52
Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan semua sentimen etnis, ras, golongan dan juga
agama.
4
B. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Identitas Sosial
Secara sosiologis, masyarakat Gunungsitoli bukanlah suatu masyarakat homogen yang hanya terdiri dari satu bentuk kebudayaan saja. Keragaman atau
pluralitas etnis yang ada di dalamnya membuat kota ini memiliki sistem kebudayaan yang berbeda antar satu etnis dengan etnis lainnya. Hal ini disebabkan
oleh sistem nilai dan tradisi-tradisi yang berbeda dalam tiap-tiap etnis. Apabila keragaman atau pluralitas ini dikelola secara bijaksana, maka akan menjadi suatu
panorama sosial yang memungkinkan setiap orang dari latarbelakang budaya dan etnis manapun untuk hidup dalam kebudayaan yang tinggi dan beradab. Namun
adalah sebaliknya, apabila keragaman atau pluralitas ini tidak dapat dikelola secara bijaksana maka segala unsur perbedaan tersebut akan menjadi permasalahan serius
yang dapat mengancam keharmonisan sosial. Berdasarkan teori identitas sosial, salah satu bahaya besar yang mengancam
harmoni sosial dalam masyarakat plural adalah adanya potensi atau ancaman konflik antar etnis. Penyebabnya seringkali tak lain adalah munculnya anggapan
atau klaim dari salah satu etnis tertentu yang merasa, menilai dan meyakini bahwa etnisnyalah yang lebih unggul, lebih baik, dan lebih superior dibandingkan dengan
etnis-etnis lain yang hidup bersama dengan mereka dalam suatu masyarakat plural. Di dalam sikap superior etnis yang seperti ini juga, seringkali tak dapat dihindari
4
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keragaman Budaya dan Teori Politik Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012, 87-88.
53
sikap menonjolkan atau mengagung-agungkan kebudayaan sendiri, serta menjelek- jelekkan kebudayaan lain dari kelompok etnis minoritas lainnya.
Adanya anarkisme berkaitan dengan tuntutan pengakuan terhadap identitas etnis atau diri pada umumnya disebabkan oleh tidak adanya kesadaran
semacam itu. Kebudayaan yang tumbuh dalam sebuah komunitas dipandang sebagai kemutlakan yang harus diakui dan diagungkan keberadaannya. Sikap
berlebihan itu kemudian memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk menjelekkan dan tidak mengakui eksistensi budaya kelompok budaya
lain. Pada titik ini diperlukan sebuah kebijakan yang bijak dan arif untuk memberikan keluasan bergerak bagi masing-masing entitas budaya dengan
tetap mengakui keberadaan budaya yang lain. Jika tidak, gesekan-gesekan yang terjadi antarbudaya akan terjebak pada sikap fanatik, eksklusif, yang
tentunya akan berdampak pada perpecahan.
5
Hal ini dapat semakin diperburuk oleh adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan
dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan untuk
mengembangkan kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Kelompok sosial atau kelompok etnis paling dominan biasanya paling menguasai seluruh bidang tersebut di atas, dan mendapatkan kesempatan yang lebih besar serta
keuntungan yang lebih banyak dibanding kelompok-kelompok etnis kecil atau minoritas lainnya. Kenyataan ini disebabkan oleh karena secara objektif mereka
memiliki sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih memadai serta memiliki akses yang lebih baik dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada,
selain juga karena klaim sepihak bahwa merekalah yang yang seolah-olah paling berhak atas pemanfaatan sumber-sumber daya tersebut. Konsekuensi realnya adalah
munculnya perbedaan-perbedaan kelas sosial, budaya, dan politik dalam masyarakat plural tersebut. Terdapat perbedaan yang tajam dan jelas antara mereka
5
Ibid., 92-93.
54
yang tergolong sebagai kelompok dominan, dan mereka yang cenderung didominasi atau didiskriminasi sebagai kelompok minoritas.
6
Dalam suatu masyarakat plural biasanya biasanya tetap ada kecenderungan kelompok-kelompok sosial untuk membentuk ingroup dan outgroup. Biasanya,
kelompok dominan atau mayoritas ini juga dikenal dengan sebutan ingroup, sedangkan kelompok minoritas biasa dikenal dengan sebutan outgroup.
Setiap manusia mempunyai keinginan untuk membentuk kelompok kami ingroup dan kelompok mereka outgroup, sesuai dengan cita-cita, cara
hidup ataupun minatnya. Akibat lanjut dari hal ini adalah munculnya istilah- istilah seperti pribumi dan non-pribumi, Timur dan Barat, hitam sawo
matang dan putih, Katolik dan Protestan, rohaniwan dan awam, serta tua dan muda. Kenyataan itu adalah sangat kodrati dan sering dapat membantu
manusia.
7
Secara praktis, untuk lebih mudah memahami relasi antar kelompok sosial dalam masyarakat Gunungsitoli, selanjutnya istilah ingroup dan outgroup dalam
teori-teori identitas sosial tersebut akan digunakan dalam tulisan ini dengan mengumpamakan bahwa etnis Nias kelompok mayoritas sebagai ingroup, dan
para pendatang atau etnis-etnis lainnya kelompok-kelompok minoritas sebagai outgroup. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang sudah dilakukan, etnis
Nias sebagai kelompok sosial mayoritas dalam masyarakat Gunungsitoli hampir tidak pernah memposisikan dirinya sebagai ingroup yang mendiskriminasi
kelompok-kelompok sosial minoritas lainnya outgroup, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai
bidang kehidupan lainnya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Etnis Nias sebagai ingroup dalam kehidupan sosial sehari-hari
6
Afthonul Afif, Identitas Tionghoa
.., 45.
7
Andreas Tefa Sa’u, Etnologi Dan Tugas Perutusan Flores, NTT: Penerbit Nusa Indah, 2006, 193.
55
hampir tidak pernah memandang rendah kebudayaan dan tradisi-tradisi dari etnis- etnis lainnya. Bahkan yang ada ialah etnis Nias sebagai ingroup telah menunjukkan
sikap positif, terbuka dan menerima etnis-etnis lain dengan segala keberadaan dan kebudayaan yang mereka miliki.
Dalam kearifan lokal “emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo” terkandung makna yang sangat dalam bagaimana masyarakat Nias, secara khusus
etnis Nias sejak dulunya telah memperlakukan tamu, orang asing atau pendatang dengan penuh keramahan dan rasa hormat, yaitu dengan mengundang mereka
bertamu ke rumahnya dan menerima serta memperlakukan mereka sebagai tamu yang sangat dihormati, bahkan tidak jarang dijamu dengan makanan dan minuman.
Berdasarkan sikap yang sangat bersahabat dan penuh persaudaraan ini, dapat disimpulkan bahwa merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau tidak wajar
bagi etnis Nias untuk memposisikan diri sebagai ingroup yang mendiskriminasi outgroup-outgroup lainnya. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Afthonul Afif
bahwa pola relasi ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflik-konflik sosial, atau oleh Mayor Polak sebagai suatu kelainan sikap
yang berwujud antagonisme atau antipati, secara objektif masih belum kelihatan sebagai sebuah gangguan sosial atau disharmoni sosial dalam masyarakat
Gunungsitoli. Analisis ini sedikitpun tidak bermaksud mengabaikan atau memandang remeh kemungkinan-kemungkinan atau potensi-potensi konflik yang
bisa saja terjadi dalam pola relasi ingroup-outgroup, namun setidaknya apa yang telah kelihatan dalam sikap etnis Nias dengan para pendatang atau etnis-etnis lain
hingga saat ini memberi sebuah penjelasan bahwa sejauh ini telah tercipta harmoni sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli.
56
Berdasarkan realitas sosial ini, dalam menyikapi identitas etnik atau cultural identity, dapat dianalisis bahwa agaknya kemungkinan besar etnis Nias sebagai
ingroup dalam relasi sosialnya dengan etnis-etnis lainnya berada pada tipologi sikap “ethnic identifities clarification” dan “the ethnicity” sebagaimana telah
dikelompokkan oleh James Banks dalam tulisan yang dikutip oleh Choirul Mahfud.
8
Kedua tipologi sikap ini menggambarkan sikap yang positif terhadap budaya sendiri ingroup, menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban
positif kepada budaya-budaya lain outgroup, serta menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain outgroup, seperti
budayanya sendiri. Sikap etnis Nias yang cukup positif dan terbuka terhadap kebudayaan etnis-
etnis lain tersebut memberi rasa nyaman dan kebebasan bagi semua etnis pendatang di Kota Gunungsitoli untuk mengapresiasi diri secara bebas dengan segala
kekayaan nilai budaya dan tradisi mereka, serta memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan kehidupan dalam berbagai bidang. Hal ini sesuai
dengan apa yang pernah dituliskan oleh Bhikhu Parekh dalam menyikapi keanekaragaman budaya serta bagaimana kita seharusnya mengelolanya secara etis
dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat plural, yaitu: Keanekaragaman budaya juga merupakan suatu penentu dan kondisi bagi
kebebasan manusia. Jika manusia tidak mampu keluar dari kebudayaannya, mereka tetap terpenjara di dalamnya dan cenderung untuk memutlakkannya,
membayangkannya menjadi satu-satunya jalan alamiah atau yang tidak membutuhkan bukti untuk memahami dan mengorganisasikan hidup
manusia. Dan mereka tidak mampu keluar dari kebudayaan mereka kecuali jika memiliki akses pada kebudayaan lain. ...
8
Choirul Mahfud, Pendidikan.., 202-203.
57
Keanekaragaman kebudayaan juga menyadarkan kita pada keanekaragaman budaya dalam diri kita. Untuk melihat perbedaan-perbedaan di antara
kebudayaan-kebudayaan, kita cenderung mencari perbedaaan dalam diri dan belajar memperlakukan mereka secara adil. Kita menghargai bahwa
kebudayaan kita merupakan satu hasil dari pengaruh yang berbeda, berisi rangkaian-rangkaian pikiran yang berbeda dan terbuka terhadap penafsiran-
penafsiran yang berbeda. Hal ini membuat kita curiga terhadap segala upaya untuk menghomogenisasi perbedaan dan menghadapkan padanya satu
identitas tunggal dan disederhanakan. Hal ini juga mendorong satu dialog internal dalam kebudayaan, menciptakan satu ruang bagi pemikiran kritis
dan independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimentalnya. Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan kita tentang agama Kristen,
toleransi terhadap perbedaan dari luar dan dalam melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Satu kebudayaan atau agama yang menganggap
dirinya sebagai yang terbaik dan mengakhiri kebudayaan lain atau takut dan menghindari kontak dengan mereka, cenderung mengambil satu pandangan
yang diseragamkan dan homogen mengenai diri mereka dan juga menghapus perbedaan
dan ambiguitas
internalnya. Keanekaragaman
budaya menciptakan iklim yang di dalamnya, kebudayaan yang berlainan dapat
terlibat dalam dialog yang saling menguntungkan.
9
Lebih lanjut Olaf H.Schumann juga mengatakan bahwa identitas manusia senantiasa dinamis dan tidak pernah statis, serta harus memiliki keberanian untuk
menolak segala tekanan atau paksaan yang berpotensi mereduksi kedirian manusia itu sendiri. Ia menjelaskannya sebagai berikut:
Ahli-ahli antropologi budaya dan ahli psikologi sama-sama mencari elemen- elemen identitas manusia. Secara khusus budaya dan lingkungan hidup
disebut sebagai faktor-faktor yang turut membentuk identitas. Mungkin hal itu benar. Namun tidak boleh dilupakan pula bahwa budaya secara khusus
merupakan hasil cipta manusia dan aktivitasnya. Jadi watak manusia tercermin dalam budaya yang ia ciptakan. Oleh karena itu, budaya tidak saja
berpengaruh pada identitas manusia, tetapi ia juga dibentuk oleh identitas manusia dan merupakan ekspresinya. Budaya dan identitas manusia saling
mempengaruhi secara timbal-balik. Oleh karena itu, mereka saling berhubungan di tingkat kemanusiaan, dan tentu mereka berubah menurut
kondisi perubahan kehidupan dan perubahan kesadaran manusia dan wawasannya. Tetapi budaya merupakan produk kolektif manusia sehingga
tidak setiap individu dapat mengidentifikasikan diri dengannya. Bila pribadi- pribadi berusaha mendefenisikan identitasnya atau “diri”-nya dalam konteks
9
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism.., 226-227.
58
budaya, mereka senantiasa terlibat dalam mempertahankan kebebasan mereka melawan suatu “hetero-determinasi” atau pemaksaan yang dilakukan
oleh budaya atau lingkungan hidup dan yang dapat menyebabkan alienasi mereka dari dirinya jika mereka tidak dapat menyetujuinya. Oleh karena itu,
identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang statis tetapi ia senantiasa membutuhkan pengujian ulang dan penguatan diri. Dalam upaya menemui
“diri”-nya, setiap manusia harus menolak setiap tekanan atau paksaan yang menggunakan budaya atau agama yang direduksi menjadi semacam fides
quae creditur atau dogma-dogma yang harus dipercayai tanpa penjelasan maupun pengertian, atau yang membeku dalam aturan-aturan hukum dan
undang-undang tanpa dapat diyakini legalitasnya.
10
Berdasarkan makna yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah atau sebutan
‘mayoritas’ dan ‘minoritas’, ingroup dan outgroup, tuan rumah penduduk asli dan pendatang, atau pribumi dan non pribumi sebaiknya dihilangkan atau tidak
digunakan lagi dalam interaksi-interaksi sosial. Hal ini penting untuk menghilangkan atau meminimalisasi sikap atau upaya-upaya yang mempertajam
perbedaan yang ada, terlebih apabila hal itu digunakan sebagai alat atau sarana untuk mendominasi yang lain. Kenyataan objektif ini tidak dimaksudkan sebagai
penyeragaman budaya atau upaya menghilangkan budaya kelompok-kelompok minoritas oleh kelompok-kelompok mayoritas dalam sebuah masyarakat plural,
melainkan lebih kepada penerimaan dan penghargaan kepada budaya-budaya lain
dengan segala kekayaan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya.
Hal ini sangat sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh John A. Titaley dalam salah satu makalahnya, yaitu:
10
Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan Jakarta: PT BPK GunungMulia, 2009, 161-162.
59
Sejalan dengan Indonesia fenomen baru, tidak ada lagi sebutan minoritas- mayoritas, tuan rumah-pendatang, asli-asing.Sebab Indonesia dibentuk bukan
oleh satu suku saja tetapi oleh berbagai suku, termasuk etnis Tionghoa. Memang ada pandangan yang kontra terhadap hal ini, namun jika pemikiran
seperti ini dijalankan, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika Indonesia hendak dipahami sebagai fenomen baru. Indonesia fenomen baru
adalah Indonesia yang tidak lagi membedakan pribumi dan non pribumi, atau mengklaim sebagai Indonesia asli sedangkan yang lainnya pendatang. Jadi
tidak ada sukugolongan yang lebih baik, tinggi, benar, hebat, atau berkuasa. Indonesia seperti itulah yang membebaskan diri dari dikriminasi.
11
Dari sudut pandangan sosial budaya, Jakob Sumardjo dengan sangat tepat melukiskan keragaman di Indonesia dalam ungkapan: “Sejak nenek moyang bangsa
Indonesia menempati kepulauan ini, keragaman budaya yang ratusan itu bisa hidup berdampingan. Tidak ada ambisi untuk menyamaratakan semua budaya itu dalam
satu kebudayaan tunggal yang monolit.
12
Dalam bingkai ke-Indonesia-an, hal ini dapat dipahami dalam semboyan negara kita, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika secara harafiah adalah berbeda-beda tetapi satu jua berarti persatuan dalam keberanekaragaman. Terdapat beraneka ragam
satuan-satuan suku, agama, ras, dan golongan tetapi tetap ada sesuatu yang mengikat dan menghubungkannya melalui apa yang disebut sebagai
“Indonesia”.
13
Secara etis, kearifan-kearifan lokal tersebut di atas mengajarkan bahwa masing-masing kelompok etnis harus berusaha untuk saling menerima dan
menyesuaikan diri satu sama lain dalam suatu masyarakat. Hal ini tidak bermaksud
11
John A. Titaley, “Peran Gereja-Gereja dan PerguruanTinggi Kristen KawasanTimur Indonesia dalam Negara Kebangsaan Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengembangan SDM
SANTI, tanggal 24 Juni 1998, 6.
12
Jakob Sumardjo, “Makna Kesatuan Indonesia”, Kompas 12 Maret 2011, 6.
13
Andy Fuller,“Kebebasan Beragama Di Indonesia Beberapa Catatan Berdasarkan Observasi”, TitikTemu Jurnal Dialog Peradaban, Volume 4, Nomor 1 Juli – Desember 2011, 157.
60
mengatakan bahwa masing-masing etnis menjadi kehilangan identitas sosial atau identitas etniknya. Demikian juga identitas salah satu etnis etnis minoritas tidak
menjadi hilang, dibuang atau ditanggalkan karena berhubungan atau bergaul dengan kelompok etnis mayoritas yang ada di dalam suatu masyarakat plural
dimana mereka hidup secara bersama-sama, lalu mengenakan identitas baru yang sesuai dengan identitas kelompok mayoritas, misalnya karena proses interaksi
sosial yang terjadi antara etnis Cina Tionghoa sebagai kelompok minoritas dengan etnis Nias sebagai kelompok mayoritas, maka etnis Cina membuang atau
menanggalkan budaya Cina dan identitasnya sebagai orang Cina. Lebih lanjut dalam analisis yang sudah dilakukan, masyarakat Gunungsitoli
secara sosiologis telah menunjukkan pola relasi sosial dimana seseorang atau salah satu kelompok sosial menerima orang lain atau kelompok sosial lainnya tanpa
melihat dan mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai faktor penghambat proses penyesuaian dan penerimaan tersebut. Karena itu, sikap etnis
Nias yang mau terbuka dan menerima para pendatang atau etnis-etnis lain bukan berarti penyeragaman budaya, juga bukan pembentukan budaya baru atau budaya
campuran, atau penghilangan dan penanggalan budaya, melainkan penerimaan setiap budaya untuk tetap hidup, berkembang, dan dihargai. Artinya, etnis Nias
diakui dan diterima sebagai sebagai orang Nias dengan budaya Niasnya, etnis Padang diakui dan diterima sebagai orang Padang dengan budaya Padangnya, dan
seterusnya. Salah satu contoh konkrit yang menggambarkan hal ini ialah perkawinan antar etnis di Kota Gunungsitoli. Apabila seorang laki-laki dari etnis
lain menikah dengan seorang perempuan dari etnis Nias, maka tidak pernah ada
61
aturan, keharusan atau paksaan bagi laki-laki dari etnis lain tersebut untuk mengubah identitas etnisnya menjadi etnis Nias sebagai syarat untuk menikahi
perempuan tersebut. Hal ini berarti bahwa identitas etnisnya tetap diakui dan dihargai dengan segala nilai-nilai kebudayaan asalnya yang telah melekat pada
dirinya. Sikap saling menerima dan mengakui eksistensi masing-masing orang atau kelompok seperti ini, disadari atau tidak disadari memiliki implikasi sosial yang
sangat tinggi terhadap keadilan sosial dalam suatu masyarakat, seperti diungkapkan oleh Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, dalam salah satu tulisannya sebagai berikut:
Akhirnya, keadilan sosial juga menyangkut segi ideologi dan budaya. ... Dalam masyarakat majemuk, telah bertumbuh berbagai bentuk budaya.
Masing-masing kelompok budaya punya hak untuk mempertahankan kebudayaannya, asal hal itu tidak merugikan kelompok-kelompok lainnya.
Keadilan sosial justru semakin terwujud apabila semua kelompok budaya dapat berdialog secara terbuka, saling memperkaya melalui proses “memberi
dan menerima”.
14
Hal ini tentu saja memiliki hubungan dengan kearifan lokal banua dan fatalifusöta serta emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, yang pada
prinsipnya menerima secara terbuka siapa saja yang mau berinteraksi secara positif dan mengikatkan dirinya ke dalam masyarakat Gunungsitoli, tanpa melihat unsur-
unsur perbedaan yang ada seperti, agama, etnis, bahasa, warna kulit, status sosial- ekonomi, dan lain sebagainya. Sikap ini akan membawa kesadaran pluralisme yaitu
bahwa kemajemukan menuntut kebebasan untuk tidak menjadi sama dan serupa saja dengan yang lain. Oleh sebab itu, kemajemukan mengimplikasikan kesediaan
untuk mengakui dan bertoleransi terhadap hak hidup, kepentingan, pendapat dan
14
Al. Purwa Hadiwardoyo, “Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi” J.B. Banawiratma ed, Aspek Aspek Teologi Sosial, Seri Pustaka Teologi, 42.
62
keyakinan pihak lain.
15
Setiap orang dari kelompok etnis manapun selayaknya diperlakukan sebagai saudara atau tamu sahabat yang harus dihargai.
C. Potensi Konflik