estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak
tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jalas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan kekuasaan, kekerasan, dan kematian.
4.2.4 Puisi Ibu di Atas Debu
Dalam puisi Ibu di Atas Debu kata sepatu serdadu memiliki arti keras dan tua. Kata rumah hukum memiliki makna keadilan. Kata rumah daulat
rakyat memiliki arti jaminan terhadap kesatuan dan kebahagian masyarakat. Kata gardu jaga tentara militer yang bertugas menjaga keamanan masyarakat. Kata
pos polisi adalah menuntut ketertiban umum menangkap orang-orang yang melanggar undang-undang. Kata tempurung merupakan suatu hal yang sudah
tidak berguna lagi. Kata di atas debu berada pada posisi yang tidak nyaman, pada keadaan yang tidak menyenangkan. Kata pensiun guru, tunjangan tentara
yang patah satu kakinya menggambarkan harapan tentang adanya perhatian pemerintah pada jasa-jasa yang telah diberikan oleh negara kepada para pejuang
dan orang-orangt yang berjasa terhadap ibu pertiwi. Kata rotan kekayaan lautan adalah menggambarkan hasil bumi dan hasil dari laut. Kata untaian
zambrud menggambarkan nusantara. Kata lumpur memiliki arti keadaan yang tidak baik. Kata pengantin yang koyak dandanannya menggambarkan
perempuan-perempuan yang diperlakukan tidak adil, adanya pelecehan yang terjadi pada kaum perempuan. Kata mata kosong menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
ketidakberdayaan. Kata sampah sejarah memiliki arti orang-orang yang menjadi korban dari keadaan, korban peristiwa masa lalu.
Secara struktural hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi
gambaran tentang penantian yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh seorang ibu yang sudah tua. Penantian dilakukan tanpa mengenal waktu, hal ini
dikiaskan dengan kata perempuan tua yang termangu, teronggok di tanah yang berdebu, wajahnya bagai sepatu serdadu. Pada bait ini juga mengungkapkan
adanya penantian pada sesuatu hal yang ia tidak tau kapan datangnya. Bait kedua menggambarkan tentang Jakarta, adanya peristiwa yang menyebabkan adanya
kebakaran sehingga menyebakan adanya korban jiwa yang banyak yang dikiaskan pengarang denga kata Jakarta menjadi lautan api, mayat menjadi arang, mayat
hanyut dikali. Pada bait ketiga adanya perulangan yang dibuat pengarang untuk menegaskan penantian yang dialami oleh seorang ibu yang menunggu tanpa kenal
lelah. Dalam bait ini juga menggambarkan tentang pertanyaan mengenai keberadaan keadilan yang menjanjikan kenyamanan untuk masyarakat, yang
menjanjikan adanya perlindungan bagi rakyat kecil, janji terhadap perlindungan pada hak setiap masyarakat yang diungkapkan pengarang dengan kata di mana
rumah hukum?, di mana rumah daulat rakyat?, di mana gardu jaga tentara yang akan melindungi rakyat tergusur?. Pada bait keempat menggambarkan
suasana tentang penantian yang belum usai, keingin tahuan pada penantian yang dilakukan oleh sosok ibu. Ada pengulangan yang menunjukkan penegasan
terhadap pertanyaan untuk apa penantian tetap dilakukan, apakah yang
Universitas Sumatera Utara
diharapkan, apakah pada kebaikan dan balas jasa pada semua yang sudah terjadi, atau kepada siapakah semua balas jasa itu diberikan. Bait kelima pengarang
bertanya tentang asal usul si ibu. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa alam kehidupan ini sedang dilanda kesusahan yang disimbolkan dengan kata zambrud
tenggelam di lumpur. selanjutnya digambarkan tentang keadaan wanita-wanita yang sering kali tidak mendapat perlakuan yang baik hal ini dikiaskan dengan
pengantin yang koyak dandananya, dicemarkan tangan asing, tergolek dikebun kelapa raya. Bait keenam adalah teguran Rendra untuk para penguasa
agar melihat kepada orang-orang kecil yang dirampas haknya yang tak berdaya, dan tak mampu menyuarakan apa-apa. Pada bait ketujuh, bait ini merupakan
penegasan dari bait sebelumnya, suatu teriakan kepada pemerintahan agar melihat kepada orang-orang yang yang tak lagi memimpin dengan hati dan kebijaksanaan,
mereka telah larut terbuai dalam kekuasaan dan kedudukan. Mereka tidak melihat orang-orang yang dirampas haknya, yang menjadi korban kekejaman dari
pemerintahan yang sedang terjadi. Puisi ini memiliki hubungan tiap baitnya. Tiap-tiap bait hanya bermakna
dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak
dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari segi diksi, menggunakan simbolis yang memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para
pembaca. Ekstra estetik banyak dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri, sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia:
kebebasan bicara, hidup merdeka, bebas dari penindasan, dan menuntut kehidupan
Universitas Sumatera Utara
yang layak. Selain itu, puisi ini juga mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-
penyelewengan. Dari segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jalas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan
kekuasaan, kekerasan, dan kematian.
4.2.5 Puisi Jangan Takut Ibu