43 3
Pembangunan kapal perikanan yang dilakukan oleh pengrajin kapal tradisional tidak melalui prosedur baku pembangunan, misalnya tanpa didahului dengan
gambar desain, rencana garis atau gambar lainnya, namun dengan proses terbalik,
4 Faktor kesalahan manusia.
Adapun faktor non teknis di antaranya adalah: 1 pengurusan ijin penangkapan ikan di pusat Ditjen Perikanan TangkapDJPT memerlukan waktu yang lama
dengan persyaratan yang panjang dibandingkankan dengan pengurusan perijinan di daerah Provinsi dan kabupatenkota sehingga ukuran kapal GT disesuaikan
dengan lingkup kewenangan Pemerintah Provinsi, dan 2 secara umum pemilik kapal bersedia mengukur kembali kapal-kapal mereka dan merubahnya sesuai dengan
ukuran yang sebenarnya, namun mereka tidak yakin DJPT akan tetap mengalokasikan ijin usaha dan lokasi penangkapan ikan seperti yang mereka nikmati sekarang.
Penyimpangan-penyimpangan ini dapat disebut sebagai IUU fishing. Penyebab timbulnya kasus IUU fishing di Sibolga dan Belawan ini dapat disebut sebagai faktor
ekonomi dan faktor kelembagaan Galle and Cox, 2006. Pelaku usaha menyatakan beberapa keluhan atau pengaduan terhadap
pelayanan perijinan di Ditjen Perikanan Tangkap. Di antaranya adalah: 1 proses perijinan yang terlalu lama, mulai dari permohonan ijin, pemeriksaan fisik hingga
terbitnya SIPI membutuhkan waktu lebih dari 1 bulan, 2 persyaratan perijinan yang harus dipenuhi terlalu banyak, 3 penerbitan ijin sebaiknya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah sehingga prosesnya menjadi lebih cepat, dan 4 biaya pengurusan
dinilai terlalu mahal yakni PNBP terlalu tinggi termasuk biaya tidak resmi.
4.3 Proses Penerbitan Dokumen Tentang Dimensi Kapal
Pengukuran GT kapal di Belawan dan Sibolga sampai saat ini dilakukan oleh juru ukur kapal yang bertugas di Kantor Administrator Pelabuhan Belawan Medan
dan Sibolga Kementerian Perhubungan. Secara umum pengukuran GT kapal
44 dilakukan dengan menggunakan aturan berdasarkan peraturan Menteri Perhubungan.
Sejak tahun 1972 metoda pengukuran GT kapal mengalami perubahan, secara spesifik terdapat perbedaan nilai konversi satuan hitung volume dari kubik m³ ke
Gross Ton GT antara ketentuan perundang-undangan maupun sumber resmi lain yang berlaku internasional disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Perkembangan Metoda Pengukuran GT Kapal di Indonesia Keputusan Peraturan
Pengukuran Kapal 1972
Peraturan Menhub KM
No.41 Tahun 1990
Peraturan Menhub No.KM
6 Tahun 2005 Internasional Convention
on Tonnage Measurement Ships 1969
yang diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun
1989 GT = 0,353V
GT = 0,353 V GT = 0,25 V
GT = K
1
V
Nilai koefisien 0,353 pada Tabel 17 adalah nilai konversi dari satuan meter kubik ke ton register. Walaupun terjadi perbedaan rumusan perhitungan GT di antara
peraturan tahun 1972 dan 1990 dengan peraturan tahun 2005 namun cara penghitungan besarnya volume V tidak berubah yakni V = V1 + V2. Volume kapal
adalah yaitu jumlah volume dari ruangan di bawah geladak atas ditambah dengan ruangan-ruangan di atas geladak atas yang tertutup sempurna yang berukuran tidak
kurang dari 1 m
3
. Proses penerbitan surat ukur GT kapal, dimulai dengan permohonan pemilik ke Ditjen Perhubungan Laut atau AdpelKanpel yang
mempunyai Kode Pengukuran Adpel Belawan dan Sibolga disertaidilampiri surat keterangan tukanggalangan, surat keterangan pemilikan, identitas pemilik dan
gambar kapal. Apabila syarat administrasi tersebut lengkap maka selanjutnya dilakukan pengukuran oleh Ahli Ukur Kapal. Metode pengukuran dilakukan menurut
rumus sesuai Peraturan Menhub No. KM 6 Tahun 2005 yakni metoda dalam negeri panjang kapal 24 m dan metoda internasional panjang kapal 24 m. Selanjutnya,
setelah dilakukan pengukuran dibuat Daftar Ukur diserahkan ke Direktorat
45 KapalAdpelKanpel untuk diterbitkan Surat Ukur Sementara. Selanjutnya, Daftar
Ukur tersebut dicek ulang oleh Direktorat Kapal, setelah diyakini kebenarannya maka dibuat Daftar Ukur oleh Direktorat Kapal dan diterbitkan Surat Ukur Tetap.
Selanjutnya dilakukan pemasangan tanda selar dan Surat Ukur diserahkan ke kapal. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan fisik kapal yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, metode yang dilakukan oleh petugas dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memiliki kesamaan, baik dari sisi adminstrasi
maupun teknis pelaksanaanya. Perbandingan pengukuran kapal dengan pemeriksaan fisik kapal disajikan pada Tabel 18.