Tinjauan Yuridis Waralaba (Franchise) sebagai Perjanjian Innominat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Riset di Kentucky Fried Chicken di Kota Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS WARALABA (FRANCHISE) SEBAGAI PERJANJIAN INNOMINAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA INDONESIA (Riset di Kentucky Fried Chicken di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh: Khairuna Malik Hasibuan

060200120

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS WARALABA (FRANCHISE) SEBAGAI PERJANJIAN INNOMINAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA INDONESIA (Riset di Kentucky Fried Chicken di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh: Khairuna Malik Hasibuan

060200120

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP. 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS Sunarto Ady Wibowo SH, M.Hum NIP. 196204211988031004 NIP. 195203301967011001


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Waralaba (Franchise) sebagai Perjanjian Innominat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Riset di

Kentucky Fried Chicken di Kota Medan)”

Tujuan penulis menulis skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan program studi Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan ini dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I; 3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II; 4. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III;

5. Bapak Prof. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan juga sebagai Dosen Pembimbing I;

6. Bapak Sunarto Ady Wibowo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II; 7. Ibu Puspa Melati, SH, M. Hum, selaku Ketua Program Kekhususan


(4)

8. Bapak M.Nuh, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis, dan seluruh dosen beserta Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan;

9. Kak Sarifah, SH, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini;

10.Instansi terkait dalam hal ini PT. Fastfood Indonesia Tbk (Kentucky Fried

Chicken), dan khususnya kepada Bapak Richard selaku General

Administrasi Officer yang telah meluangkan waktunya kepada Penulis untuk melakukan wawancara sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini;

11.Papa dan Mama tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, doa dan berbagai dukungan baik moril maupun materiil yang tak henti-hentinya kepada Penulis agar lancar dalam menyelesaikan skripsi ini; 12.M.Husni Malik Hsb, ST., M.Saleh Afif Hsb, M. Ariz Dloli Hsb selaku

abang dan adik-adik Penulis serta Rasid, Kak Yanti, Kak Butet yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya kepada Penulis;

13.Ompung Zulfirman, SH, M.Hum, yang telah memberikan dukungan dan arahan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

14.Keluarga besar dari Papa dan Mama yang turut memberikan doa dan semangatnya kepada Penulis terutama;


(5)

15.Teman-temanku tersayang yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada Penulis, Anggina Masdalifah (Kak Na), Kiki Anggrita, Agni Muhaerani, Tifani Harsono, Khairunnisa (Ica Riau);

16.Teman-teman seperjuangan, Rizka Mauliyan yang selalu menemani, mengingatkan, saling mendukung, dan banyak membantu Penulis dalam setiap hal terutama dalam kelancaran skripsi ini, Siti Maimana yang selalu mendorong Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, Putri Hafwany yang telah berbaik hati menemani Penulis kesana-kemari dalam mencari tempat riset dan berbagai bantuan lainnya, terimakasih. Lesly Saviera yang selalu bersedia membantu, menjawab segala pertanyaan dan menyemangati Penulis, Dina Kristina yang juga mendukung Penulis terus-terusan untuk mengejar ketertinggalan dan memberi bantuan ataupun informasi, Faradila Yulistari terimakasih atas doa dan dukungannya, Dewi Marpaung, Netti Octris, Khairunnisa Ginting, Putri Nesia, Ayu, Haya, Annisa Lokita yang juga telah banyak memberi dukungan kepada Penulis; 17.Ok Zulchairi Madjrul (Ai) yang telah menemani, mendukung, memberi

semangat, dan mengingatkan Penulis setiap hari untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terimakasih sayang;

18.Kak Fitri, Bang Iqbal, Bang Budi, Bang Arfan khususnya Kak Erni yang telah banyak sekali membantu dan memberi semangat;

19.Wulan, Maya, Dea yang telah memberikan dukungan dan pengertiannya untuk absen dalam pertemuan-pertemuan kecil kita. Demmy Wira dan Bang Dani, terimakasih atas dukungan, semangat dan saran-sarannya;


(6)

20.Keluarga Besar HMI Komisariat FH USU terutama dari KORPS HMIWati (KOHATI) FH USU dan Keluarga Besar BTM Aladdinsyah, SH;

21.Teman-temanku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2006, Herman Chandra, Rizky Kurnia, Indra Lesmana, M. Prima Dendi, Sudirman Naibaho, Ahmad, Nanda, Yoppie, Rizky, Jimmy, Adit Ampun, Christina, Gisela, Sonti, Sheila Miranda, Nina, Beby, Anggi, Maya, Mustika, Felicia Halim, Dewi, Achmad Fadil, Dian, Ayu;

22.Dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, Penulis ucapkan banyak terima kasih.

Tiada sesuatu di dunia ini yang sempurna termasuk pula dalam penulisan skripsi ini, maka Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan sebelumnya Penulis memohon maaf bilamana terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati.

Akhir kata Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan kelancaran dalam menjalankan hidup dikemudian hari. Harapan Penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Medan, Februari 2009


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penelitian ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian... 13

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 18

B. Jenis-Jenis Perjanjian ... 21

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian... 24

D. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Hukum Perjanjian ... 28

E. Wanprestasi dalam Perjanjian ... 30


(8)

BAB III TINJAUAN YURIDIS TENTANG WARALABA

A. Pengertian Waralaba ... 38

B. Perjanjian Waralaba sebagai Perjanjian Innominat ... 41

C. Bentuk-Bentuk Waralaba... 44

D. Unsur-Unsur Perjanjian Waralaba... 46

E. Pengaturan Yuridis Terhadap Perjanjian Waralaba ... 48

BAB IV TINJAUAN YURIDIS WARALABA (FRANCHISE) SEBAGAI PERJANJIAN INNOMINAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (RISET DI KENTUCKY FRIED CHICKEN DI KOTA MEDAN) A. Karakteristik Yuridis dalam Perjanjian Waralaba... 53

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba... 62

C. Penyelesaian Perselisihan yang Timbul dalam Perjanjian Waralaba... 73

D. Berakhirnya Perjanjian Waralaba... 76

BAB V SARAN DAN KESIMPULAN A. Kesimpulan... 82

B. Saran... 85

LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... vii


(9)

ABSTRAK

Dalam era globalisasi dewasa ini, pertumbuhan ekonomi terasa semakin meningkat dan kompleks, termasuk pula didalamnya mengenai bentuk kerjasama bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha asing di Indonesia sebagai dampak era globalisasi tersebut. Dalam bidang perdagangan dan jasa, salah satu usaha yang berkembang saat ini adalah usaha yang menggunakan sistem waralaba (franchise). Waralaba merupakan suatu sistem bisnis yang berbeda dengan sistem bisnis lainnya karena mempunyai karakteristik tersendiri. Dan, di dalam suatu perjanjian waralaba, diatur pula berbagai aturan yang berkenaan dengan kepentingan para pihak, antara lain berisi mengenai hubungan para pihak, penyelesaian perselisihan apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak dan juga berisi mengenai jangka waktu berakhirnya waralaba ataupun sebab lain yang menyebabkan berakhirnya perjanjian waralaba. Dari uraian di atas Penulis mengemukakan bahwa permasalahan pada skripsi ini adalah karakteristik yuridis dari perjanjian waralaba, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba, penyelesaian perselisihan yang timbul dalam perjanjian waralaba, dan berakhirnya perjanjian waralaba.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku yang berkaitan, penulis juga melakukan wawancara dengan bagian General Administrasi Officer PT. Fastfood Indonesia Tbk. Dan di dalam menganalisis data, maka penulis menggunakan analisis kualitatif.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data bahwa waralaba mempunyai karakteristik yuridis yang membedakannya dengan perjanjian lainnya. Di dalam suatu perjanjian waralaba terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai kepentingan para pihak yang bersepakat, antara lain mengenai hubungan antara para pihak, merupakan hubungan timbal balik, artinya hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan perjanjian itu tidak terlaksana dengan baik maka, secara tegas para pihak juga mengatur mengenai hal ini di dalam kontrak, dan penyelesaian perselisihan ini dilakukan melalui lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri, tetapi sebelum itu, diupayakan musyawarah terlebih dahulu. Di dalam perjanjian waralaba, diatur pula mengenai berakhirnya suatu perjanjian waralaba. Dalam hal ini, berakhirnya suatu perjanjian selain telah habisnya jangka waktu yang diperjanjikan, juga diakibatkan karena adanya tindakan yang tidak mengikuti aturan main dan standar yang ditentukan, atau melakukan pelanggaran berat terhadap kondisi dan persyaratan dalam perjanjian waralaba. Hal-hal di atas ini penting untuk diatur secara tegas di dalam kontrak, dan selanjutnya dapat dimengerti dan dipahami pula oleh para pihak sebelum penandatanganan kontrak, untuk menghindari sengketa dan untuk kelangsungan usaha yang dijalankan agar dapat mempertahankan citra yang baik di tengah masyarakat.


(10)

ABSTRAK

Dalam era globalisasi dewasa ini, pertumbuhan ekonomi terasa semakin meningkat dan kompleks, termasuk pula didalamnya mengenai bentuk kerjasama bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha asing di Indonesia sebagai dampak era globalisasi tersebut. Dalam bidang perdagangan dan jasa, salah satu usaha yang berkembang saat ini adalah usaha yang menggunakan sistem waralaba (franchise). Waralaba merupakan suatu sistem bisnis yang berbeda dengan sistem bisnis lainnya karena mempunyai karakteristik tersendiri. Dan, di dalam suatu perjanjian waralaba, diatur pula berbagai aturan yang berkenaan dengan kepentingan para pihak, antara lain berisi mengenai hubungan para pihak, penyelesaian perselisihan apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak dan juga berisi mengenai jangka waktu berakhirnya waralaba ataupun sebab lain yang menyebabkan berakhirnya perjanjian waralaba. Dari uraian di atas Penulis mengemukakan bahwa permasalahan pada skripsi ini adalah karakteristik yuridis dari perjanjian waralaba, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba, penyelesaian perselisihan yang timbul dalam perjanjian waralaba, dan berakhirnya perjanjian waralaba.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku yang berkaitan, penulis juga melakukan wawancara dengan bagian General Administrasi Officer PT. Fastfood Indonesia Tbk. Dan di dalam menganalisis data, maka penulis menggunakan analisis kualitatif.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data bahwa waralaba mempunyai karakteristik yuridis yang membedakannya dengan perjanjian lainnya. Di dalam suatu perjanjian waralaba terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai kepentingan para pihak yang bersepakat, antara lain mengenai hubungan antara para pihak, merupakan hubungan timbal balik, artinya hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan perjanjian itu tidak terlaksana dengan baik maka, secara tegas para pihak juga mengatur mengenai hal ini di dalam kontrak, dan penyelesaian perselisihan ini dilakukan melalui lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri, tetapi sebelum itu, diupayakan musyawarah terlebih dahulu. Di dalam perjanjian waralaba, diatur pula mengenai berakhirnya suatu perjanjian waralaba. Dalam hal ini, berakhirnya suatu perjanjian selain telah habisnya jangka waktu yang diperjanjikan, juga diakibatkan karena adanya tindakan yang tidak mengikuti aturan main dan standar yang ditentukan, atau melakukan pelanggaran berat terhadap kondisi dan persyaratan dalam perjanjian waralaba. Hal-hal di atas ini penting untuk diatur secara tegas di dalam kontrak, dan selanjutnya dapat dimengerti dan dipahami pula oleh para pihak sebelum penandatanganan kontrak, untuk menghindari sengketa dan untuk kelangsungan usaha yang dijalankan agar dapat mempertahankan citra yang baik di tengah masyarakat.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi dewasa ini, pertumbuhan ekonomi terasa semakin meningkat dan kompleks, termasuk pula didalamnya mengenai bentuk kerjasama bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha asing di Indonesia sebagai dampak era globalisasi tersebut. Dalam bidang perdagangan dan jasa, salah satu usaha yang berkembang saat ini adalah usaha waralaba (franchise).

Waralaba adalah suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek, bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional.1

Perjanjian waralaba meliputi kiat-kiat bisnis berupa metode-metode dan prosedur pembuatan, penjualan, dan pelayanan yang dilakukan oleh Pemberi

Waralaba didasarkan pada suatu perjanjian yang disebut perjanjian waralaba. Bentuk perjanjian waralaba ini paling tidak melibatkan dua pihak. Pihak pertama disebut Pemberi Waralaba yaitu sebagai pemilik produk, jasa, atau sistem operasi yang khas dengan merek tertentu yang biasanya telah dipatenkan. Pihak kedua, Penerima Waralaba sebagai perorangan dan/atau pengusaha yang menjalankan usaha dengan menggunakan nama dagang, logo, desain, merek milik Pemberi Waralaba dengan memberi royalti kepada Pemberi Waralaba.

1

Rooseno Hardjowidigdo, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah

Pertemuan Ilmiah Tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, Jakarta : BPHN, 14-16 Des 1993, hal 5.


(12)

Waralaba dan juga memberikan bantuan dalam periklanan dan promosi serta pelayanan konsultasi.2

Hubungan antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba merupakan suatu hubungan timbal balik. Di satu sisi, Penerima Waralaba memberi bantuan kepada Pemberi Waralaba dan di sisi lain Penerima Waralaba memberi keuntungan/royalti kepada Pemberi Waralaba sehingga keduanya saling bekerjasama dalam meningkatkan pemasaran produknya di tengah masyarakat melalui tata cara yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba. ”Dengan bantuan modal dari Penerima Waralaba yang juga ikut menanggung resiko, dan mempunyai dedikasi tinggi, maka pertumbuhan perusahaan dapat berjalan dengan lancar dan ringan.”

Hubungan hukum antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba juga diatur dalam kontrak yang berwujud kedalam hak dan kewajiban para pihak. Hal ini berarti, adanya keterkaitan antara para pihak untuk mematuhi isi dari perjanjian yang apabila dilanggar dapat menimbulkan akibat hukum sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian waralaba.

3

Pada dasarnya, perjanjian waralaba merupakan pemberian izin dari Pemberi Waralaba untuk memakai Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) kepada Penerima Waralaba dengan membayar royalti atas pemakaian HaKI tersebut atau dapat

Jadi, keseimbangan hak dan kewajiban antara pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba harus diwujudkan di dalam perjanjian waralaba guna memberikan kepastian ataupun perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

2

H. Moch. Basarah & H.M. Faiz Mufidin, Bisnis Franchise dan Aspek-Aspek Hukumnya,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008 hal. 34. 3

Joseph Mancuso & Donald Boroian, Pedoman Membeli & Mengelola Franchise,


(13)

dikatakan sebagai pemberian lisensi yang meliputi berbagai HaKI Pemberi Waralaba misalnya, nama dagang, logo, desain ataupun paten. Disamping itu, perjanjian waralaba berkaitan pula dengan perjanjian-perjanjian lainnya, misalnya perjanjian hutang-piutang, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli.

Di Indonesia, waralaba bukanlah suatu hal yang baru. Waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dan semakin berkembang pada tahun 1980-an ketika masuknya waralaba asing ke Indonesia, seperti Kentucky Fried Chicken (KFC),

Mc Donald’s, Burger King dan Wendy’s. Waralaba lokal pun mulai berkembang pada masa itu dan tumbuh hingga kini mengalami kejayaan yang berawal dari sebuah pemikiran bahwa bisnis waralaba terbukti sukses memacu perekonomian di berbagai negara maju seperti Amerika, Inggris dan Perancis. Tidak hanya itu, bisnis waralaba juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup banyak bagi tenaga kerja.

Pada saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997, bisnis waralaba mengalami kemerosotan dikarenakan terpuruknya nilai rupiah sehingga banyak waralaba asing yang terpaksa menutup usahanya. Setelah krisis moneter mulai mereda, bisnis waralaba mulai tumbuh kembali dan pada saat itu bisnis waralaba lokal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini digunakan oleh pelbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon rambut, photo, hotel, dealer mobil, dan sebagainya.4

4

Peni Rinda Listyawati, Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innomenaat dalam

Pandangan Hukum Perdata, Jurnal Hukum Vol. XVII No.2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, 2006 hal. 186.


(14)

Fried Chicken (KFC) yang berada di berbagai tempat, dan contoh usaha waralaba lokal yang sedang berkembang di Indonesia adalah Indomaret yang dapat dilihat dengan menyebarnya outlet-outletnya di berbagai tempat.

Bisnis waralaba telah berkembang pesat di Indonesia, walaupun demikian sebelum tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus mengatur mengenai waralaba. Sebelum adanya peraturan tersebut perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak merupakan perjanjian tidak bernama sehingga perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis saja yang mengacu pada asas kebebasan berkontrak yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang dinyatakan oleh undang-undang. Persetujuan tersebut haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian, perjanjian waralaba yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata ini dapat berkembang dalam kegiatan perdagangan, karena sistem yang dianut dalam KUH Perdata adalah sistem terbuka dan mengandung suatu asas kebebasan berkontrak.

Seperti yang telah diuraikan di atas, perjanjian waralaba berkaitan dengan HaKI, sehingga, landasan perjanjian yang digunakan adalah perjanjian lisensi karena perjanjian lisensi berhubungan erat dengan HaKI. Selain perjanjian lisensi, diberlakukan tiga undang-undang yang menjadi dasar pemberian perlindungan hukum kepada HaKI perusahaan, yakni Undang-Undang Paten, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Merek. Dengan adanya Undang-Undang Paten


(15)

memungkinkan waralaba memperoleh perlindungan hukum terhadap kemungkinan adanya usaha peniruan. Yang dapat dipatenkan mencakup antara lain di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Undang-Undang Merek menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada perusahaan yang mendaftarkan mereknya terhadap kemungkinan peniruan, pemalsuan, ataupun penggunaan secara ilegal atas merek dagangnya. Sementara itu, Undang-Undang Hak Cipta untuk melindungi hasil ciptaan seseorang yang berasal dari kemampuan, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Kehadiran bisnis waralaba sebagai suatu sistem bisnis mempunyai karakteristik tersendiri di dalam kehidupan ekonomi, dapat juga menimbulkan permasalahan di bidang hukum dikarenakan bisnis waralaba ini didasarkan pada suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, sehingga diperlukan adanya perlindungan hukum yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak.

Pada tahun 1997 disahkan suatu peraturan yang mengatur mengenai waralaba yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, yang kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Peraturan Pemerintah tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-Dag/Per/8/2008 tentang


(16)

Penyelenggaraan Waralaba. Menurut Adrian Sutendi, ”adanya peraturan tersebut memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha yang menjalankan waralaba”.5

1.Bagaimana karakteristik yuridis dari perjanjian waralaba?

Tertarik terhadap masalah-masalah tersebut di atas, maka penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Waralaba (Franchise) sebagai Perjanjian

Innominat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Riset di

Kentucky Fried Chicken di Kota Medan).”

B. Perumusan Masalah

Atas dasar latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan adalah sebagai berikut:

2.Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba?

3.Bagaimana penyelesaian perselisihan apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak?

4.Bagaimana berakhirnya suatu perjanjian waralaba?

5


(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dengan menelaah judul skripsi di atas, maka dapat diketahui apa yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik yuridis dari perjanjian waralaba.

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.

3. Untuk mengetahui cara dalam menyelesaikan perselisihan apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak.

4. Untuk mengetahui berakhirnya suatu perjanjian waralaba.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoretis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis hasil penelitian ini akan memberikan saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai waralaba sebagai suatu perjanjian innominat.

2. Secara praktis:

a. Bermanfaat kepada masyarakat umum khususnya kepada pihak yang terkait dalam usaha waralaba;

b. Bermanfaat kepada mahasiswa yang ingin lebih mengetahui mengenai perjanjian waralaba.


(18)

D. Keaslian Penelitian

Skripsi ini berjudul “Tinjuan Yuridis Waralaba (Franchise) sebagai Perjanjian Innominat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Riset di Kentucky Fried Chicken di Kota Medan)”. Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan waralaba sebagai suatu perjanjian innominat, baik melalui literatur yang diperoleh di perpustakaan maupun media cetak dan elektronik. Di samping itu juga diadakan penelitian dan sehubungan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pendapat atau kutipan baik dari buku ataupun bahan yang berkenaan, semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan demi menyempurnakan tulisan ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan suatu perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian tersebut mirip dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji


(19)

kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.6

Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”7

Secara bebas dan sederhana, waralaba didefinisikan sebagai “hak istimewa

(privilege) yang terjalin atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran.”

Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”.

Suatu perjanjian yang mempunyai nama khusus atau yang sering disebut dengan perjanjian bernama (nominaat) maksudnya adalah suatu perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, tukar menukar. Sementara perjanjian yang berada di luar KUH Perdata yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat seperti waralaba, leasing, joint venture, kontrak karya biasanya disebut dengan perjanjian tidak bernama (innominat).

8

6

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987, hal. 1.

7

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990, hal.

78 (Selanjutnya disebut dengan Abdulkadir II) 8

Heri Lumoindong, Waralaba dan Perkembangannya,

http://www.paroki-teresa.tripod.com/Tonikum_WARALABA, 5 Februari 2009.

Dalam format bisnis, pengertian waralaba adalah “pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (Pemberi Waralaba) memberi hak pada pihak independen atau Penerima Waralaba untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan


(20)

peraturan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba.”9

Perdagangan dengan menggunakan konsep waralaba dibangun atas dasar perjanjian, yaitu antara Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak dan Penerima Waralaba sebagai penerima hak. Perjanjian waralaba selain berkaitan dengan Pasal 1319 KUH Perdata, dan berkaitan pula dalam Pasal 1320 KUH Perdata Dari pengertian tersebut, maka terlihat bahwa perjanjian waralaba termasuk dalam perjanjian yang berada di luar KUH Perdata atau yang sering disebut dengan perjanjian innominat.

Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, waralaba (franchise) dirumuskan sebagai berikut :

Franchise adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekaayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Pengertian waralaba menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa:

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Waralaba terbukti sukses memacu perekonomian di berbagai negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Perancis. Tidak hanya itu adanya usaha waralaba ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi cukup banyak tenaga kerja karena pengusaha kecil tidak perlu mengeluarkan dana yang besar untuk membuka usaha waralabanya.

9


(21)

mengenai syarat sahnya perjanjian dan Pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk membuat perjanjian dan bebas menentukan isi suatu perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini berarti, KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menentukan isi perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.

Di dalam suatu perjanjian terdapat hubungan-hubungan yang terjalin antara para pihak. “Hubungan ini tidak timbul dengan sendirinya. Hubungan hukum itu tercipta dari tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum dan melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Satu pihak berhak memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi.”10

Di dalam pelaksanaan suatu perjanjian, dapat terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang disebabkan oleh adanya pihak yang tidak memenuhi prestasi. Prestasi adalah ”sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.”

Hal ini menuntut perhatian keterlibatan hukum dalam upaya memberikan kerangka jaminan perlindungan masing-masing pihak.

11

10

M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: PT.Alumni, 1986, hal. 7.

11

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1990, hal.201. (Selanjutnya disebut Abdulkadir III)

Menurut Pasal 1234 KUH Perdata adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu maka, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi maka ia dinyatakan wanprestasi. Seperti yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, wanprestasi ialah ”tidak memenuhi sesuatu yang


(22)

diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan.”12 Jika terjadi wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat memberikan sommatie (teguran) kepada pihak yang telah wanprestasi. ”Sommasi berarti peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran/pernyataan kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.”13

Penyelesaian perselisihan di Indonesia biasanya, dilakukan dengan musyawarah/mufakat sebagai kultur ”orang Timur”.14

Kata yuridis yang diidentikkan dengan hukum dapat diartikan secara umum berkaitan dengan kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Secara yuridis, usaha waralaba diatur dalam PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba yang telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan

Bila suatu perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah/mufakat, maka para pihak menyerahkan perkaranya kepada lembaga peradilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Selain penyelesaian melalui lembaga peradilan, dapat juga diselesaikan di luar pengadilan melalui

Alternative Dispute Resolution dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, atau penilaian ahli yang dilakukan secara damai atau dapat pula diselesaikan melalui badan arbitrase.

12

Ibid, hal. 203.

13

M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 62.

14

H.R. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia,


(23)

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang telah diganti dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba pada tanggal 21 Agustus 2008.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan penelitian hukum empiris dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer adalah melakukan wawancara terhadap pihak yang berkaitan dalam perjanjian waralaba, sedangkan metode pengumpulan data sekunder terbagi atas 3 bagian, yaitu:


(24)

a. Bahan Hukum Primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Perundang-undangan dan lain sebagainya;

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti hasil karya dari kalangan hukum; c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, bahan dari internet dan lain sebagainya.

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Kegiatan ini penulis lakukan dengan cara turun langsung ke lapangan. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, dilakukan dengan mencari informasi langsung dengan menggunakan wawancara (interview) terhadap instansi ataupun lembaga yang berhubungan dengan judul skripsi ini.


(25)

2. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh yang diperoleh dari bahan bacaan atau buku-buku, peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara langsung mengenai perjanjian waralaba.

3. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah di Kentucky Fried Chicken di Kota Medan (PT.Fastfood Indonesia Tbk.).

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi sistematika penulisan ke dalam lima bab, dan setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab yang lebih kecil. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan keseluruhan ke dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam tujuh sub bab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan keseluruhan ke dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam enam sub bab yaitu pengertian perjanjian,


(26)

jenis-jenis perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian, wanprestasi dalam perjanjian dan hapusnya perjanjian.

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI WARALABA

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan keseluruhan ke dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam lima sub bab yaitu pengertian waralaba, perjanjian waralaba sebagai perjanjian innominat, bentuk-bentuk waralaba, unsur-unsur perjanjian waralaba dan mengenai pengaturan yuridis terhadap perjanjian waralaba.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS WARALABA (FRANCHISE) SEBAGAI PERJANJIAN INNOMINAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan keseluruhan ke dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam empat sub bab yaitu karakteristik yuridis dalam perjanjian waralaba, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba, penyelesaian perselisihan yang timbul dalam perjanjian waralaba, berakhirnya perjanjian waralaba.


(27)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Selanjutnya penulis akan memberikan saran sebagai jalan keluar terhadap permasalahan yang ditimbulkan.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”15

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”16

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

15

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 458 16


(29)

mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.17

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”18 Menurut Salim HS, Perjanjian adalah “hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”19

1. Adanya hubungan hukum

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu:

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya

17

Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, PT.

Alumni Bandung, 2005, hal. 89. (Selanjutnya disebut Mariam I) 18

R. Subekti, Op.cit, hal 1.

19

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar


(30)

manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau

rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas. 3. Adanya prestasi

Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan

”Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang”.20

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.

21

Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang-undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan

20

Bahan Kuliah Perancangan Kontrak, M. Husni, Tinjauan Umum Mengenai Kontrak,

2009. 21


(31)

yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).22

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

B. Jenis-jenis Perjanjian

23

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

c. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.

22

Bahan Kuliah Hukum Perdata, T. Darwini, Hukum Perdata, 2007, hal. 75.

23

Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001, hal.


(32)

e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst)

Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.

f. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

g. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

h. Perjanjian Konsensual

Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

i. Perjanjian Riil

Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.


(33)

j. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

k. Perjanjian Pembuktian

Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

l. Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.

m. Perjanjian Publik

Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang pemerintahan.

n. Perjanjian Campuran

Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau onbenoemde overeenkomst. Dalam Kamus Hukum, onbenoemde overeenkomst adalah “perjanjian atau persetujuan


(34)

yang tidak mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama.”24

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya suatu hal tertentu

4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.”25

24

J. C. T. Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 111

25

Salim HS, Op.cit, hal. 33.

Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur


(35)

kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.”26

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu: 1. Orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila

26


(36)

perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan

Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu

Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang


(37)

dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Adanya sebab yang halal

Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.


(38)

D. Sistem terbuka dan Asas Konsensualisme

Hukum Benda yang diatur di dalam buku II KUH Perdata mempunyai suatu “sistem tertutup” sedangkan Hukum Perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata menganut “sistem terbuka”. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain yang diatur dalam KUH Perdata, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi mengeni hal apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya, buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian ini dapat dikesampingkan dan hanya bersifat sebagai pelengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Menurut Subekti, “Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang mebuatnya seperti suatu undang-undang.”27

Di dalam sistem terbuka juga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang telah ada di dalam masyarakat pada saat Kitab Undang-Undang

27


(39)

Hukum Perdata itu dibentuk. Misalnya jual beli, tukar menukar dan sewa menyewa.28

Dalam Hukum Perjanjian, berlaku suatu asas konsensualitas. Konsensualitas ini berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Asas Konsensualitas ini tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu pada syarat pertama, adanya kesepakatan keduabelah pihak. Berdasarkan asas konsensualitas ini suatu perjanjian sudah ada atau terjadi sejak detik tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan perkataan lain, suatu perjanjian sudah sah saat tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan dan tidak pula memerlukan suatu formalitas.29

Di dalam Undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut. Misalnya, Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda yang tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus dinyatakan secara tertulis untuk sahnya perjanjian itu.

Namun, adakalanya Undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan suatu perjanjian tertulis atau dengan menggunakan akta Notaris.

30

Bentuk konsensualitas suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat dilihat dari adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. “Tandatangan selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian yang

28

Ibid

29

H.R. Daeng Naja, Op.cit, hal 92.

30


(40)

dibuat tersebut. Tandatangan ini juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu kontrak sebagai suatu bukti atas suatu peristiwa.”31

Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:

E.Wanprestasi dalam perjanjian

Apabila salah seorang debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau wanprestasi.

32

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar kemampuan debitur.

Mariam Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi tiga yaitu:33

1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, 2. Debitur terlambat memenuhi perikatan,

3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Sama halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan wanprestasi, yaitu:

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,

31

H.R. Daeng, Loc.Cit, hal 93.

32

Abdulkadir III, Op.Cit, hal. 203.

33


(41)

Dalam hal ini, debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.34

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Sementara itu, R. Subekti menyebutkan wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:35

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksaanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hak tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

Kreditur dapat menuntut debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :36

a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;

b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata);

34

35

R. Subekti, Op.cit, hal. 45.

36


(42)

c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1 November 1918);

d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian;

e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.

Seorang debitur yang dituduh lalai dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan.

Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:37

a. Karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau forcemajeur)

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus)

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtverwerking)

a. Keadaan Memaksa (Overmacht atau Forcemajeur)

Bahwa debitur tidak dapat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan karena adanya hal-hal yang tidak terduga, dimana ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi di luar dugaan tersebut. Misalnya, bencana alam yang menyebabkan musnahnya objek yang diperjanjikan. Seiring dengan perkembangannya, keadaan memaksa itu tidak hanya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak yaitu debitur masih dapat melaksanakan perjanjian tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak sepantasnya pihak

37


(43)

kreditur menuntut debitur untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, setelah diadakannya suatu perjanjian, keluar suatu Peraturan Pemerintah yang melarang dikeluarkannya suatu jenis barang yang merupakan objek perjanjian, dari suatu daerah dengan ancaman hukuman berat bagi si pelanggar sehingga, kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan hak pelaksanaan perjanjian

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleticontractus)

Debitur yang dituduh telah lalai dan dituntut untuk membayar ganti rugi, dapat mengajukan di depan Hakim bahwa kreditur sendiri juga telah lalai dalam menepati janjinya. Misalnya, si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya padahal si pembeli sendiri terlambat membayar uang muka. Tentang Exceptio non adimpleti contractus ini tidak diatur di dalam Undang-undang dan merupakan suatu hukum yurisprudensi yaitu hukum yang diciptakan para hakim.

c. Pelepasan hak (rechstverwerking)

Alasan terakhir ini merupakan suatu sikap pihak kreditur yang membuat pihak debitur menyimpulkan bahwa kreditur tidak akan lagi menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli telah membeli suatu barang dan ia mengetahui adanya suatu cacat tersembunyi atau tidak berkualitas bagus, tetapi ia tidak menegur si penjual dan tetap memakai barang tersebut sehingga dari sikapnya tersebut ia telah puas akan barang tersebut maka, dalam hal ini sudah selayaknya tuntutannya tidak diterima oleh hakim.


(44)

F. Hapusnya Perjanjian

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang cara berakhirnya suatu perikatan, yaitu:

“Perikatan-perikatan hapus karena a. pembayaran;

b. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. karena pembaharuan hutang;

d. karena perjumpaan hutang atau kompensasi; e. karena percampuran hutang;

f. karena pembebasan hutangnya;

g. karena musnahnya barang yang terhutang; h. karena kebatalan atau pembatalan;

i. karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini; j. karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri”.

Dalam buku Mariam Darus, hapusnya perikatan dikarenakan beberapa hal yaitu:38

a. Pembayaran

Yang dimaksud dengan pembayaran dalam Hukum Perikatan adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.

b. Subrogasi

Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian itu terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh undang-undang. Misalnya, apabila pihak ketiga melunaskan

38


(45)

utang seorang debitur kepada krediturnya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur dengan kreditur asli.

c. Tentang Penawaran Pembayaran Tunai, Diikuti Oleh Penyimpanan atau Penitipan

Dalam hal perikatan dapat hapus dengan penawaran pembayaran yang diikuti penyimpanan atau penitipan ini di mana debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi kreditur menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau barang yang akan dibayarkan kepada kreditur di titipkan ke pengadilan guna dibayarkan kepada kreditur.

d. Pembaharuan Hutang

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru.

e. Pengoperan Hutang dan Pengoperan Kontrak

Dalam praktek selalu terjadi bahwa suatu kontrak dialihkan kepada pihak lain. Hal ini terjadi misalnya pemilik suatu perusahaan memindahkan perusahaannya kepada pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru tersebut akan mengambil alih juga segala hak-hak dan kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut.

f. Kompensasi atau Perjumpaan Hutang

Kompensasi itu terjadi apabila 2 (dua) orang saling berhutang 1(satu) dengan yang lain, sehingga hutang-hutang tersebut dihapuskan karena oleh Undang-undang telah ditentukan bahwa terjadi suatu perhitungan antara mereka.


(46)

Misalnya, si A berhutang sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) kepada si B dan si B mempunyai hutang sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si A, sehingga terjadi kompensasi di antara mereka yang menyebabkan si A hanya berhutang Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si B.

g. Percampuran Hutang

Dalam hal pencampuran hutang ini biasanya dalam hal pewarisan, dimana debitur menjadi ahli waris si kreditur. Apabila kreditur meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh ahli warisnya dan menjadi lunas. h. Pembebasan Hutang

Pembebasan Hutang adalah pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.

i. Musnahnya Barang yang Terhutang

Musnahnya barang yang terhutang ini adalah suatu barang tertentu yang menjadi obyek perikatan dihapus dan dilarang oleh Pemerintah yang tidak boleh diperdagangkan lagi. Dalam pasal 1553 KUH Perdata disebutkan bahwa jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.

j. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan

Alasan-alasan yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan adalah kalau perikatan tersebut cacat pada syarat-syarat yang objektif saja. Cacat tersebut adalah objek yang melanggar undang-undang dan ketertiban umum.


(47)

Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas dan Pasal 1381 KUH Perdata, masih ada sebab lain berakhirnya perjanjian, yaitu:

a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir; b. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut; c. Ditentukan oleh Undang-undang misalnya perjanjian akan berakhir

dengan meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut; d. Adanya putusan hakim dan;


(48)

BAB III

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI FRANCHISE

A. Pengertian Waralaba (Franchise)

Franchise berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan diambil dari kata “franc” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa.39

Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan dan jasa, franchise masuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia. Istilah franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian istilah franchise diistilahkan sebagai waralaba yang diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa.40

Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa:

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

39

Adrian Sutendi, Op.Cit, hal. 6

40


(49)

Henry Campbell Black, dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh Juajir Sumardi, memberikan beberapa pengertian mengenai

franchise, sebagai berikut :41

1. Franchise is a special privilege to do certain things conferred by

government on individual or corporation, and which does not belong citizens generally of common right; e.g, right granted to offer cable television service.

2. Franchise is a privilige or sold, such as to use a name or to sell product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon.

3. Franchise is a lincense from owner of a trade mark or trade name

permitting another to sell a product or service under that name or mark. Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai:

1. Waralaba adalah hak khusus yang istimewa untuk melakukan sesuatu yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan, yang bukan merupakan hak warga negara pada umumnya; misalnya hak untuk menawarkan layanan televisi kabel.

2. Waralaba adalah hak istimewa atau menjual, seperti untuk menggunakan nama atau menjual barang atau jasa. Hak tersebut diberikan oleh pabrikan atau pemasok barang kepada pengecer untuk menggunakan barang dan nama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama.

3. Waralaba adalah pemberian lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengizinkan pihak lain untuk menjual barang atau jasa dibawah nama dan merek tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas, Black melihat waralaba sebagai:

suatu preferen atau suatu keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari setiap warga negara. Di samping itu, waralaba juga merupakan keistimewaan dengan pemberian hak untuk menjual barang atau jasa dengan menggunakan nama pabrikan atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan namanya sesuai lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu produk atau pelayanaan berdasarkan merek atau nama dagang tersebut.42

41

Juajir Sumardi, Op.cit, hal. 13.

42


(50)

Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah “sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen”. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu.43

suatu kontrak yang dibuat antara franchisor dan franchisee, dengan ketentuan pihak franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan merek barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada franchisor.

Salim HS memberikan definisi waralaba yaitu:

44

waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif.

Menurut Gunawan Widjaja,

45

43

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2004, hal 83.

44

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika,2008, hal. 163. ( Selanjutnya disebut Salim HS II)

45

Gunawan Widjaja, Waralaba, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal 12.

Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba.

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,

Perjanjian lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya.


(51)

Menurut Adrian Sutendi,

perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan pelbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain.”46

Perjanjian Waralaba adalah pemberian hak oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdangangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam operasional, pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang/jasa milik Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon, hotel, dealer mobil, dan sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Salon Rudy Hadisuwarno.

B. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innominat

Waralaba (Franchise) didasarkan pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian waralaba dimana perjanjian ini melibatkan dua pihak atau lebih yaitu pihak Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak dan pihak Penerima Waralaba sebagai penerima hak waralaba.

46


(52)

Penerima Waralaba sama dengan kekhasan usaha atau bisnis dagang/jasa milik Pemberi Waralaba.47

Perjanjian waralaba merupakan landasan legal yang berlaku sebagai undang-undang dalam mengoperasionalkan hubungan yang telah disepakati oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, serta merupakan landasan untuk menjaga kepentingan Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba.48

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab lalu”. Dari isi pasal tersebut, disebutkan adanya perjanjian yang mempunyai nama khusus (nominaat) dan perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusus (innominaat). Perjanjian

nominaat adalah suatu perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, tukar menukar. Sedangkan, Perjanjian

innominaat ialah perjanjian yang tidak terdapat di dalam KUH Perdata namun

berkembang di tengah masyarakat, seperti leasing, kontrak karya, joint venture, beli sewa, waralaba dan lain-lain. Perjanjian innominaat ini berlaku terhadap peraturan yang bersifat khusus, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan apabila dalam undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu kepada KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum.

Dengan demikian, sangat penting mengatur isi perjanjian yang mengatur kepentingan kedua belah pihak agar tercipta keseimbangan hak dan kewajiban.

47

Rooseno Hardjowidigdo, Op.Cit, hal 5.

48


(53)

Waralaba sebagai suatu perjanjian innominaat diatur dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Walaupun perjanjian waralaba tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, tetapi harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata.

Perjanjian waralaba dapat diterima di dalam hukum karena di dalam KUH Perdata terdapat suatu asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut juga harus memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Singkatnya, hukum perjanjian yang memakai sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

C. Bentuk-bentuk Waralaba

Menurut Juajir Sumardi, bentuk-bentuk waralaba terbagi dua, yaitu:49 1. Franchise sebagai Format Bisnis

Waralaba sebagai format bisnis maksudnya adalah seorang Penerima Waralaba memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran yang dari Pemberi Waralaba.

49


(54)

Martin Mandelsohn memberi pengertian mengenai franchise format bisnis yaitu: pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franhisor, dan untuk menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankanya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu : a. Franchise pekerjaan

Dalam bentuk ini Penerima Waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, bisnis penjualan jasa penyetelan mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.

b. Franchise Usaha

Waralaba usaha merupakan bidang waralaba yang berkembang pesat, bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran fast food. Misalnya Kentucky Fried Chicken. Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus.

c. Franchise Investasi

Ciri utama yang membedakan jenis waralaba ini dari waralaba pekerjaan dan waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Waralaba investasi adalah perusahaan yang


(55)

sudah mapan, dan investasi awal yang dibutuhkan cukup besar. Misalnya, usaha hotel, maka dipilih cara kegiatan waralaba yang memungkinkan mereka memperoleh bimbingan dan dukungan.

2. Franchise Distibusi Produk

Dalam bentuk ini seorang Penerima Waralaba memperoleh lisensi ekslusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini, Pemberi Waralaba dapat juga memberikan waralaba wilayah, dimana Penerima Waralaba wilayah atau sub-pemilik waralaba membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu Pemberi Waralaba baru, dan melakukan pengendalian mutu, dukungan operasi, serta program penagihan royalti.

Franchise wilayah memberi kesempatan kepada pemegang franchise induk untuk mengembangkan rantai lebih cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersama oleh pemegang franchise

induk dan sub-pemegangnya. Pemegang indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalti dan penjualan produk.

Hampir setiap pengaturan sub-franchise adalah unik dalam komitmen yang dibuat oleh setiap pihak. Namun, ciri bersama dari persetujuan yang dibuat adalah pembagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya franchise, royalti, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleh pemegang franchise (franchisee) tunggal kepada sub-pemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan kepada pemegang franchise induk (franchisee induk).50

50

Douglas J. Queen,Pedoman Membeli dan Menjalankan Franhise, Jakarta: PT.Elex


(56)

D. Unsur-unsur Perjanjian Waralaba

Perjanjian franchise adalah

suatu perjanjian yang diadakan antara pemilik franchise (franchisor) dengan pemegang franchise (franchisee) di mana pihak franchisor memberikan hak kepada pihak franchisee untuk memproduksi atau memasarkan barang (produk) dan/atau jasa (pelayanan) dalam waktu dan tempat yang disepakati di bawah pengawasan franchisor, sementara franchisee membayar sejumlah uang tertentu atas hak yang diperolehnya.51

a. Adanya suatu perjanjian yang disepakati

Dengan memperhatikan pengertian perjanjian waralaba sebagaimana dikemukan di atas, maka unsur-unsur yang dapat disimpulkan adalah :

Waralaba sebagai suatu sistem bisnis dilakukan dengan adanya perjanjian antara para pihak. Perjanjian waralaba ini dibuat oleh para pihak, yaitu pihak Pemberi Waralaba dan pihak Penerima Waralaba yang keduanya berkualitas sebagai subyek hukum, baik sebagai badan hukum maupun hanya sebagai perorangan. Pihak Pemberi Waralaba sebagai pihak yang memberikan hak waralaba (franchise) sementara pihak Penerima Waralaba merupakan pihak yang diberikan/menerima hak waralaba tersebut. Kesepakatan ini menjelaskan secara rinci mengenai segala hak, kewajiban dan tugas dari Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Demi menjamin kepastian hukum, sebaiknya perjanjian waralaba dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris).

51


(1)

Antimonopoli tersebut mengecualikan perjanjian lisensi dan perjanjian waralaba.

2.Perjanjian yang dibuat para pihak yakni Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan Kewajiban merupakan suatu hubungan timbal balik antara Penerima Waralaba dan Pemberi Waralaba yang artinya hak bagi Pemberi Waralaba merupakan kewajiban bagi pihak Penerima Waralaba dan begitu pula sebaliknya hak bagi Penerima Waralaba merupakan kewajiban bagi Pemberi Waralaba.

Kewajiban Pemberi Waralaba salah satunya adalah menyediakan nama perusahaan/merek, logo, desain dan fasilitas yang dapat segera dikenal konsumen sekaligus memberikan pelatihan manajemen dan memberikan bantuan secara berkelanjutan sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kontrak kerjasama. Sementara itu, kewajiban dari Penerima Waralaba antara lain, yaitu: menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual yaitu penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi, melakukan pendaftaran waralaba, membayar franchiseefee dalam persentase dari penghasilan kotor kepada Pemberi Waralaba, memberi laporan secara berkala atau permintaan khusus dari Pemberi Waralaba, dan termasuk pula memelihara kinerja mutu tertentu memelihara atau menjaga paket peralatan yang dibeli dari Pemberi Waralaba.


(2)

3.Pelaksanaan perjanjian dengan baik merupakan tujuan dari kerjasama bisnis waralaba. Namun, seiring dengan pelaksanaan perjanjian itu bukan tidak mungkin terjadi suatu perselisihan yang pada akhirnya mengakibatkan perjanjian itu tidak terlaksana dengan baik. Karena pada dasarnya, tidak seorang atau satu pihak pun yang menginginkan adanya suatu sengketa atu perselisihan tersebut.

Dalam hal terjadinya suatu sengketa, pihak Pemberi Waralaba telah menetapkan suatu penyelesaian perselisihan yang tertuang di dalam suatu kontrak, yang biasanya dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat terlebih dahulu kemudian apabila penyelesaian tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah maka diserahkan kepada lembaga Peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri.

4.Berakhirnya suatu perjanjian waralaba adalah berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Penerima Waralaba yang tidak sesuai dengan perjanjian yang dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran kontrak. Selain itu, berakhirnya perjanjian waralaba dikarenakan telah habis masa perjanjian yang telah diperjanjikan dan setelah itu dapat diperpanjang selama 10 tahun dan setelah itu tidak ada lagi perpanjangan.


(3)

B. Saran

Sehubungan dengan kesimpulan yang penulis uraikan, selanjutnya penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna dalam perkembangan waralaba di Indonesia:

1.Hendaknya sebelum seorang pihak memutuskan untuk melakukan usaha waralaba, calon Penerima Waralaba tersebut sebaiknya menyelidiki terlebih dahulu bisnis yang akan digelutinya, dan telah benar-benar mengerti akan bisnis tersebut.

2.Apabila seseorang pihak (calon Penerima Waralaba) telah memutuskan untuk melakukan usaha waralaba, sebaiknya sebelum pihak tersebut mengerti terlebih dahulu mengenai isi perjanjian, misalnya mengenai hak dan kewajiban para pihak. Maka dari itu, diperlukan seorang ahli hukum untuk menterjemahkan isi dari perjanjian yang akan disepakati. Adapun mengenai hak dan kewajiban ini, sebaiknya diadakan dengan memperhatikan asas keseimbangan antara para pihak agar kepentingan kedua belah pihak dapat terlindungi dengan baik.

3.Waralaba di Indonesia telah ada sejak tahun 1970-an dan telah berkembang pesat dan telah banyak menggeluti berbagai bidang bisnis di tengah masyarakat. Tetapi, peraturan mengenai Waralaba atau Franchise sampai saat ini masih hanya sebatas Peraturan Pemerintah dan juga Peraturan Menteri Perdagangan. Maka dari itu, Pemerintah diharapkan segera menyusun Undang-Undang tentang Waralaba.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya. Bandung: Alumni. 2006.

---. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Basarah, Moch. & M.Faiz Mufidin. Bisnis Franchise dan Aspek-Aspek Hukumnya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.

Ekotama, Suryono. Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise. Yogyakarta: Media Pressindo. 2008

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2008. Harahap, M.Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: PT.Alumni, 1986. Hardjowidigdo, Rooseno. Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah

Pertemuan Ilmiah Tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, Jakarta : BPHN, 14-16 Des 1993.

Listyawati,Peni Rinda. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innomenaat dalam Pandangan Hukum Perdata, Jurnal Hukum Vol. XVII No.2, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, 2006.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2005.

Mancuso, Joseph. Pedoman Membeli dan Mengelola Franchise. Jakarta: PT. Delapratasa. 1995.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1990.

---. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1990.

---. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1999.

Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.


(5)

Naja, H.R. Daeng,. Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2009.

Queen, J. Douglas. Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 1993.

Salim, H.S. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2003.

---. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. 2003.

Subekti, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 1995.

---. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. 1987. Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.

Suharnoko. Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus). Jakarta: PT. Kencana. 2004.

Sumardi, Juajir. Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1995.

Sutendi, Adrian. Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia. 2008. Simorangkir, J. C. T. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2000. Widjaja, Gunawan. Waralaba. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada. 2003. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-Dag/Per/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.


(6)

C. SUMBER LAINNYA

Anonymous, Definisi Waralaba

Agus Yudha Hernoko, http//:adln.li.unair.ac.id/go.php, 27 Februari 2010

Heri Lumoindong, Waralaba dan Perkembangannya, http://www.paroki-teresa.tripod.com/Tonikum_WARALABA, 5 Februari 2010