KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kursi Rotan Dan Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional
                                                                                untuk  teori comparative  advantage  ini  adalah  dapat  menerangkan  berapa  nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat
diterangkan oleh teori absolute advantage.
Teori  klasik  David  Ricardo  selanjutnya  dikembangkan  oleh  Heckscher- Ohlin  H-O  dengan  The  Theory  of  Factor  Proportions  1949
–1977.  Teori Heckscher-Ohlin  H-O  menjelaskan  beberapa  pola  perdagangan  dengan  baik,
negara-negara  cenderung  untuk  mengekspor  barang-barang  yang  menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut Heckscher-Ohlin,
suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut  memiliki  keunggulan  komparatif  yaitu  keunggulan  dalam  teknologi  dan
keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah: 1.  Faktor endowment,  yaitu  kepemilikan  faktor-faktor  produksi  didalam  suatu
negara. 2.  Faktor intensity,  yaitu  teksnologi  yang  digunakan  didalam  proses
produksi, apakah labor intensity atau capital intensity. Analisis teori H-O :
  Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara   Comparative advantage  dari  suatu  jenis  produk  yang  dimiliki  masing-
masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya.
  Masing-masing  negara  akan  cenderung  melakukan  spesialisasi  produksi dan  mengekspor  barang  tertentu  karena  negara  tersebut  memilki  faktor
produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya   Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu
karena  negara  tersebut  memilki  faktor  produksi  yang  relatif  sedikit  dan mahal untuk memproduksinya.
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi
yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan  sama  pula  sehingga  perdagangan  internasional  tidak  akan  terjadi  Pugel,
2004.
Wassily  Leontief  seorang  pelopor  utama  dalam  analisis  input-output matriks,  melalui  study  empiris  yang  dilakukannya  pada  tahun  1953  menemukan
fakta,  fakta  itu  mengenai  struktur  perdagangan  luar  negri  ekspor  dan  impor. Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut
sebagai  paradoks  Leontief.  Berdasarkan  penelitian  lebiih  lanjut  yang  dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena
empat sebab utama yaitu : 1.  Intensitas faktor produksi yang berkebalikan
2.  Tarif dan Non tarif barrier 3.  Pebedaan dalam skill dan human capital
4.  Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam
Kelebihan  dari  teori  ini  adalah  jika  suatu  negara  memiliki  banyak  tenaga kerja  terdidik  maka  ekspornya  akan  lebih  banyak.  Sebaliknya  jika  suatu  negara
kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit. Teori Porter tentang daya saing berangkat dari keyakinannya bahwa teori
ekonomi  klasik  yang  menjelaskan  tentang  keunggulan  komparatif tidak mencukupi,  atau  bahkan  tidak  tepat.  Menurut  Porter,  suatu  negara  memperoleh
keunggulan daya saing jika perusahaan yang ada di negara tersebut kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi
dan  meningkatkan  kemampuannya.  Porter  menawarkan  Diamond  Model sebagai  tool of analysis sekaligus kerangka dalam membangun resep memperkuat
daya saing. Dalam perjalanan waktu, diamond model-nya Porter tak urung menuai kritik dari berbagai kalangan. Pada kenyataannya, ada beberapa aspek yang tidak
termasuk dalam persamaan Porter ini, salah satunya adalah bahwa model diamond dibangun dari studi kasus di sepuluh negara maju, sehingga tidak terlalu tepat jika
digunakan  untuk  menganalisis  negara
–  negara  sedang  membangun.  Selain  itu, meningkatnya  kompleksitas  akibat  globalisasi,  serta  perubahan  sistem
perekonomian  mengikuti  perubahan  rezim  politik,  menjadikan  model  diamond Porter  hanya  layak  sebagai  pioner  dan  acuan  pertama  dalam  kancah  studi
membangun daya saing negara Salvatore, 1997.
Daya Saing
Faktor  utama  yang  memengaruhi  daya  saing  adalah  permintaan  dan  atau penawaran.  Data  yang  tersedia  biasanya  lebih  memungkinkan  untuk  menelaah
pada aspek penawaran sehingga aspek produksi lebih ditekankan sebagai ukuran daya  saing.  Pada  aspek  permintaan  terdapat  permasalahan  kurang  mampunya
produsen  menembus  pasar  internasional  karena  adanya  dinamika  pasar  seperti perubahan selera, perkembangan teknologi maupun berbagai kebijakan di  negara
tujuan  ekspor  yang  bersifat  protektif.  Faktor-faktor  yang  memengaruhi  ekspor komoditas primer akan berbeda dengan barang-barang manufaktur.
Struktur  sektor  perdagangan  dapat  dilihat  dengan  menggunakan pendekatan, diantaranya yang terkait dengan daya saing produk. Beberapa kajian
terhadap  daya  saing  menggunakan  analisis  RCA  dan  Export  Product  Dynamic EPD
. Firdaus  AH  2011  melihat  kinerja  ekspor  Indonesia  terhadap  ASEAN
Plus  Three yang  mengukur  daya  saing  secara  komparatif  dengan  menggunakan
metode Revealed Comparative Advantage RCA dan untuk melihat pertumbuhan pangsa  pasar  di  ASEAN  Plus  Three  menggunakan  metode  Export  Product
Dynamics EPD.
Jalil  NA  2012  mengidentifikasi  komoditas  unggulan  ekspor  Indonesia  ke  Uni Eropa  serta  tingkat  daya  saing  dan  derajat  integrasinya  dengan  menggunakan
metode Revealed Comparative Advantage RCA.
Kusuma  dan  Firdaus  2015  meneliti  tentang  daya  saing  dan  faktor  yang mempengaruhi  volume  ekspor  sayuran  Indonesia  terhadap  negara  tujuan  utama
menggunakan RCA dan EPD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif lebih baik dibandingkan
dengan  negara  pesaingnya,  yaitu  Belanda  dan  Cina  pada  komoditas  kentang, tomat,  bawang,  kubis,  dan  cabe  terhadap  dunia.  Keunggulan  komparatif  sayuran
Indonesia  terhadap  negara  tujuannya  dihasilkan  oleh  tomat,  kubis,  dan  cabai dengan  negara  tujuan  yang  berbeda  dari  masing-masing  komoditas.  Disisi  lain,
Indonesia menduduki keunggulan kompetitif terbaik dibandingkan dengan kedua negara pesaingnya baik terhadap negara tujuan utama maupun terhadap dunia.
Zuhdi  dan  Suharno  2015  menggunakan  analisis  RCAdan  EPD  untuk melihat  daya  saing  ekspor  kopi  Indonesia  dan  Vietnam  di  pasar  Asean-5.  Hasil
analisis  RCA  menunjukkan  bahwa  ekspor  kopi  Indonesia  dan  Vietnam  di  pasar
ASEAN  5  memiliki  daya  saing  dengan  Indonesia  memiliki  nilai  rata-rata  RCA sebesar  10,16  dan  Vietnam  sebesar  53,44.  Sedangkan  hasil  analisis  EPD
menunjukkan  bahwa  perdagangan  kopi  Indonesia  maupun  Vietnam  berada  pada kuadran rising star yang berarti bahwa kinerja perdagangan ekspor berjalan cepat
dan dinamis dimana tingkat pertumbuhan ekspor kopi Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya pangsa ekspor di ASEAN 5.
Kanaya  dan  Firdaus  2014  meneliti  tentang  daya  saing  dan  permintaan ekspor  produk  biofarmaka  Indonesia  di  negara  tujuan  utama  periode  2003-2012
menggunakan  metode  RCA  dan  EPD.    Hasil  penelitian  menyimpulkan  bahwa Indonesia  memiliki  daya  saing  yang  baik  terhadap  komoditi  kunyit  dan  kayu
gaharu  apabila  dibandingkan  dengan  negara  pesaing  berdasarkan  analisis  RCA dan EPD dengan posisi daya saing lost pppportunity.
RCA  digunakan  oleh  Serin,  et  al  2008  untuk  menganalisis  daya  saing kompetitif  dan  komparatif  produk  pertanian  turki  terhadap  pasar  eropa,  yang
menyimpulkan bahwa produk pertanian turki tidak memiliki daya saing di eropa disebabkan  kualitas  produk  yang  tidak  stabil.  Oduro,  et  al  2014  menjelaskan
bahwa  produk  pertanian  olahan  yang  diproduksi  Ghana  memiliki  daya  saing terhadap  produk  pertanian  olahan  dunia.  Dengan  menggunakan  analisis  RCA
maka dapat diketahui bahwa produk gana memiliki daya saing.
Model Gravity
Model  gravity  Gravity  Model  adalah  sebuah  model  yang  diperkenalkan pertama  kali  oleh  Jan  Tinbergen  pada  tahun  1961.  Model  ini  terbentuk
berdasarkan  kinerja  hukum  gravitasi  yang  ditemukan  oleh  Sir  Isaac  Newton  dan digunakan  untuk  menerka  perdagangan  berdasarkan  jarak  antar  negara  dan
interaksi antar negara. Hukum gravitasi menyatakan bahwa sebuah interaksi antar dua  benda  adalah  sebanding  dengan  massanya  dan  berbanding  terbalik  dengan
jarak masing-masing. Jika persamaan tersebut diaplikasikan kepada perdagangan internasional maka Anderson, 2010:
Fij = G .........................................................................................................1
F = Volume aliran perdagangan
M = Ukuran ekonomi untuk kedua negara
D = Jarak ekonomi kedua negara
G = Konstanta
Analogi  di  atas  dapat  dijelaskan  bahwa  volume  aliran  perdagangan ekspor dipengaruhi secara langsung oleh ukuran ekonomi masing-masing negara
GDP  dan  berhubungan  terbalik  dengan  jarak  masing-masing  negara.  Dengan demikian  suatu  negara  yang  memiliki  volume  aliran  perdagangan  yang  besar
maka akan melakukan perdagangan  yang besar pula dan di sisi lain negara  yang memiliki jarak berjauhan akan memiliki perdagangan yang relatif lebih kecil.
Model gravity dalam praktiknya telah digunakan oleh banyak peneliti dan berdasarkan  hasil  penelitian,  terbukti  bahwa  model  gravity  merupakan  sebuah
model yang memiliki predektibilitas besar untuk pengalaman empiris Anderson, 2010;  Kulkarni,  et  al.  2015.  Penelitian  Mark  Funk,  et  al  2006  dengan  judul
Intra-NAFTA  Trade  in  Mid-South  Industries:  A  Gravity  Model
,  menyimpulkan bahwa  model  gravity  menunjukkan  perbedaan  signifikan  terhadap  perdagangan
intra  NAFTA  baik  antar  negara  dan  besarnya  industri.  Sehingga  kebijakan  yang
diambil adalah memberikan variasi impor dan ekspor antar Negara. Model gravity juga digunakan oleh Tran, et al 2012 dengan judul Choosing The Best Model In
The Presence Of Zero Trade: A Fish Product Analysis , yang menjelaskan bahwa
model gravity mampu menjelaskan perdagangan produk ikan mempunyai potensi yang  bagus  apabila  standar  pengolahan  pada  Negara  berkembang  sesuai  dengan
standar  internasional.  Khiyavi,  et  al  2013  mengungkapkan,  model  gravity memberikan informasi bahwa perdagangan produk pertanian meningkat baik bagi
Negara ekportir maupun negara importer.
Kerangka Pemikiran Operasional
Larangan  terhadap  ekspor  bahan  baku  rotan  merupakan  kebijakan  baru yang  diterapkan  pemerintah  pada  tahun  2011,  sebenarnya  kebijakan  ini
sebelumnya  pernah  diterapkan  pada  tahun  1979-1996,  pada  periode  tersebut industri  rotan  Indonesia  berkembang  pesat  dan  produk-produknya  diminati  oleh
pasar  Amerika,  Jepang,  dan  Jerman  dengan  nilai  ekspor  sebesar  USD 2.475.236.838.  Kemudian  pemerintah  mengeluarkan  kebijakan  pencabutan
larangan ekspor pada periode 1996-2004 Kemendag, 2013.
Pada  tahun  1996  pemerintah  melonggarkan  ekspor  rotan  mentah  dengan menurunkan  pajak  ekspor  melalui  SK  No.666KMK0171996  tentang  ketentuan
pajak ekspor sebesar USD 10kg. Hal ini diperkuat dengan Letter of Intent antara pemerintah  Indonesia  dan  IMF  pada  tahun  1998,  yang  salah  satu  poin
kesepakatannya adalah menghapus larangan-larangan ekspor kecuali untuk alasan keamanan dan kesehatan butir 38 dan mengganti pajak ekspor dengan resources
rent  taxes
,  dengan  besaran  10  pada  akhir  Desember  2000.  Pada  tahun  ini industri  mebel  rotan  Indonesia  mengalami  kemunduran,  ditambah  lagi  adanya
krisis  moneter  tahun  1997-1998  membuat  Indonesia  mencabut  ketentuan  ekspor lampit rotan melalui SK Memperindag No.33MppKep1998 KPPU, 2010.
Akibat  dari  dibukanya  kran  ekspor  pada  saat  itu,  industri  rotan  mulai mengalami  kesulitan  dalam  memperoleh  bahan  baku  karena  terjadi  kenaikan
harga  yang  sangat  nyata.  Selain  itu  nilai  tukar  rupiah  yang  terus  melemah membuat  industri  mebel  rotan  Indonesia  mengalami  kelesuan  dan  kebangkrutan.
Banyaknya  tuntutan  dari  pihak  industri  hulu  membuat  pemerintah  mengeluarkan kembali kebijakan pada pertengahan tahun 2005 melalui SK Menteri Perdagangan
No.12M-DAGPER62005 pada tanggal 30 Juni 2005 tentang ketentuan ekspor rotan  yang  di  dalamnya  juga  berisikan  kebijakan  pencabutan  larangan  ekspor
rotan.
Berlakunya  kembali  larangan  ekspor  rotan  mentah  pada  tahun  2011 melalui  SK  Menteri  Perdagangan  No.35M-DAGPER112011  diharapkan
mampu membangkitkan kembali industri rotan yang sempat lesu, hal itu terbukti pada kuartal pertama tahun 2012 ekspor produk rotan meningkat sebesar 36 dari
tahun sebelumnya Kemenperin, 2011.
Penilaian kinerja perdagangan kursi rotan dan mebel rotan perlu dilakukan untuk  mengetahui  sejauh  mana  peran  kedua  produk  rotan  Indonesia  tersebut
dibandingkan dengan negara China di pasar internasional. Potensi ekonomi sutau negara  dapat  dilihat  dari  jumlah  populasi  negara  tersebut,  perkembangan  nilai
ekspor  dan  impor  dari  negara  pengimpor  serta  pendapatan  per  kapita  yang dimiliki  setiap  negara  pengimpor.  Setelah  hal  tersebut  dilakukan  maka  analisis
mengenai daya saing kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional
dapat  dilakukan.  Analisis  daya  saing  dapat  diukur  dengan  menggunakan  metode analisis  Revealed  Comparative  Advantage  RCA,  sementara  itu  untuk
mengetahui  atau  mengidentifikasi  daya  saing  suatu  produk  serta  untuk mengetahui  apakah  suatu  produk  dalam  performa  yang  dinamis  atau  tidak
dilakukan  analisis  Export  Product  Dynamics  EPD.  Hasil  dari  analisis  tersebut akan menjabarkan daya saing yang dimiliki oleh komoditas kursi rotan dan mebel
rotan Indonesia serta tingkat integrasi perdagangan ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional. Ketika telah diketahui tingkatan daya saing
dan tingkat integrasi perdagangan ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar  internasional,  perlu  dilakukan  analisis  tambahan  untuk  memastikan  ekspor
kursi  rotan  dan  mebel  rotan  dapat  berjalan  dengan  efektif  dan  efisien  sehingga dapat  memberi  keuntungan  bagi  Indonesia.  Oleh  sebab  itu,  analisis  mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar  internasional  perlu  dilakukan.  Analisis  ini  dilakukan  agar  pemerintah
Indonesia  dapat  mencari  solusi  serta  alternatif  berupa  kebijakan  yang  tepat  guna mengembangkan  ekspor  kursi  rotan  dan  mebel  rotan  Indonesia  ke  pasar
internasional. Kemudian analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi nilai ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia ke pasar internasional menggunakan
persamaan  regresi  yang  sebelumnya  diturunkan  dari  model  gravity  dimana  di setiap  variabel  tersebut  menggunakan  data  panel.  Variabel-variabel  yang
dimasukan ke dalam persamaan regresi tersebut mencakup: 1.  GDP  per  kapita  negara  pengimpor,  hal  ini  didasari  pada  kenyataan  bahwa
negara yang memiliki pendapatan tinggi cenderung memiliki aktivitas jual beli yang tinggi.
2.  GDP per kapita Indonesia, hal ini didasari pada kenyataan bahwa negara yang memiliki pendapatan tinggi cenderung memiliki aktivitas jual beli yang tinggi.
3.  Jarak  ekonomi,  hal  ini  didasari  pada  kenyataan  bahwa  harga  suatu  komoditas dipengaruhi oleh biaya distribusi. Negara yang memiliki jarak lebih jauh, maka
biaya  distribusi  yang  dikeluarkan  pun  akan  lebih  tinggi  dan  begitu  pun sebaliknya.
4.  Nilai  tukar  rill,  hal  ini  didasari  pada  perbedaan  nilai  tukar  masing-masing negara akan memengaruhi harga komoditas yang akan dijual.
5.  Harga Barang, harga mebel rotan yang diekspor ke negara tujuan. 6.  Kebijakan,  merupakan  keputusan  pemerintah  tentang  pelarangan  ekspor  rotan
mentah  yang  diterbitkan  pada  tahun  2011  dengan  nomor  SK  Menteri Perdagangan No.35M-DAGPER112011.
Setelah mendapatkan nilai koefisien dari model gravity kemudian di cari rasio
potensi  perdagangannya  dengan  cara  membandingkan  hasil  estimasi  dari persamaan  gravity  dengan  nilai  aktual  perdagangan,  sehingga  dapat  diketahui
negara mana yang masih berpotensi untuk dikembangkan perdagangannya.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disusun sebuah kerangka operasional seperti yang digambarkan pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Mebel Indonesia di Pasar Internasional
Keterangan: = menunjukan alur hubungan langsung
= menunjukan hubungan berdasarkan analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Terhadap Nilai Ekspor : 1. GDP Per Kapita Indonesia,
2. GDP Per
Kapita Pengimpor,
3. Jarak Ekonomi, 4.  Nilai Tukar Riil,
5.  Harga Produk, 6.  Kebijakan
Implikasi Kebijakan Pemerintah
Model Gravity
Potensi Perdagangan
Rasio PP
Nilai Ekspor Kursi rotan dan Mebel
rotan Indonesia
Analisis Daya Saing Produk
RCA
EPD Larangan Ekspor
Rotan Mentah
Pengaruh Terhadap Industri Rotan Indonesia
Ketersediaan Bahan Baku Rotan Mentah
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1.  GDP  per  kapita  GDPCAP  negara  tujuan  ekspor  memiliki  pengaruh
positif terhadap aliran perdagangan mebel rotan Indonesia. 2.  GDP per kapita Indonesia GDPCAPI memiliki pengaruh positif terhadap
aliran perdagangan. 3.  Jarak  ekonomi  antara  negara  Indonesia  dengan  negara  tujuan  ekspor
memiliki  pengaruh  negatif  terhadap  aliran  perdagangan  mebel  rotan Indonesia
4.  Nilai  tukar  mata  uang  Indonesia  terhadap  negara  tujuan  ekspor  memiliki pengaruh positif terhadap aliran perdagangan kursi rotan dan mebel rotan
Indonesia.  Hal  tersebut  menunjukkan  bahwa  saat  nilai  tukar  mata  uang rupiah  terhadap  mata  uang  negara  tujuan  melemah  terdepresiasi  maka
komoditas  ekspor  dari  Indonesia  relatif  lebih  murah  sehingga  aliran perdagangan permintaan ekspor meningkat.
5.  Harga  Produk  memiliki  pengaruh  yang  positif  terhadap  mebel  rotan Indonesia ke pasar internasional..
6.  Kebijakan  pelarangan  ekspor  memiliki  pengaruh  positif  terhadap  ekspor mebel rotan ke pasar internasional.
                