45 KapalAdpelKanpel untuk diterbitkan Surat Ukur Sementara. Selanjutnya, Daftar
Ukur tersebut dicek ulang oleh Direktorat Kapal, setelah diyakini kebenarannya maka dibuat Daftar Ukur oleh Direktorat Kapal dan diterbitkan Surat Ukur Tetap.
Selanjutnya dilakukan pemasangan tanda selar dan Surat Ukur diserahkan ke kapal. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan fisik kapal yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, metode yang dilakukan oleh petugas dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memiliki kesamaan, baik dari sisi adminstrasi
maupun teknis pelaksanaanya. Perbandingan pengukuran kapal dengan pemeriksaan fisik kapal disajikan pada Tabel 18.
46 Tabel 18. Perbandingan Penerbitan Surat Ukur dan Penerbitan Resume
Pemeriksaan Fisik Kapal No
Rincian Penerbitan Surat Ukur
Ditjen HUBLA KP
Penerbitan resume Pemeriksaan Fisik Kapal
oleh DJPT KKP 1
2 3
4 5
6 Administrasi
Pelaksana Sasaran
Pemeriksaan Kegiatan Utama
Metoda Waktu Proses
Biaya Surat Permohonan
Pemilik, disertai : - Surat keterangan tukang
galangan - Surat keterangan pemilik
- Identitas pemilik - Gambar kapal
Ahli Ukur Kapal Pengukuran GT
Per Menhub No 6 Tahun 2005
1 – 2 bulan Dibebankan ke pemohon
Surat permohonan pemilik, disertai :
- SIUPSIPI - Identitas Pemohon
Petugas Pemeriksa Fisik Kapal
Cek kesesuaian : panjang, lebar dan dalam, Valka,
Mesin dan Alat penangkap ikan.
Per MKP No. 12 tahun 2009 dan Per Menhub
No. 6 Tahun 2005 ukuran GT.
1 minggu Ditanggung pemerintah
Dari beberapa aspek yang diteliti, yakni dukungan peraturan perundangan
khususnya untuk pengukuran GT kapal secara keseluruhan telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada yakni berdasarkan Keputusan Meneteri Perhubungan No.
6 Tahun 2005 serta petunjuk pelaksanaannya berdasarkan SK Dirjen Perhubungan Laut. Khusus untuk pengukuran GT kapal juga dilaksanakan oleh Ditjen Perikanan
Tangkap. Selanjutnya, dilihat dari aspek mekanisme dan prosedur pemeriksaan dan pengukuran GT kapal secara keseluruhan telah dilakukan berdasarkan aturan yang
ada, namun demikian masih terdapat kelemahan terutama dalam keakuratan
47 pengukuran. Dari sisi keterkaitan sistem teknologi dan saranaprasarana yang
digunakan juga sudah memadai baik data pengukuran manual di lapangan maupun data perhitungan dengan aplikasi pengukuran GT menggunakan komputer.
Selanjutnya, dilihat dari pembinaan dan penyiapan sumberdaya manusia, sudah cukup memadai karena selain dilatih petugas juru ukur yang baru juga dilakukan pelatihan
penyegaran up grading bagi petugas yang lam baik di Ditjen Perhubungan Laut maupun Ditjen Perikanan Tangkap.
Walaupun secara umum terdapat kesamaan pengukuran GT kapal, tapi ternyata masih terdapat perbedaan hasil pengukuran seperti ditemukan selama
penelitian ini. Untuk menghindari penyimpangan ukuran kapal atau perbedaan metode pengukuran kapal yang berakibat terjadinya ketidak-akuratan dalam
penetapan nilai pungutan perikanan untuk kapal penangkap ikan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara atau bahkan kerugian dipihak pengusaha, maka perlu
disusun metode pengukuran kapal perikanan. Selain hal tersebut, hasil pengukuran kapal perikanan yang benar dan lebih akurat, memungkinkan untuk dikembangkan
lebih lanjut untuk tujuan perolehan, sebagai berikut 1 dimensi kapal, 2 redesain Kapal Perikanan, bagi kapal – kapal yang dibuat oleh pengrajin kapal perikanan
untuk mendapatkan gambar-gambar sebagai berikut a gambar rencana garis lines plan drawing, b gambar bentuk desain konstruksi atau rencana umum general
arrangement drawing, c gambar bentuk desain konstruksi melintang, 3 karakter kapal, 4 rancangan perubahan untuk pembesaran atau sebaliknya, 5 pengukuran
bersama antara pihak Ditjen Perhubungan Laut dengan Ditjen Perikanan Tangkap.
4.4 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak
Berdasarkan data dari sampel kapal di Sibolga dan Belawan tersebut, dengan mempertimbangkan tarif PPPPHP sesuai PP 19 tahun 2006, maka jika pengukuran
kapal tersebut akurat maka potensi PNBP dari kedua jenis kapal ikan di kedua pelabuhan ikan ini adalah sebesar RP 731.244.646,-, yaitu terdiri dari PPP sebesar Rp
161.764.810,- dan PHP sebesar Rp 569.479.836,- Tabel 19. Saat ini di Sumatera Utara terdapat 162 unit kapal pukat cincin dan 125 unit kapal pukat ikan yang
48 berukuran 25-30 GT. Potensi PNBP dari kapal-kapal ikan tersebut adalah sebesar Rp
4.685.319.532,-, yang terdiri dari PPP sebesar Rp 886.697.225,- dipungut satu kali dalam satu kali umur usaha dan PHP Rp 3.798.622.307,- dipungut setiap tahun.
Perhitungan PNBP tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari 49 Sampel Kapal Pukat Cincin dan Pukat Ikan 25-30 GT di Belawan dan Sibolga
Rincian Jumlah
GT Nilai PPP
Rp Nilai PHP
Rp Total Nilai
Rp Pukat ikan 25 unit
1.255,61 123.426.070 385.374.012
508.800.082 Belawan
486,55 47.828.062
160.095.985 207.924.047
Sibolga 769,05
75.598.008 225.278.027
300.876.035 Pukat cincin 24 unit
1.2777,96 38.338.740
184.105.824 222.444.564
Belawan 728,28
21.848.310 104.917.405
126.765.715 Sibolga
549,68 16.490.430
79.188.419 95.678.849
Jumlah 2.533,57 161.764.810
569.479.836 731.244.646
Tabel 20. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kapal Pukat Cincin dan
Pukat Ikan 25-30 GT di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Sampel di Belawan dan Sibolga
Rincian
Jumlah Kapal
Rata-rata ukuran
kapal GT Jumlah
GT Nilai PPP
Rp Nilai PHP
Rp Total Nilai
PNBP Rp
Pukat cincin
162 53,49
8.377 251.310.600
1.788.490.977 2.039.801.577
Pukat ikan
125 50,22
6.464 635.386.625
2.010.131.330 2.645.517.955
Jumlah
287 886.697.225
3.798.622.307 4.685.319.532
Sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PNBP dari sumberdaya alam perikanan dialokasikan sebanyak 20 untuk
Pemerintah Pusat dan sebanyak 80 untuk seluruh KabupatenKota di Indonesia yang jumlahnya sebanyak 497 kabupatenkota. Jika pengukuran kapal dilakukan
dengan tepat dan tertib maka dari kapal-kapal pukat cincin dan pukat ikan yang berukuran 25-30 GT di Provinsi Sumatera Utara akan potensi PNBP nasional
menjadi sebesar Rp 104.685.319.532,-. Angka tersebut didapat dari penjumlahan rata-rata PNBP yang diterima Ditjen Perikanan Tangkap untuk seluruh Indonesia
49 setiap tahun sebesar Rp 100 milyar ditambah dengan potensi penerimaan PNBP dari
Sumatera Utara hasil penertiban kapal ikan berukuran 25 – 30 GT. Dengan demikian, setiap kabupatenkota di seluruh Indonesia akan mendapat “bagian” sebesar Rp
168.507.557,-, yaitu 80 dari Rp 104.685.319.352,- dibagi 497 kabupatenkota Ditjen Otonomi Daerah, 2009. Khusus untuk Provinsi Sumatera Utara yang terdiri
dari 33 kabupatenkota akan mendapat ‘bagian’ PNBP sebesar Rp 5.560.749.367,- . Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan ukuran kapal mark-
down untuk kategori kapal pukat cincin dan pukat ikan tersebut mencapai lebih dari 50 nilai ukuran kapal yang sebenarnya. Mengingat baik Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Pusat tidak menarik pungutan perikanan dari kapal-kapal berdokumen mark-down maka jelas sekali bahwa PNBP dari Sektor Perikanan
banyak yang hilang. Di samping itu, masalah ini jika dilihat dengan spektrum yang lebih luas adalah merupakan illegal fishing. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Darmawan 2006 bahwa illegal fishing dilakukan oleh kapal-kapal yang telah memiliki SIUPSIPI namun kapal-kapal tersebut tidak memenuhi ketentuan tertulis
pada SIPI, antara lain jenis alat tangkap, jalur penangkapan, ukuran GT dan mesin kapal tidak sesuai yang tertera di SIPI.
Penyimpangan tersebut hendaknya segera diatasi dengan baik, yaitu dimulai dengan sistem desentralasi perijinan yang akuntabel dan insentif kepada pengusaha
untuk melakukan pelaporan spesifikasi kapal ikan dan jenis alat tangkap yang digunakan dengan benar. Desentralisasi tersebut akan lebih mendekatkan pusat
layanan perijinan kepada para pengusaha. Proses perijinan akan lebih cepat jika dilakukan oleh perwakilan Pemerintah PusatDJPT di daerah Dinas Perikanan
Provinsi dan UPT Pusat. Selain itu, penegakan hukum oleh aparat pemerintah hendaknya bukan hanya oleh PPNS dan jajaran PSDKP tetapi juga oleh penegak
hukum lainnya. Kesesuaian surat-surat kapal dengan kondisi aktual kapal juga akan memudahkan para petugas tersebut karena ada kepastian hukum yang dijadikan
referensi bersama, yaitu antara penegak hukum dan obyek penegakan hukum. Potensi PNBP seyogianya harus gencar diperkenalkan atau disosialisasikan
kepada berbagai pihak agar mereka memahami dan mendukung penggalangan PNBP.
50 PNBP tersebut akan meringankan beban pemerintah daerah. Selain itu, mungkin para
pengusaha juga akan memiliki kebanggaan karena telah memberikan kontribusi kepada pengelolaan perikanan. Strategi pemerintah dalam kebijakan PNBP pada
tahun 2010 sd 2014 diarahkan pada kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam upaya pencapaian optimalisasi dan efektifitas PNBP Anonimous a, 2010.
Disamping itu, dana PNBP yang dialokasikan ke kabupatenkota dapat digunakan langsung terutama untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Hal ini, sesuai dengan kebijakan pemerintah ke depan yang akan lebih mengembangkan pemanfaatan dana yang
berasal dari PNBP untuk pengembangan perikanan tangkap ke daerah penghasil sesuai dengan kajian earmarking approach yang telah dilakukan oleh Departemen
Keuangan Anonimous b, 2010. Selanjutnya disebutkan bahwa pendekatan earmarking merupakan kebijakan untuk mendesain suatu pendapatan tertentu
menjadi sumber pendanaan bagi kegiatan pelayanan umum yang juga tertentu. Kubu ekonom yang pro terhadap pendekatan ini mengatakan bahwa pendekatan earmarking
merupakan salah satu alat untuk memacu masyarakat pembayar pajak mendukung pengeluaran atau belanja negara untuk kegiatan pelayanan umum tertentu karena
mereka menganggap penggunaan dana tersebut memiliki manfaat secara langsung kepada mreka. Disamping itu, dana PNBP yang dialokasikan ke kabupatenkota dapat
digunakan langsung teru tama untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada pinsipnya PNBP merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kepada pelaku
usaha untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti dikatakan oleh Zeller et al. 2006. Hal ini juga berlaku untuk
setiap usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan luar seperti kasus nelayan Andon di Raja Ampat Bailey et al.2006.
Dana APBN khususnya dana dekonsentrasi yang dialokasi ke Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 917,75 juta dan PAD tahun 2010
dari retribusi pengujian kapal sebesar Rp 55.316.250,-, serta dana dekonsentrasi tahun 2011 sebesar Rp 3.5 milyar. Jika dibandingkan dengan dana PNBP yang akan
diterima langsung ke Kabupatenkota melalui dana langsung ke rekening pemerintah