Kawasan alami 1. Sunge sungai dan butokng danau

kesepakatan bersama dan mematuhinya. Pengaruh sangsi yang sifatnya magis lebih ditaati dibandingkan dengan sangsi fisik atau materi. Beberapa ahli menyatakan ada hubungan yang erat antara hutan larangan dan konservasi keanekaragaman hayati. Menurut mereka nilai-nilai religius dan kebiasaan- kebiasaan yang dilekatkan pada lingkungan mungkin kritis supaya usaha konservasi dapat berhasil Berkes, 1999; Byers et al, 2001; Colding Folke, 2001.

E. Kawasan alami 1. Sunge sungai dan butokng danau

Sungai dan danau yang terdapat di sekitar kampung merupakan kawasan milik komunal karena air memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan suku Dayak Benuaq. Kampung mereka umumnya dibangun di tepi-tepi sungai dan alat transportasi utama adalah perahu sehingga budaya mereka disebut budaya sungai. Aktifitas mandi, mencuci dan buang hajat biasanya dilakukan di sungai dekat rumah sehingga ada satuan lingkungan khusus yang berkaitan dengan hal diatas yaitu piatn atau tepian di pinggir sungai yang dibuat dari rakit kayu tempat aktifitas mandi, mencuci dan buang hajat. Selain itu sungai dan danau menyediakan sumber daya ikan yang mencukupi kebutuhan protein bagi masyarakat. Sungai dan danau yang terdapat di kawasan suatu kampung adalah menjadi hak milik bersama warga kampung tersebut. Oleh karena itu akan dijaga kelestariannya sehingga tidak boleh sembarangan melakukan aktifitas yang dapat merusak ekosistem pada sungai dan danau tersebut, seperti menuba ikan tanpa sepengetahuan warga lain. Sungai merupakan pusat perkampungan di pedalaman Kalimantan. Alasannya karena perladangan mereka biasanya terletak jauh ke pedalaman sehingga transportasi lebih mudah melalui sungai. Lokasi yang dipilih untuk perkampungan umumnya dekat pinggir sungai ya ng cukup besar untuk dapat dilalui oleh perahu mereka. Teritori perkampungan adalah sebagian dari lembah sungai tersebut, namun sebagian besar sungai tidak merupakan batas teritori kampung karena fungsinya sebagai akses komunikasi maka hampir setiap kampung menguasai kedua belah sisi sungai. 2. Asli bengkar Hutan primer Hutan dalam bahasa Dayak Benuaq disebut Bengkar. Hutan primer yang masih dalam kondisi baik dan belum pernah dieksploitasi undisturbed forest disebut Asli Bengkar. Berdasarkan hak penguasaannya menurut masyarakat Dayak Benuaq bahwa hutan atau bengkar merupakan tempat yang tidak bertuan artinya siapa saja warga masyarakat boleh memasuki dan mengambil sumberdaya yang ada di dalamnya. Hutan merupakan tempat yang dapat dimanfaatkan secara umum untuk perladangan, sumber bahan pangan, bahan bangunan, bahan perahu, tumbuhan obat ritual serta berbagai hasil hutan lainnya. Walaupun demikian secara umum terdapat tata cara pemanfaatan hutan menyangkut cara dan waktu melaksanakan kegiatan ekstraktivisme berdasarkan pada hukum adat kampung. Hutan primer yang menjadi wilayah adat kampung tertentu biasanya telah ditetapkan batas-batasnya berupa tanda-tanda alam seperti sungai, danau atau pohon tertentu. Hutan di wilayah Kecamatan Muara Lawa umumnya tergolong hutan dataran rendah dipterocarpaceae. Pengamatan di lapangan serta informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa beberapa jenis Dipterocarpaceae bernilai ekonomi tinggi mulai jarang ditemukan dalam tegakan hutan bengkar seperti Aput Dipterocarpus oblongifolius, Kaweng Shorea macrophylla, Jengan Shorea laevis, Mengkarau Shorea leprosula, Mentewohok Shorea johorensis, Orai Shorea pinanga, Puti Koompassia excelsa, Tempudou Dipterocarpus confertus, dan Ngoiiq Dryobalanops sp. Hasil analisa vegetasi pada tegakan hutan alam yang dipelihara oleh masyarakat diperoleh hasil sebagai berikut: Pohon yang mempunyai INP tertinggi berturut-turut Shorea laevis 36,077, Eusideroxylon zwagerii 10,947, Dipteocarpus cornutus 10,035, Shorea ovalis 9,541 dan Anisoptera sp 8,903. Hal ini karena lokasi plot dibuat pada tegakan jengan Shorea laevis yang sengaja dipelihara oleh masyarakat untuk cadangan kayu pertukangan. Hutan primer asli bengkar di Kecamatan Muara Lawa pada saat ini sudah sangat berkurang karena kegiatan eksploitasi hutan yang merupakan tekanan utama dan terjadi konversi lahan menjadi lahan pertanian dan perkebunan disamping disebabkan oleh kebakaran hutan. Degradasi hutan di kawasan ini juga disebabkan oleh aktifitas pertambangan batu bara yang menimbulkan dampak yang terlokalisasi, tetapi signifikan, bagi kehilangan hutan. Kehilangan hutan berlangsung sangat cepat di Kalimantan Timur disebabkan oleh pembalakan dan kegiatan pertanian yang menyebabkan kemerosotan cukup besar bagi beberapa tipe-tipe hutan tertentu di Kalimantan. Menurut masyarakat kehilangan hutan yang sangat besar terjadi akibat kebakaran hutan pada akhir tahun 1982 sampai 1983. Pada saat itu masyarakat banyak mengalami kerugian akibat ribuan hektar kebun rotan ikut terbakar. 3. Lati Lajah Lati Jaras hutan kerangas Lati lajah atau lati jaras ialah hutan kerangas atau hutan gambut yang kurang kesuburannya sehingga tidak dapat dijadikan lahan perladangan. Hutan kerangas terdapat di atas tanah yang berasal dari batuan induk yang mengandung kuarsa. Pada dasarnya tanah ini miskin basa, sangat masam, bertekstur kasar dan bebas tersalir. Tanah semacam ini sering disebut tanah pasir putih tana one bura. Hutan kerangas ini tidak dapat menunjang pertanian, setelah hutan ditebang dan dibakar, tanahnya cepat sekali mengalami kemerosotan. Permukaan lapisan humusnya juga tererosi, terbakar dan teroksidasi. Kapasitas untuk menyimpan zat- zat hara pada tanah-tanah di Kalimantan sebagian besar tergantung pada kandungan humus. Oleh karena itu kandungan zat hara sangat rendah bila lapisan humusnya rendah, misalnya pada tanah-tanah pasir kerangas di Kalimantan Timur. Hutan kerangas memiliki jenis yang lebih sedikit dari pada hutan basah dataran rendah lainnya Mackinnon et al., 2000. Jenis-jenis yang mendominasi vegetasi di lahan ini adalah brengkulat Arthrophyllum diversifolium, Dryopteris sp, nunuk Ficus deltoidea, bekakang Melastoma malabathricum, karamuying Rhomyrtus tomentosa, gelam Syzigium zeylanicum, belaban Tristania obovata, brenganyi Vaccinium varingiaefolium, kelepapaq Vitex trifolia, dan dua jenis tumbuhan merambat yaitu serempulut Hoya coriacea dan Ngong- ngong Nepenthes reinwartiana. Pada kawasan hutan ini bebas bagi siapa saja yang mau menggarap atau mengambil hasilnya. Walaupun hutan ini tidak diminati masyarakat untuk lahan perladangan namun masih berguna untuk mengambil beberapa jenis rotan, damar dan gaharu yang bernilai ekonomis tinggi atau tumbuhan lain yang bermanfaat sebagai tumbuhan obat. Pembahasan Suku Dayak Benuaq yang mendiami sebagian wilayah Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri dalam tatanan kehidupannya. Eksistensi masyarakat Dayak Benuaq masih tergolong tradisional dengan berbagai keterbatasan-keterbatasan kondisional. Suku Benuaq sangat memerlukan pengembangan-pengembangan untuk meningkatkan kearah kehidupan yang lebih baik. Perspektif masyarakat Benuaq tentang hutan merupakan tempat hidup bersama bagi semua mahkluk menggambarkan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem hutan dan tidak boleh mengeksploitasi hutan hanya untuk kepentingannya saja. Sumberdaya alam tersebut dapat dikelola lestari bila persepsi masyarakat yang menjadi pokok persoalan diintegrasikan ke dalam strategi pengelolaan yang adaptif dengan jaminan adanya partisipasi masyarakat. Strategi-strategi pengelolaan sumber daya alam tradisional memperlihatkan pola-pola sosio- budaya masyarakat pada umumnya. Analisa proses-proses pengambilan keputusan lokal penting dilakukan dalam memahami alasan-alasan yang mendasari bentuk tindakan yang diambil oleh masyarakat lokal misalnya alasan sosio-religius. Selain itu diperlukan pemahaman dan kesadaran kita untuk mengkombinasikan pengetahuan “formal” dengan sistem pengetahuan tradisional yang selalu mempertimbangkan keunikan dan kespesifikan sehingga didapat solusi yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya alam yang lestari Soedjito dan Sukara, 2006. Proses antropisasi terhadap lingkungan oleh masyarakat Dayak Benuaq dari dulu hingga saat ini adalah dalam bentuk suatu upaya eksploitasi sumber daya alam tumbuhan dan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Dayak Benuaq hingga saat ini masih melakukan perladangan berpindah, kegiatan agroforestri yang intensif dan ekstraksi sumber daya alam. Aktivitas perladangan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem yang membentuk satuan lingkungan tersendiri yang memiliki karakteristik dan dinamika floristik tersendiri. Sebenarnya pengaruh aktivitas manus ia adalah memodifikasi keanekaragaman hayati yang ada sehingga menimbulkan terganggunya sistem ekosistem alami yang dicirikan oleh suatu populasi jenis tumbuhan tertentu sesuai dengan kondisi habitatnya. Formasi floristik dari satuan lingkungan antropik tersebut bisa mengalami regresif atau sebaliknya progresif atau dalam kondisi kurang lebih stabil. Tabel 3 berikut memberikan gambaran pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas masyarakat Dayak Benuaq terhadap lingkungannya yang menyebabkan perubahan komposisi floristiknya. Tabel 3 Aktivitas masyarakat Dayak Benuaq terhadap lingkungannya Aktivitas masyarakat terhadap hutan primer Akibat yang ditimbulkan Kegiatan peramuan, ekstraktivisme berbagai jenis tumbuhan bahan pangan, obat-obatan dan bahan racun Hutan primer tidak mengalami gangguan yang berarti, namun aktivitas masyarakat tersebut menyebabkan proses regenerasi jenis-jenis tertentu seperti Artocarpus spp, Baccaurea spp, Durio spp, Maesa sp, dan Mangifera spp. Menyebabkan gangguan terhadap jenis-jenis tertentu seperti Eurycoma longifolia, Coscinium sp, Fibraurea chloroleuca, dan Parartocarpus sp. Eksploitasi kayu pohon, rotan dan berbagai jenis tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan subsistem dan keperluan ekonomi dijual Berkurangnya atau bahkan musna hnya jenis-jenis penting seperti Eusideroxylon zwageri, Shorea spp, Dipterocarpus spp, Dryobalanops spp, Aquilaria malaccensis, Calamus spp, Daemonorops spp, Khortalsia spp dan jenis-jenis lain yang mempunyai nilai ekonomi. Hutan primer dikonservasi menjadi lahan pertanian, pemukiman dan lain- lainnya. Terjadi perubahan yang sangat signifikan baik komposisi floristik maupun kondisi ekosistemnya. Umumnya jenis-jenis yang mendominasi pada hutan sekunder Alphitonia incana, Artocarpus spp, Elaeocarpus spp, Euodia glabra, Ixonanthes sp, Macaranga spp, Schima wallichii, Trema orientalis, Vitex pinnata dan jenis-jenis pionir lainnya. Selama ratusan tahun masyarakat peladang berpindah Benuaq telah merubah hutan- hutan alam menjadi kawasan yang dibudidayakan. Karenanya mosaik- mosaik hutan yang ada saat ini lahan bera, kebun hutan, kebun pekarangan, hutan peliharaan, hutan keramat dan hutan primer merupakan hasil ko-evolusi eko-budaya yang khas antara manusia dan hutan. Secara umum ada beberapa katagori lahan berdasarkan fungsi atau kegunaannya pada masyarakat Benuaq seperti pada tabel 4 berikut: Tabel 4 Sistem kategorisasi lahan pada masyarakat Benuaq di Kab. Kutai Barat No Katagorisasi LahanHutan Kepemilikan Fungsi LahanHutan 1 Kawasan pemukiman Komunal dan pribadi Kawasan yang diperuntukkan untuk pemukiman masyarakat kampung 2. Kawasan pertanian a. Umaq lati tana ladang dan bekas ladang b. Kebotn dukuh kebun Pribadi dan keluarga Pribadi dan keluarga Kawasan yang diperuntukkan untuk aktifitas perladangan berpindah Kawasan untuk tanaman perkebunan seperti karet, kopi, kakao, buah-buahan, dll. 3. Kawasan agroforestri: A. Agroforestri di pemukiman: a. Simpukng lou b. Simpukng belaai c. Simpukng lalaq B. Agroforestri di luar pemukiman: a. Simpukng bua lati b. Simpukng ruyaq Komunal Pribadi Komunal Komunal Komunal dan keluarga Agroforestri di belakang rumah panjang Agroforestri di belakang rumah individual Agroforestri di sepanjang jalan dari kampung menuju ladang dan tepian Agroforestri pohon buah- buahan dalam suatu kawasan hutan tertentu. Kawasan yang dipelihara dari tegakan alami untuk memperoleh kayu-kayu bahan bangunan. No Katagorisasi LahanHutan Kepemilikan Fungsi LahanHutan c. Simpukng berahatn d. Keletn tanyut e. Sopatn Komunal Komunal dan keluarga Komunal Kawasan untuk lokasi berburu dan memungut hasil hutan non kayu seperti rotan, madu, damar, buah- buahan, dll. Kawasan tempat bersarangnya lebah madu Kawasan tempat hewan liar minum dan menjilati mineral salt lick yang dijadikan lokasi berburu oleh masyarakat. 4. Kawasan konservasi: a. Ewei teweletn Hutan peliharaan b. Simpukng lubang pekuburan c. Lati pingit hutan keramat Komunal dan keluarga Komunal Komunal Hutan yang dipelihara dan dijaga untuk cadangan dan hanya dieksploitasi pada waktu tertentu Kawasan yang diperuntuk- kan untuk penguburan Kawasan yang dikeramatkan dan dilindungi karena merupakan tempat tinggal roh-roh jahat 5. Kawasan alami a. Sunge dan butokng sungai dan danau b. Asli Bengkar hutan primer c. Lati lajahLati jaras hutan kerangas Komunal Komunal Komunal Kawasan milik komunal karena mempunyai peran sangat penting untuk kehidupan masyarakat Hutan alam yang terbuka bagi siapa saja yang mau memanfaatkan untuk berbagai keperluan Hutan yang dapat dipungut beberapa hasilnya seperti rotan dan tumbuhan obat. Pandangan masyarakat Benuaq mengenai hutan terungkap dalam sistem katagorisasi mereka tentang hutan dan lahan. Mereka beranggapan bahwa hutan dan tanah harus dilihat secara fungsional. Hal ini berarti bahwa tanah tidak mempunyai makna kalau tidak dilihat sekaligus dengan vegetasi yang tumbuh di dalamnya. Setiap anggota masyarakat harus memanfaatkan hutan atau lahan sesuai dengan batasan dan fungsinya. Setiap pemanfaatan dan penguasaan hutan yang tidak sesuai dengan katagori fungsional dianggap merupakan pelanggaran adat yang dapat dijatuhi sanksi hukum adat. Sistem katagorisasi hutanlahan tersebut mengungkapkan bahwa orang Benuaq memiliki sistem pengetahuan yang pasti mengenai pemanfaatan tanah dan hutan mereka. Walaupun pada saat ini sistem katagorisasi tersebut tidak lagi sepenuhnya menjadi pedoman perilaku dan tindakan mereka dalam pengelolaan hutan. Fakta di atas menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Benuaq secara aktif mengatur sumber daya hutan mereka. Mereka percaya bahwa sumber daya alam termasuk hutan betul-betul dipandang penting bagi kehidupan manusia. Hutan dan manusia saling berhubungan dan saling tergantung. Konsep lokal lati tana adalah konsep pengelolaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yakni kepercayaan, hubungan kekeluargaan, sosial dan ekonomi. Lahan tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata tapi ditetapkan sebagai kawasan yang lestari dan dilindungi oleh masyarakat untuk berbagai aspek kehidupan manusia. Kesadaran mereka bahwa tindakan dan perbuatan yang dilakukan mempunyai konsekuensi untuk anak cucunya sehingga mereka secara aktif mengatur rencana pengelolaan lahan yang berorientasi ke masa depan seperti larangan menebang pohon tertentu, larangan berladang pada area hutan larangan dan tindakan menanam pohon buah-buahan pada lahan yang diberakan. Sistem ekologi tradisonal dan kebiasaan-kebiasaan yang ditemukan dalam masyarakat Benuaq mengindikasikan kemauan untuk memelihara keaneka- ragaman hayati dalam sistem lokal mereka. Hal ini misalnya tercermin dalam budidaya simpukng yang merupakan salah satu cara peremajaan hutan dan siklus suksesi dari ladang umaq menjadi hutan bengkar kembali. Simpukng merupakan salah satu komponen penting dari sumber daya lahan yang dikelola masyarakat Dayak Benuaq. Setiap keluarga memiliki 1 hingga 30 petak simpukng dengan luas antara 0,1 hingga 20 hektar yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan keluarga, produksi bahan pangan buah-buahan dan sayuran, kayu bangunan dan kayu bakar untuk konsumsi rumah tangga, dan obat-obatan tradisional. Simpukng juga mempunyai peranan penting untuk upacara- upacara adat dan religi. Disamping ekstraksi tumbuhan berguna dan kayu, berbagai jenis hewan buruan juga diperoleh dari simpukng dan sekitarnya Gonner, 2000. Ekosistem simpukng merupakan ekosistem yang sangat unik yang terkait erat dengan ekosistem hutan di sekitarnya dan aktifitas perladangan berpindah oleh masyarakat Benuaq. Berdasarkan proses budidaya pohon-pohon yang ada di dalamnya secara umum simpukng dapat dibedakan menjadi dua yaitu simpukng lati yang dipelihara dari tegakan alami pohon-pohon di suatu kawasan tertentu dan simpukng ulaq yang ditanam oleh pemiliknya. Agroforestri yang tergolong pada simpukng lati adalah simpukng bua lati, simpukng ruyaq, dan simpukng berahatn. Selanjutnya agroforestri yang tergolong simpukng ulaq adalah simpukng lou dan simpukng belaai. Secara keseluruhan budaya simpukng pada masyarakat Benuaq sangat erat kaitannya dengan ekosistem hutan primer dan sekunder, sistem perladangan berpindah, sistem perkampungan dan migrasi, sistem kekerabatan, sistem penguasaan lahan land tenure system, sistem kepercayaan dan etnogenesis tradisi adat-istiadat dan mitologi. Jadi simpukng merupakan hasil refleksi dan interaksi beberapa faktor meliputi faktor biotik dan abiotik, kharakteristik sosial budaya dan sosial ekonomi maupun selera dan kearifan masyarakat. Simpukng mempunyai fungsi ekologis sebagai proses pemberaan lahan perladangan dan fungsi ekonomis dengan tanaman pangan yang ada di dalamnya khususnya buah-buahan. Lahan ini mempunyai kepentingan ekonomi untuk jenis- jenis yang menghasilkan produk-produk bermanfaat baik yang ditanam maupun liar. Simpukng sebagai bentuk agroforestri lokal subsisten jika ditransformasikan ke agroforestri modern budidaya akan menguatkan fungsi ekologis dan ekonomis simpukng tersebut sehingga lebih produktif. Secara ekologis simpukng merupakan bentuk pelestarian lingkungan hidup yang benar-benar berakar dari dalam budaya masyarakat itu sendiri dan merupakan bentuk teknologi tradisional untuk konservasi lahan pertanian fallowing system. Ini merupakan salah satu cara yang terbaik dan efektif dari segi biaya untuk perlindungan jenis dengan menetapkan praktek-praktek tata guna lahan yang memungkinkan perlindungan jenis. Selanjutnya secara ekonomis simpukng bisa dikembangkan menjadi agroforestri buah-buahan tropis yang sangat adaptif dengan ekosistem hutan tropis basah di Kabupaten Kutai Barat. Bahkan simpukng juga bisa dikembangkan menjadi agroforestri untuk tanaman obat tropis yang sangat hebat karena di dalamnya memang banyak tumbuh berbagai jenis tumbuhan obat yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Selain itu budidaya simpukng tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq namun juga oleh suku-suku lainnya di Kabupaten Kutai Barat dengan terminologi berbeda seperti lembo Kutai, munan Dayak Tunjung, dan lepu’un Dayak Bahau. Pengetahuan tradisional mengenai pengelolaan sumber daya diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kearifan tradisional ini berdasarkan pemahaman yang dalam bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup kompak berdampingan. Pandangan ekologi- sentris masyarakat tradisional ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam. Pengetahuan-pengetahuan ini sekarang terancam punah akibat perubahan sosio-budaya secara umum ya ng mempengaruhi nilai- nilai sosial sehingga pengetahuan yang mendalam mengenai hal tersebut kebanyakan hanya dimiliki oleh orang-orang tua dan para kepala adat. Praktek agroforestri lokal yang mereka lakukan berperanan penting dalam sistem tata guna laha n dan merupakan model yang baik untuk daerah pemukiman. Pertanian yang berkelanjutan di Kutai Barat mungkin bergantung pada agroforestri lokal simpukng yang sangat mirip dengan hutan alam tiruan dalam hal struktur dan komposisi dengan tanaman tumpang sari, penutup tanah yang baik dan tajuk yang berlapis- lapis. Model pertanian ini dapat memberikan hasil kayu, pangan, serat, tumbuhan obat dan ritual untuk masyarakat lokal sekaligus berguna sebagai ”gudang penyimpanan gen” untuk berbagai jenis tumbuhan asli. Namun berkurangnya kawasan alami hutan primer yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perladangan, sumber bahan pangan, bahan bangunan, bahan perahu, bahan tumbuhan obat akan berpengaruh bagi kehidupan mereka. Sebagai masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada sumber daya hutan hal tersebut akan merubah budaya mereka. Hal ini telah menggeser konsep-konsep pemanfaatan jangka panjang untuk memelihara populasi mereka yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Kesimpulan Strategi-strategi pengelo laan sumber daya alam tradisional oleh masyarakat Benuaq memperlihatkan pola-pola sosio-budaya masyarakat lokal pada umumnya. Kongkretisasi budaya rumah panjang lou pada masyarakat Benuaq yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan adalah dengan wujud penetapan wilayah oleh hukum adat dan adanya kesepakatan sosial antara masyarakat lou yang dikuatkan dengan hukum adat bahwa peruntukan tanah dan hutan disesuaikan dengan kodifikasi nenek- moyang. Tanah atau lahan dibagi dalam peruntukan yang khas untuk bagian-bagian tertentu dari aktivitas kehidupan masyarakat yang berarti bahwa tanah yang telah ditetapkan untuk wilayah masing- masing harus dijaga, digarap, dan dimanfaatkan sebagaimana hukum adat menentukannya. Secara hukum adat ditetapkan kawasan untuk pemukiman, pertanian, agroforestri, konservasi dan kawasan alami. Kawasan pemukiman meliputi: kampung dan bangunan tempat tinggal seperti rumah panjang dan rumah individual. Kawasan pertanian meliputi: ladang umaq, bekas ladang urat bataakng, dan perkebunan kebotn. Kawasan agroforestri meliputi berbagai macam simpukng simpukng lou, simpukng belaai, simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq, simpukng berahatn,, hutan peliharaan ewei teweletn, hutan perburuan simpukng berahatn, tempat lebah madu bersarang kelatn tanyut, dan hutan peliharaan ewei teweletn. Kawasan konservasi mencakup kawasan pekuburan simpukng lubakng, dan hutan keramat lati pingit. Kawasan alami meliputi hutan primer asli bengkar dan hutan kerangas lati lajah. Kepemilikan masing- masing satuan lingkungan tersebut juga diatur dalam hukum adat. Kawasan yang menjadi milik komunal meliputi beberapa kawasan agroforestri yaitu simpukng lou, simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq, simpukng berahatn dan kelatn tanyut milik kampung. Selanjutnya kawasan yang menjadi milik pribadi dan keluarga adalah ladang umaq, lahan bekas ladang urat bataakng, agroforestri simpukng belaai, simpukng munan, kebun kebotn, dan pohon lebah madu tanyut milik keluarga. Praktek agroforestri lokal yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq berperanan penting dalam sistem tata guna lahan dan merupakan model yang baik untuk daerah pemukiman. Pertanian yang berkelanjutan di Kutai Barat mungkin bergantung pada agroforestri lokal simpukng yang sangat mirip dengan hutan alam tiruan dalam hal struktur dan komposisi dengan tanaman tumpang sari, penutup tanah yang baik dan tajuk yang berlapis- lapis. Simpukng sebagai bentuk agroforestri lokal subsisten jika ditransformasikan ke agroforestri modern budidaya akan menguatkan fungsi ekologis dan ekonomis simpukng tersebut sehingga lebih produktif. Model pertanian ini dapat memberikan hasil kayu, pangan, serat, tumbuhan obat dan ritual untuk masyarakat lokal sekaligus berguna sebagai ”gudang penyimpanan gen” untuk berbagai jenis tumbuhan asli. Pengetahuan ekologi tradisional traditional ecological knowledge dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat Benuaq mengindikasikan adanya kemauan untuk memelihara keanekaragam hayati dalam sistem mereka. Mosaik- mosaik hutan yang ada saat ini lahan bera, kebun hutan, kebun pekarangan, hutan peliharaan, hutan keramat merupakan hasil ko-evolusi eko-budaya yang khas antara manusia dan hutan. Kearifan tradisional ini berdasarkan pemahaman yang dalam bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup kompak berdampingan. Pandangan ekologi-sentris masyarakat tradisional ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam. Namun pengetahuan ekologi tradisional ini sekarang terancam punah akibat perubahan sosio-budaya secara umum yang mempengaruhi nilai- nilai sosial sehingga pengetahuan yang mendalam mengenai hal tersebut hanya dimiliki kalangan terbatas seperti para kepala adat dan tokoh masyarakat. Daftar Pustaka Abdoellah O, Lahjie AB, Wangsadidjaja SS. 1993. Communities and forest management in East Kalimantan: Pathway to environmental stability. The Southeast Asia Sustainable Forest Management Network. Anonim. 2006. Kutai Barat Dalam Angka Tahun 2006. Sendawar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat. Anonim. 2007. Kutai Barat Dalam Angka Tahun 2007. Sendawar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat. Asy’arie H. 2004. Fungsi Hutan dan Sistem Ladang Berpindah-pindah Menurut Adat dan Kepercayaan Masyarakat Tradisional di Kalimantan Timur. Samarinda: Biro Humas Setdaprov Kalimantan Timur. Barero CML. 2006. Effects of Human Interaction on the Frequency of “Saltlick” Use by Lowland Tapirs Tapirus terestris. Prossiding Third International Tapir Symposium Buenos Aires, Argentina. Berkes F. 1999. Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management. Philadelphia: Taylor and Francis. Brightsmith D. 2004. Effects of Diet, Migration, and Breeding on Clay Lick Use by Parrots in Southeastern Peru. Di dalam: Prossiding of American Federation of Aviculture Symposium. Byers BA, Cunliffe RN, Hudak AT. 2001. Linking the conservation of culture and nature: A case study of sacred forest in Zimbabwe. Human Ecology 29: 187-218. Chokkalingam U, de Jong U, Smith W, Sabogal C. 2000. Tropical secondary forest in Asia: introduction and synthesis. Paper prepared for the “ Tropical secondary forest in Asia: Reality and perspectives’ workshop”. 10-14 April 2000. Samarinda, Indonesia. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Christanty L. 1990. Home gardens in tropical Asia, with special reference to Indonesia. Tropical Home Gardens. Tokyo: United Nations University Press. Colding J, Folke C. 2001. Social taboos: “Invisible” systems of local resource management and biological conservation. Ecological Applications 11: 584-600. Colfer CJP. 2005. The Complex Forest: Communities, Uncertainty, and Adaptive Collaborative Management. Washington DC, Bogor: RFF Press, CIFOR. Colfer CJP, Wadley RL, Salim A, Dudley RG. 2000. Understanding patterns of resource use and consumption: A prelude to co- management. Borneo Research Bulletin 31: 29-88. Conklin H. 1963. The Study of Shifting Cultivation- el studio del cultivo de roza. Washington DC: Union Panamericana, Secretari General, Organizacion de los Estados Americanos. Cotton CM. 1996. Ethnobotany: Principles and Applications. New York: John Wiley Sons. Decher J. 1997. Conservation, small mammals, and the future of sacred groves in West Africa. Biodiversity and Conservation 6: 1007-1026. Fox J. 1993. The Tragedy of Open Acces. Di dalam: Brookfield H and Biron Y, editor. Shoutheast Asia Environmental Future: The Search for Sustainability. Singapore: Oxford University Press. Gilbertson DD, Kent M, Pyatt FB. 1989. Practical Ecology for Geography and Biology Survey, mapping and data analysis. London, Boston, Sydney, Wellington : Cambridge University Press. 320 p. Hadi S, Lung JB. 1988. Swidden Cultivation among The Tunjung of East Kalimantan with Particular Emphasis on Socio-Economic Factors. Samarinda: Pusat Studi Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan Tropis Basah PUSREHUT Universitas Mulawarman. Hairston SRNG. 1991. Ecological Experiments : purpose, design, and execution. Cambridge Stuidies in Ecology. Cambridge : Cambridge University Press. 370 p. Haviland WA. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Jepson P, Canney S. 2003. Values- led conservation. Global Ecology and Biogeography 12:271-274. Jessup TC. 1981. Why Do Apo Kayan Shifting Cultivators Move? Borneo Research Bulletin 13 1: 16-32. Joshi L, Wijaya K, Sirait M, Mulyoutami E. 2004. Indigenous systems and ecological knowledge among Dayak people in Kutai Barat, East Kalimantan. Bogor: World Agroforestri Centre-ICRAF Working Paper No 2004_3. Lahajir, Y. 2001. Etnoekologi perladangan orang Dayak Tunjung Linggang Etnografi lingkungan hidup di Dataran Tinggi Tunjung. Yogyakarta:Galang Press. Lahjie AM, Seibert B. 1988. Pemungutan madu oleh masyarakat pedalaman Kalimantan Timur. Di dalam Lahjie AM Seibert B, editor. Agroforestry untuk pengembangan daerah pedesaan di Kalimantan Timur. Samarinda: Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GTZ. Lawrence D, Leighton M, Peart D. 1995. Availability and extraction of forest products in managed and primary forest around Dayak village in West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology, 91: 76-88. Lennertz R, Panzer KF. 1983. Preliminary assessment of the drought and forest fire damage in Kalimantan Timur. Transmigration Areas Development Project TAD, German Agency for International Cooperation GTZ. Mackinon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan. Jakarta: Prenhallindo. McWilliam A. 2001. Prospects for the sacred grove: Valuiting lulic forest on Timor. The Asia Pasific Journal of Anthropology 2: 89-113. Montenegro OL. 2004. Natural licks as keystone resources for wildlife and people in Amazonia [disertasi]. Florida: University of Florida. Mueller-Dombois DR, Ellenberg H. 1974. Aims and methods of vegetation ecology. New York: John Wiley and Sons. Polosakan R, Soedjito H. 1997. Ethnobotany and Home Garden Design in a Kenyah Dayak Village on the Upper Bahau River in East Kalimantan. Di dalam: Sorensen KW. Morris B, editor. People and Plants of Kayan Mentarang. London: WWF-Indonesia Programme. Primack RB. 1995. A Primer of Conservation Biology. Sunderland USA: Sinauer Association Inc. Rifai MA. 1994. A Discourse on Biodiversity Utilization in Indonesia. Trop. Biodiversity 22: 339-349. Rousseau J. 1990. Central Borneo: ethnic identity and social life in stratified society. Oxford: Oxford University Press. Sardjono MA. 1995. Budidaya Lembo di Kalimantan Timur: Satu Model untuk Pengembangan Pemanfaatan Lahan Agroforestri di Daerah Tropis Lembab [disertasi]. Hamburg: Biologi Department Hamburg University. Sardjono MA. 2003. Lembo: Praktek Agroforestri Tradisional di Kawasan Sendawar, Kalimantan Timur. Di dalam: Arifin HS, Sardjono MA, Sundawati L, Djogo T, Wattimena GA, Widianto, editor. Agroforestri di Indonesia. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF. Sillander K. 2002. Houses and social organization among the Bentian of East Kalimantan. Borneo Research Bulletin 33: 82-99 Soedjito H. 1996. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nutfah. Jakarta: Seri Pustaka Ekologi dan Pembangunan Berkelanjutan Konphalindo. Soedjito H. 2005. Apo Kayan: Sebongkah Sorga di Tanah Kenyah. Bogor: Himpunan Ekologi Indonesia. Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan pengetahuan tradisional: sumber ilmu masa depan Indonesia. Didalam: Soedjito H, penyunting. Kearifan tradisional dan cagar biosfer di Indonesia: prosiding piagam MAB 2005 untuk peneliti muda dan praktisi lingkungan di Indonesia. Jakarta: Komite Nasional MAB Indonesia-LIPI Press. Sorensen KW. 1997 Traditional Management of Dipterocarp Forest: Examples of Community Forestry by Indigenous Communities with Special Emphasis on Kalimantan. Didalam: Sorensen KW. Morris B, editor. People and Plants of Kayan Mentarang. London: UNESCO and WWF Indonesia Programme. Wadley RL, Colfer JP. 2004. Sacred Forest, Hunting, and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology Vol. 32 3: 313-338. Catatan: Menurut Sardjono 2003 masyarakat Dayak Benuaq menggolongkan simpukng mereka berdasarkan letak atau lokasi simpukng tersebut berada yaitu: - Simpukng umaq yaitu simpukng yang terdapat di kawasan perladangan - Simpukng lou yaitu simpukng yang berada di kawasan pemukiman rumah panjang. - Simpukng belai yaitu simpukng yang berada di sekitar pemukiman rumah individual. - Simpukng lalaq yaitu simpukng yang terdapat di sepanjang jalan kampung.

4. AKTIFITAS PERLADANGAN BERPINDAH DALAM BUDAYA MASYARAKAT DAYAK BENUAQ