6. AKTIFITAS BERBURU DAN MENANGKAP IKAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT DAYAK BENUAQ
Abstrak
Penelitian ini dengan metode survei eksploratif yang terdiri dari 1 inventarisasi hewan yang dimakan meliputi nama lokal dan ilmiah, 2 Mempelajari
interrelasi antara masyarakat dan lingkungannya ekosistem, artinya kita memperhatikan dan membahas aspek biologi dan sosialnya dengan memandang
aspek praktek, persepsi dan representasinya. 3. Melakukan analisis vegetasi pada satuan lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas perburuan. Metode ini didukung
oleh pendekatan dan teknik pengumpulan informasi. Pendekatan yang dipakai umumnya bersifat partisipatif atau penilaiain etnobotani partisipasif participatory
ethnobotanical appraisal, PEA. Hewan liar dan ikan memiliki nilai ekonomi dan salah satu sumber makanan bagi masyarakat Benuaq. Perburuan dilakukan oleh
masyarakat Benuaq pada hutan sekunder bekas ladang, hutan agroforestri dan kawasan sopatn yang dikenal sebagai daerah sesapan salt lick yang sering
dikunjungi oleh hewan liar dengan tujuan menjilati atau memakan tanah yang ada di sana untuk memenuhi kebutuhan mineral tambahan. Satwa liar yang merupakan salah
satu komponen dalam simpukng hutan agroforestri walaupun hanya secara periodik dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hewan buruan. Keanekaragaman satwa liar
yang diburu dan dimanfaatkan oleh masyarakat Benuaq terdiri dari 43 jenis satwa yang terdiri dari Aves 27 jenis, Mamalia 14 jenis dan Reptil 2 jenis. Selanjutnya
diperoleh 60 jenis ikan yang dik onsumsi masyarakat yang tergolong dalam 25 marga dan 13 suku ikan air tawar.
Abstract
The research was using explorative survey method, consists of 1 animals- used inventory, includes local and scientific names and kind of its use as food, 2
Society and environment ecosystem interrelation study, means to examine biology and social aspects based on practical, perception and representation, 3 Vegetation
analyze at hunting activity area. These methods were supported by approach and information collecting technique, commonly is participatory approach or
Participatory Ethnobotanical Appraisal PEA. Benuaq people, which depends on environment resources especially to fulfill their food, has good knowledge of plants
and animals diversity in their surrounding. Wildlife and fish, economically is two of important food in Benuaq people. Hunting was done by Benuaq people at fallow
secondary forest, agroforestry forest and sopatn area which is recognized as salt lick, used by wildlife for fulfill additional minerals need. Although just periodically used
as game, wildlife is a component of simpukng agroforestry forest. There was 43 species found as game used by Benuaq people, classified as 27 bird species, 14
mammals and 2 reptiles. There was also found 60 species fish consumed by local people including 25 genera and 13 family of fish from fresh-water resources.
Keywords: Benuaq, game, hunting, salt lick, simpukng, sopatn.
187
Pendahuluan
Suku Dayak Benuaq yang mendiami sebagian wilayah Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri
dalam tatanan kehidupannya. Eksistensi masyarakat Dayak Benuaq masih tergolong tradisional dengan berbagai keterbatasan-keterbatasan kondisional. Suku Dayak
Benuaq sangat memerlukan pengembangan-pengembangan untuk meningkatkan kearah kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Dayak Benuaq mempunyai sistem
pengetahuan cukup baik tentang sumberdaya alam di lingkungannya. Menurut Colfer 2005 sumberdaya alam tersebut dapat dikelola agar lestari bila persepsi masyarakat,
yang sering mempunyai isu dan tempat spesifik diintegrasikan ke dalam strategi pengelolaan yang adaptif dengan jaminan adanya partisipasi masyarakat.
Masyarakat Dayak Benuaq kehidup annya mengandalkan sumber daya alam khususnya dalam menyediakan bahan pangan mempunyai pengetahuan yang baik
terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan yang ada di sekitarnya. Ikan air tawar merupakan sumber daya penting untuk memenuhi kebutuhan protein dan lemak
disamping hewan buruan. Danau-danau di bagian tengah Sungai Mahakam dan ekosistem air tawar lainnya merupakan sumber ikan yang penting untuk konsumsi
masyarakat setempat. Sebagian besar ikan tersebut ditangkap dari danau-danau dan anak-anak sungai dengan menggunakan berbagai alat tradisional oleh masyarakat
lokal. Masyarakat Benuaq yang menempati sepanjang anak-anak Sungai Mahakam bagian selatan merupakan salah satu suku yang juga mengandalkan ikan air tawar
sebagai sumber protein utama. Oleh karena itu aktifitas menangkap ikan merupakan kegiatan harian oleh masyarakat tradisional tersebut.
Disamping ikan air tawar, satwa liar merupakan salah satu bahan pangan yang cukup penting dari segi ekonomi pada masyarakat Benuaq. Daging hewan buruan
merupakan tambahan penting untuk menu makan mereka. Semua satwa liar berukuran sedang hingga besar, termasuk monyet dan bajing diburu oleh masyarakat
Benuaq. Gonner 2000 melaporkan bahwa seorang pemburu dapat memeperoleh 150-200 babi setiap tahunnya di perkampungan Benuaq Tanjung Isui. Bahkan selama
musim kemarau 19971998 diperkirakan sekitar 1500 hewan liar diburu dari hutan-
188
hutan rawa di sekitar Lempunah dan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Namun perubahan kondisi hutan akibat penebangan dan pembukaan
ladang akan berpengaruh bagi komunitas hewan yang bergantung pada hutan tersebut. Perubahan habitat alami menyebabkan perubahan dalam komunitas hewan
dan tumbuhan, terutama kerapatan hewan dan tumbuhan penetap di dalamnya. Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan eksploitasi hutan, banyak
terjadi kerusakan flora dan fauna. Banyak satwa-satwa liar yang pada tahun 1980-an masih banyak dijumpai, tetapi sekarang sudah semakin jarang. Penurunan jumlah
satwa tidak terlepas pula dari kebiasaan berburu oleh masyarakat setempat. Demikian juga dengan penangkapan ikan yang secara berlebihan dapat menyebabkan lenyapnya
jenis-jenis ikan tertentu. Penelitian ini mengungkap bagaimana masyarakat Benuaq melakukan aktivitas berburu dan menangkap ikan dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aspek-aspek perburuan pada masyarakat Dayak Benuaq meliputi ekologi perburuan, teknik perburuan dan keanekaragaman
jenis hewan buruan dan aktifitas menangkap ikan meliputi teknik dan keanekaragaman ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat Benuaq.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2007 hingga Desember 2007 pada tiga kampung masyarakat Benuaq yaitu: Kampung Dingin, Kampung Lambing, dan
Kampung Muara Lawa yang semuanya termasuk dalam Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur.
Penelitian menggunakan metode survei eksploratif mencakup: 1. Inventarisasi jenis hewan dan ikan yang dimanfaatkan masyarakat meliputi nama
lokal dan nama ilmiahnya serta macam penggunaannya sebagai bahan pangan. Friedberg, 1990; 2. Mempelajari interrelasi antara masyarakat dan lingkungannya
ekosistem, artinya kita memperhatikan dan membahas aspek biologi dan sosialnya dengan memandang aspek praktek, persepsi dan representasinya. 3. Melakukan
analisis vegetasi pada satuan lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas perburuan. Metode ini didukung oleh pendekatan dan teknik pengumpulan informasi.
189
Pendekatan yang dipakai umumnya bersifat partisipatif atau penilaiain etnobotani partisipasif participatory ethnobotanical appraisal, PEA. Pendekatan ini meliputi:
1. Wawancara semi terstruktur Grandstaff Grandstaff, 1987 dan terjadwal untuk inventarisasi pengetahuan lokal; 2. Observasi partisipatif dan transect -walks
sistematis Martin, 1995 dengan masyarakat sebagai pemandu dan ikut aktif dalam aktifitas harian khususnya berburu dan menangkap ikan. Selanjutnya identifikasi
jenis-jenis hewan mamalia menggunakan Buku Mamalia Kalimantan, Sabah dan Serawak Payne et al, 2000, identifikasi jenis -jenis burung menggunakan Buku
Panduan Lapangan: Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan MacKinnon dkk, 1993 dan identifikasi jenis-jenis ikan yang diperoleh masyarakat
menggunakan Buku Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi Kottelat dkk, 1993.
Hasil Lokasi Perburuan
Perburuan yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq umumnya bersifat subsisten yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka walaupun
terkadang juga dijual untuk mendapat uang tunai. Perburuan umumnya dilakukan pada hutan sekunder bekas ladang dan hutan agroforestri di sekitar perkampungan
mereka. Masyarakat Benuaq yang mempraktekkan budidaya simpukng agroforestri memiliki tujuan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan sekaligus gaya
hidup mereka, yaitu pemilikan laha n, pewarisan, masa bera, ketersediaan pangan dan arena berburu. Satwa liar yang merupakan salah satu komponen hewan yang sangat
penting untuk kelangsungan fungsi simpukng sebagai kawasan agroforestri. Walaupun sebagian besar satwa-satwa liar tersebut tidak tinggal menetap di kawasan
tersebut tetapi hanya secara periodik saja misalnya pada saat musim buah. Satwa liar inilah yang diburu oleh masyarakat dan menjadi bahan pangan tambahan mereka.
Simpukng berahatn merupakan suatu kawasan agroforestri yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berburu, menangkap ikan dan mencari rotan rotan, damar,
sarang burung serta hasil hutan lainnya. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Dayak Benuaq yang dikenal dengan istilah berahatn yaitu pergi ke dalam
190
hutan untuk berburu, mencari ikan atau mengumpulkan rotan dan damar dalam beberapa hari. Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam kawasan khusus yang dikenal
sebagai Simpukng Berahatn yang mempunyai kekayaan hewan dan tumbuhan cukup tinggi. Menurut Colfer et al. 2000 perburuan di hutan yang dipelihara secara teratur
merupakan gambaran ekonomi subsisten, dengan hewan buruan mamalia besar maupun kecil dan berbagai jenis burung memenuhi secara berkala kebutuhan protein
yang penting untuk bahan pangan. Kawasan lain yang menjadi lokasi tempat berburu bagi masyarakat Benuaq
adalah sopatn. Sopatn merupakan suatu kawasan mata air berupa kolam atau telaga kecil di dalam hutan tempat hewan-hewan liar minum atau menjilati tanah pada
kawasan tersebut. Kawasan sopatn ini dilindungi secara adat sehingga banyak pantangan dan tabu yang berlaku di tempat ini. Masyarakat tidak boleh sembarangan
menebang pohon dan membuka kawasan ini untuk perladangan. Kawasan ini dijaga kelestariannya karena merupakan tempat masyarakat berburu dan mengintai hewan
buruannya, bahkan air dari tempat ini dipercaya mempunyai kekuatan mistis sehingga digunakan untuk keperluan ritual guna-guna. Walaupun pada saat ini kebanyakan
vegetasi tumbuhan pada kawasan ini juga sudah rusak akibat kebakaran hutan dan pembukaan lahan untuk perladangan.
Secara ekologi kawasan ini dikenal sebagai daerah sesapan salt lick , merupakan suatu daerah tertentu pada berbagai tipe habitat yang sering dikunjungi
oleh hewan liar dengan tujuan untuk menjilati atau memakan tanah yang ada di sana Montenegro, 2004. Kehadiran hewan-hewan liar di sesapan adalah untuk menjilati
air atau memakan tanah. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mineral tambahan, membantu proses pencernaan dan mengemulsikan racun yang masuk ke
dalam sistem pencernaan Brightsmith, 2004. Sesapan merupakan salah satu faktor kunci yang menjamin tersedianya mineral essensial untuk hewan liar terutama di
daerah-daerah dengan curah hujan tinggi dan distribusi sesapan dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kelimpahan dan sebaran vertebrata di suatu daerah
Primack, 1995.
191
Kehadiran hewan-hewan liar di daerah sesapan yang bahkan berdekatan dengan kawasan perladangan masyarakat menunjukkan bahwa keberadaan sesapan di
suatu daerah sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan-hewan liar tersebut. Beberapa kawasan sopatn di Kecamatan Muara Lawa telah terganggu vegetasinya
menjadi relatif terbuka akibat kebakaran hutan dan perladangan sehingga hewan- hewan liar jadi berkurang mendatangi tempat tersebut. Hal ini sangat merugikan bagi
masyarakat karena hewan buruan menjadi semakin langka. Menurut Barero 2006 kehadiran hewan-hewan liar di sesapan sangat ditentukan oleh kondisi alami daerah
di sekelilingnya dan kondisi alami sesapan itu sendiri. Pada saat ini hanya beberapa sopatn yang masih di datangi oleh hewan liar, salah satunya yaitu sopatn loyun
tekayo di Kampung Lambing. Hasil pencuplikan petak contoh pada kawasan sopatn di dominasi oleh jenis pohon-pohon hutan sekunder. Pada petak contoh seluas 1000
m
2
didapatkan 65 jenis pohon, 76 jenis belta dan 24 jenis semai. Indeks Nilai Penting INP untuk tingkat pohon tertinggi dari jenis Nepoq Ixonanthes sp 20,83 diikuti
oleh Potukng Euodia glabra 18,58, Darak Artocarpus dadah 15,29, Menotn Meliosma nitida 12,96 dan Peleleq Lithocarpus gracilis 12,19. Sepuluh jenis
pohon yang mempunyai Indeks Nilai Penting tertinggi pada kawasan sesapan di tampilkan pada tabel 21 berikut.
Tabel 21 Jenis-jenis pohon yang mempunyai Indeks Nilai Penting tertinggi pada kawasan sesapan di Muara Lawa
No Nama Lokal
Nama Ilmiah D
DR K
KR F
FR INP
1 Nepoq
Ixonanthes sp. 8,84
11,52 0,01
5,53 0,60
3,77 20,83
2 Potung
Euodia glabra Bl. 6,41
8,36 0,01
6,45 0,60
3,77 18,58
3 Darak
Artocarpus dadah Miq. 3,63
4,73 0,01
5,53 0,80
5,03 15,29
4 Menotn
Meliosma nitida Bl. 4,58
5,97 0,01
3,23 0,60
3,77 12,96
5 Peleleq
Lithocarpus gracilis Korth. Soepadmo 6,49
8,47 0,00
1,84 0,30
1,89 12,20
6 Pudoq
Artocarpus kemando Miq. 1,94
2,52 0,01
5,07 0,60
3,77 11,37
7 Ayau Piawaq
Litsea odorifera Valeton 4,18
5,44 0,01
2,30 0,40
2,52 10,26
8 Toyung tekayo
Timonius wallichianus Val. 1,89
2,47 0,01
4,61 0,50
3,14 10,22
9 Benturukng
Artocarpus odoratissimus Blanco 1,21
1,58 0,01
4,15 0,70
4,40 10,13
10 Mentialing
Cratoxylum sumatranum Jack Bl. 1,92
2,51 0,01
4,15 0,50
3,14 9,80
192
Akibat peningkatan populasi penduduk dan eksploitasi hutan, banyak terjadi kerusakan flora dan fauna di Kabupaten Kutai Barat. Pembukaan hutan karena
pembalakan dan perladangan menyebabkan terjadinya pe nurunan populasi hewan liar, termasuk babi hutan dan rusa. Babi hutan terutama terpengaruh oleh tempat-
tempat untuk mencari makan dan berkembang biak yang hilang serta pohon-pohon penghasil makanannya yang rusak, misalnya pohon pasang Fagaceae dan
Dipterocarpaceae. Sedangkan rusa sangat peka terhadap tekanan perburuan yang meningkat di sekitar daerah sesapan salt lick . Banyak hewan buruan terutama
mamalia besar yang pada tahun 1980-an masih banyak dijumpai, tetapi pada saat sekarang ini sudah semakin jarang. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada jenis-
jenis burung, reptil dan hewan liar lainnya. Penurunan jumlah satwa ini tidak terlepas dari kebiasaan berburu masyarakat setempat Hadi Lung, 1988 karena berburu
memang memiliki arti sangat penting dalam kehidupan masyarakat Dayak disamping menangkap ikan, mengumpulkan buah-buahan dan jenis-jenis pangan lainnya dari
hutan King, 1988.
Keanekaragaman hewan buruan di Muara Lawa
Kebutuhan protein hewani dipenuhi oleh masyarakat Dayak Benuaq dengan mengkonsumsi berbagai jenis hewan baik yang diternakkan maupun dari hasil
berburu. Satwa liar melengkapi kebutuhan masyarakat Dayak Benuaq terhadap kebutuhan protein dan lemak sebagaimana pada masyarakat etnis Dayak lainnya. Hal
ini sesuai dengan penelitian Medway 1969 bahwa umumnya masyarakat pedalaman Kalimantan sebagian besar menu makanannya bergantung pada satwa liar. Hampir
semua jenis satwa dikonsumsi oleh masyarakat Dayak Benuaq namun beberapa jenis satwa liar hanya dimakan oleh orang tertentu saja. Kegiatan berburu satwa liar sering
dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq setelah panen. Berkaitan dengan hal ini dikenal istilah berahatn yaitu pergi meninggalkan rumah dan kampung menuju ke
dalam hutan untuk mencari sesuatu dalam waktu tertentu seperti berburu satwa liar atau mencari rotan dan hasil hutan lainnya. Menurut King 1988 berburu memang
193
memiliki arti sangat penting dalam kehidupan masyarakat Dayak disamping menangkap ikan, mengumpulkan buah-buahan dan jenis pangan lainnya dari hutan.
Keanekaragaman hewan buruan yang diburu dan dimanfaatkan oleh masyarakat Benuaq terdiri dari 43 jenis satwa liar yang terdiri dari Aves 27 jenis,
Mamalia 14 jenis dan Reptil 2 jenis disajikan pada lampiran 25. Keanekaragaman yang tinggi dari jenis-jenis satwa liar yang diburu mencerminkan biodiversitas yang
tinggi dari hutan hujan tropis yang dimanfaatkan. Namun perburuan memberikan tekanan yang sangat tinggi terhadap beberapa satwa liar seperti bawiq Sus barbatus,
tekayo Cervus unicolor, telaus Muntiacus muntjak , pelanuk Tragulus javanicus dan T. napu, beberapa jenis enggang Bucerotidae dan beberapa jenis ayam hutan
Phasianidae sehingga kegiatan berburu jarang dilakukan pada saat ini. Hal ini selain disebabkan oleh semakin jarangnya binatang buruan juga letak hutan yang semakin
jauh dari perkampungan.
Teknik Berburu Masyarakat Benuaq
Beberapa teknik berburu yang sering digunakan oleh masyarakat Dayak Benuaq adalah:
1. Kasuq yaitu berburu dengan menggunakan anjing pemburu disamping menggunakan tombak atau senjata api rakitan biasanya anak muda yang
dilakukan pada siang hari. Binatang buruannya antara lain: bawi Sus barbatus, tekayo Cervus unicolor , telaus Muntiacus sp, pelanuk longkeng Tragulus
javanicus dan pelanuk penibung Tragulus napu. Jenis-jenis burung yang diburu dengan menggunakan senjata adalah belibis Dendrocygna arcuata, mengkek
Anthracoceros albirostris, betuluk Buceros vigil, tongau Buceros rhinoceros , totok Anorrhinus galeritus, punai Treron spp dan beberapa jenis elang seperti
beniak bolir Falco tinnunculus dan beniak baung Haliastur indus. 2. Berburu dengan memasang jerat atau jebakan. Berbagai macam jebakan yang
sering digunakan untuk berburu diantaranya adalah: a. Sengkokoi: alat penangkap binatang yang menggunakan tali penjerat yang
dipasang pada jalur yang dilewati binatang. Jebakan ini digunakan untuk
194
menangkap bawi Sus barbatus, tekayo Cervus unicolor, telaus M. muncak , pelanuk longkeng Tragulus javanicus, pelanuk penibung
Tragulus napu, mia Varanus salvator dan burung-burung yang biasa mencari makan di tanah yaitu juai Argusianus argus, juai bolir
Polyplectron schleiermacheri, serta berbagai jenis sakan Lophura ignita, L. bulweri dan Rollulus rouloul. Jenis jerat ini ada tiga macam yaitu:
- Perora adalah jerat yang dibuat dengan menggunakan sebatang pohon kecil yang dilengkungkan dengan tali jerat pada ujungnya dan
sasarannya adalah kaki binatang. Jerat ini ditujukan untuk menangkap tekayo, telaus, pelanuk dan burung Gambar 25.
- Sentangok yaitu jerat yang dibuat sama seperti perora namun tali jerat menggantung sehingga sasarannya adalah leher binatang yang
melewati tempat tersebut. - Oyot yaitu jerat yang dipasang dijalur lewatnya binatang dengan
mengikatkan pada sepotong kayu sehingga kalo bina tang tersebut terkena jeratan akan berjalan beberapa meter sampai akhirnya tercekik
karena kayu penahannya tersangkut. - Tomok yaitu jerat tikus yang dipasang pada lubang bambu yang diberi
umpan di dalamnya. b. Poti: jebakan yang menggunakan bambu yang diruncingkan radakng dan
diikatkan pada sebatang kayu. Selanjutnya kayu tersebut dilengkungkan sedemikian rupa sehingga binatang yang melewati tempat tersebut akan
tertikam oleh bambu runcing tersebut. Pada jebakan ini dibuat suatu alur jalan dengan batang pohon yang direbahkan dan disusun sehingga binatang hanya
melewati jalur tersebut pepiq. Jebakan ini digunakan untuk menangkap bawi Sus barbatus dan tekayo Cervus unicolor, telaus Muntiacus sp.
Namun karena jebakan ini berbahaya bagi manusia, maka harus diberi tanda pemberitahuan kepada manusia agar hati-hati melewati tempat yang
ditunjukkan oleh tanda tersebut. Tanda pemberitahuan ini disebut petunyuq
195
yang dibuat dari potongan kayu yang ditancapkan ke tanah dan pada bagian ujungnya diikatkan juga satu bambu runcing.
Gambar 25 Contoh jerat dan perangkap yang digunakan masyarakat Benuaq: perora atas dan tongop bawah.
c. Tongkop: jebakan yang dibuat dari kulit kayu atau batang-batang kayu kecil yang dijalin dan dibentuk empat persegi panjang seperti sangkar burung
Gambar 25. Pada satu bagian ujungnya diangkat dan di bawah jebakan tadi
196
diberi umpan. Daun singkong merupakan umpan yang gunakan jika sasaran yang diinginkan adalah pelanuk kancil dan padi jika sasaran diinginkan
burung-burung yang mencari makan di tanah. d. Terajokng: suatu jebakan yang digunakan menangkap kera dengan cara
memberi umpan yang diletakkan di atas kayu dan dibawahnya dipasangi bambu runcing. Bila kera tersebut memakan umpan, maka akan tertimpa kayu
dan menancap di bambu runcing. Alat ini ditujukan untuk hewan yang mengganggu tanaman ladang. Biasanya yang terkena perangkap ini adalah
berbagai jenis kera seperti; kodek M. fascicularis, boruk Macaca nemestrina, kelawat Hylobates muelleri, bus H. sindactylus dan bekara
Nasalis larvatus. e. Nyepukng: suatu cara menangkap burung yang unik menggunakan jebakan
jerat dari benang dan alat tiup yang dapat menirukan suara burung dan biasa digunakan untuk menangkap punai tanah. Caranya denga n membuat gubuk
bemutn sepukng dari dedaunan di pinggir hutan untuk tempat bersembunyi dan halamannya dibersihkan dari serasah hutan. Pada halaman tersebut di
tebarkan padi sebagai umpan dan dipasang jerat. Si penjerat masuk ke dalam gubuk dan membunyikan alat tiup sampai burung-burung yang diharapkan
mulai berdatangan. f. Perangkap burung dengan getah Ngati, Memulut dan Mentei
Beberapa cara yang biasa digunakan untuk menangkap burung dengan menggunakan getah yaitu:
- Ngati yaitu salah satu cara menangkap burung dengan menggunakan getah
tumbuhan yang ditempelkan pada lidi- lidi kemudian dipasang pada dahan- dahan pohon yang dipangkas sebagian sehingga yang tersisa hanya dahan
yang diberi getah. Selanjutnya di dahan pohon tersebut digantungkan burung dalam sangkarnya yang akan berbunyi sehingga burung yang
sejenis akan berdatangan dan hinggap pada dahan yang diberi jebakan tersebut. Pohon tempat dipasangnya jebakan ini disebut ketiatn. Jenis
197
burung yang ditangkap dengan cara ini adalah burung yang berkicau seperti selebemat Copsychus saularis dan C. malabaricus.
- Memulut yaitu suatu cara menangkap burung dengan menggunakan getah
atau pulut dalam bahasa daerah yang hampir sama dengan ngati, namun pohon tempat dipasangnya jebakan adalah pohon hutan yang lagi berbuah
sehingga banyak didatangi oleh berbagai jenis burung. Pemasangan getah jebakan biasanya dilakukan dini hari, sehingga akan menjebak burung-
burung yang mendatangi pohon tersebut pada pagi harinya. Berbagai jenis burung akan tertangkap dengan cara ini seperti: punai Treron spp, jotung
Macropygia ruficeps dan Streptopilea chinensis, tuan Ducula aenea Ducula badia , mengkek Anthracoceros albirostris, betuluk Buceros
vigil, tongau Buceros rhinoceros, dan totok Anorrhinus galeritus. -
Mentei yaitu suatu cara menangkap burung yang hampir sama dengan ngati dan memulut, namun lidi jebakan ditempelkan pada ranting-ranting
pohon di pingir sungai tempat biasanya banyak burung-burung mandi. Cara ini biasanya dilakukan pada musim kemarau terutama siang hingga
menjelang sore, pada saat banyak burung-burung yang senang mandi pada sungai-sungai jernih berair dangkal. Burung-burung yang habis mandi
biasanya mencari tempat bertengger di pinggir sungai, sehingga akan terkena jebakan yang dipasang tersebut.
Sumber protein dari ikan Pemanfaatan hewan ternak hewan peliharaan untuk pemenuhan kebutuhan
lauk-pauk atau sumber protein hewani dapat dikatakan masih sangat jarang pada masyarakat Benuaq. Mereka biasanya memakan daging hewan ternak hanya pada saat
upacara adat, pesta perkawinan atau ritual lainnya. Pemotongan babi, kerbau, dan hewan ternak lainnya biasa dilakukan pada saat mengadakan acara-acara ritual
sehingga kebiasaan memelihara ternak babi, kerbau dan ayam erat kaitannya dengan budaya religi dan adat istiadat mereka. Hewan-hewan ternak tersebut sering menjadi
bagian dalam berbagai kegiatan ritual budaya, seperti ritual-ritual kematian yang
198
dimulai dari Parapm Api kelengkapannya harus ada babi jantan dan ayam jantan, Kenyau mengorbankan berbagai jenis hewan yaitu kerbau, babi dan ayam, dan yang
terakhir Kwangkai memotong berbagai jenis hewan seperti kerbau, babi dan ayam. Kebutuhan protein sehari- hari biasanya didapatkan dari ikan yang mereka
tangkap dari sungai dan anak-anak sungai sunge, danau butokng dan rawa-rawa payaak yang terdapat di sekitar perkampungan. Ikan air tawar merupakan sumber
daya penting untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Menurut Chaeruddin 1990 dataran banjir dan sistem danau di Kalimantan menunjang perikanan darat
yang produktif. Syachraini dkk 2006 melaporkan lima jenis ikan yang sering diperoleh masyarakat yaitu Kendia Thynnichthys thynoides, Biawan Helostoma
temmincki, Repang Parachela oxygastroides, Nkong Ophiocephalus striatus dan Baung Mystus nemerus. Secara keseluruhan di lokasi penelitian masyarakat
mengkonsumsi 60 jenis ikan yang tergolong pada 25 marga dan 13 suku ikan air tawar. Jenis ikan yang terbanyak dari suku Siluridae 15 jenis diikuti suku lain,
Cyprinidae 13 jenis, Belontidae 6 jenis Clariidae 6 jenis, Bagridae 5 jenis, Pangasidae 5 jenis dan beberapa jenis dari suku lainnya Lampiran 24.
Sebagian ikan hasil tangkapan akan dijual kepada para pengepul di kampungnya masing- masing terutama pada musim ikan ruayaq . Hal ini disebabkan
penjualan ke ibu kota kecamatan yang memiliki pasar tradisional memerlukan biaya transportasi yang lebih besar. Salah seorang pengepul di Kampung Dingin dapat
memperoleh sekitar 10 ton ikan Gabus Ophiocephalus striatus segar perbulan dalam suatu musim ikan kom. pri. Ikan tersebut diolah menjadi ikan asin dan akan
dipasarkan kembali di daerah sekitarnya atau dijual pada pedagang besar di Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa danau dan sungai di Kalimantan Timur
merupakan sistem perikanan air tawar yang sangat produktif. Menurut MacKinnon dkk. 2000 propinsi Kalimantan Timur saat ini merupakan pemasok tunggal terbesar
ikan air tawar kering untuk diekspor ke Jawa, dengan angka ekspor antara 6.000 dan 9.000 ton setiap tahun. Sebagian ikan tersebut ditangkap dari danau-danau Mahakam
dengan menggunakan berbagai alat tangkap oleh nelayan musiman di sepanjang aliran sungai Mahakam.
199
Pengolahan makanan berbahan ikan oleh masyarakat umumnya hampir sama dengan dilakukan pada etnis lainnya seperti digoreng nyangak, ditumis nyakei,
dibakar ninuq dan direbus nanaak. Selain cara di atas dikenal cara memasak menggunakan tabung bambu tertentu bane sehingga menghasilkan aroma masakan
yang khas. Selanjutnya untuk pengawetan ikan yang berlimpah pada saat musim ikan biasanya diasinkan dengan perendaman dalam air garam selama satu hari dan
dikeringkan dengan menjemur di bawah cahaya matahari. Secara umum ada dua macam pengolahan ikan asin oleh masyarakat Dayak Benuaq yaitu pija ikan asin
pada proses pengolahannya dibelah dan peda ikan asin yang proses pengolahannya tidak dibelah.
Penangkapan ikan oleh masyarakat Benuaq menggunakan beberapa peralatan. Beberapa peralatan dan teknik yang digunakan oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk
mencari ikan elo kinas adalah sebagai berikut: 1. Buuq yaitu menangkap ikan dengan menggunakan sejenis perangkap ikan
bubuh yang dibuat dari bambu atau sejenis rotan dan dipasang di dalam air sungai dengan lubang mengarah ke hilir sungai.
2. Kalak yaitu jenis bubuh yang lebih panjang dengan mulut lebih lebar dan anyamannya lebih jarang dibandingkan dengan buuq sehingga sasaran yang
diharapkan adalah ikan-ikan yang lebih besar. Kalak dipasang dalam air dengan lubang mulut mengarah ke hulu sungai dan ditempat yang berarus
agak kuat. 3. Tangep yaitu alat penangkap ikan yang dibuat dari benang atau nilon yang
dirajut dan diberi gagang di kiri kanannya. Alat ini digunakan dengan seperti sero setelah itu dirapatkan kedua gagangnya sehingga ikan yang terkurung
tidak bisa keluar. 4. Tantai yaitu alat penangkap ikan seperti tangep yang berukuran sangat besar
sehingga gagangnya sangat besar. 5. Jala yaitu alat penangkap ikan yang dibuat dari benang kasar atau nilon yang
dirajut dan pada bagian bawahnya diberi pemberat dari logam. Cara penggunaannya dengan dilemparkan ke dalam air.
200
6. Priwih pancing yaitu alat pancing ikan dengan berbagai bentuk dan jenisnya sehingga masyarakat Benuaq mengenal berbagai istilah pancing seperti
tangor, rawai, bialang dan lain- lain. 7. Empekng yaitu aliran sungai yang dibendung empang dengan potongan-
potongan bambu sehingga ikan- ikan akan terkumpul di dalamnya sehingga lebih mudah ditangkap dengan menggunakan buuq dan tangep. Cara ini
biasanya dilakukan pada anak-anak sungai yang relatif kecil. 8. Nuaq yaitu menangkap ikan denga n menggunakan sejenis tumbuhan yang
dapat memabukkan ikan seperti tuaq Derris elliptica dan sawikng Dioscorea hispida. Selanjut ikan yang telah mabuk ditangkap dengan jala,
Sengkorok yaitu alat yang dibuat dari seruas bambu yang bagian ujungnya dibelah dan dianyam sehingga lebih lebar untuk menangkap ikan dan Ponok
yaitu sejenis sero yang diberi gagang panjang.
Pembahasan Perburuan satwa liar
Berburu satwa liar merupakan kegiatan sehari- hari penduduk asli yang tinggal di hutan sejak zaman batu untuk memperoleh sumber protein. Pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa sejumlah jenis hewan buruan bergantung pada lokasi atau habitat yang khusus dan kerusakan hutan bisa memberikan dampak negatif bagi
jenis tersebut. Lokasi tersebut termasuk lokasi sopatn d imana hewan liar berkumpul untuk menjilati atau minum di sumber mata air yang mengandung mineral salt licks.
Meskipun lokasi-lokasi khusus tersebut banyak dipelajari di daerah lain di dunia lihat Barrero, 2006 dan Novarino et al, 2007 namun di Kutai Barat belum banyak
dipahami. Lokasi-lokasi khusus tersebut seringkali hancur dan rusak akibat aktifitas tambang dan pembuatan jalan padahal masyarakat lokal memahami dengan baik
pentingnya lokasi yang merupakan tempat berburu mereka. Penebangan juga menurunkan daya dukung hutan bagi jenis-jenis yang
makanan utamanya buah-buahan tersebut. Pembukaan lahan untuk perladangan pada kawasan yang sangat dekat dengan lokasi sopatn telah menyebabkan hewan liar
201
berkurang mengunjugi kawasan tersebut. Disamping karena gangguan oleh aktifitas manusia, juga disebabkan berkurangnya makanan karena ditebangnya pohon-pohon
yang merupakan sumber pakan mereka. Sejumlah pohon terutama ara Ficus spp. sangat penting bagi satwa liar karena pohon tersebut menyediakan buah sepanjang
tahun lihat Jordano, 1983 dan Kinnaird et al, 1999. Pohon-pohon tersebut memenuhi kebutuhan nutrisi satwa liar, seperti kalsium pada makanan yang miskin
mineral lihat O’brien, 1998. Oleh karena itu aturan adat yang menjaga kawasan sopatn ini perlu diberdayakan lagi sehingga menjamin kelestarian kawasan ini dan
hewan-hewan liar yang secara periodik mendatanginya. Perburuan memberikan tekanan yang sangat tinggi serta penurunan populasi
beberapa satwa liar. Di Kutai Barat, penurunan ini terjadi pada populasi tekayo Cervus unicolor, telaus Muntiacus muntjak, pelanuk Tragulus javanicus dan T.
napu, beberapa jenis enggang Bucerotidae dan beberapa jenis ayam hutan kom. pri. Faktor lain yang meningkatkan dampak perburuan terhadap hidupan liar adalah
meningkatnya aksesibilitas hutan; transportasi yang lebih baik dengan dibukanya jalan raya dari Samarinda ke kabupaten Kutai Barat; amunisi dan senjata rakitan;
terkikisnya nilai tradisi yang melarang membunuh dan memakan jenis hewan tertentu; dan peningkatan pasar bagi produk satwa liar, baik sebagai makanan,
perhiasanpajangan, dan obat-obatan. Faktor-faktor tersebut sering menyebabkan perburuan yang tadinya hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari- hari
menjadi bersifat komersial Meijaard et al, 2006.
Aktifitas menangkap ikan
Masyarakat Benuaq dan etnis lainnya di Kabupaten Kutai Barat yang menempati sepanjang aliran Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya melakukan
aktifitas menangkap ikan disesuaikan dengan musim dan kedalaman sungai. Masyarakat lebih mudah memperoleh ikan pada saat datangnya musim kemarau
setelah banjir yang dikenal dengan istilah musim ikan ruayaq sehingga banyak masyarakat beralih menjadi nelayan. Menurut Cotton 1996 penyusunan kalender
ekonomi akan dapat mengungkapkan secara detail pengetahuan lokal tentang faktor
202
iklim dan fenologi hewan dan tumbuhan. Pengetahuan lokal yang detail ini akan memperlihatkan bahwa masyarakat dapat mengatur secara spesifik aktifitas subsisten
mereka berdasarkan pengetahuannya yang kompleks mengenai interaksi musim dengan sumber daya alam di sekitarnya. Kemudahan dalam menangkap ikan pada
saat datangnya musim kemarau karena lajunya penurunan air mengakibatkan ikan- ikan yang terdapat di danau akan keluar menuju ke Sungai Mahakam, sedangkan
tinggi air sungai Mahakam dan danau mengalami penurunan sehingga luasan daerah penangkapan ikan menjadi lebih kecil sehingga kesempatan masyarakat untuk
mendapatkan ikan menjadi lebih besar Syachraini dkk, 2006. Danau-danau dan sungai merupakan daerah perikanan yang penting bagi
masyarakat lokal sehingga perlu dilindungi dari penangkapan yang berlebihan. Zehrfeld et al. 1985 dalam MacKinnon et al. 2000 menemukan bahwa tingkat
penangkapan ikan yang tinggi dan terus meningkat intensitasnya, disebabkan oleh pemakaian jaring insang nilon komersial yang mempengaruhi jumlah dan komposisi
jenis ikan yang ditangkap dan banyak jenis ikan yang ditangkap secara berlebihan. Pemanenan secara terus menerus, terutama dengan tingkat pemanenan yang tinggi,
berdampak dalam pemulihan populasi ikan. Agar hasilnya berkelanjutan maka perlu alternatif yang efektif diterapkan untuk mengurangi tekanan terhadap cadangan ikan
bagi masyarakat lokal.
Kesimpulan
Perburuan dilakukan oleh masyarakat Benuaq pada beberapa mosaik hutan sekunder bekas ladang, hutan agroforestri dan kawasan sopatn atau dikenal sebagai
daerah sesapan salt lick yang sering dikunjungi oleh hewan liar dengan tujuan menjilati atau memakan tanah yang ada di sana untuk memenuhi kebutuhan mineral.
Satwa liar yang merupakan salah satu komponen penyusun dalam simpukng hutan agroforestri walaupun hanya secara periodik dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
hewan buruan. Keanekaragaman satwa liar yang diburu dan dimanfaatkan oleh masyarakat Benuaq terdiri dari 43 jenis satwa yang terdiri dari Aves 27 jenis,
Mamalia 14 jenis dan Reptil 2 jenis. Keanekaragaman yang tinggi dari jenis-jenis
203
satwa liar yang diburu mencerminkan biodiversitas yang tinggi dari hutan yang menunjang kebutuhan pangan tambahan bagi masyarakat lokal.
Perburuan memberikan tekanan yang sangat tinggi terhadap populasi beberapa satwa liar seperti bawiq Sus barbatus, tekayo Cervus unicolor, telaus
Muntiacus muntjak , pelanuk Tragulus javanicus dan T. napu, beberapa jenis enggang Bucerotidae dan beberapa jenis ayam hutan Phasianidae sehingga
kegiatan berburu jarang dilakukan pada saat ini. Teknik berburu yang dikembangkan oleh masyarakat Benuaq adalah Kasuq yaitu berburu dengan menggunakan anjing
pemburu serta tombak terkadang senjata api rakitan yang dilakukan pada siang hari dan berburu menggunakan jerat atau jebakan dengan berbagai macam bentuk dan
fungsi seperti Perora, Sentangok, Oyot, Poti, Tongkop, Terajokng, Nyepukng, Ngati, Memulut, dan Mentei.
Ikan air tawar merupakan sumb er daya penting untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat Dayak Benuaq. Penangkapan ikan dilakukan dengan delapan
peralatan dan teknologi lokal. Diperoleh 60 jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat yang tergolong dalam 25 marga dan 13 suku ikan air tawar yang sebagian diolah
menjadi ikan asin. Jenis ikan yang terbanyak dari suku Siluridae 15 jenis diikuti suku lain, Cyprinidae 13 jenis, Belontidae 6 jenis Clariidae 6 jenis, Bagridae 5
jenis, Pangasidae 5 jenis dan beberapa jenis dari suku lainnya.
204
Daftar Pustaka
Barero, C.M.L. 2006. Effects of Human Interaction on the Frequency of “Saltlick” Use by Lowland Tapirs Tapirus terestris. Prossiding Third International
Tapir Symposium Buenos Aires, Argentina. Brightsmith D. 2004. Effects of Diet, Migration, and Breeding on Clay Lick Use by
Parrots in Southeastern Peru. Prossiding of American Federation of Aviculture Symposium.
Colfer, C.J.P. 2005. The Complex Forest: Communities, Uncertainty, and Adaptive Collaborative Management. Washington DC, Bogor: RFF Press, CIFOR.
Colfer CJP, Wadley RL, Salim A, Dudley RG. 2000. Understanding patterns of resource use and consumption: A prelude to co-management. Borneo
Research Bulletin 31: 29-88. Friedberg, C. 1990. Le Savoir Botanique des Bunaq Percevoir ét classer dans le Haut
Lemaknen Timor, Indonesie. Memoires du Museum Nati d’Histoire Naturelle. Bot. Tome 32: 303p.
Gonner, C. 2000. Resource Management in a Dayak Benuaq Village: Strategies, Dynamics and Prospects A Case Study from East Kalimantan, Indonesia.
Germany, Eschborn: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GTZ.
Grandstaff, S.W. and Grandstaff, T.B. 1987. Semi-structured Interviewing by Multidicip. Teams in RRA. KKU Proc.: 69-88.
Hadi, S. and Lung, J.B. 1988. Swidden Cultivation among The Tunjung of East Kalimantan with Particular Emphasis on Socio -Economic Factors. Samarinda:
Pusat Studi Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan Tropis Basah PUSREHUT Universitas Mulawarman.
King, V.T. 1988. Jagd und Fischfang. In: Harrer, H ed.: Borneo. Mensch und Kultur seit ihrer Stteinzeit. Frankfurt: Pinguin.
205
Martin, G. J. 1995. Ethnobotany. Chapman and Hall. London. MacKinnon J, Phillips K, van Balen B. 1993. Panduan Lapangan: Burung-burung di
Sumatera di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Medway, L. 1969. Studies on the biology of the edible-nest swiftlets of South-East Asia. Malay Nat J. 22 2: 57-63.
Montenegro, O.L. 2004. Natural licks as keystone resources for wildlife and people in Amazonia [disertasi]. Florida: University of Florida.
Payne J, Francis CM, Phillipps K. 2000. Panduan Lapangan mamalia Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Jakarta: Prime Centra.
Primack RB. 1995. A Primer of Conservation Biology. Sunderland USA: Sinauer Association Inc.
Soemarwoto O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan pengetahuan tradisional: sumber ilmu masa depan Indonesia. Didalam: Soedjito H, penyunting. Kearifan tradisional
dan cagar biosfer di Indonesia: prosiding piagam MAB 2005 untuk peneliti muda dan praktisi lingkungan di Indonesia. Jakarta: Komite Nasional MAB
Indonesia-LIPI Press.
7. PEMBAHASAN UMUM