wakai Pengesik Derris thyrsiflora 12,23, dan Mengkelunai Macaranga trichocarpa 11,37. Pada petak penelitian bekas ladang yang diberakan selama 1 tahun umumnya masih didominasi tumbuhan pada tingkatan semai ∅ 2 cm dan belum menunjukkan stratifikasi yang jelas. Tumbuhan berkayu sudah mulai menutupi herba dan paku seperti kelepapaq Vitex pinnata salah satu jenis tumbuhan yang mempunyai tinggi ya ng menyolok dibandingkan jenis lainnya. Tumbuhan berkayu pada tahap awal suksesi umumnya merupakan trubus sprouting dari tunggul- tunggul pohon yang ditebang pada awal pembuatan ladang. Jenis-jenis seperti Melastoma affine Melastomataceae dan Trema orientalis Ulmaceae mendominasi dan tumbuh mengelompok diantara tumbuhan pionir berkayu lainnya Gambar 19. Kedua jenis ini merupakan tumbuhan pionir yang umum ditemukan setelah ladang diberakan. Namun umur life-span dari jenis Trema orientalis hanya beberapa tahun, selanjutnya semak-semak yang terdiri dari tumbuhan yang berumur sama tersebut secara simultan akan mati dan digantikan oleh jenis pionir lainnya seperti Macaranga spp. Gambar 19 Struktur vegetasi urat bekas ladang diberakan 1 tahun Ket: Ma: Melastoma affine, Ms: Milletia sericea , To: Trema orientalis, Vp: Vitex pinnata 122 2. Balikng Bataakng Balikng batakng adalah bekas ladang yang berumur sekitar 5 hingga 15 tahun setelah diberakan. Pada umumnya satuan lingk ungan ini ditandai dengan semakin besarnya diameter batang jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di dalamnya. Pada masyarakat Benuaq satuan lingkungan ini dicirikan dengan diameter pohon sebesar lengan orang dewasa. Hal ini merupakan kategori lahan yang tergolong tipe balikng bataakng dalam tahapan suksesi lahan menurut kearifan lokal Benuaq. Menurut Inoue dan Lahjie 1990 setiap kelompok suku Dayak memiliki klasifikasi untuk hutan sekunder, namun umur dari tahapan-tahapan suksesi tersebut tidak jelas dan mereka mempunyai standar tersendiri untuk klasifikasi seperti kelas diameter pohon yang terdapat di dalamnya. Satuan lingkungan balik bataakng ini tergolong hutan sekunder muda yang berisi berbagai jenis tumbuhan pionir. Vegetasi pada lingkungan ini masih sedikit ditemukan tingkatan pohon, tetapi didominasi oleh jenis-jenis pionir berdiameter kurang dari 10 cm belta dan tumbuh mengelompok seperti Elaeocarpus oxypyren, Eurya nitida, dan Pternandra courulescens dengan tinggi kurang dari 10 m Gambar 20. Sejumlah tumbuhan berkayu dengan diameter yang kecil menghasilkan kerapatan yang tinggi dan basal area yang kecil dalam hutan sekunder muda ini. Kekayaan jenis dalam tegakan hutan sekunder muda ini berisi sekitar 50 jenis per 1000 meter 2 dalam dua lapis stratifikasi. Lapisan atas 5 m di tempati oleh jenis- jenis seperti: Elaeocarpus oxypyren, Helicia robusta, Macaranga gigantea, Rhodamnia cinerea, Trema orientalis, dan Vitex pinnata. Sedangkan lapisan bawah 5 m ditempati oleh Eurya nitida, Guioa diplopetala, Macaranga trichocarpa, Melastoma affine, dan Pternandra courulescens. Menurut Schmidt-Vogt 2001 secara sistem rotasi tradisional maka ladang yang diberakan akan menjadi hutan sekunder setelah 15-17 tahun masa bera. Hutan sekunder ini akan mempunyai struktur yang komplek dengan pohon-pohon yang bervariasi tinggi dan diameternya. 123 Gambar 20 Struktur vegetasi balik bataakng bekas ladang diberakan 10 tahun Ket:- Atas: En: Eurya nitida, Eo: Elaeocarpus oxypyren, Gd: Guioa diplopetala, Hr: Helicia robusta , Mg: Macaranga gigantea, Pc: Pternandra courulescens , Rc: Rhodamnia cinerea, To: Trema orientalis, Vp: Vitex pinnata - Bawah: Elaeocarpus oxypyren 2, 3, 7, 8, 12, 16, 21, 22, 23, 24, 28, 32, 39, 40, 41,42, 80, 81, 95, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 121, 122, 123, 127, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 152, 154, 155; Eurya acuminata 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 73, 74, 75, 76, 77, 159,160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175,176, 177, 178, 179, 180, 181; Pternandra courulescens 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 138, 139, 140; Rhodamnia cinerea 17, 18, 27, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 37, 38, 79, 91, 92, 94, 100,101, 102, 115, 117, 128, 129, 157; Vitex pinnata 6, 10, 15, 36, 43, 44, 86, 97, 98, 105, 120, 124, 125, 126, 134, 149,150, 151, 153; Eodia glabra 1; Guioa diplopetala 11, 156; Helicia robusta 119, 135, 136, 137; Lepisanthes amoena 19; Macaranga gigantea 20; Milletia sericea 78, 96, 130, 131, 132, 133; Melastoma affine 90, 103, 126; Trema orientalis 9, 182; Ficus sp 25, 26; Sarcotheca macrophylla 104; Syzigium chloranthum 99, 116; Gaertnera vaginans 118. 124 Hasil pencuplikan pada petak bekas perladangan yang diberakan lebih kurang 10 tahun ditemukan 47 jenis tumbuhan pada tingkatan belta. Jenis-jenis yang menonjol adalah kelepapa Vitex pinnata dengan INP 54,54, mengkelunai Macaranga trichocarpa INP 20,55, potung Euodia glabra INP 20,34, nkodoi Elaeocarpus oxypyren INP 18,35 dan balik angin Alphitonia incana INP 14,41. Sedangkan tingkatan pohon ditemukan hanya sembilan jenis dan lima jenis pohon dominan adalah potung Euodia glabra INP 91,69, bengkuukng Macaranga gigantea INP 46,55, nepoq Ixonanthes sp INP 25,24, jamuq danum Syzigium sp INP 25,08 dan balik angin Alphitonia incana INP 22,63. Tingkatan semai yang ditemukan sebanyak 27 jenis dan lima jenis yang menonjol adalah mengkelunai Macaranga trichocarpa INP 99,02, keranyik Milletia sericea INP 34,78, biayukng Saccharum spontaneum INP 29,09, uwe iya Plectocomiopsis geminiflora INP 11,89, dan kelepapa Vitex pinnata INP 11,27. Jenis-jenis yang mempunyai INP tertinggi pada tingkatan pohon, belta, dan semai ditampilkan pada lampiran 3. Dalam siklus perladangan masyarakat Dayak Benuaq terkadang membuat ladang pada satuan lingkungan ini. Hal ini biasanya disebabkan oleh keadaan yang mendesak sehingga peladang tidak sempat memilih lahan lain yang lebih tua usianya. Namun hal ini juga disebabkan keterbatasan lahan yang dimiliki sehingga masa bera yang yang diberikan pada lahan-lahan perladangan jadi semakin singkat. Masa bera yang semakin singkat ini akan membuat produksi ladang menjadi menurun karena lahan yang belum kembali kesuburannya sudah diolah kembali. Dalam hal ini perladangan berpindah yang dilakukan pada lahan yang terbatas dan masa bera yang pendek tidak akan memberikan hasil yang memadai bagi peladang. 3. Bataakng Bataakng menurut katagori lokal adalah bekas ladang yang sudah diberakan dan pohon-pohon yang ada di dalam satuan lingkungan tersebut rata-rata diameternya sudah mencapai sebesar paha orang dewasa. Selain ditandai dengan besarnya diameter jenis-jenis pohon pionir yang tumbuh di dalamnya, juga ditandai dengan munculnya anakan jenis-jenis klimak. Umur bera satuan lingkungan ini berkisar 125 antara 20 hingga 30 tahun. Pada tegakan bataakng 20 tahun umumnya pohon-pohon terkonsentrasi pada diameter 10-15 cm. Frekuensi besarnya pohon meningkat dengan bertambahnya umur hutan sekunder, seperti pada tegakan bengkar uraq dan bengkar tuhaq. Demikian juga variasi kekayaan jenis meningkat pohon dan belta dengan bertambahnya umur tegakan. Dari 9 jenis pohon pada tegakan balik bataakng dan meningkat pada tegakan bataakng 18 jenis, selanjutnya pada tegakan bengkar uraq 65 jenis. Vegetasi pada tipe lahan ini didominasi oleh jenis-jenis pohon sekunder yang tumbuh cepat seperti Macaranga spp, Artocarpus spp, Euodia glabra, Vitex spp, dan jenis lainnya. Hasil pencuplikan data untuk tingkatan pohon diperoleh lima jenis yang menonjol dengan Indeks Nilai Penting tertinggi yaitu bengkuukng Macaranga gigantea 74,22 diikuti oleh jenis kelepapa Vitex pinnata 32,94, potung Euodia glabra 30,68, nancakng Macaranga triloba 29,59, dan nepoq Ixonanthes sp 25,19. Pada tingkatan belta Indeks Nilai Penting tertinggi juga dari jenis bengkuukng Macaranga gigantea 50,95, diikuti oleh jenis berencemoq Pternandra coerulescens 13,58, keranyik Milletia sericea 12,33, kalajempik Guioa diplopetala 9,75 dan potung Euodia glabra 9,22. Selanjutnya tingkatan semai Indeks Nilai Penting Tertinggi diperoleh dari jenis keranyik Milletia sericea 69,91, diikuti oleh jenis toyung tekayo Timonius wallichianus 24,80, kalajempik Guioa diplopetala 21,85, tenterisik Gaertnera vaginans 14,33 dan sengkulai Timonius flavescens 13,60. Struktur vegetasi di lahan ini dapat dibedakan atas 2 strata yaitu lapisan atas 10 m dan lapisan bawah 10 m. Lapisan atas didominasi oleh beberapa jenis pohon sekunder yaitu Macaranga gigantea, Macaranga triloba, Euodia glabra, Ixonanthes sp. dan Vitex pinnata. Sedangkan lapisan bawah disusun oleh beberapa jenis tumbuhan bawah seperti Ficus spp, Vernonia arborea, Pternandra coerulescens, Milletia sericea, dan anakan dari beberapa jenis primer yang mulai tumbuh pada lahan tersebut Gambar 21. Jenis-jenis yang mendominasi pada satuan lingkungan ini pada tingkatan pohon, belta dan semai ditampilkan pada lampiran 4. 126 Gambar 21 Struktur vegetasi ladang diberakan 20 th bataakng dengan ∅ = 4 cm Ket: - Atas: Eg: Euodia glabra , En: Eurya nitida, Fsp: Ficus sp, Gp: Guioa pleuropteris, Mg: Macaranga gigantea, Mt: Macaranga triloba, Pc: Pternandra coerulescens, Ssp: Syzigium sp, Vp: Vitex pinnata, Vsp: Vitex sp, Xs: Ixonanthes sp. - Bawah: Alseodaphne sp 11; Cratoxylum sumatranum 33; Durio dulcis 49; Euodia glabra 1,2,7,42; Eurya nitida 36; Ficus sp1 10, 12, 27,28, 38; Ficus sp2 27, 28, 30; Guioa pleuropteris 8, 31; Ixonanthes sp 25; Litsea cf. umbelata 16; Macaranga gigantea 4, 6, 9, 21, 23, 24, 26, 30,35, 37, 40, 41, 44, 45, 46, 47, 48, 53, 54, 55; Macaranga pruinosa 15; Macaranga triloba 17, 19, 20; Pternandra coerulescens 50, 51, 52, 56,57, 58, 59, 60, 61, 62, 63; Roureopsis acutipetala 3; Sindora leiococarpa 22; Syzigium sp 13, 34; Vernonia arborea 43; Vitex pinnata 5, 14, 32; Vitex sp 18,39; Xanthophylum scortechinii 29. 127 4. Bengkar Uraq dan Bengkar Tuhaq Bengkar Uraq adalah bekas ladang yang sudah diberakan di atas 35-45 tahun sehingga lahan tersebut sudah mulai menjadi hutan sekunder tua. Sedangkan Bengkar tuhaq adalah bekas ladang yang sudah diberakan lebih dari 45 tahun. Hasil pencuplikan data pada bengkar uraq yang telah di berakan selama sekitar 35 tahun menunjukkan bahwa vegetasi pada lahan ini sudah dominasi oleh tingkat pertumbuhan pohon. Pada plot sampling ditemukan 65 jenis pohon, 76 jenis belta dan 24 jenis semai Lampiran 5. Pada tingkatan pohon diperoleh Indeks Nilai Penting tertinggi dari jenis nepoq Ixonanthes sp 20,83 diikuti oleh potung Euodia glabra 18,58, Darak Artocarpus dadah 15,29, menotn Meliosma nitida 12,96 dan peleleq Lithocarpus gracilis 12,19. Pada tingkatan belta diperoleh Indeks Nilai Penting tertinggi dari jenis keranyik Milletia sericea 13,12, diikuti oleh toyung tekayo Timonius wallichianus 11,21, pasi losoq Baccaurea stipulata 10,71, berentoyung Tarenna cumingiana 9,54 dan sengkulai Timonius flavescens 9,24. Sedangkan pada tingkatan semai, lima jenis yang mempunyai Indeks Nilai Penting tertinggi yaitu keranyik Milletia sericea 56,55, diikuti oleh sengkulai Timonius flavescens 17,45, deraya julung Horsfieldia grandis 15,75, meliwei Polyalthia curtisii 15,48 dan benung Gluta cortisii 15,45. Umumnya hutan sekunder bengkar uraq dan bengkar tuhaq terdiri dari tiga lapisan stratifikasi Gambar 22. Jenis-jenis yang penting adalah Schima wallichii, Ixonanthes sp, Litsea odorifera dan Tristianopsis whiteana pada lapisan atas = 30 m. Lapisan tengah 15-30 m terdiri dari beberapa jenis pohon yaitu Artocarpus kemando, Eugenia kunstleri, Phoebe laevis, Platea exelsa, Litsea brachystachys, Pithecellobium splendens, Lithocarpus conocarpus dan L. gracilis. Sedangkan lapisan bawah umumnya terdiri dari jenis-jenis Artocarpus anisophylus, Dillenia excelsa, Glochidion obscurum, dan Nephelium sp. Jenis-jenis yang penting pada hutan sekunder bengkar uraq adalah Artocarpus spp, Ixonanthes sp, Lithocarpus spp, Schima wallichii, dan Tristianopsis whiteana. 128 Gambar 22 Struktur vegetasi ladang diberakan 40 tahun bengkar uraq dengan diameter = 5 cm Ket: Aa: Artocarpus anisophyllus 2, Ak: A. Kemando 24, Ao: A. odoratissimus 15, De: Dillenia excelsa 19, 20, Dk: Durio kutejensis 23, Ek: Eugenia kunstleri 8, Go: Glochidion obscurum 12, Gp: Garcinia parvifolia 11, 129 Lb: Litsea brachystachys 4, Lc: Lithocarpus conocarpus 18, Lg: L. gracilis 14, Lo: Litsea odorifera 21, Nsp: Nephelium sp 22, Pe: Platea exelsa 3, Pl: Phoebe laevis 17, Ps: Pithecellobium splendens 7, Ssp: Syzigium sp 5, Sw: Schima wallichii 1, 16, Tw: Tristianopsis whiteana 13, Vp: Vitex pinnata 6, Xs: Ixonanthes sp 9,10. Selain 5 tahap perkembangan lahan yang diberakan di atas, pemilihan lahan untuk ladang juga memperhatikan topografi lahan. Berdasarkan topografi dan kondisi lahan, masyarakat Dayak Benuaq membedakan beberapa tipe lahan untuk perladangan yaitu: dempaak adalah lahan datar yang terletak di antara dua bukit yang tidak terlalu tinggi atau di pinggir sungai; kerebeek atau kerereng yaitu lahan yang miring pada lereng- lereng bukit bukit = pentuut; dan payaakq adalah di daerah dataran rendah atau lahan berpaya. Lahan payaakq juga terbagi 2 dua yaitu payaakq belikuq engkoq yaitu lahan di dataran rendah dengan permukaan tanah tidak rata sehingga ada bagian yang terendam air dan ada yang tidak terendam; dan payaakq biasa yaitu lahan di dataran rendah dengan permukaan rata terendam air. Selanjutnya varietas padi yang ditanam pada berbagai tipe lahan tersebut berbeda-beda walaupun ada varietas yang dapat ditanam pada semua tipe lahan. Berdasarkan hasil analisis sampel tanah lapisan atas 0 – 20 cm yang diambil secara purposif dari tiga lokasi suksesi lahan perladangan yaitu lahan bera 1 tahun urat, lahan bera 10 tahun balik bataakng, dan lahan bera lebih dari 20 tahun bataakng diketahui kondisi tanah tersebut lampiran 23. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa lahan- lahan yang telah diberakan lebih lama oleh peladang mempunyai tingkat kesuburan yang lebih baik dari lahan yang masih muda baru diberakan. Secara umum tanah-tanah yang terdapat di lokasi penelitian mengalami pencucian bahan organik dan hara tanah. Kandungan karbon organik tanah lapisan atas menunjukkan variasi yaitu pada lahan diberakan lebih dari 20 tahun bataakng sebesar 0,88 sangat rendah, lahan diberakan 10 tahun balik bataakng sebesar 3,12 tinggi dan lahan diberakan 1 tahun urat 2,48 sedang. Sedangkan kandungan total nitrogen tanah menunjukkan kriteria sangat rendah sampai rendah. Kandungan total nitrogen sangat rendah yaitu 0,09 didapatkan pada lahan 130 diberakan lebih dari 20 tahun bataakng sedangkan pada lahan diberakan 10 tahun yaitu 0,25 dan 1 tahun yaitu 0,23 tergolong sedang. Nilai pH H 2 O merupakan kandungan asam aktual yang ada pada sampel lokasi penelitian, sedangkan nilai pH KCl merupakan pH optimal yang digunakan untuk mengetahui kondisi lahan yang bersifat paling asam. Dari tabel dapat diketahui bahwa tingkat keasaman tanah yaitu pH H 2 O terendah adalah 4,60 pada lahan yang telah diberakan 10 tahun balik bataakng dengan pH KCl yaitu 3, 80. Sedangkan tingkat pH H 2 O tertinggi adalah 5,10 pada lahan yang telah diberakan lebih dari 20 tahun bataakng dengan pH KCl yaitu 4,00. Nilai CN menunjukkan tingkat pelapukan, semakin kecil nilai CN berarti tingkat pelapukan relatif makin tinggi. Dengan nilai CN 12 menunjukkan bahwa tingkat pelapukan relatif rendah. Nilai CN terendah adalah pada lahan yang diberakan lebih dari 20 tahun bataakng yaitu 9,78 yang menunjukkan bahwa pelapukan pada tipe lahan tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan lahan urat dan balik bataakng. Nilai kapasitas tukar kation CEC menunjukkan kemampuan tanah untuk mempertahankan atau membutuhkan hara antara koloid tanah dengan larutan tanah. Pada dasarnya nilai CEC digunakan untuk keperluan praktis, mengingat CEC dari berbagai tanah adalah sangat beragam. Bedasarkan tabel nilai CEC terendah sampai tertinggi berturut-turut terdapat pada lahan diberakan lebih dari 20 tahun bataakng sebesar 3,70 me100 gr tanah, lahan diberakan 1 tahun urat sebesar 4,62 me100 gr tanah, dan lahan diberakan selama 10 tahun balik bataakng sebesar 9,25 me100 gr tanah. Menurut Sembiring dkk. 2000 pada tanah alami yang normal nilai CEC adalah sebesar 17,66 me100 gr tanah. Hal ini menunjukkan bahwa lahan-lahan di atas memiliki kandungan zat hara yang rendah karena nilainya j auh dibawah normal. Kandungan P tersedia pada tipe lahan diberakan lebih dari 20 tahun yaitu 2,2 ppm, lahan diberakan 10 tahun yaitu 6,9 ppm dan lahan bera 1 tahun yaitu 10 ppm. Nilai P pada lahan diberakan lebih dari 20 tahun termasuk rendah, karena pada tapak tanah yang tidak terganggu secara alami akan terdapat kandungan P sebesar 7,50 ppm Sembiring dkk., 2000. Sedangkan pada lahan diberakan 10 tahun dan 1 tahun nilai 131 P termasuk normal. Perbedaan ini diduga ada kaitannya dengan lapisan tanah yang belum lapuk sehingga fosfat sukar larut dan belum dapat tersedia bagi tanaman. Pembahasan Pengembangan pertanian dengan pendekatan budaya mereka sendiri merupakan langkah yang bijaksana untuk meningkatkan kearah kehidupan yang lebih baik. Karena hingga saat ini peladangan berpindah tradisional swidden agriculture merupakan tulang punggung ekonomi dan budaya bagi masyarakat Dayak Benuaq. Menurut Conklin 1963 ada tiga pilar utama dalam perladangan yaitu lingkungan, kebudayaan dan temporal. Pilar lingkungan terdiri dari faktor iklim, edafis, dan biotik. Pilar kebudayaan perladangan adalah faktor teknologi, sosial, dan etnoekologi. Pilar temporal perladangan menunjukkan pada lima fase suksesif dalam aktifitas perladangan, yaitu fase pembersihan lahan, penebangan, pembakaran, penanaman dan pemberaan. Tiga fase pertama lebih berkaitan dengan pembersihan vegetasi-vegetasi yang tidak relevan dengan keperluan perladangan, sedangkan dua fase selanjutnya berhubungan dengan aktifitas kontrol terhadap vegetasi yang baru tumbuh dan yang ditanam. Proses antropisasi terhadap lingkungan alami yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk kegiatan pertanian telah mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Kabupaten Kutai Barat. Mosaik - mosaik hutan yang terbentuk dicirikan dengan jenis-jenis tumbuhan tertentu yang mendominasi sehingga pengaruh aktivitas masyarakat terhadap keanekaragaman ditingkat ekologis sangat jelas terlihat. Secara ringkas Tabel 11 berikut memberikan gambaran formasi vegetasi di setiap satuan lingkungan yang ada di Kutai Barat saat ini. Tabel 11 Antropisasi dan formasi vegetasi di Kabupaten Kutai Barat Tipe aktivitas Tipe lingkungan Formasi vegetasi utama Pertanian inisial umaq buu Hutan primer, sekarang hanya ditemukan di daerah bagian hulu sungai Lawa Hutan primer didominasi oleh jenis-jenis pohon Dipterocarpa seperti Shorea spp, Dipterocarpus spp, Dryobalanops sp, Hopea spp dan Eusideroxylon zwageri 132 Tipe aktivitas Tipe lingkungan Formasi vegetasi utama Sistem pertanian tradisional per ladangan berpindah dengan masa pemberaan lebih dari 30 tahun Hutan sekunder tua pemberaan 30 hingga 45 tahun Hutan sekunder tua didominasi oleh jenis-jenis pohon seperti: Artocarpus dadah, A nitidus, A kemando, A odoratissimus, Ixonanthes sp, Cratoxylum sumatranum, Diospyros spp, Euodia glabra, Horsfieldia grandis, Koilodepas pectinatus, Meliosma nitida, Lithocarpus gracilis, Litsea spp, dan jenis lainnya. Sistem pertanian tradisional perladangan berpindah dengan masa pemberaan kurang dari 20-30 tahun Hutan sekunder muda Hutan sekunder muda yang didominasi oleh jenis-jenis pionir Macaranga gigantea, M. triloba, Euodia glabra, Ixonanthes sp, Vitex pinnata dan jenis lainnya. Sistem pertanian tradisional perladangan berpindah dengan masa pemberaan kurang dari 20. Hutan sekunder muda Hutan sekunder muda didominasi oleh jenis pionir seperti: Macaranga trichocarpa, Euodia glabra, Alphitonia incana, Homalanthus populneus, Mallotus spp, Elaeocarpus oxypyren, Vitex pinnata dan lain- lain. Sistem pertanian tradisional perladangan berpindah dengan masa pemberaan kurang dari 10 tahun Semak belukar Semak belukar yang didominasi oleh jenis-jenis early pionir seperti: Melastoma affine, Milletia sericea, Trema orientalis dan jenis lainnya. 133 Tipe aktivitas Tipe lingkungan Formasi vegetasi utama Sistem pertanian agroforestri simpukng Kebun hutan forest- gardens dan kebun pekarangan home- gardens - Berbagai jenis pohon dan rotan yang bernilai ekonomi serta pohon- pohon tempat bersarangnya lebah madu tanyut - Berbagai jenis pohon buah-buahan: Mangifera spp, Durio spp, Baccaurea spp, Artocarpus spp, Lansium domesticum, Dimocarpus sp. Sistem pertanian kebun buah kebotn dukuh Lahan didominasi oleh jenis-jenis buah-buahan dan rotan yang bernilai ekonomis Tegakan buatan man-made stand yang didominasi oleh jenis-jenis pohon buah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti Artocarpus champeden dan Nephelium spp. Pada kebun rotan disusun oleh jenis-jenis rotan tertentu seperti: Calamus manan, C. javensis, Ceratolobus subangulatus, C. concolor dan Daemonorops crinita. Hutan peliharaan ewei teweletn Hutan tegakan alami yang dipelihara dan dieksploitasi pada waktu- waktu tertentu Pohon-pohon tegakan alami dan berbagai jenis rotan yang bernilai ekonomi maupun bernilai ekologi. Hutan keramat Sacred forest Suatu tempat yang dikeramatkan karena merupakan tempat bersemayamnya roh-roh jahat atau tempat kuburan Ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang secara adat dilindungi: Canarium spp, Dipterocarpus spp, Intsia sp, Koompassia excelsa, Shorea laevis, dll. Akibat dari intervensi masyarakat terhadap lingkungan alami menimbulkan terbentuknya satuan-satuan lingkungan yang secara ekologis berbeda-beda yang 134 masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Misalnya ladang umaq, hutan sekunder bekas ladang urat, balikng bataakng, bataakng, bengkar uraq dan bengkar tuhaq, agroforestri simpukng, kebun kebotn dukuh dan lainnya yang setiap satuan lingkungan tersebut dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan yang mendominasinya. Aktivitas masyarakat Benuaq telah mengakibatkan perubahan komposisi floristik dan struktur vegetasinya yang ditandai hilangnya jenis-jenis tumbuhan hutan primer jenis sciaphile yang tergantikan oleh jenis-jenis tumbuhan pionir heliophile. Kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan di kawasan hutan primer maupun hutan sekunder telah mengakibatkan munculnya populasi jenis alelopati seperti padakng Imperata cylindrica yang mengakibatkan kemunduran kualitas tanah. Demikian juga yang terjadi pada pembukaan lahan di kawasan lereng perbukitan telah menimbulkan tumbuhnya jenis paku-pakuan khususnya Gleichenia linearis yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan. Apabila diberakan dalam jangka waktu lama, tempat-tempat yang telah lama dibuka akan mengadakan regenerasi, meskipun suksesi untuk kembali ke hutan alam seperti semula mungkin memerlukan waktu beratus-ratus tahun Riswan et al, 1985. Lahan hutan sekunder yang diberakan oleh masyarakat Benuaq untuk perladangan umaq lati tana dapat dibedakan dari struktur dan komposisi yang menyusunnya. Klasifikasi lahan bera oleh masyarakat peladang secara prinsip berdasarkan fisiognomi hutan sekunder tersebut. Hal ini umum dijumpai pada perkembangan hutan sekunder dari lahan yang diberakan oleh suku-suku di Indonesia De Jong et al, 2001. Gambar 23 memperlihatkan pertambahan jenis dan suku pada setiap tingkatan suksesi lahan bekas ladang serta jumlah jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam hal pemanfaatan keanekaragaman yang tinggi dari jenis-jenis tumbuhan mencerminkan biodiversitas yang tinggi dari hutan yang dikelola masyarakat. Hampir tidak ada jenis tumbuhan tanpa manfaat bagi masyarakat Benuaq 90 bermanfaat. Setiap pertanyaan tentang manfaat suatu jenis tumbuhan, mereka selalu menjawab manfaat dari jenis tersebut walaupun terkadang ”hanya” berguna untuk makanan satwa liar seperti Timonius wallichianus toyung tekayo. 135 20 40 60 80 100 120 1- 3 th Urat 5-10 th Balik bataakng 11 - 30 th Bataakng 35 th Bengkar uraq Lama masa bera tipe Jumlah jenis suku Jumlah jenis Jumlah suku Jenis bermanfaat Gambar 23 Pertambahan jenis dan suku serta tumbuhan bermanfaat pada lahan bera Pertania n ladang berpindah merupakan sistem penggunaan lahan yang ekstensif daripada intensif, terutama yang berhubungan dengan penggunaan tanah atau lahan pertaniannya. Sistem perladangan berpindah pada masyarakat Dayak Benuaq adalah suatu bentuk pertanian yang memiliki karakteristik seperti rotasi ladang, membersihkan dengan api, tidak terdapat binatang-binatang penarik dan pemupukan, manusia menjadi satu-satunya tenaga, alat-alat pengolahan sederhana, dan periode-periode yang pendek dalam pemakaian tanah di mana harus sesegera mungkin dipulihkan dengan masa bera yang panjang. Dengan demikian mereka harus piawai mengatur siklus perladangan mereka. Pelaksanaan aktifitas perladangan yang berpindah-pindah tentu akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Usaha mengatasi terjadinya kerusakan lingkungan hidup di sekitar lokasi perladangan telah dilakukan oleh peladang Benuaq sesuai dengan tradisi mereka. Selain diberakan dengan suksesi alami maka lahan bekas ladang yang ditinggalkan terlebih dahulu ditanami dengan berbagai jenis pohon buah-buahan dan rotan. Bahkan pada saat sekarang umumnya masyarakat menanami ladang yang ditinggalkan dengan pohon karet. Aktifitas tradisional di atas merupakan proses awal terbentuknya kawasan agroforestri tradisional pada masyarakat Benuaq. Hal ini mencerminkan bahwa mereka menyadari bahwa lingkungan hidup di sekitar lokasi perladangan 136 harus tetap terjaga keseimbangannya. Secara ringkas sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan alami serta lingkungan antropisasi disajikan dalam Gambar 24. modifikasi dari Gonner, 2002 Gambar 24 Siklus penggunaan lahan untuk peladangan dan agroforestri pada masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa. Ket: tanda panah warnah merah menggambarkan jalur yang jarang tapi mungkin terjadi dalam siklus. Sistem perladangan masyarakat Dayak Benuaq lahan biasanya digarap dua hingga tiga kali musim tanam. Setelah itu ladang akan diberakan selama 7 hingga lebih dari 20 tahun untuk mengembalikan kesuburan tanah. Hal ini dapat dipahami dari penelitian Morisada et al. 2000 pada lahan dengan beberapa periode masa bera di Kutai Barat bahwa perbandingan tanah setelah diberakan menunjukkan kandungan nutrien tanah akan berubah sesuai dengan masa bera. Secara keseluruhan, kandungan Perladangan Umaq: Ladang tahun I Baber : Ladang tahun II Kelewako: Ladang tahun III Lahan Bekas Ladang masa bera Urat: diberakan 1-3 tahun Balik Batakng: diberakan 5-10 tahun Batakng: diberakan hingga 30 tahun Bengkar Uraq: hutan sekunder bekas ladang diberakan 35 tahun Agroforestri : Simpukng Ewei Teweletn Lati Rempuuq Kebotn dukuh Kebun buah atau Kebun Karet Hutan Asli Bengkar : Hutan primer Bengkar Tuhaq: Hutan sekunder tua Lati Lajah: Hutan gambut Payaq: Hutan rawa 137 nutrien tanah tidak perlu dilengkapi hingga 30 tahun masa bera. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa di dalam tanah karbon dan phospor yang tersedia tidak terbentuk hingga sekurang-kurangnya 15 tahun masa bera, dan selanjutnya produktifitas tanah diperkirakan kembali pulih setelah lebih 15 tahun masa bera. Panjang masa bera merupakan faktor kritis untuk keberlanjutan perladangan masyarakat Dayak. Menurut Mayer 1988 peladangan berpindah dengan masa bera yang cukup panjang dapat merupakan bentuk penggunaan lahan pertanian yang efisien dan bersifat terlanjutkan di daerah yang kesuburannya rendah. Namun pada dasarnya mengenai perladangan berpindah, hingga saat ini masih terdengar silang pendapat, apakah kegiatan ini merusak ataukah selaras dengan alam lihat Dove, 1985; Kartawinata et al. 1984; Mubyarto dkk, 1991; Zakaria, 1994. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat peladang berpindah khususnya suku Dayak Benuaq menge nal berbagai etika dan aturan yang bersifat positif menyangkut perladangan, yang memungkinkan penekanan kerusakan yang ditimbulkan seperti Adat Sukat Pertanahan dan Tanam Tumbuh Madrah, 2001 dan Adat Bekumaq Asy’arie, 2004. Aturan-aturan tersebut tersebut tidak hanya menyangkut mengenai pemilihan lahan yang harus benar-benar cermat agar produksinya tinggi dan tidak menguruskan tanah, tetapi juga upaya- upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan pelaksanaan pemberaan lahan setelah pemane nan dalam waktu yang cukup panjang agar tanah mampu subur kembali. Peladangan berpindah tradisional di daerah yang kepadatan penduduknya rendah, dapat merupakan kegiatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi seperti di daerah Apo Kayan Kartawinata et al. 1984; Jessup dan Vayda, 1988. Sistem ini berkelanjutan, jika kondisi hasil tanaman yang rendah dan kepadatan penduduk yang rendah dalam sistem ini dari segi sosial dan ekonomi masih tetap sesuai keinginan. Dalam hal ini panjang masa bera merupakan faktor kritis sehingga perlu dipikirkan lebih dalam oleh masyarakat peladang berpindah pada daerah yang mempunyai keterbatasan lahan. Menurut Rappaport 1971 pada kelompok sistem pertanian subsisten, 90-95 dari daerah pencarian pangan suatu kelompok biasanya berada 138 dalam keadaan bera pada setiap waktu tertentu. Keterbatasan lahan ini sudah mulai pula dirasakan oleh para peladang berpindah di Kecamatan Muara Lawa. Hal ini diindikasikan dengan pendeknya masa bera yang dilakukan dan hasil ladang yang cenderung terus menurun dalam beberapa dekade terakhir diakibatkan oleh tekanan daya dukung lingkungan yang tidak lagi mendukung sistem perladangan berpindah yang adaptif atau integral dengan alam lingkungannya. Hasil ladang ini tampaknya mengungkap realitas hubungan ekologis antara masyarakat Benuaq sebagai peladang berpindah dan sumberdaya alam di lingkungannya. Kesimpulan Sistem peladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq umumnya bersifat rotasi pemakaian lahan atau dikenal dengan istilah lokal perladangan gilir-balik rotational cultivation. Sistem ini merupakan suatu bentuk pertanian yang memiliki karakteristik antara lain: rotasi lahan ladang, membersihkan dengan api, alat-alat pengolahan sederhana, tidak ada penggunaan hewan-hewan penarik dan manusia menjadi satu-satunya tenaga, tanpa pemupukan, dan periode yang pendek dalam pemakaian tanah dengan masa bera yang panjang. Tahapan pengerjaaan ladang oleh masyarakat Benuaq melalui 9 tahap yang merupakan siklus pengerjaan ladang yang dilakukan sepanjang tahun. Siklus pengerjaan ladang dimulai dari pemilihan lahan, penebasan nokap, menebang nowang, membakar nyuru , membakar ulang mongkekng, menugal ngasak, menyiangi ngejikut, panen ngotepm dan tahap akhir lahan diberakan. Klasifikasi ladang berdasarkan urutan pengerjaan setelah masa panen pertama adalah baber yaitu ladang yang terus diusahakan untuk kegiatan berladang pada tahun ke dua dan kelewako yaitu ladang yang terus diusahakan hingga panen ketiga atau merupakan lanjutan dari kelewako. Selanjutnya berdasarkan letak atau posisi ladang masyarakat Benuaq mengenal tiga jenis ladang: Umaq buu yaitu ladang yang letaknya terpencil dan hanya diolah oleh satu orang penggarap saja; Umaq temikng yaitu ladang yang dibuat berdampingan terdiri dari dua hingga lima ladang secara berdampingan; Umaq lelekng yaitu ladang yang dibuat secara beramai-ramai oleh 139 suatu keluarga besar atau beberapa keluarga sehingga merupakan hamparan ladang yang sangat luas. Pengetahuan lokal peladang Benuaq tentang pertanian Indigenous agricultural knowledge tercermin dari pengenalan mereka pada keanekaragaman varietas padi, tahapan pertumbuhan padi dalam terminologi lokal, dan tumbuhan indikator kesuburan. Mereka mengenal 103 varietas padi lokal yang secara umum dibagi dua yaitu pare padi biasa sebanyak 67 varietas dan pulut padi ketan sebanyak 36 varietas. Mereka juga mengenal 14 tingkat pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi ladang dalam terminologi lokal. Selanjutnya mereka mengenal 15 jenis tumbuhan indikator ekologis yang berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah pada lahan yang diberakan dan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Panjangnya masa bera merupakan faktor kritis untuk keberlanjutan peladangan berpindah. Klasifikasi lahan bekas ladang berdasarkan pengetahuan tradisional dan terminologi lokal Benuaq dimulai dari satu lapisan jenis pionir hingga berkembang menjadi struktur yang komplek seperti halnya sistem klasifikasi ilmiah. Tahapan suksesi berdasarkan kearifan lokal Benuaq dimulai dari urat, balikng bataakng, bataakng, bengkar uraq dan bengkar tuhaq. Berdasarkan hasil analisis tanah pada tiga tahapan suksesi diketahui bahwa lahan-lahan yang diberakan lebih lama mempunyai tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan lahan yang lebih muda usia pemberaannya. 140 Daftar Pustaka Asy’arie H. 2004. Fungsi Hutan dan Sistem Ladang Berpindah-pindah Menurut Adat dan Kepercayaan Masyarakat Tradisional di Kalimantan Timur. Samarinda: Biro Humas Setdaprov Kalimantan Timur. Berns ten RH, Siwi BH, Beachell HM. 1982. The development and diffusion of rice varieties in Indonesia. IRRI Res. Pap. Ser. 71. Conklin H. 1963. The Study of Shifting Cultivation- el studio del cultivo de roza. Washington DC: Union Panamericana, Secretari Gene ral, Organizacion de los Estados Americanos. Crevello S. 2004. Dayak Land Use Systems and Indigenous Knowledge. J. Hum. Ecol. 162: 69-73. De Jong W, van Noordwijk M, Sirait M, Liswanti N, Suyanto. 2001. Farming secondary forests in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science 13 4: 705-726. Dove MR. 1985. Swidden agriculture in Indonesia. The subsistence Strategies of the Kalimantan Kantu. Berlin, New York, Amsterdam: Mouton Publishiers. Dove MR. 1988. Sistem perladangan di Indonesia: studi kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dyson L. 1979. Sistem dan Motivasi Gotong Royong pada Suku Bangsa Dayak Tunjung di Desa Juhan Asa Kabupaten Kutai Kalimantan Timur [skripsi]. Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia . Freeman JD. 1970. Report on the Iban. London: The Athlone Press. Friedberg C. 1989. Social relations of territorial management in light of Bunaq farming rituals. Bijdragen tot de Taal_, Land_ en Volkenkunde 145 4: 548- 559. Fujisaka S. 1987. Filipino Upland Farmers: Informal Ethnoscience for Agricultural Development Research. Philipphine Studies 35: 403-409. Gonner C. 2000. Resource Management in a Dayak Benuaq Village: Strategies, Dynamics and Prospects A Case Study from East Kalimantan, Indonesia. Germany, Eschborn: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GTZ. 141 Grandstaff SW, Grandstaff TB. 1987. Semi-structured Interviewing by Multidicip. Teams in RRA. KKU Proc.: 69-88. Haviland WA. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Inoue M, Lahjie AM. 1990. Dynamics of swidden agriculture in East Kalimantan. Agroforestry Syst. 12: 269-284. Jessup TC. 1981. Why Do Apo Kayan Shifting Cultivators Move? Borneo Research Bulletin 13 1: 16-32. Jessup TC, Vayda AP. 1988. Dayaks and Forests of Interior Borneo. The University Museum Magazine of ArcheologyAnthropology University of Pennsylvania. Expedition 301: 5-17. Kartawinata K, Soedjito H, Jessup TC, Vayda AP Colfer CJP. 1984. The impacts of development on interactions between people and forests in East Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement. Environmentalist 4. Suppl. No. 7: 87-95. Lahajir Y. 2001. Etnoekologi perladangan orang Dayak Tunjung Linggang Etnografi lingkungan hidup di Dataran Tinggi Tunjung. Yogyakarta:Galang Press. Madrah D. 2001. Adat Sukat Dayak Benuaq dan Tonyooi. Jakarta: Puspa Swara dan Yayasan Rio Tinto. Mackinon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan. Jakarta: Prenhallindo. Mayer J. 1988. Letter from East Kalimantan. Wallaceana 52-53: 19-23. Morisada K, Efendi S, Ohta S. 2000. Changes in soil nutrient status after abandonment of swidden agriculture at Benuaq Dayak village. Di dalam: Guhardja E, Fatawi M, Sutisna M, Mori T, Ohta, S, editor. Rainforest Ecosystems of East Kalimantan: El Nino, Drought and Human Impacts. Tokyo: Springer-Verlag. Mubyarto, Soetrisno L, Sudiro P, Awang AA, Sulistyo, Dewanta AS, Rejeki NS, Pratiwi E. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-desa Perbatasan di Kalimantan Timur. Yogyakarta: Aditya Media Press. 142 Mulyoutami E, Rismawan R, Joshi L. 2006. Knowledge and use of local plants from Simpukng forest garden among Dayak people in East Kalimantan. Bogor: ICRAF Working Paper. Nanang M. 2004. Time Investment and Subsistence Value. Media CSF Vol. 51: 10. Ohta S, Effendi S, Tanaka N, Miura S. 1993. Ultisol of “lowland dipterocarp forest” in East Kalimantan, Indonesia III. Clay minerals, free oxides, and exchangeable cations. Soil Sci Plant Nutr 39: 1-12. Okimori Y, Matius P. 2000. Tropical Secondary Forest and Its Succession Following Traditional Slash-and-Burn Agriculture in Mencimai, East Kalimantan. Di dalam: Guhardja E, Fatawi M, Sutisna M, Mori T, Ohta S, editor. Rainforest Ecosystems of East Kalimantan: El Nino, Drought and Human Impacts. Tokyo: Springer-Verlag. Rappaport RA. 1971. The flow of energy in an agricultural society. Scientific American 225: 117-132. Richards PW. 1996. The Tropical Rain Forest: An Ecological Study 2 nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Riswan S, Kenworthy JB, Kartawinata K. 1985. The estimation of temporal processes in the tropical rain forest: a study of primary mixed dipterocarp forest in Indonesia. J. Trop. Ecol. 1: 171-182. Schmidt-Vogt D. 2001. Secondary Forest in Swidden Agriculture in the Highlands of Thailand. Journal of Tropical Forest Science 13 4: 748 – 767. Sellato B. 1989a. Hornbill and Dragon. Jakarta: Elf Aquitaine Indonesie-Elf Aquitaine Malaysia. Sembiring S, Butarbutar T, Harahap RMS, Purba A. 2000. Perubahan sifat-sifat tanah pada tapak Pinus merkusii dan hutan alam setelah delapan tahun dikonversi menjadi tanaman Eucalyptus urophylla di Aek Nauli. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Parapat: Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar 4 Maret 2000. Setyawati I. 1997. Knowledge and Use of Rice Varieties in Apau Ping. In: Sorensen, K.W B. Morris ed.. People and Plants of Kayan Mentarang. London: WWF-Indonesia Programme. Sillander K. 2002. Houses and social organization among the Bentian of East Kalimantan. Borneo Research Bulletin 33: 82-99 Sumual K. 1998. Papatn Puti: An Eco-cultural Museum. Borneo 4 12: 48-55. 143 Supardiyono. 1999. Pengetahuan Keanekaragaman Tumbuhan dan Pemanfaatan Satuan Lansekap Masyarakat Etnis Dayak di Taman Nasional Bentuang Karimun dan Sekitarnya [thesis]. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia. Whitmore TC. 1984. Tropical Rainforests of The Far East 2 nd edition. Oxford: Clerendon Press. Zakaria RY. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: WALHI.

5. ETNOBOTANI LOKAL MASYARAKAT DAYAK BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA