Macam-Macam Sanksi KERANGKA TEORI KODE ETIK

D. Faktor Penjatuhan Sanksi Kode Etik

Seorang anggota dewan dikatakan telah melakukan pelanggaran kode etik ketika adanya laporan terhadap yang bersangkutan baik melalui perkara pengaduan maupun perkara tanpa pengaduan, selain itu adanya penyelidikan dari pihak MKD sendiri merupakan suatu tindaklanjut atas pengaduan yang ada. Diperlukan sebuah fakta-fakta untuk menjelaskan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran kode etik oleh anggota dewan. Fakta adalah hal atau keadaan yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Fakta bersifat objektif. Setiap orang akan memiliki kesamaan dalam pengamatan suatu fakta. Sebuah fakta mempunyai kebenaran mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebelum adanya penjatuhan sanksi terhadap anggota dewan yang diduga telah melanggar kode etik maka, fakta- fakta diperlukan sebagai alat bukti dalam pelaksanaan perkara, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi melalui putusan MKD. Bukti pelanggaran etik DPR terbagi atas 2 yaitu, bukti yang bersifat administrasi dan bukti yang bersifat materi. Bukti administrasi adalah bukti yang diajukan oleh Pengadu atas kelengkapan pengaduan seperti identitas Pengadu dan Teradu yang kemudian diserahkan kepada Sekretariat MKD untuk ditindaklanjuti. Sedangkan bukti yang bersifat materi terkait permasalahan yang diadukan dan berkaitan dengan fakta dan peristiwa pengaduan. Pembuktian menjadi dasar pengambilan keputusan dalam sidang verifikasi. Proses pengambilan keputusan adalah verifikasi terhadap risalah atau transkrip rekaman rapat danatau sidang verifikasi, pendapat etik seluruh pimpinan dan anggota MKD. MKD menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil sidang rapat MKD diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar keputusan. Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia putusan MKD tersebut didasarkan atas: 1. Asas kepatutan, moral, dan etika 16 Asas ini didasarkan atas penilaian seorang hakim secara hati nuraninya dalam memutuskan suatu perkara dengan memperhitungkan kepatutan, moral, dan etika pelaku pelanggar kode etik yang telah dianggap menjadi cerminan bagi rakyat. 2. Fakta dalam hasil Sidang MKD Merupakan bukti-bukti yang didapatkan ketika adanya dugaan pelanggaran sampai proses persidangan berlangsung dan telah terbukti adanya pelanggaran sampai putusan bersifat final. 3. Fakta dalam pembuktian Merupakan hasil verifikasi dan penyelidikan atas perkara pengaduan atau pengamatan dan evaluasi atas perkara tanpa pengaduan untuk digunakan sebagai bukti bahwa anggota tertentu diduga telah melakukan pelanggaran. 4. Fakta dalam pembelaan Fakta pembelaan yaitu bukti sebagai pembelaan atas dugaan pelanggaran yang telah diajukan kepada MKD sebagai penegak etik anggota dewan. 16 Wawancara pribadi dengan Yusuf, Staf Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan DPR RI, Jakarta, 2 September 2016 5. Tata Tertib dan Kode Etik Sebagai pedoman dalam memutuskan suatu perkara ketika rapat, sidang, sampai penjatuhan putusan dengan memperhatikan peraturan tentang Tata Tertib dan Kode Etik. 29

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KEHORMATAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI

A. Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI

Pada awalnya lembaga ini bernama Dewan Kehormatan DK sebelum diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap dan berganti nama menjadi Badan Kehormatan BK pada tahun 2003 dan kemudian diubah menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan MKD seperti saat ini. 1 Perubahan nama MKD dibentuk berdasarkan amanat Pasal 83 ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014. Pada 2 periode sebelumnya, MKD bernama BK, kemudian dengan adanya revisi UU Nomor 27 Tahun 2012 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, BK berganti nama menjadi MKD. Beberapa perubahan terkait MKD, yaitu: 1. Jumlah anggota yang semula 13 orang menjadi 17 orang. 2. Pimpinan MKD semula 3 orang terdiri dari 1 orang ketua dan dua orang wakil ketua, berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2015 perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD ditambah 1 orang wakil ketua. 1 Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jurnal Cita Hukum , Volume 1, Juni 2014, h. 47