Pengertian Kejahatan Transnasional TINJAUAN PUSTAKA

i. Kokain: Coke; Cocaine; Crack; Snaw; Girl; Lady. j. LSD: Lysergyc Acid Diethylamide k. MDMA: 3,4-Methlenedioxymethamhetamine; XTC; Inex l. Magadon: Pil Nipam BK. m. Putauw: Etep; Bedak; PT. n. Shabu; Ubas; Sabu; SS; Ice; Kristal; Mecin. Badan Narkotika Nasioal, 2009 : 20

D. Pengertian Kejahatan Transnasional

Secara konsep, kejahatan transnasional merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam The Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Sebelumnya istilah yang terlebih dahulu berkembang adalah “Organized Crime”. Unsur-unsur Transnasional adalah jika: 1. Conduct affecting more than one state tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara. 2. Conduct uncluding or affecting of more than one state tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara. 3. Means and methods transcend national boundaries sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Tri Andrisman, 2010 : 24 Fijnaut dalam Transnational crime and the role of the United Nations in its Contaiment through internasional coorperation: A challenge for the 21st century menunjukan bahwa kata sifat ‘transnasional’ menunjukan bahwa semua jenis kejahatan tidak mengakui adanya batas-batas nasional. European Journal of Crime, 2002: 127 Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu. Menurut martin dan Romano “transnational crime may be defined as the behavior of ongoing organizations that involves two or more nations, with such behavior being defined as criminal by at least one of these nations”. European Journal of Crime, DrugArms Trafficking, 1992: 119 Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya, dalam pandangan saya, jelas bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang lintas antarnegara. Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang. Pelakunya tak hanya individu dan kelompok juga bisa berperan sebagai sponsor tak sekedar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya. Kejahatan transnasional disebut juga sebagai kejahatan yang merupakan musuh umat manusia atau yang lebih dikenal dalam istilah Latin sebagai hostis humani generis. Sebagai kejahatan transnasional, semua atau bagian terbesar negara- negara sangat berkepentingan untuk mencegah, memberantas dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu negara-negara di dunia cenderung untuk mencegah dan memberantasnya melalui kerjasama internasional dan mengaturnya dalam konvensi-konvensi internasional. Beberapa konvensi internasional yang bertalian dengan kejahatan transnasional, antara lain adalah: 1. Konvensi London 1945, tentang Agreement of the Prosecution and Punishment of the Major War Criminal of the European Axis yang melahirkan Mahkamah Internasional di Nuremberg 1946, yang diadakan oleh negara-negara pemenang pada Perang Dunia Kedua. Konvensi ini dimaksudkan untuk mengadili dan menghukum para arsitek Jerman dan Italia. Tindakan mereka mengobarkan perang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdamaian yang telah banyak mengakibatkan kerugian bagi umat manusia di atas muka bumi ini. Demikian juga untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang Jepang untuk wilayah Timur Jauh, telah dibentuk Mahkamah Militer Internasional di Tokyo pada tahun 1948 oleh negara-negara sekutu yang menang perang. 2. Konvensi Genocide 1948 yang lengkapnya bernama Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diprakarsai oleh PBB dan mulai berlaku pada tahun 1951. Konvensi ini mendefinisikan genocide sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud merusak dan memusnahkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama dengan jalan membunuh anggota kelompok tersebut yang mengakibatkan kerugian bagi mereka secara fisik dan mental, yang dengan sengaja menyiksa keadaan jiwa kelompok tersebut, melakukan tindakan-tindakan yang bersifat paksa untuk mencegah keturunan atau perkembangbiakan mereka, memindahkan secara paksa anak-anak kelompok tersebut ke dalam kelompok lainnya. 3. Konvensi-konvensi tentang penghapusan perbudakan seperti misalnya Slavery Convention tahun 1926 yang ditambah dan diperbaharui pada tahun 1953 disempurnakan lagi pada tahun 1956. Berdasarkan konvensi ini para pihak sepakat akan menyusun perundang-undangan nasional yang efektif serta akan melakukan tindakan-tindakan demi terhapusnya praktek- praktek perbudakan, atau yang berhubungan dengan itu seperti utang perbudakan, jual-beli manusia, eksploitasi tenaga anak-anak dan penjualan budak-budak antarnegara. Para pelakunya harus diadili dan dihukum dengan hukuman berat. 4. Konvensi tentang Laut Lepas 1958 pada pasal 14 sampai dengan 22 mengatur tentang Pembajakan di Laut Lepas yang merupakan pembajakan menurut hukum internasional yang berbeda dengan pengertian pembajakan menurut hukum nasional. 5. Tiga konvensi berkenaan dengan kejahatan penerbangan yakni: Konvensi Tokyo 1963 tentang “Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft” Kejahatan-kejahatan dan Tindakan-tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan dalam Pesawat Udara. Konvensi Den Haag 1970 tentang The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum dan Konvensi Montreal 1971 tentang The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation” Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil. Ketiga konvensi ini pada dasarnya adalah konvensi yang bertujuan mencegah kejahatan penerbangan. 6. Single Convention on Narcotic Drugs 1961 atau Konvensi Tunggal tentang Narkotika serta protokol yang mengubahnya yang diadakan di New York pada tahun 1961. Kejahatan ini tidak hanya membahayakan perorangan melainkan juga masyarakat, bangsa dan negara. Konvensi ini bertujuan mengatur dan mengawasi pembuatan, pengedaran dan penggunaan narkotika dan berusaha mencegah serta memberantas perbuatan melawan hukum yang membahayakan bertalian dengan narkotika I Wayan Parthiana. 1990: 42-46 Tidak setiap negara mau bertindak cepat untuk meratifikasi konvensi tentang kejahatan transnasional, dan mengaturnya dalam hukum nasionalnya. Sebagai akibatnya pada negara-negara yang belum meratifikasi serta hukum pidana nasionalnya tidak satu pasal pun mengaturnya, maka pelaku kejahatan transnasional itu tetap tidak dapat diadili dan dihukum. Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan kejahatan transnasional ini adalah kaitannya dengan asas non-extradition of political criminal yang merupakan salah satu asas dari ekstradisi. Isi pokok dari asas ini adalah negara yang diminta harus menolak permintaan negara-peminta untuk menyerahkan orang yang diminta dan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan oleh negara-peminta adalah merupakan kejahatan politik. Mengingat sifat dan ciri-ciri kejahatan transnasional itu sendiri yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara serta bahaya dan akibatnya bagi masyarakat internasional dan dipandang sebagai hostis humani generis, sudah selayaknya dihapuskan saja sifat politiknya sehingga dengan demikian termasuk kejahatan yang extradible. Demikian pula maksud dari si pelaku kejahatan untuk berlindung dan bersembunyi di balik kejahatan politik sekedar untuk menghindari penyerahan dapat dibatasi khususnya apabila kejahatan yang dilakukannya itu merupakan kejahatan transnasional. Lebih terpuji langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara di dunia apabila dalam setiap perundingan dalam rangka merumuskan pengaturan tentang suatu kejahatan transnasional, dihapuskan sifat politiknya dan dinyatakan sebagai kejahatan yang extraditable. Penegasan tentang penghapusan sifat politik kejahatan transnasional itu dan pernyataan sebagai extraditable dapat dicantumkan baik dalam perjanjian-perjanjian ektradisi, dalam konvensi secara langsung, maupun dalam perundang-undangan nasional tentang ekstradisi.

E. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum