Kualifikasi Pelanggaran dan Sanksi Kode Etik

Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan perbuatan melawan hukum dan menguntungkan diri sendiri dalam urusan kepailitan PT Indonesia Antique Tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik Rehabilitasi Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan telah menelantarkan isteri Ringan Teguran lisan Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan belum membayarkan jahitan sebesar Rp. 7 juta Tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik Rehabilitasi Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Teradu terhadap Pegadu, dalam hal pemberhentian pengadu sebagai staf administrasi tanpa alasan dan informasi yang jelas dan dugaan penggunaan gelar Doktor palsu pada kartu nama anggota DPR RI Ringan Teguran tertulis Permintaan izin tertulis pemanggilan dari Polda Kalimantan Barat atas dugaan tindak pidana penyimpangan dana Bantuan KONI Provinsi Kalimantan Barat Diberikan izin untuk pemanggilan karena sudah melewati batas waktu 30 hari Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan penyalahgunaan wewenang sebagai anggota dewan berupa penggunaan Kop Surat Sebagai Anggota DPR untuk berurusan dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam urusan pribadinya Sedang Pemindahan alat kelengkapan dewan Perkara dugaan pelanggaran kode etik terkait dugaan penghinaan kepada agama lain Agama Islam. Menyinggung atau menghina agama lain. Menebarkan api permusuhan antar umat beragama. Menekan pihak kejaksanaan untuk menghukum lawan politik. Balas dendam terhadap lawan politik. Ringan Teguran Tertulis Perkara tanpa pengaduan pelanggaran kode etik dugaan pemukulan terhadap anggota di salah satu ruang komisi VII DPR tanggal 8 April 2015 Berat Pemberhentian sementara skorsing 3 bulan Perkara tanpa pengaduan pelanggaran kode etik penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga Berat Pemberhentian sebagai anggota Perkara tanpa pengaduan dugaan pelanggaran kode etik dugaan mengucapkan perkataan yang tidak layak pada saat RPD dengan Polri tanggal 20 April 2016 Ringan Teguran Tertulis Berdasarkan data di atas, terkait dengan kualifikasi jenis pelanggaran dan sanksi disesuaikan atas pelanggaran yang terjadi dan bukti-bukti sebelum persidangan sampai adanya putusan. Penentuan penetapan penjatuhan sanksi saat persidangan juga didasarkan atas kepastian hukum, keyakinan hakim, dan bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran baik itu melalui perkara pengaduan atau perkara tanpa pengaduan yang telah dibahas dalam Rapat MKD dan sidang MKD dalam memutus adanya pelanggaran. Dikatakan jenis pelanggaran ringan apabila penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis dan teguran lisan, sedangkan penjatuhan sanksi berupa pemindahan alat kelengkapan merupakan jenis pelanggaran yang bersifat sedang, pada jenis pelanggaran yang bersifat berat maka penjatuhan sanksinya adalah diberhentikan dari pimpinan DPR, pimpinan AKD, atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR. Terkait rehabilitasi sesuai Pasal 22 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik bahwa anggota yang tidak terbukti brsalah melanggar kode etik maka putusan MKD memberikan rehabilitasi untuk pemulihan nama baik anggota. Perkara dugaan atau jenis Perkara Pengaduan yang dihasilkan dari adanya dugaan pelanggaran terhadap anggota yang melakukan pelanggaran dan diadukan oleh masyarakat, anggota DPR, maupun instansi kepada Sekretariat MKD untuk ditindaklanjuti. Sedangkan jenis Perkara Tanpa Pengaduan termasuk salah satu upaya yang dilakukan oleh MKD dalam meyelesaikan suatu perkara etik didapatkan dari hasil verifikasi alat kelangkapan MKD seperti bagian Sekretariat dan Tenaga Ahli MKD, secara langsung atau tidak langsung misalnya melalui pemantauan MKD, anggota, dan Pimpinan DPR.

C. Analisis Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI

dalam Penegakan Kode Etik Pemberitaan buruk parlemen merupakan berita yang menarik minat masyarakat. Pameo bad news is a good news merupakan pameo utama dalam dunia pers, ini merupakan sebuah permasalahan yang harus dihadapi oleh Parlemen. 16 MKD atau sebelumnya disebut dengan BK selama ini menjalankan fungsinya melalui tata tertib DPR yang bersifat kaku dan mengekang. Posisi MKD diatur sebagai pengawas internal yang kurang bisa membenahi adanya pelanggaran etika anggota dewan akibat kurangnya wewenang MKD dalam memproses suatu duagaan pelanggaran. Sepanjang berdirinya MKD, telah banyak pelanggaran kode etik yang diproses mulai dari kurangnya kehadiran anggota dalam rapat, percaloan anggaran, intervensi terhadap hukum, sampai adanya pemberhentian sebagai anggota akibat melakukan penganiayaan terhadap asisten rumah tangganya. Seperti pelanggaran yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan sebagian dari pada pelanggaran yang telah diselesaikan oleh MKD namun ada pula beberapa kasus yang belum diselesaikan oleh MKD diperiode sebelumnya. Empat komponen permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan publik telah diuraikan, yaitu permasalahan keadilan, sosial, partisipasi, dan aspirasi masyarakat, lingkungan hidup serta pelayanan umum. Semuanya merupakan merupakan persoalan yang cukup aktual di negara demokratis. 17 Persoalan etika menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat modern berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah sosial politik, ekonomi, dan 16 Sekretariat Jenderal DPR RI, DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2013, h. 180 17 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 164 budaya. Jangkauan telaah etika pun semakin luas, bukan saja melibatkan hubungan antar kelompok masyarakat namun juga antar etnis atau negara. 18 Kode etik merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi dan tugas para wakil rakyat. Kode etik memiliki peran dalam menjaga harkat dan martabat wakil rakyat karenanya diperlukan strategi pelaksanaan tugas yang baik, yang dalam hal ini didorong oleh adanya penilaian baik rakyat, terhadap kinerja anggota dewan sebagai wakil rakyat. MKD diharapkan mampu menumbuhkan dan menerapkan moral yang baik dalam pelaksanaannya menjaga harkat, martabat, dan kredibilitas anggota DPR secara profesional tanpa intervensi dari pihak lain guna meminimalisir adanya pelanggaran sehingga dapat memberikan citra baik terhadap anggota DPR dan memberikan sumbangsih kesejahteraan bagi rakyat. Banyaknya pengaduan mengenai adanya dugaan pelanggaran etik oleh anggota DPR diharapkan berperan sebagai komunikasi publik untuk membangun kinerja positif dan memberikan gambaran yang utuh tentang MKD. Hadirnya MKD sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap merupakan solusi dan terobosan baru untuk mengatasi berbagai pelanggaran etik yang telah melahirkan bobroknya kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat, serta mengikis ketamakan sikap yang tidak memperdulikan moral oleh pengemban penegak etik. Posisi MKD adalah sebagai alat yang mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan anggota dewan serta untuk memberikan sanksi pada setiap 18 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 23 pelanggaran demi mengoptimalisasikan peran dan fungsinya. Sebagaimana ungkapan bahwa setiap orang yang menerima satu pekerjaan harus bersedia menerima tanggung jawab yang menyertainya dan mau menanggung konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi, pejabat negara pun harus memikul tanggungjawab seperti itu. 19 MKD dalam hal ini sebagai profesi penegak etik. Profesi penegak etik adalah profesi yang mulia dan tidaklah mudah dalam pelaksanaannya, karena sifat etik sendiri tidak terlihat tetapi menyerang jiwa seseorang karena moral para wakil rakyat melenceng dari yang seharunya baik itu karena disengaja maupun tidak disengaja, baik itu termasuk pelangaran yang bersifat ringan, sedang, atau berat. Tugas MKD hanya sekedar melakukan pencegahan dan penindakan sedangkan perilaku anggota dewan adalah hak dirinya sendiri, jadi bagaimana seharusnya meluruskan sesuatu yang sudah melenceng itu dengan atau tanpa melanggar hak anggota DPR itu sendiri? Terkait penyelesaian persoalan etik dilembaga politik seperti DPR merupakan hal yang cukup sulit di mana unsur politik akan selalu ada dalam hal memutus hukuman suatu pelanggaran, berdasarkan hasil wawancara pribadi pengambilan keputusan oleh MKD terhadap penjatuhan sanksi terkait pelanggaran etik memang memiliki unsur politik tetapi tidak begitu dominan karena tidak dapat dipungkiri bahwa keanggotaan MKD sendiri berasal dari anggota DPR yang merupakan persentase dari partai politik. 19 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 164