47
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN DATA PENELITIAN
A. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Etnisitas
Berdasarkan teori etnisitas, rasa kebersamaan dan ikatan sosial dalam suatu masyarakat, secara khusus dalam masyarakat plural majemuk, dapat terbangun
dan terjalin begitu rupa karena adanya kesamaan asal-usul atau leluhur, garis keturunan atau hubungan darah, marga, bahasa dan dialek, ciri-ciri fisik, nilai-nilai
budaya, dan praktik-praktik budaya seperti seni, sastra, dan musik, loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma,
kepercayaan, nilai-nilai bersama, dan juga dalam hal agama atau kepercayaan- kepercayaan yang dianut. Berdasarkan teori etnisitas, dapat dikatakan bahwa
apabila satu atau lebih dari ciri-ciri atau aspek-aspek di atas terkombinasikan atau terpola dalam sebuah kelompok sosial, maka hal itu pasti akan melahirkan perasaan
etnisitas. Berdasarkan analisis penulis, perasaan etnisitas inilah yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat yang dikenal
dengan kelompok-kelompok etnis. Demikian juga halnya dengan masyarakat Gunungsitoli sebagai masyarakat
plural majemuk yang terdiri dari berbagai etnis pasti memiliki rasa kebersamaan dan ikatan sosial yang terbangun dan terjalin atas dasar etnisitas. Perasaan etnisitas
ini pasti tidak dapat disangkal atau ditiadakan di dalam diri tiap-tiap kelompok etnis yang ada. Etnisitas ini kemudian terintegrasikan dalam bentuk-bentuk
kekerabatan sosial yang mewujud dalam perkumpulan-perkumpulan keluarga
48
berdasarkan hubungan darah, marga, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Gunungsitoli misalnya, banyak berdiri STM Serikat Tolong Menolong
berdasarkan marga atau berdasarkan kumpulan keluarga besar tertentu anak, keponakan, cucu, dsb yang dilihat menurut hubungan darah atau garis keturunan
silsilah. Bahkan tidak jarang, perkumpulan-perkumpulan seperti ini juga dibentuk di luar daerah, misalnya: organisasi IKAONI Ikatan Keluarga Ono
Niha
1
yang ada di Kota Salatiga. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini sesuai dengan salah satu teori etnisitas yang disampaikan oleh T.K. Oommen bahwa
etnisitas dapat dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk mencari kesatuan psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum,
yakni kesamaan darah, baik secara nyata maupun fiktif. Namun sejauh pengamatan penulis terhadap masyarakat Gunungsitoli,
perasaan etnisitas itu sebenarnya tidak hanya terbentuk, terbangun, dan terjalin dalam relasi internal salah satu kelompok etnis tertentu saja. Dalam konteks
kemasyarakatan dan relasi sosial yang lebih luas di Kota Gunungsitoli, perasaan etnisitas itu juga terlihat dalam hubungan-hubungan sosial di antara kelompok-
kelompok etnis di Kota Gunungsitoli. Perasaan etnisitas antar kelompok-kelompok etnis ini sangat erat kaitannya dengan beberapa kearifan lokal seperti penulis
jelaskan pada Bab III, yaitu tentang banua dan fatalifusöta. Ketika seseorang bergabung dan mengikatkan dirinya menjadi banua, maka oleh seluruh anggota
masyarakat dalam banua tersebut menerima dia sebagai anggota masyarakat yang
1
IKAONI Ikatan Keluarga Ono Niha adalah organisasi atau perkumpulan masyarakat dari seluruh keluarga dan mahasiswa yang berasal dari Nias yang berdomisili atau sedang menempuh pendidikan di Kota
Salatiga dan sekitarnya. Anggota-anggota organisasi ini tidak hanya terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki hubungan darah khusus atau dari marga yang serumpun, tetapi seluruh masyarakat yang berasal dari
Nias tanpa melihat hubungan darah tertentu, marga, asal kampung, dan sebagainya.
49
sah dalam wilayah tersebut. Konsep fabanuasa terlihat di dalam interaksi-interaksi sosial antar kelompok etnis tanpa melihat garis keturunan atau hubungan darah,
perbedaan marga, suku, agama, ras, status sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Penerimaan satu sama lain ini juga sangat didukung oleh kearifan lokal
yang mengatakan emali dome si so balala, ono luo na so yomo
.
Seseorang yang telah menjadi anggota masyarakat tadi tidak dianggap sebagai orang asing lagi,
melainkan dianggap sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya dalam wilayah atau banua tersebut. Nilai kehidupan tertinggi dalam banua tersebut
adalah rasa saling menerima dan persaudaraan atau fatalifusöta. Berdasarkan kearifan lokal ini tercipta sebuah masyarakat yang tidak hanya dikonstruksi atau
dibatasi oleh garis keturunan, kekeluargaan karena ikatan darah. Oleh karena itu, selain faktor selain faktor kesamaan darah hubungan darah seperti disebutkan
dalam teori etnisitas oleh T.K. Oommen, realitas sosial ini juga mendukung teori etnisitasnya yang lain yang mengatakan bahwa di masa sekarang masyarakat dan
kelompok etnis tidak dibatasi oleh garis keturunan dan kekeluargaan. Oleh karena itu, istilah banuada ini merupakan salah satu ungkapan dalam bahasa Nias yang
secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat kita atau satu kampung dengan kita” yang selama ini sering atau biasanya digunakan oleh masyarakat Nias
dan Kota Gunungsitoli untuk menunjuk kepada sesama etnis Nias, dalam perspektif etnisitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas secara sosiologis yaitu
keseluruhan masyarakat Nias atau masyarakat Gunungsitoli yang terdiri dari beragam etnis, dan bukan hanya terdiri dari etnis Nias saja sebagai kelompok etnis
yang terbesar jumlahnya dalam masyarakat.
50
Memang dalam kenyataannya, sudah jarang terlihat atau jarang dilaksanakan semacam upacara adat tentang penerimaan seseorang menjadi anggota yang sah
dalam masyarakat Gunungsitoli. Tetapi karena jiwa dan nilai-nilai banua tersebut masih tetap ada dalam kehidupan Ono Niha
2
penerimaan satu sama lain dan rasa persaudaraan yang kuat, serta telah diwariskan secara turun-temurun dari para
orang tua atau leluhur sebelumnya, maka tidak pernah ada penolakan dari kelompok etnis Nias terhadap para pendatang atau etnis-etnis lainnya yang ada di
Kota Gunungsitoli. Sehubungan dengan adanya kecenderungan mendikotomikan kelompok-
kelompok etnis menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas ketika berbicara tentang etnisitas, dari realitas sosial yang ada dapat diamati bahwa kecenderungan
tersebut tidak terlihat dalam komposisi etnis di tengah-tengah masyarakat Gunungsitoli. Menurut analisis yang sudah dilakukan, istilah “etnis mayoritas” dan
“etnis minoritas” dalam masyarakat Gunungsitoli sebaiknya jangan dimaknai secara politis, sebab hal itu akan melahirkan kesenjangan-kesenjangan sosial serta
arogansi etnis. Kedua istilah itu sebaiknya dimaknai secara kuantitatif dalam komposisi kependudukan, yaitu etnis mayoritas sebagai kelompok yang jumlah
anggotanya paling banyak, dan etnis minoritas sebagai kelompok yang jumlah anggotanya sedikit.
Etnisitas yang dimaknai Eriksen secara politis
3
dalam teori etnisitasnya sebagai dominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, sampai
saat ini masih belum kelihatan secara sosiologis dalam konteks masyarakat
2
Tuhony Telaumbanua., “Upaya Menata Sosial-Budaya Masyarakat Nias Pasca Bencana”.., 93.
3
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity..,16-17.
51
Gunungsitoli. Hal ini tidak bermaksud mengabaikan begitu saja analisis Eriksen tersebut di atas. Bagaimana pun juga, dalam kontek-konteks sosial lainnya tak
dapat disangkal bahwa kemungkinan-kemungkinan pendikotomian kelompok- kelompok etnis tersebut bisa saja ada atau terjadi, tetapi hal itu mungkin terjadi
dalam skala yang kecil sehingga dapat diabaikan atau tidak terlalu mencuat ke permukaaan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa secara khusus dalam struktur
Pemerintahan Kota Gunungsitoli, etnis Nias merupakan etnis mayoritas yang ada di dalamnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa telah terjadi “budaya dominasi” oleh
etnis Nias kepada etnis-etnis lainnya dalam hal perolehan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan struktural dalam pemerintahan, sebab dalam bab
sebelumnya dituliskan bahwa etnis-etnis lainnya juga mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam struktur pemerintahan.
Hal ini merupakan salah satu nilai kesetaraan dan keadilan yang telah dipraktekkan dalam hubungan antar kelompok-kelompok etnis di tengah-tengah
masyarakat Gunungsitoli. Secara sosial-politis, upaya yang seperti ini juga cukup ampuh untuk meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan konflik atau pertikaian
antar etnis dalam masyarakat plural seperti Kota Gunungsitoli, sebagaimana terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia yang tidak jarang menelan korban dalam
jumlah yang tidak sedikit. Sehubungan dengan hal ini, apa yang disampaikan oleh Bhikhu Parekh patut menjadi renungan bersama, yaitu:
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman pluralitas telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling
tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang
terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah
mengalir dari Yugoslavia, Cekoslovakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas
52
Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan semua sentimen etnis, ras, golongan dan juga
agama.
4
B. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Identitas Sosial