UPAYA POLRI DALAM PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA SEBAGAI SALAH SATU KEJAHATAN TRANSNASIONAL

(1)

DAFTAR ISI Halaman

I. PENDAHULUAN………..……… 1

A. Latar Belakang……….………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 11

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual... 12

F. Sistematika Penulisan... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA... 21

A. Upaya-Upaya POLRI dalam Pemberantasan Narkotika ... 21

B. Upaya Penanggulangan Peredaran Narkotika ... 24

C. Pengertian Narkotika... 30

D. Pengertian Kejahatan Transnasional... 32

E. Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum... 38

III. METODE PENELITIAN... 41

A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan JenisData……...….………...……… 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel..………..…….……… 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data…….………... 43

E. Analisis Data... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46


(2)

Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional... 70

V. PENUTUP... 80

A. Kesimpulan ... 80


(3)

UPAYA POLRI DALAM PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA SEBAGAI SALAH SATU KEJAHATAN

TRANSNASIONAL

Oleh

CHRIST INGGREET ANGKASA PUTRI

Narkotika sebenarnya diperlukan dalam kehidupan manusia. Dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, narkotika merupakan obat yang sangat diperlukan, namun dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan bila dipergunakan tanpa pemberantasan dan pengawasan yang seksama. Seiring berjalannya waktu keberadaan narkotika bukan hanya sebagai penyembuh namun justru menghancurkan. Sejak tahun 1998 terdapat indikasi bahwa Indonesia tidak lagi hanya sebagai negara transit, tetapi sudah merupakan negara tujuan pasar narkotika yang besar, apabila dengan harga yang tinggi (“great market, great price”) sehingga Indonesia semakin rawan menjadi surga bagi para sindikat narkotika. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi penulis adalah Bagaimanakah upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional? dan Apakah yang menjadi faktor penghambat POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap pihak Kepolisian di Polda Metro Jaya dan Direktorat Narkoba Badan Reserse Kriminal POLRI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(4)

upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Upaya Pre-emtif seperti pihak kepolisian membuat penyuluhan agar memberi informasi kepada masyarakat tentang fakta peredaran narkotika di Indonesia. Upaya Preventif seperti dilakukannya pengawasan yang ketat pada peredaran narkotika secara transnasional dan melakukan kerjasama antar negara contohnya sebagai pusat pengumpulan data, analisa data, melakukan koordinasi dengan pertukaran informasi tentang penyeludupan narkotika maupun jaringan narkotika antar negara, meningkatkan kerjasama antara dua negara mencegah produksi dan peredaran narkotika, pertukaran pengalaman, penelitian, pengobatan, dan rehabilitasi, pembahasan penyelidikan bersama. Upaya Represif seperti upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sanksi yang tegas untuk membuat efek jera bagi para pengguna dan pengedar narkoba. Upaya Rehabilitasi seperti usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba/obat terlarang dalam lembaga tertentu. Dalam proses upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional terdapat hambatan antara lain: Faktor hukum yaitu belum adanya perjanjian ektradisi dengan beberapa negara, pelaksanaan hukuman atau eksekusi di Indonesia masih belum dapat terlaksana dengan baik; Faktor kepribadian atau mentalitas penegak hukum yaitu sumber daya yang dimiliki kepolisian terbilang masih sangat minim, dan terkendala adanya kurangnya kordinasi sektoral antara instansi-instansi; Faktor pendukung yaitu peralatan yang dimiliki tidak bisa dibilang memadai dan lengkap, minimnya anggaran untuk biaya operasional; Faktor kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat yaitu keterlibatan masyarakat yang didorong persoalan ekonomi dan rendahnya rasa kepedulian masyarakat dengan apa yang terjadi disekitarnya.

Adapun saran yang diberikan penulis adalah untuk memaksimalkan upaya yang dilakukan pihak kepolisian maka sangatlah perlu untuk menambah aparat penegak hukum kesatuan narkotika; memfasilitasi aparat dengan peralatan pendeteksi narkotika yang canggih yang merata ke semua wilayah Indonesia baik di daerah perbatasan darat maupun laut; lalu dianggarkan dana operasional yang cukup untuk memberantas peredaran narkotika dan membuat perjanjian kerjasama dengan seluruh negara dengan membuat perjanjian eksradisi.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi saat ini, secara faktual batas antar negara semakin kabur meskipun secara yuridiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku kejahatan tidak mengenal batas wilayah maupun batas yuridiksi, mereka beroperasi dari satu wilayah negara ke wilayah negara lain dengan bebas. Bila era globalisasi baru muncul atau berkembang beberapa tahun terakhir, para pelaku kejahatan telah sejak lama menggunakan konsep globalisasi tanpa dihadapkan pada rambu-rambu hukum.

Sampai saat ini belum ada suatu definisi yang akurat dan lengkap tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional, namun demikian pengertian tentang kejahatan internasional telah diterima secara universal dan merupakan pengertian yang bersifat umum.

Kenyataannya, terhadap suatu pengertian yang diakui secara umum yaitu bahwa tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi internasional sebagai tindak pidana internasional, yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana internasional. (Tri Andrisman, 2010 : 23).


(6)

Beberapa kejahatan yang telah diatur dalam konvensi internasional antara lain: kejahatan narkotika, kejahatan terorisme, kejahatan uang palsu, kejahatan terhadap penerbangan sipil dan lain-lain. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi internasional pada dasarnya memiliki karakteristik yaitu: kejahatan yang membahayakan umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat diekstradisi, dan kejahatan yang dianggap bukan kejahatan politik.

Perkembangan penggunaan narkotika pada awal tahun 2000 sebelum masehi ialah sebagai alat bagi upacara-upacara ritual dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Jenis narkotika yang pertama digunakan pada mulanya adalah Candu atau lazimnya disebut sebagai Mandate atau Opium. Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Willheim menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang dikenal dengan nama Morphin. Morphin ini dipergunakan untuk penghilang rasa sakit akibat luka-luka perang pada perang saudara di Amerika Serikat. Tahun 1898 pabrik obat “Bayer” memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat resmi penghilang rasa sakit. (AR.Sujono, 2011 : 2)

Narkotika sebenarnya diperlukan dalam kehidupan manusia. Dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, narkotika merupakan obat yang sangat diperlukan, namun dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan bila dipergunakan tanpa pemberantasan dan pengawasan yang seksama. Seiring berjalannya waktu keberadaan narkotika bukan hanya sebagai penyembuh namun justru menghancurkan. Awalnya narkotika masih digunakan dalam dosis kecil dan tentu saja dampaknya tidak begitu berarti. Namun


(7)

perubahan zaman dan mobilitas kehidupan membuat narkotika menjadi bagian dari gaya hidup, dari yang tadinya hanya sekedar obat untuk kebutuhan medis. Hal ini sangat merugikan kesehatan masyarakat pada umumnya, akan tetapi juga sudah merupakan bahaya yang sangat serius dan dapat merendahkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.

Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang bersifat lintas negara atau transnational crime, kejahatan terorganisir atau organized crime, dan kejahatan serius atau serious crime yang menimpa segenap lapisan masyarakat, menimbulkan kerugian yang sangat besar terutama dari segi kesehatan, sosial-ekonomi, dan keamanan mengakibatkan hilangnya suatu generasi bangsa ataulost generationdi masa depan. (Badan Narkotika Nasional, 2011 : 1 )

Sampai saat sekarang ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkotika dan obat-obat terlarang, misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotik, dan tempat pelacuran.

Unsur penggerak atau motivator utama dari para pelaku kejahatan di bidang narkotika dan obat-obat terlarang ini adalah masalah keuntungan ekonomis. Bisnis narkotika tumbuh menjadi salah satu bisnis yang paling favorit di dunia karena bisnis narkotika dianggap sebagai bisnis yang menjanjikan, sehingga tidak mengherankan apabila penjualan narkotika selalu meningkat setiap tahunnya yang berbanding sama dengan pencucian uang dari bisnis narkotika dan obat-obat terlarang.


(8)

Penjualan narkotika ini tidak lagi dilakukan oleh individu saja tetapi dilakukan melalui sindikat internasional dimana mereka menjual tidak hanya di satu negara saja tetapi juga di banyak negara di dunia di dalam penjualan serta peredarannya, jaringan sindikat narkotika ini menggunakan berbagai modus untuk menyeludupkan narkotika itu secara illegal ke suatu negara. Modus operandi sindikat pelaku peredaran gelap narkotika ini pun semakin berkembang seiring dengan perkembangnya sarana teknologi, komunikasi dan transportasi.

Jaringan sindikat narkotika internasional yang beroperasi di Indonesia meliputi: Nigeria, Nepal, India, Pakistan, Cina, Taiwan, Malaysia, dan Iran. Demi kelancaran operasional, jaringan sindikat merekrut kurir yang mayoritas adalah perempuan. Perekrutan dilakukan dengan terus terang dan sembunyi-sembunyi, melalui berbagai tipu muslihat seperti menjadikan sebagai istri, diajak keliling ke luar negeri, membangun kerjasama bisnis, dan peminjaman alamat tempat tinggal sebagai tempat transit. (Badan Narkotika Nasional, 2011 : 29 )

Sejak tahun 1998 terdapat indikasi bahwa Indonesia tidak lagi hanya sebagai negara transit, tetapi sudah merupakan negara tujuan pasar narkotika yang besar, apabila dengan harga yang tinggi (“great market, great price”) sehingga Indonesia semakin rawan menjadi surga bagi para sindikat narkotika, bahkan untuk psikotropika, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara sumber (tempat produksi). Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) pada tahun 2008 angka prevalensi (penyalahguna narkoba) nasional adalah 1,99% dari penduduk


(9)

Indonesia (3,6 juta orang) pada tahun 2015 akan mengalami kenaikan menjadi 2,8% (5,1 juta orang).

(Badan Narkotika Nasional, 2011 : 1)

Di Indonesia sendiri upaya penal yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas tindak pidana narkotika dan obat-obat terlarang mulai dari membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakorlak) Inpres No.6 Tahun 1971 yaitu Badan Nasional yang khusus menangani masalah penyalahgunaan zat dan obat terlarang, UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika, UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, lalu dikeluarkan lagi UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika untuk melengkapi Undang-Undang sebelumnya, semakin seriusnya kejahatan yang berhubungan dengan narkotika, membuat pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia kala itu yaitu Megawati Soekarno Putri mengeluarkan kembali Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekusor, dan Zat adiktif lainnya. Dan terakhir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut, maka pemerintah RI telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Masyarakat Internasional sepakat bahwa peredaran gelap narkotika yang telah meresahkan umat manusia harus diberantas bersama-sama. Perkembangan peredaran gelap narkotika ini diikuti pula dengan langkah-langkah penanggulangan dari negara-negara yaitu melalui berbagai konvensi internasional tentang narkotika, seperti Convention The hague 1912, Convention on


(10)

Psychotropic Substances 1971 atau Konvensi Psikotropika 1971 sampai dengan konvensi mengenai pemberantasan tindak pidana narkotika transnasional, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances1988, atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988.

Pada umumnya kecepatan gerak penegak hukum jauh tertinggal dari kegesitan pelaku baik dalam upaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Karena meskipun sudah ada kesepakatan kerjasama untuk menangani kejahatan ini, namun dalam pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi yang cukup rumit, sehingga sangat sulit bagi suatu negara untuk mengungkap suatu kasus sindikat pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika yang bersifat transnasional tanpa adanya kerjasama antar negara yang benar-benar diatur secara jelas.

Data terbaru saat ini sebanyak 284 warga negara Indonesia (WNI) terlibat kasus narkoba di luar negeri. Mereka yang berada di beberapa negara ini divonis hukuman mati. Sebanyak 284 orang dengan rincian 271 orang di Malaysia dan 13 orang di RRC. Jumlah WNI yang ditahan di luar negeri karena terlibat dalam jaringan sindikat narkoba internasional adalah 501 orang. (http://berita.liputan6.com/read/369341/sebanyak-284-wni-kasus-narkoba-dihukum-mativ, di akses pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.53 WIB)

WNI yang menjalani penegakan hukum di luar negeri terdapat di Malaysia sebanyak 390 orang, Cina sebanyak 35 orang, Hong Kong sebanyak 10 orang, Arab Saudi sebanyak 9 orang, dan Filipina sebanyak 8 orang. Sedangkan Australia dan Peru masing-masing 5 orang, Pakistan sebanyak 4 orang, Amerika Serikat, India dan Thailand masing-masing 3 orang. Sementara itu, Brazil,


(11)

Ekuador dan Iran masing-masing 2 orang, selanjutnya Argentina, Chili, Kamboja, Kanada, Srilanka dan Timor Leste masing-masing sebanyak satu orang.

Sebagian besar WNI tersebut terlibat kasus narkoba dengan peran sebagai kurir narkoba antar negara. Mayoritas dari mereka adalah wanita, direkrut dengan cara ditawari pekerjaan di luar negeri, dijadikan teman dekat, diajak kerja sama di luar negeri, diajak berwisata ataupun menikah di luar negeri. Namun, kemudian para wanita tersebut dititipi koper atau tas yang berisi narkoba, tanpa sepengetahuannya. Modus operandi lainnya adalah para TKW/TKI yang dipecat dari pekerjaannya di luar negeri, kemudian ditawari untuk membawa narkoba atau membawa tas yang tidak diketahui isinya ke negara lain dengan membawa imbalan uang.

Warga Indonesia yang ditahan di luar negeri karena terlibat dalam jaringan sindikat narkoba internasional adalah Kamir Santoso alias Salim yang ditangkap di China. Salim adalah pemain lama yang terlibat dalam beberapa kasus narkoba skala besar. Salah satunya adalah kasus narkoba yang melibatkan sipir Cipinang bernama Deny Santori alias Densos. Kamir, yang sempat beberapa kali ke luar masuk penjara di Indonesia karena kasus narkoba ini ditangkap di China dua tahun yang lalu pada bulan desember 2010 oleh aparat keamanan China karena kedapatan membawa shabu seberat 7 kg.

Sebelumnya Kamir Santoso telah menjadi buronan Polisi internasional. Saat ini, Kamir masih berada di China. Terkait dengan kasus yang dihadapinya, dan sedang dalam proses peradilan. Ekstradisi tidak dapat dilakukan oleh pihak Indonesia, mengingat Kamir banyak terlibat dalam kasus sindikat narkoba di


(12)

Indonesia, dan Pemerintah Indonesia tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan China, sehingga Kamir akan menjalani penyidikan dan akan divonis oleh pengadilan di China. (http://nasional.vivanews.com/news/read/275615-pelarian-gembong-narkoba-ri-berakhir-di-china, di akses pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.50 WIB)

Berbicara tentang pranata hukum yang bernama ekstradisi, terutama jika ditinjau dari segi penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, dapat dikatakan, bahwa ekstradisi adalah merupakan sebuah pranata hukum yang sangat ideal dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dikatakan sangat ideal, oleh karena ekstradisi ini menentukan pembatasan yang sangat ketat dan berat dalam proses permintaan dan penyerahan si pelaku kejahatan atau yang di dalam ekstradisi lebih populer dengan istilah orang yang diminta. Hak-hak asasi manusia dari orang yang diminta benar-benar dihormati dan dilindungi.

Ada beberapa kesulitan apabila mengadakan ekstradisi seperti: Ketatnya syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meminta, menyerahkan, dan mengadili orang yang diminta atau si pelaku kejahatan yang pada hakekatnya semuanya itu demi menghormati dan melindungi hak-hak asasi orang yang bersangkutan. Syarat-syarat tersebut antara lain: kejahatan yang dituduhkan terhadapnya dan yang dijadikan alasan untuk meminta/menyerahkan, haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana menurut hukum pidana kedua negara; negara-peminta berjanji bahwa orang yang diminta hanya akan diadili dan atau dihukum hanya terbatas pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya atau menyerahkannya; si pelaku atau orang yang diminta tidak akan diserahkan jika


(13)

kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan tergolong kejahatan politik; si pelaku tidak akan diserahkan jika ternyata orang yang bersangkutan berkewarganegaraan dari negara-diminta.

Setelah itu proses atau prosedur untuk memintanya dan menyerahkannya juga tidak kalah panjang dan birokratisnya. Pertama-tama, negara-peminta harus mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan orang yang diminta maupun kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya, selanjutnya harus mengevaluasi semua dokumen tersebut apakah sudah mencukupi untuk mengajukan permintaan atas orang yang bersangkutan kepada negara-diminta, dan apakah semua persyaratan substansial seperti pada butir pertama diatas ini telah terpenuhi ataukah tidak. Setelah itu diajukanlah permintaan ekstradisi kepada negara-diminta, melalui saluran diplomatik.

Selanjutnya diminta akan mempertimbangkan permintaan dari negara-peminta tersebut melalui suatu proses atau prosedur yang berlaku dalam hukum nasionalnya. Setelah itu, pihak pemerintah negara-diminta akan mengambil keputusan, apakah permintaan negara-peminta akan dikabulkan ataukah tidak, atau, apakah orang yang diminta itu akan diserahkan ataukah tidak. Jika dikabulkan, maka harus ditentukan lagi kapan dan dimana orang yang diminta itu akan diserahkan, siapa sajakah pejabat pemerintah kedua negara yang akan menyerahkan dan menerima penyerahannya. Untuk masalah ektradisi bagi WNI di luar negeri yang terlibat kasus narkoba, hal tersebut tergantung dari hukum yang berlaku di masing-masing negara, yang dimana di negara kita untuk kasus narkoba tidak ada ekstradisi bagi warga asing. (I Wayan Parthiana, 1990: 30-32)


(14)

Interpol Indonesia juga sepakat untuk memberantas narkotika dengan bekerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN dalam meningkatkan komunikasi dan kerjasama diantara mereka maupun dengan negara lain. Contoh kerjasama yang paling nyata adalah kejasama Negara ASEAN dengan Republik Korea melalui pembangunan sistem informasi seaport dan airport interdiction di Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Untuk Indonesia sendiri pusat pengawasan seaport dan airport interdiction telah dibangun di kota Jakarta, Batam, Medan dan Denpasar. (http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/narkoba, di akses pada tanggal 29 September 2011 pukul 21.02 WIB)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi dengan judul : “Upaya POLRI Dalam Pemberantasan Peredaran Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional”.

B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional?


(15)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu hukum pidana khususnya pada upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional dan hambatan-hambatan apa saja yang dialami dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional. Khususnya wilayah Polda Metro Jaya dan BARESKRIM POLRI

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional.

b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis, yakni: a. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, juga menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum pidana.


(16)

b. Kegunaan praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas pengetahuan tentang bagaimana bentuk-bentuk upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional dan apa saja yang menjadi hambatan POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional, sehingga peredaran dan penjualan narkotika dapat diperangi oleh Indonesia secara lebih serius.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori merupakan acuan dalam penelitian dengan maksud agar lebih jelas untuk membahas pokok permasalahan dengan mendasarkan pada suatu teori.

Kerangka Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dan hasil pemikiran dan kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1984: 132)

Perbedaan hukum nasional masing-masing negara menjadi salah satu faktor penghambat pihak kepolisian dalan mengungkap dan menindak lanjuti kasus peredaran narkotika secara transnasional. Sebagaimana hakekat dari suatu asas hukum pada umumnya, asas-asas dari hukum pidana Indonesia itupun dimaksudkan untuk menjadi landasan atau dasar dari pembentukan maupun pemberlakuan kaidah hukum pidana atas suatu peristiwa.


(17)

Asas-asas hukum pidana nasional di Indonesia terdiri dari: 1. Asas Territorialitas (wilayah)

Asas wilayah ini menunjukan, bahwa siapapun yang melakukan delik di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.

Asas territorial terdapat dalam Pasal 2 dan 3 KUHP Pasal 2 KUHP:

Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.

Pasal 3 KUHP:

Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2. Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif

Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada punggung warganegara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam pasal 5 KUHP.

Pasal 5 KUHP:

(1) Aturan Pidana dalam perundang-udangan Indonesia berlaku bagi warganegara yang di luar Indonesia melakukan:


(18)

Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal: 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;

Ke-2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.

(2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud dalam ke-2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

Indonesia tidak akan menyerahkan warganya untuk diadili diluar negeri. ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia. Ketentuan ini tidak berlaku untuk delik pelanggaran.

3. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam Pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan juga oleh Pasal 3 dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.

Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakan hukum di wilayahnya sendiri


(19)

4. Asas Universal

Asas ini melihat hukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia). Yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Contoh dari kejahatan yang bersifat merugikan keselamatan Internasional adalah Pembajakan di Laut, kejahatan Narkotika, Terorisme, Pembajakan di Udara, Genocide, Kejahatan perang, dan lain-lain. Secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik nasionalitas atau domisili terdakwa. (Andi Hamzah, 1994: 64-73)

Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan melalui beberapa cara, sebagai berikut ini:

a. Preventif (pencegahan), yaitu untuk membentuk masyarakat yang mempunyai ketahanan dan kekebalan terhadap narkoba. Pencegahan adalah lebih baik dari pada pemberantasan. Pencegahan penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembinaan dan pengawasan dalam keluarga, penyuluhan oleh pihak yang kompeten baik di sekolah dan masyarakat, pengajian oleh para ulama, pengawasan tempat-tempat hiburan malam oleh pihak keamanan, pengawasan distribusi obat-obatan ilegal dan melakukan tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan kesempatan terjadinya penyalahgunaan narkoba.

b. Represif (penindakan), yaitu menindak dan memberantas penyalahgunaan narkoba melalui jalur hukum, yang dilakukan oleh para penegak hukum atau aparat keamanan yang dibantu oleh masyarakat. Kalau masyarakat mengetahui harus segera melaporkan kepada pihak berwajib dan tidak boleh main hakim sendiri.

c. Kuratif (pengobatan), bertujuan penyembuhan para korban baik secara medis maupun dengan media lain. Di Indonesia sudah banyak didirikan tempat-tempat penyembuhan dan rehabilitasi pecandu narkoba seperti


(20)

Yayasan Titihan Respati, pesantren-pesantren, Yayasan Pondok Bina Kasih.

d. Rehabilitatif (rehabilitasi), dilakukan agar setelah pengobatan selesai para korban tidak kambuh kembali “ketagihan” narkoba. Rehabilitasi berupaya menyantuni dan memperlakukan secara wajar para korban narkoba agar dapat kembali ke masyarakat dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Kita tidak boleh mengasingkan para korban narkoba yang sudah sadar dan bertobat, supaya mereka tidak terjerumus kembali sebagai pecandu narkoba. (Budianto, 1989: 165)

Penegakan hukum bukan hanya dan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang mempegaruhi yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, atau peraturan itu sendiri

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membantu atau menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana faktor hukum tersebut diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto, 1983:4) Tingkat kejahatan narkoba yang semakin meningkat juga disebabkan karena secara geografis, Indonesia yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia dan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan 17.508 pulau. (AR.Sujono, 2011: 37)

Peredaran narkotika sendiri salah satunya terjadi melalui darat di perbatasan antara Indonesia dengan negara sekitar. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem


(21)

dan pengawasan keamanan Indonesia di daerah perbatasan. Para aparat dan petugas yang bekerja di perbatasan tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Serta kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan daerah perbatasan telah mengakibatkan kesenjangan yang cukup besar antara masyarakat Indonesia dan daerah perbatasan. Hal tersebut yang menjadi faktor yang besar dalam mendorong masyarakat perbatasan untuk melakukan upaya kriminal dan bukan tidak mungkin membantu atau membiarkan terjadinya peredaran narkotika untuk mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Peredaran narkotika lewat laut juga termasuk sering dilakukan. Wilayah Indonesia yang 2/3nya adalah lautan adalah pintu bagi masuknya narkotika di Indonesia. Tidak semua wilayah bisa terkawal dengan optimal oleh Polair POLRI, TNI Angkatan Laut maupun oleh Departemen terkait lainnya. Belum lagi kontrol yang kurang, sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum petugas untuk meloloskan narkotika masuk ke Indonesia, dengan mengharapkan untuk mendapat imbalan ataupun suap.

Peredaran narkotika melalui udara juga sangat rentan menjadi akses masuk narkotika ke Indonesia. Walaupun beberapa bandara di Indonesia sudah dilengkapi dengan alat pendeteksi narkotika yang canggih, namun masih banyak sekali bandara yang belum memilikinya. Apalagi semakin lama modus dan upaya penyeludupan narkotika ke Indonesia semakin berkembang mulai dari melalui kurir anak-anak dan perempuan sampai dengan cara-cara yang tidak masuk akal


(22)

seperti menelan narkotika dengan dibungkus semacam pembungkus khusus untuk menghindari pendeteksian narkotika oleh petugas.

2. Konseptual

Beberapa batasan mengenai konsep yang bertujuan untuk menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Upaya adalah sebuah usaha: ikhtiar ( untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar); daya upaya. (http://artikata.com/arti-355956-Upaya.html, di akses pada tanggal 19 Desember 2011 pukul 11.33 WIB).

b. POLRI adalah Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian nasional Indonesia yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden dengan tugas di bidang keamanan dalam negeri. (http://deskripsi.com/singkatan/POLRI, di akses pada tanggal 1 Mei 2012 pukul 06.30 WIB)

c. Pemberantasan adalah proses, cara, atau perbuatan memberantas. (http://artikata.com/arti-359805-pemberantasan.html, di akses pada tanggal 19 Desember 2011 pukul 11.49 WIB).

d. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahtanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis ataupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau


(23)

perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. ( Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ).

f. Kejahatan Transnasional adalah kejahatan lintas batas di antara dua negara atau lebih negara. ( Direktorat IV/Narkoba dan K.T, Tindak Pidana Narkotika, POLRI, 2009 : 9 ).

E. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yang isinya mencerminkan susunan dari materi yang perinciannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang penguraian hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual serta diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang menguraikan tentang segala perkembangan peredaran narkotika di Indonesia, sampai kepada peredaran narkotika secara transnasional serta ancaman bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia.


(24)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan yang menjelaskan bagaimana upaya dan hambatan yang dialami POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan mengenai hal-hal yang telah diuraikan dan kemudian dilengkapi dengan saran alternatif pemecahan masalah.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Upaya POLRI dalam Pemberantasan Narkotika

Polisi Republik Indonesia (POLRI) adalah salah satu pihak yang harus terlibat dalam pemberantasan narkotika di Indonesia. Pendekatan penegakan hukum yang komprehensif dalam memberantas narkoba di Indonesia harus menjadi prioritas ke depan karena masalah ini sangat kompleks. Apalagi yang kita hadapi adalah kejahatan sangat serius (most serious crime) dan kejahatan lintas batas (transnational organised crime) yang pada umumnya dilakukan sindikat internasional.

Langkah penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan POLRI dapat digolongkan menjadi 3 upaya yaitu:

1. Pre-emtif 2. Preventif 3. Represif

Upaya pre-emtif antara lain dilakukan dengan cara edukatif pembinaan dan pengembangan lingkungan pola hidup masyarakat, menciptakan hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat dan antara masyarakat dengan POLRI melalui upaya penyuluhan, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam turut serta menjaga keamanan ditengah masyarakat itu sendiri, dan memberikan pencerahan


(26)

bahwa menggunakan, membeli bahkan sampai memperjual belikan narkotika adalah perbuatan melanggar norma hukum dan norma agama, serta mengadakan pendekatan solusi usaha menggantikan tanaman ganja yang sering ditanam dengan tanaman pengganti yang lebih memiliki nilai jual tinggi namun tidak melanggar hukum bagi masyarakat petani di aceh.

Upaya preventif juga dapat dilakukan melalui upaya lidik, pengamanan dan penggalangan. Upaya preventif sebagaimana tersebut diatas dapat dilakukan oleh fungsi Bimbingan Masyarakat (Bimmas) dan fungsi intelijen POLRI. Disamping itu, upaya-upaya edukasi, pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup juga dapat dilakukan oleh Polair POLRI terhadap masyarakat perairan dan masyarakat kepulauan di pulau-pulau yang sulit terjangkau.

Upaya preventif dapat dilakukan melalui upaya mencegah masuknya narkotika dari luar negeri dengan melakukan pengawasan secara ketat di daerah-daerah perbatasan seperti di bandara, pelabuhan laut, dan perbatasan-perbatasan darat. Disamping itu, untuk mencegah lalu lintas narkotika illegal di dalam negeri dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti: operasi khusus/razia di jalan-jalan terhadap kendaraan roda 2 dan roda 4 pada daerah rentan lalu lintas narkotika sistem zig-zag sehingga tidak terbaca oleh jaringan pengedar narkotika, melakukan razia di tempat-tempat rawan lalu lintas narkotika secara illegal atau tempat-tempat rawan transaksi narkotika seperti tempat-tempat hiburan (diskotik, karaoke, pub, cafe warung remang dan lain-lain), mengadakan patroli pencarian sumber narkotika atau ladang ganja meliputi seluruh wilayah terpencil, mencegah


(27)

kebocoran narkotika dari sumber-sumber resmi seperti rumah sakit, apotik, barang bukti dari aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lainnya.

Upaya represif berupa upaya penindakan/penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat dilakukan dengan upaya penyelidikan dan penyidikan secara professional oleh fungsi Reskrim/Res Narkoba POLRI.

(http://ardikurniawan2005.wordpress.com/2011/05/26/penanggulangan-penyalahgunaan-dan-peredaran-gelap-narkoba-di-indonesia/, di akses pada tanggal 30 September 2011 pukul 19.51 WIB)

Adapun upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan perangkat hukum yang ada secara maksimal dan tepat sasaran agar tercipta keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan sanksi hukuman yang diterapkan serta menindak bagi siapa saja yang menghalangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lainnya untuk diajukan ke pengadilan untuk penyelesaian perkara secepatnya sesuai pasal 74 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997.

Saat ini dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dari luar negeri, POLRI melakukan juga kerjasama dengan kepolisian negara lain


(28)

berupa kerjasama antar negara, kawasan regional ASEAN maupun Internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui wadah Interpol. Kerjasama tersebut dapat berupa bantuan dalam penyidikan tindak pidana narkotika maupun kerjasama pendidikan melalui Jakarta Center for Law Enforcemet Coorperation (JCLEC) danUnited Nation on Drug and Crime(UNODC). Tentu saja kerjasama POLRI ini perlu didukung dan ditindak lanjuti oleh pemerintah negara dengan melakukan kerjasama antara pemerintah dalam bentuk kerjasama atau perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana.

B. Upaya Penanggulangan Peredaran Narkotika

Di Indonesia sendiri upaya penanggulangan sudah ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas tindak pidana narkotika dan obat-obat terlarang mulai dari membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakorlak) Inpres Nomor 6 Tahun 1971 yaitu Badan Nasional yang khusus menangani masalah penyalahgunaan zat dan obat terlarang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, lalu dikeluarkan lagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika untuk melengkapi Undang-Undang sebelumnya. Dan terakhir Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dikeluarkan karena Undang-Undang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.

Masyarakat Internasional sejak dulu juga sepakat bahwa peredaran gelap narkotika yang telah meresahkan umat manusia harus diberantas bersama-sama. Sehingga untuk menanggulangi perkembangan peredaran gelap narkotika ini


(29)

diikuti pula dengan langkah-langkah penanggulangan dari negara-negara yaitu berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika, sepertiConvention The Hague 1912, Convention on Psychotropic Subtances 1971 atau Konvensi Psikotropika 1971 sampai dengan konvensi mengenai pemberantasan tindak pidana narkotika transnasional,United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances1988, atau dikenal dengan Konvensi Wina 1988.

Pada saat sekarang ini Kepala Badan-Badan Penegak Hukum Anti Narkoba se-Asia dan Pasifik (Heads of National Drugs Law Enforcement Agencies Asia And The Pasifc/HONLAP) yang dibentuk dengan tujuan memajukan kerjasama penegakan hukum dalam mencegah dan memberantas perdagangan gelap narkoba di kawasan Asia dan Pasifik. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 :19)

HONLAP berhasil merumuskan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi antara lain: pentingnya peningkatan kerjasama antar negara di kawasan Asia Pasifik serta penyelarasan standar operasional prosedur yang terkait dengan pemberantasan peredaran narkotika yang melintasi batas negara. Selain itu, juga disepakati sejumlah kesepakatan dan rekomendasi strategis terkait dengan kerjasama penanggulangan tindak pidana kejahatan perdagangan narkotika di kawasan Asia Pasifik. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 : 20)

Rekomendasi lainnya adalah peningkatan pertukaran informasi antarnegara dan perhatian khusus terhadap sindikat pengedar narkotika yang berasal dari kawasan Afrika Barat yang beroperasi melalui lintas batas negara sehingga penanganannya diperlukan kerjasama dengan pertukaran data dan komunikasi yang intensif antar aparat penegak hukum anti narkotika di kawasan Asia Pasifik. Terkait upaya


(30)

untuk meningkatkan kerjasama dalam penanggulangan produksi gelap ATS (Amphetamine Type Stimulants), negara-negara peserta dari kawasan Asia Pasifik sepakat untuk memperketat upaya pengawasan prekursor (bahan kimia berbahaya yang bisa dijadikan obat), mengantisipasi peningkatan penyitaan prekursor dan cara penanganannya serta meningkatkan program-program drug signature analysisdalam kerangka penegakan hukum.

Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang sebagian besar wilayah merupakan perairan. Terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 diantaranya tidak berpenghuni, yang menyebar di sekitar khatulistiwa. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km2dan luas perairan laut mencapai 5,9 juta km2serta garis pantai mencapai 85 ribu kilometer. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 :11)

Kondisi geografis yang begitu luas itu menyebabkan rawannya terjadi penyeludupan narkotika ke wilayah Indonesia. Guna mencegah masuknya narkotika illegal ke wilayah Indonesia melalui jalur perairan, Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama TNI AL, POLRI, Perhubungan Laut, Badan Karantina dan Badan Pengawas Obat dan Makanan menggelar Latihan Operasi Maritim dalam upaya mencegah adanya penyeludupan narkotika. Latihan ini sering dilakukan di wilayah perairan Andaman, Selat Malaka, dan Laut Natuna. Ketiga wilayah perairan itu dipilih, mengingat jalur tersebut merupakan jalur potensial untuk terjadinya tindak pidana penyeludupan narkotika dan prekursor narkotika ke wilayah Indonesia. dan sebaiknya sudah seharusnya latihan gabungan ini dapat


(31)

dilakukan pula di wilayah Indonesia lainnya. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 : 11)

Upaya pemerintah dalam penanggulangan dan pemberantasan narkotika di Indonesia tidak berhenti di wilayah perairan saja, melainkan pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam penanggulangan peredaran narkotika di wilayah Indonesia. Berdasarkan studi, Provinsi DKI Jakarta, menduduki peringkat pertama, daerah yang memiliki kasus peredaran narkotika terbanyak di seluruh wilayah di Indonesia.

Peran masyarakat sebagai subyek pencegahan dalam komunitas sangat penting karena diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi, mencegah, memberantas dan melakukan penjangkauan dalam rangka terapi dan rehabilitasi. Kampanye anti narkoba dinilai sebagai salah satu langkah tepat untuk mengurangi ruang gerak peredaran narkotika.

Kondisi saat ini dimana peredaran narkotika sudah begitu memprihatinkan, barang haram itu sudah masuk ke segala lini. Bahkan di kampung yang padat penduduknya sekalipun, ditemukan tempat pembuatan narkotika. Maka, setiap kampanye dapat diharapkan akan menstimulasi masyarakat menjadi pelaku pencegahan penyebarluasan dan penyalahgunaan narkotika.

Pemerintah sendiri sudah memiliki strategi terbaru untuk pencegahan atau penanggulangan peredaran narkotika di Indonesia yaitu:


(32)

1. Strategi di Bidang Pencegahan

a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

2. Strategi di Bidang Pemberdayaan Masyarakat

a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan kampus bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin.

b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin. c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah

yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja.

d. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat terhadap masyarakat yang belum terkena narkotika, penyalahgunaan narkotika, dan pelaku peredaran gelap narkotika.

3. Strategi di Bidang Rehabilitasi

a. Upaya mengintensifkan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika. b. Upaya memberikan pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial


(33)

c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah penyalahgunaan narkoba.

d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkoba untuk mencegah terjadinya kekambuhan kembali (repalse).

4. Strategi di Bidang Pemberantasan

a. Upaya pengawasan yang ketat terhadap impor, produksi, distribusi, penggunaan (end user), ekspor, dan re-ekspor bahan kimia prekusor, dan penegakan hukum terhadap jaringan tersangka yang melakukan penyimpangan.

b. Upaya pengungkapan pabrik gelap narkoba dan/atau laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat.

c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika baik dalam maupun luar negeri secara sinergi.

d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan jaringan sindikat narkoba baik dalam maupun luar negeri secara sinergi.

e. Upaya penindakan yang tegas dan keras terhadap aparat penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya yang terlibat jaringan sindikat narkoba. f. Upaya peningkatan kerjasama antar aparat penegak hukum untuk


(34)

g. Upaya peningkatan kerjasama dengan aparat penegak hukum tingkat internasioanal guna pengungkapan jaringan sindikat luar negeri. (Kebijakan dan Strategi Nasional Di bidang P4GN, 2011 :39)

C. Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis atau semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagimana terlampir dalam Undang-Undang ini. (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

Zat/obat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika di golongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut: 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu


(35)

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. (A.R Sujono, 2011 : 56 )

Beberapa kawasan yang menjadi negara sumber atau keberangkatan peredaran gelap narkotika psikotropika antara lain:

1. Heroin

a. Thailand Myanmar Laos atau yang dikenal dengan sebutan negara Golden Triangle(Segitiga Emas)

b. Iran Pakistan Afganistan atau yang dikenal dengan negara Golden Crescent(Bulan Sabit Emas)

2. Kokain, banyak berasal dari Kolombia, Peru, Bolivia dan Brazil.

3. Methamphetamine (shabu-shabu), banyak berasal dari Hongkong dan Cina. 4. Ekstasi, banyak berasal dari Hongkong, Cina dan Belanda.

Istilah jenis narkotika dikalangan pecandu :

a. Amphetamine: Amfetamin; Amphetamin; Speed; Ice; Cat. b. Codein: Tyienol w/Codeine; Codate; Codephos.

c. Crack: Coke; Crack; Blow; Snow; Nose Candy. d. Diazepam: Valium, Seduxen.

e. Ekstasi: XTC; Fantasy pills; Inex; Cece; Ceiin; E; Kancing; Rolls; Beans; Adam; Flippers; Hammer.

f. Ganja: Marijuana; Gelek; Rasta; Dope; Weed; Hemp; Hash; Cimeng; Pot; Joint; Maryjane; Sinsemilla; Grass.

g. Heroin: Diacetil Morfin; Smack, Dope; Horse; Putauw; PT. h. Morfin: Morphine.


(36)

i. Kokain: Coke; Cocaine; Crack; Snaw; Girl; Lady. j. LSD: Lysergyc Acid Diethylamide

k. MDMA: 3,4-Methlenedioxymethamhetamine; XTC; Inex l. Magadon: Pil Nipam BK.

m. Putauw: Etep; Bedak; PT.

n. Shabu; Ubas; Sabu; SS; Ice; Kristal; Mecin. (Badan Narkotika Nasioal, 2009 : 20)

D. Pengertian Kejahatan Transnasional

Secara konsep, kejahatan transnasional merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam The Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Sebelumnya istilah yang terlebih dahuluberkembang adalah “Organized Crime”.

Unsur-unsur Transnasional adalah jika:

1. Conduct affecting more than one state (tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara).

2. Conduct uncluding or affecting of more than one state (tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara).

3. Means and methods transcend national boundaries (sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara).


(37)

Fijnaut dalam Transnational crime and the role of the United Nations in its Contaiment through internasional coorperation: A challenge for the 21st century menunjukan bahwa kata sifat ‘transnasional’ menunjukan bahwa semua jenis kejahatan tidak mengakui adanya batas-batas nasional. (European Journal of Crime, 2002: 127)

Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu. Menurut martin dan Romano

“transnational crime may be defined as the behavior of ongoing organizations that involves two or more nations, with such behavior being defined as criminal by at least one of these nations”.

(European Journal of Crime, Drug&Arms Trafficking, 1992: 119)

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya, dalam pandangan saya, jelas bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang lintas antarnegara. Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang. Pelakunya tak hanya individu dan kelompok juga bisa berperan sebagai sponsor tak sekedar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya.


(38)

Kejahatan transnasional disebut juga sebagai kejahatan yang merupakan musuh umat manusia atau yang lebih dikenal dalam istilah Latin sebagai hostis humani generis. Sebagai kejahatan transnasional, semua atau bagian terbesar negara-negara sangat berkepentingan untuk mencegah, memberantas dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu negara-negara di dunia cenderung untuk mencegah dan memberantasnya melalui kerjasama internasional dan mengaturnya dalam konvensi-konvensi internasional.

Beberapa konvensi internasional yang bertalian dengan kejahatan transnasional, antara lain adalah:

1. Konvensi London 1945, tentang Agreement of the Prosecution and Punishment of the Major War Criminal of the European Axis yang melahirkan Mahkamah Internasional di Nuremberg 1946, yang diadakan oleh negara-negara pemenang pada Perang Dunia Kedua. Konvensi ini dimaksudkan untuk mengadili dan menghukum para arsitek Jerman dan Italia. Tindakan mereka mengobarkan perang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdamaian yang telah banyak mengakibatkan kerugian bagi umat manusia di atas muka bumi ini. Demikian juga untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang Jepang untuk wilayah Timur Jauh, telah dibentuk Mahkamah Militer Internasional di Tokyo pada tahun 1948 oleh negara-negara sekutu yang menang perang.

2. Konvensi Genocide 1948 yang lengkapnya bernama Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diprakarsai oleh PBB dan mulai berlaku pada tahun 1951. Konvensi ini mendefinisikan genocide sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud


(39)

merusak dan memusnahkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama dengan jalan membunuh anggota kelompok tersebut yang mengakibatkan kerugian bagi mereka secara fisik dan mental, yang dengan sengaja menyiksa keadaan jiwa kelompok tersebut, melakukan tindakan-tindakan yang bersifat paksa untuk mencegah keturunan atau perkembangbiakan mereka, memindahkan secara paksa anak-anak kelompok tersebut ke dalam kelompok lainnya.

3. Konvensi-konvensi tentang penghapusan perbudakan seperti misalnya Slavery Convention tahun 1926 yang ditambah dan diperbaharui pada tahun 1953 disempurnakan lagi pada tahun 1956. Berdasarkan konvensi ini para pihak sepakat akan menyusun perundang-undangan nasional yang efektif serta akan melakukan tindakan-tindakan demi terhapusnya praktek-praktek perbudakan, atau yang berhubungan dengan itu seperti utang perbudakan, jual-beli manusia, eksploitasi tenaga anak-anak dan penjualan budak-budak antarnegara. Para pelakunya harus diadili dan dihukum dengan hukuman berat.

4. Konvensi tentang Laut Lepas 1958 pada pasal 14 sampai dengan 22 mengatur tentang Pembajakan di Laut Lepas yang merupakan pembajakan menurut hukum internasional yang berbeda dengan pengertian pembajakan menurut hukum nasional.

5. Tiga konvensi berkenaan dengan kejahatan penerbangan yakni: Konvensi Tokyo 1963 tentang “Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft” (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan-tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan dalam Pesawat Udara). Konvensi Den Haag 1970


(40)

tentang The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum) dan Konvensi Montreal 1971 tentang The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation” (Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil). Ketiga konvensi ini pada dasarnya adalah konvensi yang bertujuan mencegah kejahatan penerbangan.

6. Single Convention on Narcotic Drugs 1961 atau Konvensi Tunggal tentang Narkotika serta protokol yang mengubahnya yang diadakan di New York pada tahun 1961. Kejahatan ini tidak hanya membahayakan perorangan melainkan juga masyarakat, bangsa dan negara. Konvensi ini bertujuan mengatur dan mengawasi pembuatan, pengedaran dan penggunaan narkotika dan berusaha mencegah serta memberantas perbuatan melawan hukum yang membahayakan bertalian dengan narkotika

( I Wayan Parthiana. 1990: 42-46)

Tidak setiap negara mau bertindak cepat untuk meratifikasi konvensi tentang kejahatan transnasional, dan mengaturnya dalam hukum nasionalnya. Sebagai akibatnya pada negara-negara yang belum meratifikasi serta hukum pidana nasionalnya tidak satu pasal pun mengaturnya, maka pelaku kejahatan transnasional itu tetap tidak dapat diadili dan dihukum.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan kejahatan transnasional ini adalah kaitannya dengan asas non-extradition of political


(41)

criminal yang merupakan salah satu asas dari ekstradisi. Isi pokok dari asas ini adalah negara yang diminta harus menolak permintaan negara-peminta untuk menyerahkan orang yang diminta dan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan oleh negara-peminta adalah merupakan kejahatan politik.

Mengingat sifat dan ciri-ciri kejahatan transnasional itu sendiri yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara serta bahaya dan akibatnya bagi masyarakat internasional dan dipandang sebagai hostis humani generis, sudah selayaknya dihapuskan saja sifat politiknya sehingga dengan demikian termasuk kejahatan yangextradible. Demikian pula maksud dari si pelaku kejahatan untuk berlindung dan bersembunyi di balik kejahatan politik sekedar untuk menghindari penyerahan dapat dibatasi khususnya apabila kejahatan yang dilakukannya itu merupakan kejahatan transnasional.

Lebih terpuji langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara di dunia apabila dalam setiap perundingan dalam rangka merumuskan pengaturan tentang suatu kejahatan transnasional, dihapuskan sifat politiknya dan dinyatakan sebagai kejahatan yang extraditable. Penegasan tentang penghapusan sifat politik kejahatan transnasional itu dan pernyataan sebagai extraditable dapat dicantumkan baik dalam perjanjian-perjanjian ektradisi, dalam konvensi secara langsung, maupun dalam perundang-undangan nasional tentang ekstradisi.


(42)

E. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Kelima faktor yang menjadi barometer dalam penegakan hukum (Soerjono Soekanto, 1983:4), untuk melihat faktor penghambat dan pendorong didalam pelaksanaan tugasnya maka dijabarkan sebagai berikut:

1. Faktor hukum

Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana tentang peredaran narkotika, baik dalam membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika apapun golongannya.

Kerjasama antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika juga harus dikembangkan karena tidak mungkin suatu negara dapat memberantas peredaran narkotika yang sudah mendunia ini sendirian. Didalam penyidikan terhadap kejahatan peredaran gelap narkotika yang berdimensi internasional ini, seringkali penyidik dihadapkan pada birokrasi dan sistem hukum yang berbeda sehingga proses penyidikan terhambat bahkan tidak dapat dilakukan penuntutan.

2. Kepribadian atau mentalitas penegak hukum

Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah kepribadian dan mentalitas penegak hukum, dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa


(43)

dan terlihat harus diaktualisasikan. Kemampuan anggota kepolisian dalam melakukan koordinasi dan negoisasi dengan kepolisian luar negeri masih rendah. Disamping belum adanya kesepahaman POLRI dengan Kepolisian luar negeri dalam penanganan pelaku dan peredaran gelap narkotika. Hingga saat ini, harus diakui mental para anggota bagian narkotika sangat lemah karena masih banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

3. Fasilitas pendukung

Faktor penegakan hukum dalam hal ini harus disertai dengan pendidikan dikarenakan pendidikan yang diterima oleh para aparat penegak hukum dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional sehingga dalam banyak hal aparat penegak hukum mengalami hambatan dalam tugasnya. Anggota kepolisian harus membangun kemampuan dan kualitas dengan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan khusus dalam penyidikan dan penyelidikan dalam kejahatan narkotika. Maka faktor pendidikan yang dipunyai aparat penegak hukum harus dapat diterapkan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk dapat menunjukan pada masyarakat tingkat keprofesionalannya dalam penegakan hukum di masyarakat itu sendiri.

4. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat

Setiap warga masyarakat itu pasti mempunyai kesadaran hukum yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sebagaimana diketahui kesadaran hukum sebenarnya merupakan proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum, dan prilaku hukum. Maka apabila kesadaran masyarakat dan kepatuhan pada hukum sudah


(44)

tinggi, keadilan kenyamanan dalam bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan sangat baik.

Beberapa lingkungan tempat yang sering menjadi sasaran peredaran gelap narkotika antara lain lingkungan pergaulan dan tempat hiburan (diskotik, karaoke, pub), lingkungan pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun swasta bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan POLRI sendiri di dapati kasus penyalahgunaan narkotika, lingkungan pendidikan sekolah, tempat kost, apartemen maupun hotel.


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan skripsi ini, dilakukan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang ada dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara melihat kenyataan yang ada dalam praktek (dilapangan) sehubungan dengan upaya pemberantasan narkotika secara transnasional. Yang kaitannya dengan Upaya POLRI dalam Pemberantasan Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional. Maka, maka penulis menitikberatkan yuridis empiris.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dan masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1984: 11), data tersebut yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara atau koesioner dengan pihak kepolisian di Polda Metro Jaya bagian Reserse Narkoba dan Direktorat Narkoba Bareskrim POLRI. Adapun sumber data


(46)

yang penulis peroleh berupa keterangan-keterangan POLRI tentang upaya POLRI dan hambatan yang dialami dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer adalah produk-produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan dan konvensi-konvensi Internasional, yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer, dalam hal ini terdiri dari:

1. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba 2011-2015.

2. PP RI Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini


(47)

terdiri dari: Kamus Besar Bahasa Indonesia; Buku-buku tentang tindak pidana narkotika; Buku-buku tentang POLRI; Jurnal BNN; Media internet seperti www.google.com, www.interpolindonesia.int, www.liputan6.com.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu keseluruhan dari obyek atau obyek penelitian (Burhan Ashshofa, 1998: 79). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah pihak kepolisian di Polda Metro Jaya bagian Reserse Narkoba, Direktorat Narkoba BARESKRIM POLRI dan dosen fakultas hukum Universitas Lampung. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode Purposive Sample, yang berarti sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap yang hendak digambarkan dan dicapai.

Sampel yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Anggota di Direktorat Narkoba BARESKRIM POLRI berjumlah 2 orang. 2. Anggota di Reserse Narkoba di Polda Metro Jaya berjumlah 2 orang.

3. Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung berjumlah 1 orang.

Sample yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini berjumlah 5 orang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data


(48)

a. Data Primer, yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan Polisi di Polda Metro Jaya bagian Reserse Narkoba dan Direktorat Narkoba Bareskrim POLRI, Dosen pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

b. Data Sekunder, dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan ini serta studi kepustakaan, yakni membaca buku-buku dan laporan hasil-hasil penelitian tentang pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional, kemudian mengutip hal-hal yang diperlukan dalam penulisan.

2. Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengelola data adalah, sebagai berikut: a. Editing,yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah

data yang diperoleh itu relavan dan sesuai dengan bahasan. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

b. Sistematisasi,yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Analisis data dimaksudkan untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca dan dipahami. Pada penelitian ini data yang diperoleh penulis kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan data-data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk penjelasan kalimat, guna mendapatkan pengertian-pengertian tertentu dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Berdasarkan hasil


(49)

analisis data tersebut akan ditarik suatu kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dan hal-hal yang bersifat khusus kearah sifat yang lebih umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan.


(50)

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada hasil penelitian dan pembahasan, maka pada bagian penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari pembahasan tentang upaya POLRI dan hambatan yang dialami dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional. Selain itu dalam rangka mengoptimalkan hasil hasil penelitian dalam skripsi ini, maka dikemukakan beberapa saran guna meningkatkan upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional. A. Kesimpulan

1. Upaya POLRI dalam pemberantasan peredaran narkotika sebagai salah satu kejahatan transnasional dilakukan dengan 4 (empat) upaya yaitu:

1. Upaya Pre-emtif seperti Pihak kepolisian membuat penyuluhan agar memberi informasi kepada masyarakat tentang fakta peredaran narkotika di Indonesia. Diharapkan masyarakat dapat ikut serta dalam memberantas peredaran narkotika di Indonesia.

2. Upaya Preventif seperti dilakukan pengawasan yang ketat pada peredaran narkotika secara transnasional. Pemerintah sudah bekerja sama dengan beberapa negara, yaitu Malaysia, Singapura, Filipina, Australia, Amerika Serikat, Republik Demokratik Laos, Iran, dan Cina. Contoh kerjasama yang dilakukan adalah sebagai pusat pengumpulan data, analisa data,


(51)

melakukan koordinasi dengan pertukaran informasi tentang penyeludupan narkotika maupun jaringan narkotika antar negara, meningkatkan kerjasama antara dua negara mencegah produksi dan peredaran narkotika, pertukaran pengalaman, penelitian, pengobatan, dan rehabilitasi, pembahasan penyelidikan bersama.

3. Upaya Represif seperti upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sangsi yang tegas dan konsisten sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku untuk membuat efek jera bagi para pengguna dan pengedar narkoba.

4. Upaya Rehabilitasi seperti usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba/obat terlarang dalam lembaga tertentu, sehingga diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja dan belajar serta hidup dengan layak.

2. Faktor penghambat POLRI dalam memberantas peredaran narkotika secara transnasional adalah

1. Faktor hukum yaitu belum adanya perjanjian ektradisi dengan beberapa negara seperti singapura, pelaksanaan hukuman atau eksekusi di Indonesia masihlah belum dapat terlaksana dengan baik, kewenangan dalam memberikan keputusan adalah mutlak kewenangan hakim bukan dari POLRI jadi keyakinan seorang hakim dalam mengambil keputusan tidak mempunyai tolak ukur yang pasti;


(52)

2. Faktor Kepribadian atau mentalitas penegak hukum yaitu sumber daya yang dimiliki kepolisian terkait penanganan narkotika terbilang masih sangat minim, kemampuan anggota dalam melakukan koordinasi dan negosiasi dengan kepolisian luar negeri masih rendah, dan terkendala pada kurangnya koordinasi antara instansi-instansi yang terlibat dalam penanganan narkotika;

3. Faktor pendukung yaitu peralatan yang dimiliki tidak bisa dibilang memadai dan lengkap, minimnya anggaran untuk biaya oprasional;

4. Faktor kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat yaitu keterlibatan masyarakat yang didorong persoalan ekonomi dan rendahnya rasa kepedulian masyarakat dengan apa yang terjadi disekitarnya;

B. Saran

1. Untuk memaksimalkan upaya yang dilakukan pihak kepolisian maka sangat perlu untuk menambah aparat penegak hukum kesatuan narkotika. Selain menambah aparat adalah memfasilitasi aparat dengan peralatan untuk mendeteksi narkotika yang canggih dan tentunya merata ke semua wilayah Indonesia baik di daerah perbatasan darat maupun laut.

2. Perlunya dianggarkan dana oprasional yang cukup untuk memberantas peredaran narkotika

3. Membuat perjanjian kerjasama dengan seluruh negara dan membuat perjanjian ekstradisi.


(53)

Oleh

CHRIST INGGREET A.P

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(54)

(Skripsi)

Oleh

CHRIST INGGREET A.P

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(55)

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Pidana Internasional. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Budianto. 1989.Narkoba dan Pengaruhnya. Bandung: Ganeca Exact.

Hamzah, Andi. 1994.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: PT.Rineka Cipta

Parthiana, I Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: mandar Maju.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali

__________. 1984.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sujono, A.R. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

Universitas Lampung. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. 2008. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Direktorat IV/Narkoba. 2009. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Polda Metro Jaya.

European Journal of Crime. 2002. Jakarta: Badan Narkotika Nasional.

European Journal of Crime, Drug&Arms Traffiking. 1992. Jakarta: Badan Narkotika Nasional.

Jurnal Badan Reserse Kriminal Khusus POLRI. 2010. Jakarta: Badan Reserese Nakotika

Jurnal Badan Narkotika Nasional edisi 10. 2009. Jakarta : Badan Narkotika Nasional.

Jurnal Badan Narkotika Nasional edisi 12. 2009. Jakarta: Badan Narkotika Nasional.


(56)

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

http://interpolindonesia.int/ http://artikata.com

www.polri.go.id www.liputan6.com


(57)

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.H. NIP. 196211091987031003


(58)

Nama Mahasiswa : CHRIST INGGREET ANGKASA PUTRI Nomor Pokok Mahasiswa : 0812011134

Program Studi : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP 196112311989031023 NIP 19770602005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(59)

Masalah adalah hal biasa dalam hidup, tetapi percaya kalau punya Tuhan yang luar biasa

Menunggu kesuksesan adalah tindakan sia-sia yang bodoh

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua (Aristoteles)

Apabila anda berbuat kebaikan kepada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri sendiri (Benyamin Franklin)


(60)

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk setiap berkat yang selalu senantiasa mengalir dalam hidupku ini. Kupersembahkan dengan segala kerendahan hati karya ini

untuk Juruslamatku, Tuhan Yesus Kristus dan keluargaku semoga menjadi sebuah kebanggaan.

Papaku AKP. Walter Pasaribu dan Mamaku Nuria Erika Panjaitan

Yang selalu senantiasa memberikan dukungan dan segala kasih sayang terutama doa yang tiada henti untuk keberhasilan ini,

Adikku Charisma Fajar Angkasa Putra dan Christina Angelina yang telah banyak memberi semangat dan dukungan doa yang tak henti-hentinya,

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan doa untuk keberhasilanku, terima kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang

kita lalui bersama Serta Almamaterku tercinta...


(61)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 08 April 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak AKP. Walter Pasaribu dan Ibu Nuria Erika Panjaitan.

Penulis mengawali jenjang Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Wulan Kelapa Dua Wetan pada tahun 1995-1996. Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1996-2002 di Sekolah Dasar Negeri Kelapa Dua Wetan 01 pagi. Pada tahun 1996-2002-2005 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 09 Ciracas Jakarta Timur. Dan Pada tahun 2005-2008 penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 88 Jakarta Timur.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana. Dalam rangka menyelesaikan studinya di Universitas Lampung penulis juga pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Pekon Pisang Indah, Kecamatan Bumi Agung, Kabupaten Way Kanan.


(62)

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Upaya Polri Dalam Pemberantasan Peredaran Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional”ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah berperan dalam studi dan proses penyusunan skripsi saya ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Heriandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung;

3. Bapak Prof. Dr. I. Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Satu atas waktu, ilmu, kesabaran, dan kesediaannya memberikan bimbingan, saran, kritik, serta nasehatnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(1)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk setiap berkat yang selalu senantiasa mengalir dalam hidupku ini. Kupersembahkan dengan segala kerendahan hati karya ini

untuk Juruslamatku, Tuhan Yesus Kristus dan keluargaku semoga menjadi sebuah kebanggaan.

Papaku AKP. Walter Pasaribu dan Mamaku Nuria Erika Panjaitan

Yang selalu senantiasa memberikan dukungan dan segala kasih sayang terutama doa yang tiada henti untuk keberhasilan ini,

Adikku Charisma Fajar Angkasa Putra dan Christina Angelina yang telah banyak memberi semangat dan dukungan doa yang tak henti-hentinya,

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan doa untuk keberhasilanku, terima kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang

kita lalui bersama Serta Almamaterku tercinta...


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 08 April 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak AKP. Walter Pasaribu dan Ibu Nuria Erika Panjaitan.

Penulis mengawali jenjang Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Wulan Kelapa Dua Wetan pada tahun 1995-1996. Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1996-2002 di Sekolah Dasar Negeri Kelapa Dua Wetan 01 pagi. Pada tahun 1996-2002-2005 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 09 Ciracas Jakarta Timur. Dan Pada tahun 2005-2008 penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 88 Jakarta Timur.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana. Dalam rangka menyelesaikan studinya di Universitas Lampung penulis juga pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Pekon Pisang Indah, Kecamatan Bumi Agung, Kabupaten Way Kanan.


(3)

SANWACANA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Upaya Polri Dalam Pemberantasan Peredaran Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional”ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah berperan dalam studi dan proses penyusunan skripsi saya ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Heriandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung;

3. Bapak Prof. Dr. I. Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Satu atas waktu, ilmu, kesabaran, dan kesediaannya memberikan bimbingan, saran, kritik, serta nasehatnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(4)

5. Ibu Maya Shafira S.H., M.H. selaku Pembimbing Dua atas waktu, ilmu, kesediannya memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembahas Satu sekaligus Penguji Utama pada Ujian Skripsi yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Deni Achmad S.H., M.H. selaku Pembahas Dua yang telah banyak membantu dan memberi saran dalam penulisan skripsi ini;

8. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada umumnya dan di Jurusan Hukum Pidana pada khususnya atas segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan dan menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

9. Kedua orang tuaku tersayang AKP Walter Pasaribu dan Nuria Erika Panjaitan yang dengan cinta kasihnya selalu berjuang untuk mencukupi kebutuhan penulis, menguatkan disaat penulis membutuhkan dukungan, serta yang tak pernah luput mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan penulis. Terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan serta jasa Mama dan Papa yang telah menghantarkan ke depan pintu gerbang kesuksesan. Untuk segala sesuatu yang tak mungkin dapat aku balas, semoga kelak dikemudian hari dapat membahagiakan dan menjadi kebanggaan kalian;

10. Adikku Charisma Fajar Angkasa Putra dan Christina Angelina, terima kasih atas dukungannya serta doa yang telah diberikan., semoga aku dapat menjadi contoh yang baik untuk kalian;


(5)

11. Bapaktua AKBP Mangalatua Pasaribu S.Sos. yang telah senantiasa memberikan ide-ide dalam pembuatan skripsi, serta keluarga besar dari Keluarga Pasaribu maupun Panjaitan yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

12. Sahabat-sahabatku Meilynda Stephany, Silva Marsulina, Metta Mustika Septiani, Putu Ayu Putri Anggraeni, Berlin Prabowo, Radot Hasoloan, Yuliana yang tak pernah putus komunikasi setelah lulus SMP maupun SMA, terimakasih atas kebersamaan dan perhatiannya selama ini;

13. Terimakasih juga kuucapkan kepada Adhelina Putri Asih L.Tobing, Nirawati, Idha Rachmani Manihuruk, Fernando Roy Augustinus Marbun yang selalu senantiasa menemani hari-hari di tempat perantauan ini terutama di Universitas Lampung,

14. Teman seperjuangan saat sesampainya di Lampung, Idha Rachmani, Mario Napitupulu, Kenmer Stephen, M.Insan Kamil Nasution, Ike Ari Kusuma, Mario Jeremia Nainggolan, Hendra Norman Swarsof Pardede, terima kasih atas kebersamaan dan kegilaan yang kalian berikan;

15. Kawan-kawan Fakultas Hukum Unila: Immanuel Tobing, Aziza Nurhayatun, Ansari Nurmalinda, Rudi Pardosi, Revan Tambunan, Suntan Satriareva, Galuh Kafhi Hussein, Rendy Adithia Putra, Randhi Hasiholan, Danil Januar Napitupulu, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan yang telah kalian berikan kepadaku selama kita menuntut ilmu di Unila.

16. Teman-teman KKN Pekon Pisang Indah, Kecamatan Bumi Agung, Kabupaten Way Kanan yaitu Karina Devia Putri, Fiqhi Citra Ristiana,


(6)

Chyntia Giska, Saur Sinurat, Anita Octavia dan Idha Rachmani yang telah membuat 40 hari tidak terasa saat Kuliah Kerja Nyata dan sampai saat ini kita masih menjalin komunikasi.

17. AKBP K. Lubis, S.Sos., S.H., M.H., AKBP Jumaedi Raharjo, S.H., M.H., AKP Subarto, S.H., M.M., dan AKBP Khalidi, S.H., M.M. yang telah membantu memberikan informasi dan bersedia untuk diwawancarai demi terlaksananya penelitian skripsi ini;

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan sehingga penulis dapat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Penulis berharap skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terima Kasih

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis