Sistem terbuka dan Asas Konsensualisme

D. Sistem terbuka dan Asas Konsensualisme

Hukum Benda yang diatur di dalam buku II KUH Perdata mempunyai suatu “sistem tertutup” sedangkan Hukum Perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata menganut “sistem terbuka”. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain yang diatur dalam KUH Perdata, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi mengeni hal apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya, buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian ini dapat dikesampingkan dan hanya bersifat sebagai pelengkap. Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” Menurut Subekti, “Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang mebuatnya seperti suatu undang-undang.” 27 Di dalam sistem terbuka juga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang telah ada di dalam masyarakat pada saat Kitab Undang-Undang 27 R.Subekti, Op.Cit, hal.14 Universitas Sumatera Utara Hukum Perdata itu dibentuk. Misalnya jual beli, tukar menukar dan sewa menyewa. 28 Dalam Hukum Perjanjian, berlaku suatu asas konsensualitas. Konsensualitas ini berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Asas Konsensualitas ini tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu pada syarat pertama, adanya kesepakatan keduabelah pihak. Berdasarkan asas konsensualitas ini suatu perjanjian sudah ada atau terjadi sejak detik tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan perkataan lain, suatu perjanjian sudah sah saat tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan dan tidak pula memerlukan suatu formalitas. 29 Di dalam Undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut. Misalnya, Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda yang tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus dinyatakan secara tertulis untuk sahnya perjanjian itu. Namun, adakalanya Undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan suatu perjanjian tertulis atau dengan menggunakan akta Notaris. 30 Bentuk konsensualitas suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat dilihat dari adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. “Tandatangan selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian yang 28 Ibid 29 H.R. Daeng Naja, Op.cit, hal 92. 30 R. Subekti I, Loc.Cit, hal 15. Universitas Sumatera Utara dibuat tersebut. Tandatangan ini juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu kontrak sebagai suatu bukti atas suatu peristiwa.” 31 Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu: E.Wanprestasi dalam perjanjian Apabila salah seorang debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau wanprestasi. 32 1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian. 2. Karena keadaan memaksa overmacht, force majeure, jadi di luar kemampuan debitur. Mariam Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan wanprestasi terbagi tiga yaitu: 33 1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, 2. Debitur terlambat memenuhi perikatan, 3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Sama halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan wanprestasi, yaitu: 1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, 31 H.R. Daeng, Loc.Cit, hal 93. 32 Abdulkadir III, Op.Cit, hal. 203. 33 Mariam I, Op.Cit, hal 23. Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini, debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali. 34 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Sementara itu, R. Subekti menyebutkan wanprestasi kelalaian atau kealpaan seorang debitur dapat berupa empat macam: 35 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksaanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hak tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan. Kreditur dapat menuntut debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut : 36 a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur; b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur Pasal 1267 KUH Perdata; 34 www.yogiikhwan.wordpress.com, 19 Februari 2010. 35 R. Subekti, Op.cit, hal. 45. 36 Salim HS I, Op.cit, hal.99. Universitas Sumatera Utara c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan HR 1 November 1918; d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian; e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: 37 a. Karena adanya keadaan memaksa overmacht atau force majeur b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai Exceptio non adimpleti contractus c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi rechtverwerking a. Keadaan Memaksa Overmacht atau Force majeur Bahwa debitur tidak dapat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan karena adanya hal-hal yang tidak terduga, dimana ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi di luar dugaan tersebut. Misalnya, bencana alam yang menyebabkan musnahnya objek yang diperjanjikan. Seiring dengan perkembangannya, keadaan memaksa itu tidak hanya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak yaitu debitur masih dapat melaksanakan perjanjian tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak sepantasnya pihak 37 R. Subekti I, Op.Cit, hal 55. Universitas Sumatera Utara kreditur menuntut debitur untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, setelah diadakannya suatu perjanjian, keluar suatu Peraturan Pemerintah yang melarang dikeluarkannya suatu jenis barang yang merupakan objek perjanjian, dari suatu daerah dengan ancaman hukuman berat bagi si pelanggar sehingga, kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan hak pelaksanaan perjanjian b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai Exceptio non adimpleti contractus Debitur yang dituduh telah lalai dan dituntut untuk membayar ganti rugi, dapat mengajukan di depan Hakim bahwa kreditur sendiri juga telah lalai dalam menepati janjinya. Misalnya, si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya padahal si pembeli sendiri terlambat membayar uang muka. Tentang Exceptio non adimpleti contractus ini tidak diatur di dalam Undang-undang dan merupakan suatu hukum yurisprudensi yaitu hukum yang diciptakan para hakim. c. Pelepasan hak rechstverwerking Alasan terakhir ini merupakan suatu sikap pihak kreditur yang membuat pihak debitur menyimpulkan bahwa kreditur tidak akan lagi menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli telah membeli suatu barang dan ia mengetahui adanya suatu cacat tersembunyi atau tidak berkualitas bagus, tetapi ia tidak menegur si penjual dan tetap memakai barang tersebut sehingga dari sikapnya tersebut ia telah puas akan barang tersebut maka, dalam hal ini sudah selayaknya tuntutannya tidak diterima oleh hakim. Universitas Sumatera Utara

F. Hapusnya Perjanjian