PENDAHULUAN Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kursi Rotan Dan Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional

usaha untuk memanfaatkan keunggulan komparatif ini agar Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan baku terbesar, tapi juga menjadi produsen utama produk jadi rotan di dunia. Grafik 1 Trend Nilai Ekspor Komoditas Industri Rotan USD 2004-2012 Sumber: BPS 2013 diolah Indonesia memiliki keunggulan tersendiri di bidang industri rotan yang mampu menjadikan pemain dominan yaitu ketersediaan bahan baku yang melimpah, produksi rata-rata rotan mentah Indonesia pada tahun 2012 sebesar 530.000 ton dan apabila sudah diolah menjadi rotan setengah jadi siap pakai akan menyusut sekitar kurang lebih 88 menjadi 63.000 ton Kemenperin, 2012. Selama 7 tahun dari 2005 sampai 2011 semenjak kran ekspor rotan mentah dibuka negara China mengusai pasar mebel rotan ditingkat Internasional, hal tersebut terjadi karena China mendapatkan pasokan bahan baku sebagian besar dari Indonesia. Industri rotan dalam negeri mengalami keterpurukan karena kekurangan pasokan bahan baku, petani rotan lebih tertarik untuk mengekspor daripada menjualnya ke industri dalam negeri sebab harga rotan mentah dalam negeri cendrung rendah, menurut Kemenperin 2016 harga rotan mentah dalam negeri pada tahun 2013 sebesar Rp 6.000kg sedangkan harga jualnya meningkat apabila di ekspor yaitu sebesar Rp 17.000kg. Pada tahun 2012, setahun setelah kebijakan pelarangan ekspor bahan baku rotan diberlakukan posisi volume produk mebel rotan Indonesia berada diatas China, hal ini disebabkan oleh terhentinya pasokan bahan baku rotan ke negara tersebut. Perbandingan nilai ekspor kedua negara dapat dilihat pada grafik dibawah ini. 336,888,537 347,068,246 343,775,586 319,691,359 239,001,189 167,753,576 138,079,002 117,220,000 202,680,000 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 300,000,000 350,000,000 400,000,000 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Nilai Ekspor Tahun Grafik 2 Nilai ekspor mebel rotan Indonesia dan China di pasar internasional USD tahun 2012 Sumber: Uncomtrade, 2013 diolah Perumusan Masalah Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam persediaan bahan baku untuk industri rotan, sebab produksi rotan mentah terbesar di dunia adalah Indonesia, namun kebijakan yang sering berubah-ubah membuat keadaan industri rotan tidak stabil. Industri rotan dalam negeri diharapkan mampu menyumbang devisa negara seperti periode tahun 1988 disaat industri rotan sedang berjaya, sebab situasi saat tahun 1988 sama dengan situasi saat ini yaitu pemerintah melakukan proteksi dengan mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah. Kemudian kemunduran industri rotan terjadi kembali dengan dikeluarkannya kebijakan pembukaan kran ekspor rotan mentah pada tahun 1996 dengan cara menurunkan pajak ekspor sebesar 10 persen, kebijakan tersebut berkaitan dengan Letter of Intent yang disepakati antara pemerintah Indonesia denga IMF yang salah satu poinnya kesepakatannya ialah menghapus larangan ekspor kecuali untuk alasan keamanan dan kesehatan. Keadaan diperparah dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997-1998 yang membuat Indonesia harus mencabut ketentuan ekspor lampit rotan memalui SK Menperindag No.33MPPKEP1998. Pada pertengahan tahun 2005 industri hulu menuntut pemerintah untuk mengatur ketentuan ekspor rotan yang didalamnya juga berisi kebijakan pencabutan larangan eskpor rotan mentah, kebijakan tersebut tertuang dalam SK Menteri Perdagangan No.12M-DAGPER62005. Dalam kebijakan tersebut rotan yang dapat diekspor adalah rotan asalan dari jenis tamansega dan irit, dengan diameter 4-16 mm dan rotan setengah jadi dari jenis rotan apapun. Dibukanya kran ekspor tahun 2005 membuat negara pesaing industri kursi rotan dan mebel rotan Indonesia mengalami kejayaan karena bahan baku mudah 53,869,286 115,680,039 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000 Nilai Ekspor China Indonesia diperoleh oleh mereka. Negara tersebut diantaranya adalah China yang mengimpor rotan mentah Indonesia dalam jumlah besar sekitar 300.000 ton per tahun, sedangkan industri dalam negeri hanya mendapat pasokan rotan mentah sebanyak 200.000 ton per tahun. China mampu memproduksi barang yang lebih bagus dengan harga lebih murah dan memasarkan produknya ke negara tujuan ekspor Indonesia diantaranya Amerika, Jepang, Jerman, dan lain-lain Kemendag, 2013. Pasca diberlakukannya pembukaan kran ekspor rotan mentah pada tahun 2005 yang menyebabkan industri rotan Indonesia memburuk, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan melalui SK Menteri Perdagangan No.36M- DAGPER82009 tentang pembatasan ekspor rotan untuk jenis diameter tertentu. Peraturan ini melarang ekspor rotan asalan dari jenis rotan apapun. Kemudian di tahun 2011 pemerintah menegaskan pelarangan ekspor rotan mentah yang tertuang dalam SK Menteri Perdaganagn No.35M-DAGPER112011. Sehingga timbul pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kecenderungan nilai ekspor mebel rotan Indonesia setelah kran ekspor rotan mentah ditutup ? 2. Bagaimana perkembangan daya saing mebel rotan Indonesia di pasar Internasional? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi nilai ekspor mebel rotan Indonesia? Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah : 1. Mendeskripsikan kecenderungan nilai ekspor produk mebel rotan Indonesia. 2. Menganalisis tingkat daya saing produk mebel rotan Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan komoditas mebel rotan Indonesia. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memiliki minat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi komoditas rotan, khususnya mebel rotan. Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini diarahkan untuk mengamati kecenderungan aliran perdagangan ekspor komoditas rotan yang terjadi pada periode tahun 2007-2015 dengan menggunakan kode HS 6 digit yaitu 940151 kursi rotan dan 940381 mebel rotan: tempat tidur, set mebel ruang keluarga, dapur, dan taman. Negara China dipenelitian ini hanya sebagai pembanding dalam analisis daya saing. Negara yang diamati ialah Amerika, Jerman, Jepang, Prancis, Belanda, Inggris, Belgia, dan Italia. Variabel penelitian yang diamati meliputi nilai ekspor sebagai variable dependen, dan gross domestic product per capita, jarak ekonomi, nilai tukar riil, harga barang, dan kebijakan pemerintah sebagai variable independen.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Perdagangan Internasional Perdagangan internasional didasari adanya perbedaan keterbatasan dan perbedaan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki setiap negara. Kondisi tersebut menggiring setiap negara untuk melakukan ekspor dan impor. Dalam prakteknya hambatan politik dan berbagai kebijakan setiap negara berbeda-beda. Proteksionisme merupakan salah satu kebijakan yang disengaja sebagai usaha untuk membentuk hambatan-hambatan perdagangan, seperti tarif dan kuota dalam rangka melindungi industry dalam negeri dari persaingan luar negeri. Permasalahan lainnya ialah nilai tukar mata uang, masalah ini timbul akibat setiap negara mempunyai mata uang nasional sendiri, sehingga apabila melakukan perdagangan dengan negara lain harus diperhitungkan nilai tukar uang yang disepakati oleh negara yang melakukan hubungan dagang Murni, 2013. Kegiatan perdagangan internasional ekspor-impor, negara akan cenderung mengekspor barang-barang yang biaya produksi dalam negerinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri dan dapat bersaing di pasar internasional keunggulan komperatif. Namun sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang-barang yang biaya produksi dalam negerinya relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang yang sama diluar negeri. Beberapa faktor pendukung suatu negara dapat bersaing di pasar internasional adalah sumberdaya manusia, sumberdaya alam, teknologi serta sosial budaya dimana faktor-faktor ini sebagai penentu harga dan mutu barang dan jasa yang dihasilkan. Schaak 2015 melakukan penelitian berjudul The Impact of Free Trade Agreements on International Agricultural Trade: A Gravity Aplication on the Dairy Product Trade and The ASEAN-China-FTA . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-China terhadap produk susu dunia. Data yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari tahun 1995-2013 dengan data terpilah meliputi 36 negara penghasil produk susu termasuk ASEAN dan China. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada penciptaan perdagangan, efek pengalihan impor dan ekspor empat kelompok komoditas. Estimasi efek net perdagangan secara keseluruhan adalah negatif. Oleh karena itu implementasi saat ini FTA harus kritis dievaluasi terhadap produk susu. Sherif 2013 melakukan penelitian dengan judul penelitian Intra-Regional Trade, Evidence from the UAE: A Gravity Model Approach untuk mengetahui aliran perdagangan bilateral antara Uni Emirat Arab terhadap dua grup negara, yaitu grup A Bahrain dan Qatar dan grup B Oman dan Kuwait. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model gravity dengan menggunakan data panel dari tahun 1991-2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien GDP di masing-masing negara importir dan eksportir adalah positif, hal tersebut mengindikasikan bahwa perdagangan meningkat di bawah GDP proporsional negara importir namun meningkat di atas GDP proporsional negara eksportir UEA. Sedangkan jarak berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral tersebut. Khan et al 2013 meneliti tentang perdagangan bilateral antara Pakistan dengan partner dagangnya yaitu Jepang, Turki, Malaysia, India dan Iran dengan judul An Empirical Analysis of Pakis tan’s Bilateral Trade: A Gravity Model Aproach. Data yang digunakan untuk analisis mulai dari tahun 1990-2010 dengan frekuensi 2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa GDP dan GDP per kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan sedangkan jarak dan variable dummy kesamaan budaya menunjukkan pengaruh negatif terhadap volume perdagangan. Rasio dari perdagangan aktual yang diprediksi untuk tahun 2010 terhadap negara partner dagang Pakistan tidak terealisasi dengan baik sebab terhambat oleh kebijakan yang diterapkan Pakistan. Hal yang hampir serupa juga terjadi di negara Georgia, penelitian yang dilakukan oleh Dilanchiev pada tahun 2012 dengan judul Empirical Analysis of Georgian Trade Pattern: Gravity Model memperlihatkan bahwa perdagangan Georgia dipengaruhi secara positif oleh faktor-faktor: tingkat ekonomi, GDP per kapita, dan sejarah umum. Hasil hipotesis juga menunjukkan bahwa foreign direct investment berpengaruh positif terhadap perdagangan Georgia. Daya Saing Daya saing adalah kemampuan dalam menciptakan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai pertumbuhan GDP per kapita yang tinggi serta unggul dalam produktifitas, efisiensi, dan profitabilitas yang secara global mengacu pada konteks spesialisasi internasional. Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas. Krugman, et al 2003 menjelaskan bahwa Adam Smith mengajukan teori daya saing absolut pada tahun 1776. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditas-komoditas di mana ia mempunyai keunggulan yang absolut dan mengimpor saja komoditas-komoditas lainnya. Kelebihan dari teori ini yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan. Daya saing komparatif merupakan teori yang diungkapkan oleh JS Mill dan David Ricardo pada tahun 1817 menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki daya saing komparatif terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki daya saing komparatif suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar. Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan untuk teori daya saing komparatif