4.2.3 Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
Kata bulan gelap raja-raja memiliki makna hari-hari yang penuh dengan gejolak dalam pemerintahan atau adanya keributan yang terjadi pada petinggi-
petinggi negara. Kata sampah kehidupan memiliki makna yang tidak berguna bagi kehidupan. Kata pikiran kusut adalah keadaan bingung, susah hati. Kata
simpul-simpul sejarah adalah kumpulan peristiwa dan kejadian yang benar- benar terjadi pada masa lampau. Kata tenda kepercayaan memiliki arti anggapan
atau keyakinan tentang sesuatu yang dipercayai. Kata fatamorgana kekuasaan memiliki arti angan-angan atau khayalan tentang pemerintahan, dan wewenang
untuk menentukan sesuatu. Kata mahkota raja-raja merupakan hiasan kepala atau songkok kebesaran bagi raja. Kata kabut ketakutan adalah hilangnya rasa
keberanian, suram, kegelisahan dan kekhawatiran. Kata terbentur sangkur memiliki arti tertumbuk pada pisau atau benda tajam. Kata ratu adil merupakan
tokoh yang diharapkan menjadi pembebas dari kesengsaraan. Kata bintang pedoman adalah pemimpin yang terbaik, orang yang menjadi teladan. Kata
cadarkabut duka cita adalah hamparan kesedihan. Dalam sajak di atas ada hubungan atau pertautan yang erat antara unsur-
unsurnya, satuan-satuan kebermaknaannya. Ada kesatuan imaji. Imaji suram, suasana kelam: bulan gelap, bangkai-bangkai, sampah kehidupan, malam kelam,
kebingungan, kabut ketakutan, putus asa, bau anyir darah, dan sudut-sudut gelap. Sesuai dengan itu latarnya: aspal jalan, selokan, dan comberan. Tiap bait pun
dengan baik menggambarkan suasana duka, murung, suram, dan sedih, maknanya
diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan sesuai untuk mengungkapkan
Universitas Sumatera Utara
kesedihan, lebih-lebih dalam kata-kata: bulan gelap, bangkai-bangkai, malam kelam, kebingungan, kabut ketakutan, terbentur sangkur, tipu daya, prahara, bau
anyir darah, fana, pikiran-pikiran kalap, dan sudut-sudut gelap. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek
puisinya. Kegelisahan akan ketidakadilan hukum, serta ketamakan para penguasa,
semua ini dipaparkan dalam bait kedua, ketiga, dan keempat. Penggambaran
tersebut diperkuat dengan bunyi o pada dua baris pertama dari bait-bait tersebut.
Dengan demikian, kegelisahan Rendra kian tergambar dan mengklimaks pada bait kelima yang merupakan sebuah kontemplasi.
Begitu juga, hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi gambaran
bahwa di saat kejatuhan sang penguasa, terjadi pergolakan di jalan-jalan di Indonesia, yang akhirnya menelan korban jiwa, dikiaskan dengan bangkai-
bangkai tergeletak lengket di aspal jalan. Bait kedua menggambarkan suatu keadaan hukum tidak lagi berarti, sehingga kepercayaan antara rakyat dan
penguasa tak lagi ada yang digambarkan dengan kata koyak moyak suda keteduhan tenda kepercayaan, kitab undang-undang tergeletak di selokan. Pada
bait ketiga, dikemukakan, bahwa untuk mengembalikan kepercayaan yang telah hilang, maka hukum haruslah tidak berpihak yang digambarkan dengan kata
bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara. Kata mahkota sendiri menjadi simbol kekuasaan dan kata raja sebagai
Universitas Sumatera Utara
orang yang memegang kekuasaan. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang menggambarkan bahwa untuk menegakkan keadilan, keadilan Tuhanlah yang
pentas ditegakkan, keadilan yang tidak pernah berpihak pada manusia manapun. Terlepas dari Tuhan yang Mahaadil, kata Ratu Adil pada bait ini merupakan
sebuah simbol keadilan yang juga tidak memihak. Dalam berbagai kebudayaan, Ratu Adil sering digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangan kanannya
memegang sebuah timbangan dan tangan kirinya memegang sebilah pedang, serta matanya tertutup oleh kain. Bait kelima merupakan klimaks dari sajak di atas
yang menggambarkan bahwa kondisi buram masyarakat suatu Negara diakibatkan oleh penguasa yang semena-mena. Bait keenam adalah teguran Rendra untuk para
penguasa yang tak lagi memimpin dengan hati dan kebijaksanaan, mereka telah larut terbuai dalam kekuasaan dan kedudukan. Pada bait terakhir, kembali Rendra
menegaskan keprihatinannya atas petaka yang menimpa negeri ini. Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, keprihatinan Rendra
pada kondisi negeri ini dengan jelas ia gambarkan dalam sajak ini. Tiap-tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak
ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari diksinya,
banyak menggunakan bahasa kiasan dan simbolik yang memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Ekstra estetik banyak
dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri, sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia: kebebasan bicara, hidup merdeka,
bebas dari penindasan, dan menuntut kehidupan yang layak. Selain itu, ekstra
Universitas Sumatera Utara
estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak
tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jalas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan kekuasaan, kekerasan, dan kematian.
4.2.4 Puisi Ibu di Atas Debu