TINJAUAN PUSTAKA Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kursi Rotan Dan Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional
judul An Empirical Analysis of Pakis tan’s Bilateral Trade: A Gravity Model
Aproach. Data yang digunakan untuk analisis mulai dari tahun 1990-2010 dengan
frekuensi 2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa GDP dan GDP per kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan sedangkan
jarak dan variable dummy kesamaan budaya menunjukkan pengaruh negatif terhadap volume perdagangan. Rasio dari perdagangan aktual yang diprediksi
untuk tahun 2010 terhadap negara partner dagang Pakistan tidak terealisasi dengan baik sebab terhambat oleh kebijakan yang diterapkan Pakistan. Hal yang
hampir serupa juga terjadi di negara Georgia, penelitian yang dilakukan oleh Dilanchiev pada tahun 2012 dengan judul Empirical Analysis of Georgian Trade
Pattern: Gravity Model
memperlihatkan bahwa perdagangan Georgia dipengaruhi secara positif oleh faktor-faktor: tingkat ekonomi, GDP per kapita, dan sejarah
umum. Hasil hipotesis juga menunjukkan bahwa foreign direct investment berpengaruh positif terhadap perdagangan Georgia.
Daya Saing
Daya saing adalah kemampuan dalam menciptakan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai pertumbuhan GDP per kapita yang
tinggi serta unggul dalam produktifitas, efisiensi, dan profitabilitas yang secara global mengacu pada konteks spesialisasi internasional.
Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di
suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas
politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi
unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas.
Krugman, et al 2003 menjelaskan bahwa Adam Smith mengajukan teori daya saing absolut pada tahun 1776. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara
menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa.
Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditas-komoditas di mana ia mempunyai keunggulan
yang absolut dan mengimpor saja komoditas-komoditas lainnya. Kelebihan dari teori ini yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling
memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila
hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
Daya saing komparatif merupakan teori yang diungkapkan oleh JS Mill dan David Ricardo pada tahun 1817 menyatakan bahwa suatu Negara akan
menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki daya saing komparatif terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki daya saing komparatif
suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar. Teori ini menyatakan
bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan untuk teori daya saing komparatif
ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori daya saing
absolut.
Daya saing kompetitif dikembangkan oleh Michael E. Porter 1990 dalam bukunya berjudul “The Competitive Advantage of Nations”. Menurutnya terdapat
empat atribut utama yang bisa membentuk lingkungan dimana perusahaan- perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa, sehingga mendorong terciptanya
keunggulan kompetitif. Keempat atribut tersebut meliputi:
a. Kondisi faktor produksi, yaitu posisi suatu Negara dalam faktor produksi misalnya tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan teknologi yang dibutuhkan
untuk bersaing dalam industri tertentu. b. Kondisi permintaan, yakni sifat permintaan domestik atas produk atau jasa
industri tertentu. c. Industri terkait dan industri pendukung, yaitu keberadaan atau ketiadaan
industri pemasok dan industri terkait yang kompetitif secara internasional di negara tersebut.
d. Strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yakni kondisi dalam negeri yang menentukan bagaiman perusahaan-perusahaan dibentuk, diorganisasikan, dan
dikelola serta sifat persaingan domestik. Faktor-faktor ini, baik secara individu maupun sebagai satu sistem,
menciptakan konteks dimana perusahaan-perusahaan dalam sebuah negara dibentuk dan bersaing. Ketersediaan sumber daya dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mewujudkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri informasi yang membentuk peluang apa saja yang dirasakan dan arahan kemana
sumber daya dan ketrampilan dialokasikan, tujuan pemilik, manajer, dan karyawan yang terlibat dalam atau yang melakukan kompetisi, dan yang jauh
lebih penting, tekanan terhadap perusahaan untuk berinvestasi dan berinovasi.
Boansi et al 2014 berpendapat pada penelitiannya yang berjudul Determinants Of Agriculturl Export Trade: Case Of Fresh Pineapple Exports
From Ghana menunjukkan bahwa ekspor industri nanas segar Ghana memiliki
daya saing dan lebih dipicu oleh harga daripada volume ekspor. Baik volume maupun nilai ekspor memiliki hubungan positif dengan produksi. Sedangkan
penelitian Ragimun 2012 yang berjudul analisis daya saing komoditas kakao di indonesia menyatakan bahwa untuk mendorong ekspor kakao Indonesia di pasar
internasional maka perlu adanya peningkatan daya saing kakao dan salah satu caranya adalah dengan diberlakukannya kebijakan fiskal berupa penerapan bea
keluar berjenjang, subsidi ke petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional.
Penelitian Asriani 2011 yang berjudul analisis daya saing ekspor ubi kayu Indonesia menungkapkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif
untuk komoditas pati ubi kayu tetapi kurang berdaya saing karena Indonesia juga merupakan pengimpor pati ubi kayu. Hal tersebut disebabkan oleh tidak ada
standarisasi produk, produksi dan pemasarannya kurang efisien, serta teknologi yang digunakan untuk pengolahan belum maju.