Puisi Tentang Mata Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra

bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari segi diksi, banyak menggunakan simbolis yang memiliki makna ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir dari para pembaca. Puisi ini banyak dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri, sajak- sajaknya menuntut hak asasi manusia seperti hidup merdeka, bebas dari penindasan, dan menuntut kehidupan yang layak, serta kritik atas penyelewengan- penyelewengan. Dari segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jelas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan kekuasaan, dan kekerasan.

4.2.2 Puisi Tentang Mata

Dalam Puisi Tentang Mata makna simbolis yang terdapat dalam puisi adalah kata mata kejora diciptakan pengarang untuk mengungkapkan hadirnya cahaya di tengah kegelapan, cahaya yang jadi penuntun yang menerangi kegelapan. Kata mata sangkur mata sangkur menjadi simbol dari keadaan yang menyakitkan. Kata mata kekasih dalam dekapan malam dapat diartikan sebagai suatu harapan di tengah-tengah kegelapan. Kata hatiku meronta ditawan mata rantai kata mata rantai berubah maknanya menjadi keadaan yang mengikat, maka arti dari baris secara keseluruhan menggambarkan adanya keinginan untuk bebas, ia bergerak sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari keadaan yang mengikat. Kata sangkur menghujam ke mata batin adanya keadaan yang Universitas Sumatera Utara menyakitkan , atau melukai hati dan perasaan. Kata mata kail termangu tanpa umpan memiliki makna tidak adanya pemeliharaan dan semakin menghilangnya hasil laut karena tindakan yang mencemarkan. Kata mata air pengharapanku memiliki makna suatu harapan yang mampu menentramkan yang mampu memberikan kesejukan dan kelegaan. Secara struktural puisi di atas memiliki keterikatan antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Puisi tersebut menggunakan ragam bunyi yang berulang yang menandakan penegasan seperti kata Mata Kejora Mata Kejora. Dalam puisi juga terlihat adanya ragam bunyi yang menciptakan suasana ketertekanan, kesedihan, suram, dan pilu ragam bunyi ini ditandai dengan banyaknya penggunaan bunyi konsonan b, p, m, k, p, t, s, r, juga bunyi sengau ng, dan ny seperti yang terdapat pada kata: dekapan, bisul, termangu, menghujam, pengharapan, murung ,dan gersang. Tiap bait juga dengan baik menggambarkan setiap suasana. Hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi gambaran tentang harapan pada suatu cahaya yang terang yang hadir di tengah-tengah kegelapan, yang mampu memberikan penerangan saat keadaan begitu kelam, ini dikiaskan dengan kata Mata kejora, mata kekasih dalam dekapan malam. Bait kedua menggambarkan suatu keadaan terikat pada hal yang menyakitkan. Dalam bait ini juga digambarkan tentang keadaan tanah yang tidak terolah, penebangan yang merajalela, kehidupan yang hanya mengejar materi, dan laut yang semakin tidak terjaga. Pada bait ketiga, kata mata sangkur menjadi simbol dari keadaan yang Universitas Sumatera Utara menyakitkan, sangkur merupakan benda tajam yang berfungsi untuk menyayat yang berbentuk seperti pisau. Dalam keadaan menyakitkan timbul harapan hadirnya adanya cahaya yang menjadi penerang yang mampu melepaskan dari setiap rasa sakit itu. Harapan ini ditegaskan dengan adanya pengulanggan pada kata mata kejora mata kejora, mata kekasih dalam dekapan malam. Bait keempat merupakan klimaks dari puisi di atas yang menggambarkan harapan pengarang pada suatu keadaan yang menentramkan ketika keadaan semakin tidak terkendalikan yang diungkapkan dengan kata di dalam kalbuku yang murung ini, engkaulah mata air pengharapanku. Dengan keeratan hubungan antara bait-bait puisi di atas, keprihatinan Rendra pada kondisi negeri ini dengan jelas ia gambarkan. Tiap bait memiliki hubungan yang erat antara bait yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari diksinya, menggunakan bahasa kiasan dan simbolik yang memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Ekstra estetik banyak dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia, puisi ini menggambarkan tentang keadaan alam semesta: pertanian, penebangan hutan, hasil laut yang semakin memburuk. Selain itu, ekstra estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas pencemaran terhadap lingkungan , dan kritik atas penebangan-penebangan kayu di hutan. Dari segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum yaitu tentang lingkungan hidup yang tidak pernah diberi perhatian. Universitas Sumatera Utara

4.2.3 Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia