7. PEMBAHASAN UMUM
Adaptasi dan Perspektif Masyarakat Benuaq Terhadap Sumber Daya Alam
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Benuaq dan budayanya telah mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitarnya beratus-ratus tahun yang lalu
secara turun temurun. Hubungan timbal balik antara sistem sosial masyarakat Benuaq dengan alam lingkungan bio-fisik ekosistem sekitarnya, telah menyebabkan mereka
memiliki kemampuan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Aspek sosial masyarakat Benuaq mencakup populasi penduduk, teknologi tradisional,
kearifan lokal dan ketrampilan, kepercayaan struktur sosial dan kelembagaan adat yang ada. Sebagaimana dinyatakan oleh Sponsel 1986 bahwa sistem sosial budaya
terdiri dari tiga subsistem yang saling mempengaruhi dan komponen-komponennya terdiri dari infrastruktur populasi, teknologi, subsisten, struktur organisasi sosial,
ekonomi politik, dan superstruktur mitos, ritual, simbol, etnoekologi, dan lain- lain. Sedangkan aspek lingkungan bio -fisik ekosistem dapat berupa komponen fisik,
antara lain tanah dan air, serta komponen biologi seperti tanaman budidaya, tumbuhan liar atau setengah liar, hewan peliharaan, hewan liar, hama,
mikroorganisme dan lain- lain Gambar 26. Interaksi berbagai komponen tersebut di wilayah ini telah berlangs ung sejak
lama dan berlanjut hingga saat ini. Pada ekosistem Benuaq senantiasa terjadi pertukaran arus energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan sistem bio fisik
di daerah itu atau dengan daerah lainnya. Arus ini telah menyebabkan pembentukan struktur dan fungsi yang khas di wilayah masyarakat Benuaq, misalnya berbagai
praktek agroforestri tradisional simpukng, hutan keramat lati pingit, hutan peliharaan ewei teweletn. Di sisi lain sistem sosial membutuhkan arus ener gi dari
alam ekosistem, misalnya dalam bentuk bahan pangan untuk kehidupan masyarakat sehari- hari, kayu bakar, dan berbagai macam bahan yang diekstrak dari hutan.
Menurut Rambo 1983, faktor- faktor sistem biofisik atau ekosistem di sekitar manusia sangat beragam bergantung pada dimana manusia itu tinggal, termasuk di
Gambar 26 Sistem ekologi perladangan masyarakat Dayak Benuaq Modifikasi Rambo, 1982
Seleksi Adaptasi
M as
uk an
dari ekosistem
lain
Keluaran untuk
ekosistem lain
Keluaran untuk
sistem sosial
lain Masukan
untuk sistem
sosial lain
Sistem sosial
Pola eksploitasi
SDA Organisasi sosial
Lembaga Adat Ekonomi
subsisten Pen
geta hua
n Ekologibotani
Kepercayaan Nilai
-nilai lokal
Mitologi Kepribadian
Bahasa Karakteristik
biofisik Populasi
Migrasi Kesehatan
Nutrisi Teknologi
Alokasi waktu
Pe mb
ag ian
kerja Pelo
be roh
Ekosistem Ladang
Danau butokng
A i r I k a n
Hewan liar
Hew an
ternak I k l i m
U d a r a T a n a h
Hu tan
kerangas Bek
as ladang
L a d a n g Umaq
Agroforestri simpukng
Hutan keramat
Lati pingit Hutan
peliharaan Ewei
teweletn Hutan
primer L o u
B e l a a i Sungai
sunge
206
dalamnya iklim, udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Jadi kehidupan manusia sehari- hari tidak pernah lepas dari lingkungannya.
Ideologi masyarakat, termasuk diantaranya dalam bentuk kearifan lokal, kepercayaan, perspektif dan tata nilai. Faktor-faktor ini telah terbentuk dan dapat
dilihat dalam perilaku masyarakat sehari- hari dalam tata cara mereka memperlakukan alam lingkungan sekitarnya karena masyarakat Benuaq telah lama tinggal dan
berinteraksi dengan alam sekitarnya secara turun temurun. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak pengetahuan dan tata nilai yang mereka peroleh dari
pengalaman berinteraksi dengan alam lingkungan sekitarnya. Selanjutnya masyarakat yang berhasil memperoleh pengetahuan dan mengetahui sifat dan perilaku alam
sekitarnya, maka mereka memiliki potensi untuk lebih berhasil dalam kehidupannya sehari- hari. Pengetahuan tradisional diekspresikan melalui pemanfaatan sumberdaya
alam menghasilkan mosaik -mosaik lansekap, gaya arsitektur, konstruksi yang digunakan, serta seni dan kerajinan. Bahkan aspek-aspek sosial seperti orga nisasi
masyarakat, pembagian waktu kerja, ritual-ritual kepercayaan dapat diartikan sebagai turunan dari sistem pengetahuan mereka.
Pandangan manusia terhadap alam lingkungannya ekosistem dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu pandangan imanen holistik dan transenden
Soemarwoto, 1988. Menurut pandangan holistik, manusia dapat memisahkan dirinya dengan sistem biofisik di sekitarnya, seperti dengan hewan, tumbuhan,
sungai, dan gunung, namun merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor- faktor itu sehingga membentuk satu kesatuan sosio -biofisik. Sebaliknya, menurut
pandangan transenden, kendatipun secara ekologi merupakan bagian dari lingkungannya, manusia merasa terpisah dari lingkungannya. Ini terjadi karena
lingkungan dianggap sebagai sumberdaya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besarnya. Pandangan holistik hidup dan berkembang di masyarakat Benuaq
yang masih tradisional. Fakta ini dapat dilihat perspektif masyarakat Benuaq tentang hutan merupakan tempat hidup bersama bagi semua mahkluk menggambarkan bahwa
manusia adalah bagian dari ekosistem hutan dan tidak boleh mengeksploitasi hutan hanya untuk kepentingannya saja. Menurut kepercayaan mereka bahwa tanah-hutan
207
diciptakan oleh Perjadiq Bantikng Langit Sang Maha Pencipta dan hutan-tanah merupakan unit- unit kecil mikrokosmos dalam tata kosmologi makrokosmos
dunia. Setiap unsur dalam tata kosmos ini mempunyai asal-usulnya karena segala sesuatunya ada yang menciptakan, melindungi, dan memeliharanya. Oleh karena itu,
hutan pun mempunyai pemilik, penjaga, dan pemeliharanya, yakni roh-roh yang bersikap baik dan jahat sehingga mereka selalu meminta izin ritual pakatn nyahuq
setiap melakukan aktivitas membuka hutan. Di kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, adat sebagai norma sosial mores
berfungsi sebagai alat kontrol terhadap sikap, perilaku, dan tindakan manusia dalam memelihara hubungan harmonis dengan ”dunia atas” dan hutan-tanah. Konsep lati
tana terkandung suatu persepsi mengenai ruang dan tata ruang manusia yang bermukim di dalamnya dan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Artinya,
seluruh rangkaian perilaku manusia harus terikat dengan tanah dan hutan berserta segala isinya. Secara lebih konkret, konsep lati tana merupakan wilayah atau batasan
hutan-tanah bagi aktivitas komunitas lokal. Di dalam kelompok masyarakat Dayak, hak tradisional berkaitan dengan lahan dibagi dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu
kepemilikan lahan keluarga secara individual dan lahan milik komunal. Sistem kategorisasi hutan-tanah tersebut mengungkapkan bahwa masyarakat Benuaq
mempunyai sistem pengetahuan yang pasti mengenai pemanfaatan hutan dan tanah mereka.
Pola pemanfaatan dan penguasaan lahan seperti tersebut di atas diakui dalam konteks lokal tradisional, tetapi kurang diakui secara hukum formal, misalnya
berkaitan dengan status lahan ladang berpindah. Menurut UUPA Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti
pola ladang berpindah yang dilakukan masyarakat Benuaq, relatif sulit untuk mendapat pengakuan for mal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat
lokal cenderung lemah dibandingkan dengan pihak swasta atau perusahaan yang diberi konsesi. Hal ini mendorong masyarakat untuk membuat surat-surat keabsahan
kepemilikan lahan- lahan peladangan mereka. Walaupun surat tanah tersebut masih berupa surat keterangan dari kepala desa dan kepala adat yang menyatakan keabsahan
208
kepemilikan tanah tersebut dan pewarisannya. Fenomena ini dimulai pada awal tahun 1980-an dengan masuknya perusahaan-perusahaan HPH dan tambang batubara.
Meskipun Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 18 tentang Kehutanan Daerah mengakui dan mengukuhkan keberadaan wilayah adat serta menjamin hak-
hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat tersebut namun kebijakan pemerintah seperti pemberian izin HPH dan pertambangan sering tidak mengindahkan klaim
masyarakat tradisional. Tekanan yang timbul antara kepemilikan lahan oleh negara dan sistem-sistem tradisional merupakan salah satu tantangan besar yang banyak
terjadi di Kalimantan termasuk di Kutai Barat. Seluruh kawasan hutan di seiktar kampung dibagi menurut aturan tradisional, namun pemerintah telah mengalokasikan
sebagian besar kawasan untuk HPH dan pertambangan tanpa mempedulikan klaim yang sudah ada sebelumnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah di masa lalu lebih
berpihak pada HPH atau perusahaan tambang daripada hak-hak tradisional yang menimbulkan berbagai tekanan lokal dan konflik baru, dan akibatnya beberapa
masyarakat masih mengklaim kawasan-kawasan yang menjadi hak mereka secara hukum adat.
Pengetahuan ekologi tradisional traditional ecological knowledge yang dimanifestasikan dengan peruntukan kawasan untuk berbagai keperluan menunjukkan
apresiasi yang baik terhadap upaya konservasi yang dikuatkan dengan hukum adat. Walaupun mereka sebenarnya tidak mengenal istilah konservasi, namun hakekatnya
pembagian wilayah-wilayah dalam peruntukkan yang khas dan harus dijaga adalah sama dengan upaya konservasi yaitu melindungi kawasan dari kerusakan oleh
aktivitas manusia. Hanya saja konsep konservasi dari pemerintah adalah melindungi dan melarang memanfaatkan sumber daya hayati di kawasan tersebut sedangkan
konsep konservasi menurut masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat adalah melindungi suatu kawasan dengan mengatur pemanfaatannya.
Hakekat peruntukan kawasan lati pingit hutan keramat, ewei teweletn hutan peliharaan, dan simpukng berahatn hutan perburuan adalah menunjukkan usaha
konservasi yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat Benuaq. Peruntukan kawasan yang dikeramatkan merupakan kekhasan pada masyarakat Dayak dalam
209
memandang alam yang harus dilindungi dan dilestarikan. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang memungkinkan untuk menjaga stabilitas keberadaan tetumbuhan
berguna dan kepadatan hewan-hewan buruan secara regional. Sedangkan aspek konservasi yang terkandung dalam ewei teweletn hutan peliharaan dan simpukng
berahatn hutan perburuan sebenarnya adalah melindungi agar dapat dimanfaatkan bila mereka memerlukannya dan bukan pelarangan interdiction. Hal ini sesuai
dengan tujuan utama konservasi alam bagi kehidupan manusia yaitu: 1. Memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan; 2. Mempertahankan
keanekaragaman genetis; dan 3. Memanfaatkan jenis species dan ekosistem secara berkelanjutan.
Konsep pembentukan ewei teweletn yang dianggap sebagai eksklusivitas dari para bangsawan Dayak Benuaq golongan Mantiq sebenarnya merupakan suatu
pemikiran original dari strategi adaptasi terhadap fenomena kondisi lingkungan alam dalam rangka mempertahankan kelangsungan pemanfaatannya. Bila dikaji lebih
mendalam prinsip pembentukan kawasan ini bisa lebih komprenhensif bila dibandingkan dengan pembentukan kawasan konservasi in-situ yang dikembangkan
oleh pemerintah. Ewei teweletn lebih dekat dengan paradigma baru ilmu ekologi yaitu sustainability dibandingkan bentuk konservasi in-situ seperti Taman Nasional.
Konsep pembentukan ewei teweletn tidak hanya mengandung aspek konservasi saja, tetapi mempunyai makna lebih seperti aspek sosial, budaya, ekonomi dan bahkan
dapat pula dikembangkan aspek pendidikan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan kawasan konservasi yang dikembangkan oleh pemerintah yang terkesan dipaksakan
dan kurang memikirkan aspek sosial budaya masyarakat yang ada di sekitarnya sehingga menimbulkan konflik kepentingan dengan masyarakat. Hal ini karena
masyarakat pada dasarnya tidak mendapat manfaat langsung dari kawasan konservasi in-situ yang dibangun pemerintah. Namun sebaliknya masyarakat lokal di kawasan
tersebut merasa terkekang ruang geraknya akibat konsekuensi yang ditimbulkan oleh kawasan konservasi pemerintah tersebut. Sebaliknya kawasan agroforestri yang
dikembangkan oleh masyarakat tradisional dan juga bersifat konservasi terbatas seperti ewei teweletn mempunyai makna bahwa masyarakat merasa memiliki
210
cadangan bahan kebutuhan hidup sehari- harinya, terutama dimasa kekurangan pangan.
Pemikiran masyarakat Benuaq tentang konsep konservasi dalam ewei teweletn dapat dijadikan model pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai konflik
denga n masyarakat di sekitarnya. Apalagi pengakuan bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang efektif dalam memanfaatkan sumber daya alam pada saat
sekarang lebih diakui dari sebelumnya Sillitoe, 1998. Masyarakat lokal memiliki kekayaan pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan, fungsi, metode pertumbuhan
yang efisien dan khasiat pengobatan sehingga keterlibatan mereka sangat krusial dalam pembangunan konservasi dan kelestarian hutan. Hal yang menarik kita simak
adalah mengenai komitmen anggota masyarakat Benuaq terhadap ketentuan pemanfaatan ewei teweletn. Walaupun tidak ada pengawas yang langsung mengawasi
kawasan tersebut, tetapi masyarakat menghormati dan menjalankan ketentuan yang berlaku dalam pemanfaatan hutan ewei teweletn. Konservasi bagi masyarakat Benuaq
adalah menjaga, melindungi dan memanfaatkan, artinya masyarakat masih memiliki kesempatan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Namun seiring
dengan perubahan budaya yang dialami oleh masyarakat Benuaq, pada saat ini beberapa hutan ewei teweletn di Kecamatan Muara Lawa pemanenan hasil kayunya
diserahkan ke perusahaan kayu dan keluarga pemilik menerima bagian dari hasil pengelolaan tersebut. Sehingga secara fungsi mulai bergeser ke aspek yang lebih
komersial. Menurut Soedjito dan Sukara 2006 karakter penting masyarakat tradisional
adalah mempunyai hubungan silang yang sangat dekat dengan alam dan sumberdayanya. Keberadaan masyarakat dan kelangsungan hidupnya umumnya
tergantung pada sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Hubungan dengan alam ini lebih berdasarkan pada koeksistensi daripada kompetisi,
sehingga menghasilkan strategi budaya yang adaptif pada lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari. Ekspresi dari hubungan yang harmonis
ini dapat dilihat dalam konsep mengelola lahan yang menekankan konsep konservasi yang terkemas untuk alasan budaya dan religi. Bentuk formalnya adalah satu set
211
susunan kelembagaan adat yang berevolusi menuju nilai keseimbangan ekologis yang mengkompromikan antara resiko lingkungan dan produktivitas lahan.
Pengetahuan lokal indigenous knowledge mereka juga bersifat holistik, integratif, dan tersebar luas dalam tradisi budaya sehingga sistem pengetahuan lokal
berakar dari sistem pengelolaan tradisional. Bahkan pengetahuan lokal mereka dapat dipandang sebagai bentuk sejarah lingkungan di kawasan tersebut Smith Wishnie,
2000. Hal ini bukan menunjukkan bahwa masyarakat lokal selalu harmoni dengan alam, namun mereka juga menyebabkan kerusakan-kerusakan hutan dengan
kehadiran mereka. Namun kerusakan yang disebabkan oleh kelompok-kelompok masyarakat lokal kurang berpengaruh pada ekosistem dibandingkan besarnya
kerusakan yang disebabkan akibat aktifitas pertambangan, penebangan oleh HPH, dan migran yang tidak familiar dengan ekosistem setempat Scharzman et al, 2001.
Hasil- hasil pengelolaan sumberdaya lokal oleh masyarakat Dayak Benuaq mengindikasikan bahwa sampai saat ini masyarakat mengelola sumberdaya di
lingkungannya secara lestari. Walaupun memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan struktur yang fleksibel, namun sistem-sistem pengelolaan sumberdaya di masyarakat
Benuaq di Kecamatan Muara Lawa kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan di masa depan akibat perubahan-perubahan drastis yang disebabkan meningkatnya
kegiatan penambangan batu bara di wilayah mereka.
Agroforestri Tradisional dan Model Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Simpukng merupakan sistem agroforestri tradisional indigenous agroforestry yang sampai saat ini masih dijumpai di Kabupaten Kutai Barat. Kapan dan mengapa
budidaya simpukng mulai terbentuk pada masyarakat Benuaq tidak diketahui secara pasti. Kenyataannya sistem-sistem kebun hutan dan kebun pekarangan semacam itu
juga dijumpai pada masyarakat suku-suku lainnya di Kalimantan Timur seperti Dayak Bahau, Dayak Tunjung, dan Kutai Sardjono, 2003. Terminologi berbeda
digunakan untuk bentuk agroforestri tersebut pada kelompok masyarakat suku-suku tersebut seperti lembo pada masyarakat Kutai, munan pada masyarakat Dayak
Tunjung, dan lepu’un pada masyarakat Dayak Bahau. Selanjutnya dalam konteks
212
riset agroforestri Sardjono, 1995, pemahaman simpukng atau lembo dapat lebih dispesifikasikan sebagai berikut: “ areal kebun tradisional Masyarakat Dayak di
Kalimantan Timur, di mana terdapat berbagai jenis tanama n berkayu bermanfaat, baik yang belum dibudidayakan wild-species, setengah dibudidayakan semi-
cultivated species dan dibudidayakan cultivated species, didominir oleh jenis pohon dari suku penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-
tanaman bermanfaat lainnya atau hewan, serta berada tersebar tak teratur di bekas lahan ladang atau di sekitar tempat tinggal”.
Ciri khas simpukng dilihat dari strukturnya adalah terdiri dari berbagai jenis pohon mixed yang tumbuh secara acak dengan jarak tumbuh relati rapat dan terdiri
dari beberapa lapis kanopi multistrata. Simpukng yang berada di luar kampung terkesan tidak dikelola dan istilah ”tanam tumbuh” biasanya diberikan pada
simpukng-simpukng yang ada dalam kawasan hutan yang artinya anak-anakan pohon yang ditanam atau dipelihara dari tegakan alami untuk dipungut hasilnya di kemudian
hari. Sebagai bentuk agroforestri tradisional, aliran masukan dan keluaran input- output pada simpukng relatif sederhana. Masukan hanya berupa tenaga kerja dan
bibit, sedangkan luarannya adalah hasil tanaman dan hewan baik berupa hewan liar maupun hewan ternak yang dipelihara. Umumnya uang diperoleh dari hasil penjualan
buah-buahan, gula aren, bahan baku industri kerajinan bambu, rotan dan pandan, dan hewan ter nak. Beberapa hasil lainnya seperti kayu bangunan, kayu bakar, bahan
obat, bahan racun, tali temali, bahan pangan berupa umbi-umbian dan sayuran yang sebagian besar dikonsumsi sendiri. Walaupun hanya beberapa sumber daya yang
digunakan secara komersil, namun nilai subsistennya dalam konteks ekonomi, kesehatan dan aspek-espek kebudayaan tidak dapat diremehkan misalnya penggunaan
tumbuh-tumbuhan dalam berbagai ritual penyembuhan belian. Jika simpukng ditransformasikan ke dalam agroforestri modern akan semakin menguatkan basis
ekonomi rumah tangga setiap komunitas kampung di Kutai Barat. Praktek dan tradisi pengelolaan hutan dan lahan seperti yang dilakukan oleh
masyarakat Benuaq di kalangan organisasi non-pemerintah dikenal sebagai Sistem Hutan Kerakyatan Muhshi, 1998. Mengingat begitu beragamnya bentuk dan praktek
213
pengelolaan hutan secara tradisional, maka Sardjono dan Samsoedin 1997 mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok besar yaitu:
1. Pengelolaan Tradisional Hutan Alam yaitu berbagai bentuk praktek perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan hutan alam untuk tujuan
produk kayu, non-kayu termasuk berburu, areal pertanian hanya sebagian lahan tertentu, dan jasa sumber air. Konsep lati tana merupakan salah satu
contoh pengelolaan tradisional hutan oleh masyarakat lokal dengan peruntukkan lahan untuk berbagai aspek-aspek di atas.
2. Budidaya Pohon Tradisional yaitu berbagai bentuk praktek penanaman dan pemeliharaan jenis-jenis pohon-pohonan dengan atau tanpa kombinasi
tanaman pertanian dan atau manajemen satwa pada areal-areal bekas ladang atau sekitar pemukiman untuk tujuan satu atau beberapa produk kayu, non-
kayu, dan jasa, baik untuk keperluan lokal atau diperdagangkan, dengan penerapan aturan tradisional yang berlaku di masyarakat setempat seperti
berbagai macam praktek dan pengelolaan simpukng oleh masyarakat Benuaq. 3. Aneka Usaha Tradisional Hasil Hutan Non-Kayu yaitu berbagai bentuk
praktek pemungutan dan pembudidayaan hasil hutan non-kayu Non-Timber Forest Products baik dari areal hutan alam dan atau kebun-kebun milik,
utamanya untuk tujuan diperdagangkan dengan penerapan aturan tradisional yang berlaku di masyarakat setempat. Kebotn-kebotn We masyarakat Benuaq
merupakan salah satu contoh Aneka Usaha Tradisional Hasil Hutan Non- Kayu di Kutai Barat.
Kondisi penting lainnya bagi pengembangan dan kesinambungan budidaya simpukng adalah hak atas tanah. Secara tradisional, setiap anggota masyarakat Dayak
memiliki hak untuk menggunakan lahan yang belum dimiliki atau digunakan oleh warga lainnya. Simpukng adalah dasar politik komunitas lokal dalam
mempertahankan tanah dan keutuhan geopolitisnya. Walaupun demikian, ketentuan Pemerintah mengharuskan seseorang memiliki sertifikat sebagai bukti pemilikan atas
sebidang lahan. Namun sulit untuk merealisasikan hal tersebut, dengan alasan-alasan berbagai keterbatasan yang dimiliki masyarakat ekonomi dan pendidikan, sifat
214
kepemilikan seringkali kolektif, pola pewarisan dan ukuran nilainya lahan atau tanaman yang bermanfaat. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan kaitan kultur
masyarakat Dayak terhadap simpukng-simpukng yang ada, dimana di sana terdapat makam-makam leluhur ataupun sebagai tempat pelaksanaan upacara-upacara adat.
Keseluruhan kaitan tersebut tentunya sulit dinilai dalam bentuk uang. Sistem-sistem lokal pengelolaan sumberdaya hutan seperti di Kutai Barat,
dapat dijumpai pada hampir seluruh daerah di Indonesia. Hal ini tentunya dengan berbagai ragam bentuk dan sistem pengelolaan tersendiri, sebagaimana keragaman
budaya dan ekosistem tropik Indonesia. Sistem kebun damar yang disebut repong damar di Krui, sistem kebun pepohonan yang disebut parak di Maninjau, sistem
kebun talun di Jawa Barat, sistem tembawang di Kalimantan Barat lihat De Foresta et al, 2000, dan berbagai jenis pengelolaan hutan adat di suku Badui dan suku Naga
di Jawa Barat, serta tana ulen pada masyarakat Dayak Kenyah adalah berbagai sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat yang telah melestarikan sumberdaya alam
hayati di wilayah adatnya. Peranan kebun hutan yang telah dikembangkan banyak masyarakat tradisional sangat penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati,
mengingat dari kawasan semacam ini dilindungi berbagai jenis sumberdaya hayati seperti sumberdaya pohon untuk bahan konstruksi, pohon buah-buahan, bahan
sayuran, bahan obat-obatan, bahan baku kerajinan, bahan racun, bahan pewarna serta sumberdaya hewani, beserta fungsinya yang ikut melindungi berbagai satwa liar
seperti primata, burung, reptil dan mamalia. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa akses kolektif terhadap sumberdaya tidak selamanya menyebabkan kerusakan
lingkungan. Bahkan, tidak sedikit sumberdaya milik komunal yang dikelola secara profesional oleh komunitas lokal yang terintegrasi ke dalam aspek ekologi dan
kondisi sosial-ekonomi-budaya yang sesua i. Fokus dari perhatian dan pertimbangan diberikan lebih besar kepada
masyarakat lokal dibandingkan pengguna hutan lainnya dikarenakan berbagai dimensi penting terkait dengan pengelolaan hutan berkelanjutan, tidak hanya
menyangkut kedekatan terhadap hutan baik fisik maupun emosional, hak-hak yang harus dihormati akibat dari sejarah keberadaannya, kemiskinan yang dihadapi yang
215
dapat berimplikasi lebih jauh ke sumberdaya alam, dan adanya defisit kekuasaan akibat dari sistem politik sumberdaya alam yang tidak berpihak pada mereka, Colfer
et al. 1999. Hal ini juga disebabkan pertimbangan penting lainnya menyangkut ketergantungan kelompok masyarakat lokal tersebut terhadap hutan sangat besar,
integrasi budaya yang dimiliki dengan hutan, serta pengetahua n tradisional yang sangat bernilai dalam mengelola hutan.
Gambar 27 Model untuk pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kutai Barat Pengetahuan tradisional traditional knowledge yang dimiliki oleh
masyarakat Benuaq merupakan pengetahuan kebudayaan yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model- model pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi, yang bersifat ekologi-
sentris dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri, Bersifat adaptif, holistik, dan
integratif
Ekologi-sentris
Pertanian
Berbagai macam praktek dan tradisi pengelolaan hutanlahan
Konsep Lat i t ana
Kawasan alami
Kawasan konservasi
Agrofore stri
216
dimana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Disamping itu pengetahuan lokal indigenous knowledge mereka juga bersifat adaptif, holistik, dan
integratif yang tersebar luas dalam tradisi budaya sehingga sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengelolaan tradisional. Hal ini melahirkan berbagai bentuk
kearifan yang sangat luas yaitu dari kepercayaan, etika dan aturan, teknik dan tekno logi lokal, ataupun bermacam praktek atau tradisi pengelolaan hutan dan lahan
yang secara keseluruhan dikenal dengan konsep lati tana yang berspektif kelestarian sumberdaya alam Gambar 27.
Konsep atau model ini dapat dikembangkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Kutai Barat karena merupakan model yang berakar dari budaya
lokal, dan berbeda dengan kebijakan pembangunan selama ini yang lebih bersifat antroposentris. Penetapan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk
kepentingan bersama komunal, melakukan pemeliharaan atau penanaman berbagai jenis tanaman hutan yang berharga pada lahan- lahan perladangan dan pemukiman
konservasi ex-situ, serta mengembangkan atau membudidayakan jenis tanaman hutan yang bernilai ekonomi seperti rotan merupakan bentuk-bentuk kearifan lokal
yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan secara lestari. Selanjutnya dengan adanya peruntukkan ruang untuk pemukiman, pertanian, konservasi, kawasan alami, dan
kawasan agroforestri dalam berbagai bentuk akan berguna bagi kehidupan serta kesejahteraan masyarakat Benuaq itu sendiri.
Pengembangan Pertanian di Kutai Barat di Masa Depan
Sistem perladangan berpindah merupakan sistem ekonomi subsisten subsistence economics sebagian besar penduduk Kalimantan. Rasionalitas
masyarakat peladang dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumber daya alam yang tersedia. Pilihan
sebagai peladang adalah tindakan yang mungkin lebih rasional dalam arti perilaku ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial ekonomi mereka. Hal ini
terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosial ekonominya dalam ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun karena peladangan berpindah
217
sebagai bentuk pertanian tradisional dipercaya telah ada di Borneo sekitar 5000-6000 tahun yang lalu Hutterer, 1984. Dalam konteks masyarakat peladang Dayak
Benuaq, sistem peladangan ini merupakan inti budaya, karena hal tersebut merupakan pola adaptasi komunitas peladang terhadap lingkungannya. Unsur-unsur kebudayaan
yang ikut menentukan cara penghidupan suatu masyarakat disebut inti budaya Havilland, 1993. Inti budaya ini mencakup teknik produksi masyarakat dan
pengetahuannya tentang berbagai sumber daya yang ada di dalamnya, termasuk pola tenaga kerja yang terlibat dalam penerapan teknik itu pada lingkungan lokal.
Perladangan berpindah telah dilakukan oleh masyarakat Benuaq selama berabad-abad dan beberapa generasi sehingga masyarakat memiliki sistem yang
dikembangkan untuk mengatur siklus dan pergiliran pembukaan ladang. Secara rinci suksesi hutan akibat kegiatan perladangan diklasifikasikan oleh masyarakat peladang
Benuaq berurutan dari awal masa bera yaitu urat, balikng bataakng, bataakng dan bengkar uraq yang akhirnya akan membentuk ve getasi hutan kembali. Kepekaan
sensitivitas peladang berpindah terhadap keadaan hutan terefleksi dalam bahasa mereka terminologi lokal untuk tahapan suksesi hutan, yang bisa jadi memiliki arti
luas dan sangat komplek. Hal ini menunjukkan pemahaman mereka yang dalam tentang proses regenerasi hutan akibat aktivitas perladangan. Tetapi karena adanya
beberapa faktor pembatas yang dirasa akhir-akhir ini, baik berupa faktor alam maupun faktor kepemilikan lahan, maka secara langsung maupun tidak langsung pola
dan tata cara berladang terpaksa berubah untuk tidak mengikuti kaidah-kaidah perladangan berpindah sebagaimana mestinya, misalnya pemanfaatan lahan yang
tidak sesuai, singkatnya masa bera dan sebagainya. Perubahan juga terjadi pada sistem pengolahan dan perilaku peladang yang berbasis pada komunitas rumah
tunggal sehingga sifat individual tampak lebih dominan dibandingkan komunitas rumah panjang yang bersifat kolektif komunal.
Data kepadatan penduduk menunjukkan rata-rata penduduk per rumah tangga di Kabupaten Kutai Barat adalah 3,72 jiwa per rumah tangga dan 5,21 jiwakm
2
Anonim, 2007. Angka yang menunjukkan bahwa kepadatan penduduknya rendah dimana perladangan berpindah masih sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi
218
Kartawinata et al, 1984. Selain itu berladang merupakan suatu kegiatan yang lebih daripada sekedar kegiatan ekonomi pada masyarakat Dayak Dove, 1988b.
Berladang merupakan kehidupan masyarakat Dayak karena pola pemukiman, struktur sosial, kehidupan religi dan kebanyakan hukum adatnya berga ntung pada sistem
perladangan mereka. Dari sisi sosial sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Benuaq untuk melakukan pekerjaan ladang secara gotong-royong dan bergiliran yang dikenal
dengan istilah pelo atau beroh. Perladangan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq mengindikasikan
bahwa tata cara perladangan mereka masih bersifat tradisional sehingga dalam berladang masyarakat mengenal tata cara tertentu yang bersifat ritual dengan maksud
agar ladang menghasilkan panen yang banyak. Teknik pemanfaatan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq tidak hanya dipengaruhi oleh adat- istiadat melainkan
kondisi sumber daya alam yang tersedia, kesuburan tanah, teknik perladangan dan sistem kerja. Masyarakat Dayak Benuaq terkenal sangat taat dan berpegang teguh
pada ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan turun temurun secara lisan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan kebutuhan sehari-
hari dan lingkungannya haruslah sesuai dengan adat dan tata krama yang dicontohkan oleh nenek moyang yang dapat diketahui melalui legenda atau cerita turun temurun
yang dipercaya sebagai pesan-pesan tertentu. Telah disadari bahwa perladangan berpindah selama berabad-abad dapat
bertahan antara lain karena syarat utamanya yaitu tersedianya lahan hutan yang luas dapat terpenuhi. Akan tetapi, seiring dengan berkurangnya areal hutan, sistem ini
tidak dapat dipertahankan lagi, terlebih lagi dengan semakin meningkatnya kebutuhan peladang yang tidak dapat dipenuhi hanya dari usaha berladang. Keterbatasan lahan
ini jus tru mengakibatkan intensitas perladangan pada lahan masyarakat semakin meningkat, sehingga kesuburan tanahnya makin cepat merosot. Para peladang
terpaksa mempersingkat masa bera yang penting bagi upaya regenerasi kesuburan lahan dan melakukan penanaman pada lahan yang sebenarnya belum waktunya
dibuka kembali. Disamping keterbatasan lahan ditemukan beberapa kelemahan dalam sistem ladang berpindah antara lain:
219
1. Harus memulai setiap tahapan pekerjaan dari awal setiap tahunnya termasuk membangun fasilitas penduk ung seperti pondok ladang.
2. Walaupun lokasi perladangan mengikuti suatu rotasi namun pembukaan lahan primer juga terus berlangsung karena perspektif lokal bahwa hutan primer
bebas dimasuki oleh siapa saja dan ”siapa pertama membuka hutan akan memiliki lahan yang luas” sehingga kerusakan hutan tetap terjadi.
3. Tanaman perkebunan seperti kopi, coklat, dan lada yang ditanam pada tahun pertama tidak akan terawat karena peladang sudah membuka lahan baru pada
tahun berikutnya. Dengan demikian pengembangan usaha pertanian di Kabupaten Kutai Barat
sangat tergantung pada cara mengatasi masalah- masalah yang selama ini muncul. Kesuburan tanah yang relatif rendah adalah salah satu masalah yang paling serius.
Walaupun pada dasarnya kesuburan tanah di awal pembukaan ladang relatif bagus karena bahan organik masih cukup tersedia. Namun kesuburan tanah menjadi cepat
merosot yang ditandai dengan berkurangnya bahan organik dalam tanah. Pada tanah podsol, berkurangnya bahan organik akan menimbulkan masalah lain yakni
ketersediaan air dalam tanah menjadi terbatas, sehingga pada musim kemarau hanya tanaman-tanaman yang resisten terhadap kekeringan yang mampu tumbuh. Atas dasar
ini, tampaknya masalah terpenting yang perlu diperhatikan pada pertanian lahan kering ini adalah keberlanjutannya sustainability. Artinya bagaimana suatu sistem
dapat dipertahankan produktivitasnya secara berkelanjutan. Konsep sistem ladang berkelanjutan mencakup aspek sistem biofisik tanah,
tanaman, hewan, ekonomi produksi, pertukaran, dan konsumsi, ser ta sosial budaya tata nilai dan praktek sosial. Keberlanjutan sistem ladang pada masyarakat Benuaq
ini dapat dipertahankan dalam waktu panjang karena mendapatkan dukungan dari strategi subsisten lainnya, misalnya hasil-hasil lanjutan dari hutan dan agroforestri
simpukng. Tingkat pemanfaatan hasil hutan bermacam- macam tergantung pada tingkat kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Dayak Benuaq yang kehidupannya
masih tradisional, yang menetap di hutan-hutan atau sekitar hutan, hasil hutan benar- benar merupakan sumberdaya yang sangat vital. Sumberdaya alam ini memberi
220
dukungan dan menopang kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu bahan-bahan pangan yang diperoleh dari hutan seperti sayur-sayuran, jamur, dan buah-buahan
merupakan kebutuhan utama sebagian masyarakat. Demikian pula dengan hasil tangkapan ikan dan buruan mereka seperti babi, rusa, kera, dan burung-burung
dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan protein sehari- hari. Sumberdaya alam tersebut, selain memenuhi kebutuhan hidup, juga dimanfaatkan sebagai penyumbang
dana bagi kepentingan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tidak sedikit sumbangan yang diberikan hutan dalam menunjang kehidupan ekonomi masyarakat
Benuaq. Faktor lain yang juga dapat meningkatkan kemampuan peladang untuk
mempertahankan sistem ekonomi subsistennya secara berkelanjutan adalah terlibat aktif dalam dunia perdagangan. Para peladang di Kalimantan juga ikut terlibat dalam
kegiatan ekonomi pasar dengan cara menjual berbagai hasil hutan non-timber forest products. Keterlibatan mereka ini disebabkan oleh pengaruh para bandar dari kota.
Para pembeli yang datang dari kota dan macam- macam kategori bandar telah mendorong eksploitasi yang berlebihan, seperti dilaporkan Gonner 2001 bahwa
pada akhir tahun 1997 berkembang sebuah pasar yang baru untuk hewan-hewan tangkapan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Banjarmasin membeli kura-
kura Testudines. Hal ini menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap kura- kura yang dibeli dengan harga cukup bagus sehingga dilaporkan sekitar 1500 ekor
kura-kura diambil dari rawa-rawa sekitar desa Lempunah Kecamatan Tanjung Isuy. Usaha-usaha pengembangan pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat perlu dip ikirkan tindakan-tindakan konstruktif yang tidak merubah jati diri masyarakat Benuaq. Tantangan besar bagi daerah tropis basah adalah mencapai
keseimbangan antara pemerataan pembangunan dan perlindungan sumberdaya hayati. Upaya yang dilakukan masyarakat lokal Benuaq dengan memelihara berbagai jenis
flora dan fauna dalam kebun hutan simpukng, dan terkumpulnya berbagai varietas lokal padi unggul dan ragam tanaman berpotensi unggul dalam sistem dan
kelembagaan tradisional sesungguhnya merupakan upaya kongkrit yang mendukung
221
pelestarian ekosistem, pelestarian jenis dan pelestarian genetik secara bersamaan. Suatu kegiatan konservasi yang memadukan pendekatan in-situ dan ex-situ sekaligus.
Menurut Kartawinata et al. 1984 jumlah penduduk di pedalaman Kalimantan biasanya selalu rendah dan dahulu peladangan berpindah merupakan
bentuk tata guna lahan yang berkelanjutan, namun pola ini sudah mulai berubah. Pertambahan penduduk, tekanan-tekanan dari pasar-pasar baru untuk tanaman
perdagangan dan pengenalan teknologi baru seperti gergaji mesin dan pengangkutan dengan mesin telah membuka daerah yang lebih luas untuk eksploitasi. Hal ini ikut
merubah pola dan budaya masyarakat Benuaq dalam berladang. Pengalihan usaha pertanian padi ladang yang bersifat subsisten menjadi usaha tani yang berorientasi
pasar pada masyarakat tradisional sudah barang tentu akan mengubah tradisi mereka secara drastis dan biasanya menimbulkan kendala. Dampak yang muncul dari
ekonomi pasar mempengaruhi organisasi sosial komunitas lokal yang pada akhirnya mempengaruhi pengelolaan sumber daya alam.
Dapat dikatakan bahwa sistem pertanian tradisional masyarakat Benuaq mampu mengembangkan strategi produksi usaha tani yang sesuai dengan kondisi
ekologi lokal, sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam melakukan usahanya, para peladang tidak bersifat statis, bahkan sebaliknya, sangat dinamis untuk beradaptasi
dengan berbagai perubahan lingkungan yang terjadi. Strategi yang mereka kembangkan adalah mengkombinasikan usaha tani subsisten dan komersil yang
bersifat lentur terhadap munculnya faktor- faktor pengubah seperti ketersediaan lahan, modal dan teknologi. Akhirnya, sistem ladang berpindah Benuaq yang menjadi
identitas budaya mereka dapat dipertahankan hingga saat ini dengan adanya usaha- usaha yang konstruktif.
Sistem perladangan berpindah sebagai sistem pertanian lokal tampaknya cenderung berubah. King 1985 melihat sistem perladangan berpindah masyarakat
Dayak Maloh di Kalimantan Barat berubah seiring dengan perubahan dan pergeseran dalam stratifikasi sosial komunitas lokal. Selanjutnya Dove 1988 menyatakan
sistem perladangan berpindah masyarakat Kantu berubah karena kian runtuhnya budaya rumah panjang yang berakibat runtuhnya organisasi sosial, dan struktur sosial
222
lokal. Realita yang serupa juga terlihat dalam budaya perladangan masyarakat Benuaq yang ikut berubah seiring dengan perubahan sosial budaya organisasi sosial
dan ekosistem. Beberapa perubahan yang sudah mulai terlihat dalam sistem pertanian tradisional Benuaq: a. sudah menggunakan teknologi penggunaan chainsaw dalam
menebang pohon; b. pengolahan tanah ladang dengan cangkul dan traktor tangan; c penggunaan pupuk kimia dan organik; bahkan d mengkombinasikan sistem ladang
dengan tumpang sari dan pemeliharaan ikan pada kolam-kolam di ladang yang dekat dengan sungai. Perubahan lain yang banyak dilakukan adalah mengkombinasikan
sistem ladang berpindah dengan perkebunan karet, yang beberapa tahun terakhir banyak dilakukan oleh para peladang.
Etnobiologi Lokal
Kemampuan yang dimiliki sebagian anggota masyarakat lokal dalam mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan dan hewan di wilayah mereka seperti halnya
Dayak Benuaq, dapat disejajarkan dengan ahli-ahli taksonomi sejati. Walaupun kita dari kalangan peneliti menggelari mereka dengan para taksonom. Pengetahuan
tradisional yang notabene berasal dari masyarakat tradisional dalam memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk berbagai keperluan, sehingga saat ini
muncul sebagai kecenderungan ”back to nature”. Berbagai pengetahuan asli dan tradisional indigenous knowledge yang dikembangkan masyarakat lokal di berbagai
daerah tropika setelah dipelajari, diolah dan diterima logikanya, kemudian di ”justified” oleh masyarakat ilmiah dengan menamakannya etnobiologi. Namun
sesungguhnya masih banyak hal dari pengetahuan masyarakat tradisional yang belum terjamah dan belum dianggap ”masuk akal” oleh masyarakat ilmiah seperti ritual-
ritual pengobatan masyarakat Benuaq yang sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka.
Evaluasi nilai budaya tumbuh-tumbuhan dalam penelitian etnobotani merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan. Evaluasi ini meliputi nama-nama
tumbuh-tumbuhan dalam bahasa lokal yang berbeda-beda, material yang diperdagangkan dan dipertukarkan antar kelompok, strategi penghidupan dan
223
klasifikasi tradisional. Taksa-taksa yang dianggap mempunyai kaitan dengan budaya dan mempunyai kegunaan termasuk dalam inventarisasi etnobotani seperti Indeks
Nilai Penting ICS yang dilakukan pada penelitian etnobotani pada masyarakat Dayak Benuaq ini. Hal ini akan menunjukkan suatu tingkat kepentingan yang
termasuk ke dalamnya untuk satu atau berbagai keperluan, dari yang paling penting hingga yang paling minimal kegunaannya dalam budaya Benuaq. Kegunaan jenis-
jenis tumbuhan yang terdokumentasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 469 jenis yang tergolong dalam 274 marga dan 105 suku tumbuhan. Berbagai kegunaan
tumbuhan adalah untuk bahan pangan 203 jenis, bahan obat-obatan 240 jenis, bahan bangunan 126 jenis, bahan sandang 7 jenis, bahan kayu bakar 40 jenis,
bahan seni jenis, bahan kerajinan dan teknologi lokal 70 jenis, bahan kecantikan 15 jenis, bahan pewarna 14 jenis, bahan racun dan penawar racun 31 jenis,
bahan ritual 99 jenis dan lain- lainnya. Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting diperoleh padi mempunyai nilai ICS
tertinggi yakni 130. Hunn 1982 menyatakan bahwa kepentingan budaya dari suatu takson tumbuhan dapat didefinisikan sebagai pentingnya peranan yang dimainkannya
dalam suatu budaya tertentu. Hal ini dapat dipahami pada masyarakat Dayak Benuaq yang umumnya merupakan peladang berpindah, dimana padi merupakan tanaman
utama sebagai makanan pokok dan juga bahan minuman dengan proses fermentasi dan pakan ternak. Padi juga merupakan bahan pangan utama untuk ritual dan bahkan
salah satu jenis tumbuhan yang berperanan dalam supernatural atau mitologi yang bersifat magis religius dalam budaya Dayak Benuaq. Hewan liar dan ikan air tawar
merupakan sumber daya penting untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat Benuaq. Pengetahuan lokal tercermin dari pengenalan mereka tentang hewan buruan
dan jenis-jenis ikan air tawar yang mereka peroleh dari sungai dan danau-danau. Bahkan pengelompokkan jenis-jenis ikan secara ilmiah tidak berbeda jauh dengan
pengelompokkan lokal Benuaq lampiran 24. Diperoleh 60 jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat yang tergolong dalam 25 marga dan 13 suku ikan air tawar.
224
8. KESIMPULAN DAN SARAN