PENGARUH KOPIGMENTASI TERHADAP STABILITAS WARNA ANTOSIANIN EKSTRAK KULIT TERUNG BELANDA(Cyphomandra betacea Sendtn)

(1)

ABSTRAK

PENGARUH KOPIGMENTASI TERHADAP STABILITAS WARNA ANTOSIANIN EKSTRAK KULIT TERUNG BELANDA

(Cyphomandra betacea Sendtn) Oleh

Herlina Wahyuni

Kopigmentasi telah dilaporkan sebagai salah satu mekanisme utama dalam menstabilkan warna antosianin. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jenis dan rasio molar kopigmen (katekol atau tanin) terhadap antosianin terbaik yang paling menstabilkan warna antosianin ekstrak kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama 40 hari penyimpanan. Stabilitas antosianin dievaluasi melalui pengamatan perubahan konsentrasi antosianin dan retensi warna selama periode penyimpanan serta kinetika reaksi. Kadar antosianin awal dari ekstrak kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) adalah 0,31 mMol/L (0,20 mg/100g). Kopigmentasi dengan katekol kurang efektif menstabilkan warna antosianin, ditunjukkan oleh konsentrasi antosianin pada rasio molar 0:1, 50:1 dan 100:1 tidak berbeda nyata, retensi warna pada pH 3,5 sebesar 44,35% dan kinetika reaksi pada suhu 65oC (k) 0,141 dan t½ 4,91 jam. Kopigmentasi dengan tanin pada rasio molar 100:1 lebih efektif menstabilkan warna antosianin yang ditunjukkan konsentrasi


(2)

antosianin 0,10 mMol/L setelah penyimpanan 40 hari, retensi warna pada pH 3,5 63,56% dan kinetika reaksi pada suhu 65oC (k) 0,063 dan t½ 11,00 jam.


(3)

ABSTRACT

COPIGMENTATION EFFECT ON COLOR STABILITY OF ANTHOCYANIN FROM EPICARP EXTRACT OF TERUNG BELANDA

(Cyphomandra betacea Sendtn)

By

Herlina Wahyuni

Copigmentation has been suggested as a main color stabilizing mechanism of the anthocyanin. The objectives of this research were to determine type and molar ratio of copigment (catechol or tannin) to anthocyanin which most stabilize the color of anthocyanin from epicarp extract of Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) during 40 days storage. Stability of anthocyanin was evaluated from changes of anthocyanin concentration and color retention during storage period and kinetic parameters. The initial anthocyanin content from epicarp extract of Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) was 0,31 mMol/L (0,20 mg/100g). Copigmentation with catechol less effective to stabilize of color of anthocyanin, indicated by concentration of anthocyanins at molar ratio 0:1, 50:1 and 100:1 which were not significantly different, color retention at pH 3,5 similarly of 44,35% and kinetics parameter at 65oC (k) 0,141 and t½ 4,91 hours. Copigmentation with tannin at molar ratio 100:1 was more effective to stabilize the color of anthocyanin indicated by


(4)

concentration of anthocyanin was 0,10 mMol/L after 40 days storage, color retention at pH 3,5 63,56 % and kinetics parameter at 65oC (k) 0,063 and t½ 11,00 hours.

Keywords: copigmentation, anthocyanin, catechol, tannin, Cyphomandra betacea Sendtn


(5)

(6)

(7)

(8)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa :

1.

Tesis dengan

judul

:

Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Warna Antosianin Ekstrak

Kulit

Terung Belanda (Cyphomandra Betdcea Sendtn) adalah karya saya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cala yang tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hal

intelektual atas karya ilmiah saya

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas

pemyataar

ini,

apabila dikemudian

hari

ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sangsi yang diberikan kepada saya.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Pembuat pemyataan,

Herlina Wahyuni NPM.1224051005


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serdang, pada tanggal 10 Juli 1981 sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Kusnoto (almarhum) dan Ibu Rubiyem. Penulis telah menikah dengan Eko Sulistiantoro, SH pada tanggal 18 September 2004 dan dikaruniai dua orang anak yang bernama Nabila Qisthi Sya’bani dan Satrya Sandya Yudha.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Dharma Wanita Serdang pada tahun 1986, Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Serdang tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Jatibaru tahun 1995, Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 5 Bandar Lampung tahun 1998 dan pada bulan September 2002 penulis menyelesaikan program sarjana pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan predikat cuumlaude.

Pada bulan Maret 2004, penulis diterima bekerja di salah satu perusahaan eksporter hasil laut yang bernama PT. Indokom Samudra Persada dan perusahaan memberikan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan master (S2) pada program studi Magister Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2012.


(10)

.XSHUVHPEDKNDQNDU\DKHEDWLQLXQWXN

$ZR.XQJDOPGDQ$ZR<XE\DQJVHQDQWLDVDPHQGR¶DNDQ

NHEHUKDVLODQKLGXSNX

6XDPLEHVHUWDDQDNDQDNNX\DQJPHQMDGLSHQ\HPDQJDW

GDQVXPEHULQVSLUDVLEDJLNX


(11)

SANWACANA

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Sujud dan puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Subhannahu Wata’ala yang telah begitu banyak melimpahkan nikmat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Warna Antosianin Ekstrak Kulit Terung Belanda (Cyphomandra Betacea Sendtn).

Tesis ini disusun berdasarkan kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai dengan bulan Juli 2014. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Tirza Hanum, selaku pembimbing pertama, yang bersedia memberikan bimbingan, pengarahan, informasi dan nasihat kepada penulis sampai selesainya tesis ini.

2. Dr. Ir. Murhadi, M.Si. selaku pembimbing kedua, atas bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis sampai selesainya tesis ini.

3. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc., Ph.D. selaku penguji tesis atas segala pengarahan, masukan dan tambahan informasi yang diberikan.


(12)

4. Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Bapak Kusnoto (Almarhum) dan Ibu Rubiyem tercinta atas kasih sayang dan segala do’a yang tulus untuk mengiringi setiap langkahku.

6. Suami (Eko Sulistiantoro, SH) dan anak-anak (Nabila Qisthi Sya’bani dan Satrya Sandya Yudha) tercinta atas segala pengertian, perhatian, dukungan, kasih sayang dan do’anya.

7. Bapak Hi.Saimi Saleh, Bapak Hi.Usman Saleh dan Ibu Hj.Sustinah selaku pemilik dan direksi PT. Indokom Samudra Persada atas kebaikan, kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan.

8. Seluruh staf pengajar (Dosen) pada Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan.

9. Bapak Endro Suprobo dan Ibu Aminatun atas do’a dan semangat yang diberikan. 10.Rekan-rekan MTIP Angkatan 2012 (Rini, Anjar, Eci, Aji, Naufal, Andre, Mba

Uci, Mba Liza, Teh Ecy, Bu Nurul, Bu Febri, Pak Ardi) serta Feni dan Dian atas persahabatan dan kerjasamanya.

11.Seluruh Manajer PT. Indokom Samudra Persada (Pak Yazid, Pak Rian, Pak Martin, Kakak Ifan, Kakak Indra, Pak Ferry, Pak Robert) yang telah mengizinkan, memberikan kesempatan dan mendorong kemajuan dan keberhasilan pendidikan saya.


(13)

12.Seluruh staf dan karyawan/karyawati PT.Indokom Samudra Persada dan PT. Indo American Seafoods yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, khususnya Divisi Quality Assurance (QA) yang sering saya tinggalkan, atas bantuan dan do’a kalian semua.

13.Staf pada Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian (Mas Joko, Mas Midi, Mas Hanafi) atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin….

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,


(14)

ŝ

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 5

C. Kerangka Pemikiran ... 5

D. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) ... 8

B. Antosianin ... 9

C. Stabilitas Antosianin ... 12

D. Kopigmentasi ... 14

E. Kopigmen ... 18

1. Katekol ... 19

2. Tanin ... 20

III. BAHAN DAN METODE ... 22

A. Waktu dan Tempat ... 22

B. Bahan dan Alat ... 22

C. Metode Penelitian ... 23

D. Pelaksanaan Penelitian ... 23

1. Persiapan Bahan ... 23

a. Pengupasan Kulit Terung Belanda dan Pengukuran Kadar Air ... 23

b. Pembuatan Larutan Buffer pH 1, pH 3,5 dan pH 4,5 ... 24

2. Ekstraksi Pigmen Antosianin Kulit Terung Belanda ... 25

3. Kopigmentasi Antosianin Kulit Terung Belanda ... 26

E. Pengamatan ... 27

1. Pengamatan Efek Batokromik dan Hiperkromik ... 27

2. Analisis Konsentrasi Antosianin ... 28

3. Retensi Warna ... 29


(15)

ŝŝ

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Kadar Antosianin Kulit Terung Belanda ... 31

B. Pengaruh Kopigmentasi terhadap Batokromik dan Hiperkromik ... 33

C. Perubahan Konsentrasi Antosianin selama Penyimpanan ... 35

D. Retensi Warna ... 38

E. Kinetika Reaksi Degradasi Antosianin ... 41

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 44

A. Simpulan ... 44

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(16)

ŝŝŝ

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Gugus substitusi pada antosianidin ... 11

2. Pengaruh kopigmentasi katekol dan tanin pada masing-masing rasio molar terhadap batokromik dan hiperkromik ekstrak kulit terung Belanda ... 34

3. Konsentrasi antosianin setelah penyimpanan hari ke-40 ... 37

4. Retensi warna ekstrak antosianin terkopigmentasi katekol ... 39

5. Retensi warna ekstrak antosianin terkopigmentasi tanin ... 41

6. Konstanta laju reaksi dan waktu paruh ekstrak antosianin kulit terung Belanda terkopigmentasi ... 43

7. Data pengamatan absorbansi ... 51

8. Data pengamatan konsentrasi antosianin terkopigmentasi katekol ... 52

9. Uji kesamaan ragam (Bartlett’s test) konsentrasi antosianin terkopigmentasi katekol ... 53

10. Analisis ragam konsentrasi antosianin terkopigmentasi katekol ... 53

11. Uji polinomial ortogonal konsentrasi antosianin terkopigmentasi katekol ... 54

12. Data pengamatan konsentrasi antosianin terkopigmentasi tanin ... 55

13. Uji kesamaan ragam (Bartlett’s test) konsentrasi antosianin terkopigmentasi tanin ... 56


(17)

ŝǀ

15. Uji polinomial ortogonal konsentrasi antosianin terkopigmentasi tanin ... 57

16. Data pengamatan retensi warna antosianin terkopigmentasi katekol ... 58

17. Uji kesamaan ragam (Bartlett’s test) retensi warna antosianin terkopigmentasi katekol ... 59

18. Analisis ragam retensi warna antosianin terkopigmentasi katekol ... 59

19. Uji polinomial ortogonal retensi warna antosianin terkopigmentasi katekol ... 60

20. Data pengamatan retensi warna antosianin terkopigmentasi tanin ... 61

21. Uji kesamaan ragam (Bartlett’s test) retensi warna antosianin terkopigmentasi tanin ... 62

22. Analisis ragam retensi warna antosianin terkopigmentasi tanin ... 62

23. Uji polinomial ortogonal retensi warna antosianin terkopigmentasi tanin ... 63

24. Data pengamatan kinetika degradasi antosianin terkopigmentasi katekol ... 64


(18)

ǀ

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

1. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) ... 09

2. Sruktur dasar antosianidin ... 10

3. Bentuk-bentuk struktur antosianidin ... 11

4. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda ... 13

5. Degradasi antosianin monoglukosida pada pH 3,7 oleh panas ... 14

6. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin ... 15

7. Perpindahan muatan (charge transfer) kompleks antosianin dengan katekol ... ... 16

8. Katekol ... 19

9. Struktur dasar tanin ... 20

10. Diagram alir ekstraksi antosianin kulit terung Belanda ... 26

11. Ekstraksi antosianin kulit terung Belanda ... 32

12. Pengaruh kopigmentasi katekol terhadap batokromik dan hiperkromik ... 33

13. Pengaruh kopigmentasi tanin terhadap batokromik dan hiperkromik ... 34

14. Pengaruh kopigmentasi katekol terhadap konsentrasi antosianin selama penyimpanan ... 36

15. Pengaruh kopigmentasi tanin pada masing-masing rasio molar terhadap konsentrasi antosianin selama waktu penyimpanan ... 37


(19)

ǀŝ

16. Retensi warna antosianin terkopigmentasi katekol pada masing-masing rasio

molar selama penyimpanan ... 39

17. Retensi warna antosianin terkopigmentasi tanin pada masing-masing rasio molar selama penyimpanan ... 40

18. Grafik hubungan antara ln Ct/C0 dengan waktu pemanasan pada suhu 65 oC ekstrak antosianin terkopigmentasi katekol ... 42

19. Grafik hubungan antara ln Ct/C0 dengan waktu pemanasan pada suhu 65 oC ekstrak antosianin terkopigmentasi tanin ... 42

20. Kulit Terung Belanda ... 65

21. Persiapan ekstraksi ... 65

22. Ekstrak antosianin kulit terung Belanda ... 65

23. Kopigmentasi ... 66

24. Penyimpanan sampel ... 66

25. Persiapan pengujian ... 66

26. Pengukuran absorbansi... 67

27. Pengukuran Ȝ maksimum ... 67

28. Sampel dalam larutan buffer HCl-KCl pH 1 ... 67

29. Sampel dalam larutan buffer sitrat pH 3,5 ... 68


(20)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama digunakan, namun dengan ditemukannya pewarna sintetik yang relatif mudah diproduksi dan memiliki stabilitas lebih baik, pewarna makanan alami mulai ditinggalkan. Namun ternyata penggunaan pewarna sintetik pada makanan maupun minuman berdampak negatif bagi kesehatan manusia yaitu dapat menyebabkan keracunan dan bersifat karsinogenik (Jenie et al., 1994). Oleh

karena itu, upaya untuk mendapatkan sumber zat pewarna yang aman seperti pewarna alami perlu dilanjutkan. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari sumber bahan alam yang berpotensi sebagai pewarna alami, antara lain adalah ekstrak antosianin dari katul beras ketan hitam (Hanum, 2000), ekstrak bunga rosella (Khusna, 2009) dan kulit terung ungu (Diniyah et al., 2010). Semua

potensi sumber antosianin tersebut masih dalam tahap penelitian, yang meliputi perubahan stabilitas antosianin karena pengaruh faktor internal dan faktor eksternal.

Salah satu sumber antosianin yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) yang daging buahnya sudah


(21)

2

minuman, sedangkan kulit buah dan biji berupa limbah pengolahan belum dimanfaatkan. Terung Belanda dilaporkan banyak mengandung antosianin yang memberikan warna merah keunguan pada kulit dan daging buah. Antosianin kulit terung Belanda tergolong ke dalam bentuk sianidin-3-rutinosida yang menunjukan selang warna mulai dari merah, biru dan ungu (Wrolstad dan Heatherbell, 1974; Diniyah et al., 2010). Potensi antosianin hasil ektrak dari beberapa jenis terung

sebagai pewarna alami sudah diteliti, baik sebagai pewarna makanan (Diniyah et

al., 2010) maupun sebagai pewarna non pangan (Subodro dan Sunaryo, 2013).

Antosianin merupakan hasil glikosilasi polihidroksi dan atau turunan polimetoksi dari garam 2-benzopirilium atau dikenal dengan struktur flavilium (antosianidin) (Brouillard, 1982). Struktur antosianidin berupa kation flavilium yang reaktif tersebut menyebabkan antosianin menjadi tidak stabil selama pengolahan dan penyimpanan (Rein, 2005; Kopjar dan Pilizota, 2009). Oleh karena itu, upaya untuk menstabilkan molekul antosianin yang diharapkan dapat berdampak pada stabilitas warna antosianin sangat penting untuk mempertahankan kualitas warna yang diharapkan.

Rein (2005) dan Kopjar dan Pilizota (2009) melaporkan bahwa stabilitas antosianin dapat ditingkatkan dengan cara kopigmentasi. Kopigmentasi adalah reaksi langsung antara molekul antosianin dengan senyawa lain (disebut kopigmen) atau melalui suatu interaksi lemah (hidrofobik atau ikatan hidrogen) membentuk kompleks intermolekuler antara kopigmen dengan antosianin menghasilkan warna yang lebih kuat, lebih terang dan lebih stabil (Tallcot et al.,


(22)

3

monomer flavanol (katekin dan epikatekin), oligomer (proantosianidin), polimer (tanin), fenolik (katekol dan metil katekol), golongan asam organik (kafeat, ferulat, khlorogenat, tannat, dan asam galat), logam dan molekul antosianin itu sendiri (Mazza dan Brouilard, 1990; Bakowska et.al., 2003; Kopjar dan Pilizota,

2009).

Beberapa penelitian menemukan bahwa efektivitas kopigmentasi dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi kopigmen yang ditambahkan pada ekstrak antosianin. Struktur antosianidin juga dilaporkan berpengaruh nyata terhadap efektivitas kopigmentasi intramolekular ekstrak antosianin (Mazzaracchio et al., 2004 dalam

Kopjar dan Pilizota, 2009). Schwarz et al. (2005) melaporkan bahwa

penambahan senyawa flavanol (rutin) pada anggur merah terfermentasi mampu

meningkatkan absorbansi warna pada λ520 nm dan pH 3,5 (hiperkromik), tetapi sebaliknya penambahan asam kumarat dan asam kafeat menunjukkan pengaruh terhadap penurunan warna (hipokromik). Eiro dan Heinonen (2002), Brenes et al.

(2005), dan Talcott et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan ekstrak polifenol

dari rosemary dan thyme sebagai kopigmen ke dalam jus buah anggur dapat

meningkatkan stabilitas antosianin selama 15 hari sampai 19 hari penyimpanan.

Efek kopigmentasi akan teramati dan efektif jika konsentrasi antosianin lebih besar dari 35 µM dan konsentrasi kopigmen lebih besar dibandingkan konsentrasi antosianin (Asen et.al., 1972; Scheffeldt dan Hrazdina 1978). Boulton (2001)

menunjukkan bahwa pada rasio molar antosianin terhadap kopigmen K=1 menghasilkan peningkatan warna yang rendah karena kopigmen yang digunakan terlalu terbatas sehingga kopigmentasi tidak efektif. Pada rasio molar lebih tinggi


(23)

4

K=10 sampai K=100 menghasilkan respon yang kuat terhadap kopigmentasi. Sedangkan pada rasio mol tinggi K=1000 selain penggunaan kopigmen yang tidak efisien juga menghasilkan respon yang lemah terhadap kopigmentasi. Hasil penelitian kopigmentasi ekstrak antosianin pada red currant juice menunjukkan

bahwa jenis kopigmen dan rasio molar kopigmen terhadap antosianin 50:1 dan 100:1 selama 15 dan 30 hari penyimpanan pada suhu 4ºC berpengaruh terhadap stabilitas antosianin (Kopjar dan Pilizota, 2009).

Penelitian kopigmentasi umumnya menggunakan senyawa kimia sintetis yang penggunaannya dalam produk makanan atau minuman kurang aplikatif dan masih perlu diteliti lebih lanjut (Castaneda et al., 2009). Penelitian kopigmentasi dengan

senyawa sintetis dilakukan untuk mencari senyawa yang berpotensi sebagai kopigmen dan pada penerapannya nanti, dicari ekstrak alami yang banyak mengandung senyawa tersebut. Katekol dan tanin merupakan senyawa yang berpotensi sebagai kopigmen karena banyak ditemukan di alam, seperti pada kulit kayu dan kulit buah-buahan yang merupakan limbah pengolahan pangan dan berpotensi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mempelajari pengaruh jenis kopigmen (katekol dan tanin) dan rasio molar kopigmen terhadap antosianin pada reaksi kopigmentasi terhadap stabilitas warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama penyimpanan.


(24)

5

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan rasio molar kopigmen (katekol atau tanin) terhadap antosianin terbaik, yang dapat menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama penyimpanan.

2. Menentukan jenis kopigmen (katekol atau tanin) pada rasio molar terbaik, yang dapat menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama penyimpanan.

C. Kerangka Pemikiran

Masalah utama dari antosianin sebagai pewarna adalah struktur kimia antosianin yang memiliki kestabilan rendah. Antosianin tidak stabil dan reaktif karena adanya gugus hidroksil dan inti kation flavilium yang reaktif sehingga mudah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Jackman dan Smith, 1996). Ikatan rangkap konjugasi yang terdapat pada cincin aromatik antosianidin menyerap warna pada panjang gelombang 505-535 nm dan memberikan warna merah. Selain itu ikatan rangkap juga menyebabkan antosianin reaktif akibat kekurangan elektron yang menyebabkan antosianin mudah terdegradasi oleh pengaruh faktor internal maupun eksternal (Markham, 1988). Sifat reaktif antosianin mengakibatkan terjadinya reaksi degradasi yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin

Molekul antosianin, baik dalam bentuk ekstrak maupun dalam bentuk jus buah dapat bereaksi dengan molekul lain dalam bentuk senyawa kopigmen (isolat murni atau dalam bentuk ekstrak tanaman yang mengandung senyawa antosianin


(25)

6

dan atau kopigmen). Reaksi yang terjadi dapat membentuk ikatan maupun melalui interaksi lemah menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil (Rein, 2005). Schwarz et al. (2005) dan Kopjar dan Pilizota (2009) melaporkan bahwa

reaksi kopigmentasi dengan senyawa kopigmen atau antosianin sendiri dapat melalui ikatan intermolekul, antarmolekul atau ikatan dengan kofaktor logam. Kopigmentasi ini mampu menstabilkan molekul antosianin dan memperkuat warna antosianin. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kopigmentasi pada antosianin antara lain struktur dan konsentrasi antosianin, jenis kopigmen yang sesuai serta rasio molar kopigmen terhadap molar antosianinnya (Boulton, 2001). Oleh karena itu, banyak penelitian yang mengkombinasikan pengaruh jenis kopigmen dengan rasio molar kopigmen terhadap antosianinnya.

Jenis kopigmen yang sesuai dengan struktur kimia antosianin akan mampu membentuk ikatan atau kompleks kopigmentasi antara inti kation flavilium yang kekurangan elektron dengan elektron bebas dari kopigmen, sehingga terjadi kesetimbangan elektron yang menghambat laju degradasi antosianin (Castaneda et

al., 2009). Senyawa kopigmen katekol dan tanin memiliki gugus hidroksil yang

kelebihan elektron sehingga cenderung menyumbangkan elektronnya pada kation flavilium yang kekurangan elektron pada molekul antosianin, membentuk ikatan antosianin terkopigmentasi. Oleh karena itu, kopigmentasi antosianin ekstrak kulit terung Belanda dengan katekol atau tanin tergolong ke dalam kopigmentasi intermolekul.

Rasio molar kopigmen terhadap antosianin merupakan salah satu faktor penting pada reaksi kopigmentasi. Penambahan senyawa kopigmen dengan rasio yang


(26)

7

berbeda mempengaruhi konsentrasi antosianin dan retensi warna (Kopjar dan Pilizota, 2009). Rasio yang terlalu rendah menyebabkan pembentukan ikatan yang sangat lemah sehingga kompleks kopigmen dengan antosianin tidak stabil, Sebaliknya rasio yang terlalu besar selain membentuk kompleks kopigmen dengan antosianin yang tidak stabil karena berada dalam lingkungan yang kelebihan elektron bebas, juga tidak efisien. Oleh karena itu, pada penelitian ini diharapkan akan diperoleh kondisi optimal kopigmentasi antosianin kulit terung Belanda, baik jenis kopigmen maupun ratio molar kopigmen terhadap antosianin yang mampu menstabilkan warna antosianin selama penyimpanan pada suhu kamar dan terpapar pada cahaya.

D. Hipotesis

1. Terdapat rasio molar kopigmen terhadap antosianin terbaik untuk setiap jenis kopigmen (katekol atau tanin), yang dapat menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama

penyimpanan.

2. Terdapat jenis kopigmen (katekol atau tanin) dengan rasio molar kopigmen terhadap antosianin terbaik, yang menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) selama penyimpanan.


(27)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn)

Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang

berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing pada ujungnya (Gambar 1). Buah ini memiliki kulit tipis, licin, berwarna ungu kemerah-merahan, merah jingga sampai kekuning-kuningan serta mengandung suatu zat yang berasa pahit (Morton, 1987). Zat ini dapat dibuang dengan cara mengupas kulitnya atau menyeduh dengan air panas selama 4 menit. Buah terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) bergelantungan pada batang pohon, bertangkai

panjang, daging buahnya mengandung banyak sari buah, bijinya bulat pipih, tipis, dan keras, rasanya agak asam sampai manis, berwarna kekuning-kuningan sampai kehitam-hitaman. Setiap 100 gram bagian terung Belanda yang dapat dimakan mengandung air 85 gram, protein 1,5 gram, lemak 0,006 – 1,28 gram, karbohidrat 10 gram, serat 1,4 – 4,2 gram, abu 0,7 gram, vitamin A 150 – 500 SI dan vitamin C 25 mg (Astawan dan Kasih 1997).

Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) mempunyai potensi yang cukup

berkembang di wilayah Sumatra, hal ini dapat dilihat dari produksinya sebesar 6.770,33 ton/tahun (Sembiring, 2013). Terung Belanda lebih banyak dikonsumsi sebagai buah yang dimakan segar maupun dibuat sirup atau jus. Sewaktu muda


(28)

9

berwarna kuning, dan bila sudah masak terjadi perubahan warna disebabkan karena pemecahan klorofil secara enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya pigmen baru, karotenoid yang menyebabkan warna kuning dan merah, serta antosianin yang menghasilkan warna merah ungu (Silaban et al., 2013)

Gambar 1. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Sumber : Dokumentasi penelitian

B. Antosianin

Antosianin merupakan salah satu pigmen penting dalam tanaman selain klorofil dan betakaroten. Antosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu anthos yang berarti

bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Zat pewarna alami antosianin

merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna merah, ungu sampai biru yang tersebar luas dalam bunga dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Di dalam kulit terung, baik terung ungu maupun terung Belanda juga terdapat pigmen antosianin yang berperan pada pewarnaan kulit terung (Diniyah, 2010). Antosianin terung Belanda yang paling dominan adalah jenis


(29)

delphinidin-3-10

rutinoside, sedangkan pada kulit terung Belanda tergolong ke dalam jenis

cyanidin-3-rutinoside (Wrolstad dan Heatherbell, 1974).

Antosianin merupakan gugus glikosida yang dibentuk dari gugus aglikon dan glikon. Apabila gugus glikon dihilangkan melalui proses hidrolisis maka akan dihasilkan antosianidin. Struktur dasar antosianin adalah 2-phenylbenzo pyrylium (Brouillard, 1982) yang dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur utama turunan benzo pyrylium ditandai oleh adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Gugus-gugus aglikon berupa asil terdiri dari asam-asam aromatik (asam p-kumarat, kafeat, ferulat, sinapat dan galat) serta asam-asam alifatik (asam malonat, asetat, malat, suksinat dan oksalat) yang terasilisasi pada gula (Brouillard, 1982). Gugus gula pada antosianin, biasanya berupa glukosa, ramnosa, silosa, galaktosa, arabinosa, dan fruktosa (Ozela et al., 2007). Molekul gula antosianin umumnya berupa

monosakarida dan terikat pada C-3.

Gambar 2. Sruktur dasar antosianidin (Brouillard, 1982) Keterangan : R3’ dan R5’ : Gugus substitusi

R : Jenis glikon (gula atau gula terasilasi)

Molekul antosianin diketahui memiliki berbagai bentuk antosianin yang ditemukan di alam, tetapi hanya enam yang memegang peranan penting dalam


(30)

11

bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin, petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin (Brouillard, 1982). Pada setiap inti kation flavilium (Gambar 2) terdapat molekul yang berperan sebagai gugus substitusi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berbagai bentuk struktur kimia antosianin secara umum hanya berbeda pada gugus alkil (-R) seperti pada Gambar 3.

Tabel 1. Gugus substitusi pada antosianidin

Struktur antosianidin Gugus substutusi pada atom karbon nomor

R3’ R5’

Pelargonidin Sianidin Deipinidin Peonidin Petunidin Malvinidin H OH OH OCH3 OH OCH3 H H OH H OCH3 OCH3

Sumber : Brouillard, 1982


(31)

12

C. Stabilitas Antosianin

Antosianin memiliki stabilitas yang rendah, sehingga mudah mengalami kerusakan selama proses pengolahan dan penyimpanan. Inti kation flavilium dari pigmen antosianin kekurangan elektron, sehingga sangat reaktif. Reaksi yang terjadi umumnya mengakibatkan terjadinya degradasi warna. Laju kerusakan antosianin tergantung pada pH, semakin tinggi pH semakin tinggi laju kerusakannya. Substitusi antosianidin berupa jumlah dan posisi gugus hidroksil dan metoksil pada aglikon berpengaruh pada sifat kimia antosianin. Molekul antosianidin terdapat asam-asam organik yang terikat pada aglikon, posisi ikatan asam organik ini berpengaruh nyata terhadap stabilitas dan reaktivitas molekul antosianin.

Faktor fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi stabilitas warna antosianin antara lain struktur dan konsentrasi antosianin, suhu, cahaya, ion-ion logam, enzim, oksigen, molekul air, gula, asam askorbat dan turunannya serta keberadaan kopigmen (Rein, 2005; Francis, 1982; Elbe dan Schwartz, 1996; Jackman dan Smith, 1996). Stabilitas antosianin juga dipengaruhi oleh pH (Gambar 4). Antosianin lebih stabil pada kondisi asam dibandingkan pada kondisi larutan alkali (Brouillard, 1982 dan Harborne, 1967). Pada pH sangat asam (pH 1-2), bentuk dominan antosianin adalah kation flavilium. Pada bentuk ini, antosianin berada dalam kondisi paling stabil dan berwarna. Ketika pH meningkat di atas 4, antosianin menjadi tidak stabil membentuk kalkon yang tidak berwarna (Brat et

al., 2008). Pemanasan pada suhu tinggi selama waktu tertentu juga dapat


(32)

13

bentuk basa karbinol dan kalkon (Mateus dan Freitas, 2009). Mahkamah (2004) melaporkan bahwa pada pemanasan antosianin Tradescantia pallida pada suhu

65oC dan 80oC dalam pH 3,5 selama 8 jam, antosianin yang tersisa berturut-turut 70% dan 60%.

Gambar 4. Struktur antosianin pada kondisi pH yang berbeda (Wrolstad dan Giusti, 2001)

Stabilitas warna antosianin sebagai fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan sebagai persen retensi warna antosianin (Rein dan Heinonen, 2004). Pemanasan dapat menstimulasi pembentukan senyawa hasil degradasi antosianin seperti karbinol dan turunannya yang tidak berwarna sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan. Menurut Mazza dan Brouillard (1990), peningkatan suhu menyebabkan penguraian (disosiasi) dari molekul antosianin yang menghasilkan struktur monomer yang menyebabkan


(33)

14

senyawa tidak berwarna. Gambar 5 menunjukkan perubahan molekul antosianin yang sudah terdegradasi oleh proses pemanasan.

Gambar 5. Degradasi antosianin monoglukosida pada pH 3,5 oleh panas (Rein, 2005).

Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar tampak dan energi radiasi sinar tersebut menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Produk akhir degradasi fotokimia sama seperti degradasi warna molekul antosianin oleh proses termal (Rein, 2005). Secara enzimatis, kehadiran enzim antosianase atau polifenol oksidase mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak antosianin (Talcot et al., 2003).

D. Kopigmentasi

Kopigmentasi didefinisikan sebagai interaksi antara antosianin yang berwarna dengan senyawa kopigmen antara lain senyawa polifenol, logam, dan asam organik sehingga terbentuk ikatan antara molekul antosianin dengan kopigmen (Brouillard, 1982), yang menyebabkan peningkatan stabilitas warna antosianin. Prinsip interaksi kopigmentasi dapat berlangsung seperti ditunjukkan pada Gambar 6, yaitu pembentukan gabungan antar molekul antosianin itu sendiri (self


(34)

15

pembentukan kompleks dengan logam (metal complexation), kopigmentasi

intramolekul (intramolecular copigmentation), pembentukan kompleks dengan

aglikon, gula dan asam.

Penggabungan Kopigmentasi Kompleks dengan molekul antosianin intermolekul logam

Kopigmentasi

intramolekul Aglikon Gula Kopimen Asam

Gambar 6. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein, 2005) Mekanisme penggabungan molekul antosianin (self association) dapat

digambarkan sebagai interaksi antarmolekul antosianin yang saling bertumpuk

(stacking-like interaction), peristiwa ini umumnyaterjadi pada proses pembuatan

anggur (wine). Mekanisme interaksi ini dapat memberikan kontribusi terhadap

warna wine yang dihasilkan (Rein, 2005). Kopigmentasi intramolekuler

merupakan mekanisme kopigmentasi dimana kopigmen merupakan bagian dari molekul antosianin itu sendiri (Brouilard, 1982). Gugus asil yang berupa komponen aromatik berinteraksi dengan kation flavilium yang reaktif pada C-2 dan C-4 dengan reaktan nukleofilik. Kopigmentasi model ini diaplikasikan pada ekstrak black carrot yang banyak mengandung antosianin yang mengalami asilasi.

Beberapa logam dapat membentuk komplek dengan antosianin adalah Sn, Cu, Fe, Al, Mg, dan K (Brouilard, 1982). Sianidin, delphinidin, dan petunidin memiliki lebih dari 1 grup hidroksil yang mampu mengkelat logam. Interaksi antosianin


(35)

16

dengan logam jarang diaplikasikan karena bisa mengakibatkan aroma yang menyimpang pada produk (Castenada et al., 2009).

Secara garis besar, mekanisme kopigmentasi dapat terjadi ketika kation flavilium yang bermuatan positif (kekurangan elektron), menerima elektron dari senyawa kopigmen yangmemiliki elektron bebas, sehingga terjadi kesetimbangan elektron (Castenada et al., 2009). Hal ini mengakibatkan molekul antosianin lebih stabil

karena proses hidrolisis dapat dihindari (Gambar 7). Mekanisme seperti ini merupakan kopigmentasi intermolekuler antara antosianin dengan senyawa kopigmen yang bukan berasal dari molekul antosianin itu sendiri.

Gambar 7. Perpindahan muatan(charge transfer)kompleksantosianin dengan katekol (Castenada et al., 2009)

Asen et al. (1972) dan Dangles et al. (1993) menyatakan bahwa kopigmentasi

intermolekuler antara antosianin dengan senyawa kopigmen ditandai oleh adanya pergeseran batokromik dan hiperkromik. Pergeseran batokromik (disebut juga

red shift atau bathochromic effect) adalah pergeseran puncak absorbsi ke


(36)

17

gugus glikon maupun aglikon atau pengaruh pelarut. Efek hiperkromik adalah efek yang disebabkan oleh gugus fungsi sehingga menyebabkan kenaikan nilai intensitas serapan maksimum. Kopigmentasi yang tidak stabil belum mampu menghambat reaksi degradasi antosianin selama penyimpanan waktu tertentu, sehingga dapat menyebabkan pergeseran hipsokromik dan hipokromik. Pergeseran hipsokromik (disebut juga blue shift atau hypsochromic effect)

adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih kecil/pendek. Efek Hipokromik adalah penurunan nilai intensitas serapan maksimum.

Kopigmentasi dilaporkan dapat menjadi metode dalam memperbaiki warna produk pangan dengan menambahkan ekstrak tanaman yang mengandung senyawa kopigmen, baik yang berasal dari tanaman yang sama maupun berbeda. Penambahan ekstrak kasar dari bahan yang mengandung senyawa kopigmen dilaporkan memberikan pengaruh lebih baik untuk stabilitas warna antosianin dibandingkan dengan ekstrak murni (Wilska-Jeszka, 2007).

Reaksi kopigmentasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pH, suhu, dan konsentrasi (Dangels et al., 1993). Peningkatan pH dapat menyebabkan

penurunan monomer dan absorbansi antosianin (Yuwono dan Choirunnisa, 2009). Meningkatnya suhu akan menyebabkan terjadinya kerusakan parsial pada ikatan hydrogen, oleh karena itu konsentrasi kopigmen yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap proses kopigmentasi. Jumlah kopigmen yang ditambahkan harus lebih banyak dibandingkan antosianin (Dangles et al., 1993). Perbandingan

konsentrasi kopigmen terhadap konsentrasi pigmen antosianin dinyatakan dalam rasio molar. Kopigmentasi senyawa tanin pada pH 2,5 terhadap antosianin jus buah dengan konsentrasi 2x10-5M dilaporkan dapat meningkatkan kestabilan


(37)

18

warna antosianin pada penyimpanan dalam refrigerator selama 7 hari (Hagerman

et al., 1992).

Menurut Boulton (2001), penggunaan rasio molar kopigmen yang terlalu rendah menyebabkan kopigmentasi tidak efektif, dan rasio terlalu tinggi tidak efisien terhadap penggunaan kopigmen, sehingga kopigmentasi akan efektif apabila konsentrasi antosianin di atas 3,5 x 10-5 M sebelum reaksi kopigmentasi. Kopjar dan Pilizota (2009) melakukan kopigmentasi ekstrak antosianin pada jus buah kismis merah dengan penambahan kopigmen katekol, 4-metil katekol, katekin, dan asam galat pada rasio molar kopigmen terhadap antosianin 50:1 dan 100:1.

E. Kopigmen

Senyawa kopigmen antara lain berasal dari golongan flavonoid, yaitu flavanol monomer (katekin dan epikatekin ), oligomer (proantosianidin), polimer seperti tanin, golongan alkaloid (misalnya katekol), asam organik (kafeat, ferulat, khlorogenat, tanat, galat), asam amino, logam dan bahkan molekul antosianin itu sendiri (Mazza dan Brouilard, 1990; Boulton, 2001; Bakowska et al. 2003).

Kopigmen dapat berupa isolat tunggal maupun ekstrak kasar dari tanaman tertentu yang mengandung senyawa-senyawa kopigmen tersebut di atas. Ekstrak kasar tanaman sumber kopigmen diharapkan membawa senyawa-senyawa lain yang berkontribusi pada stabilitas kopigmentasi seperti halnya pembentukan warna pada tanaman (Elbe and Schwartz, 1996). Selain itu ekstrak bahan alam lebih efektif dan aman.


(38)

19

1. Katekol

Katekol termasuk dalam golongan alkaloid yang banyak terdapat di alam. Katekol memiliki rumus kimia C6H6O2 (Gambar 8). Katekol berbentuk padat, kristal tidak berwarna, berbau seperti fenol, warnanya berubah menjadi coklat jika terpapar udara dan cahaya. Katekol memiliki titik didih 245 ℃ (750 mm Hg), titik lebur 105℃, densitas 1,1493 g/cm 3 (21 ℃), berat molekul 110,11 3g/mMol, larut dalam air, eter alkohol, kloroform, piridin, larutan alkali, dan larut dingin benzene.

Katekol adalah senyawa turunan flavon tereduksi, terdapat pada jaringan tanaman, seperti apel, anggur, dan buah pir (Pudjaatmaka, 2002). Nama lain dari katekol yaitu 1,2-Benzenediol; 1,2-Dihydroxybenzene; 2-Dihydroxyphenol; o-Benzenediol; o-Dihydroxybenzene; Dioxybenzene; Oxyphenic acid; Phthalhydroquinone; Pyrocatechin; Pyrocatechol.

Gambar 8. Katekol (IARC, 1977)

Katekol banyak digunakan dalam industri tekstil sebagai campuran pewarna, sedangkan di bidang pertanian digunakan sebagai pestisida. Selain itu, katekol juga dapat digunakan di industri farmasi dan kosmetik. Katekol yang terdapat pada ekstrak daun dan ranting tanaman gambir memiliki kandungan antimikroba dan anti diare (Zulfadli, 1989). Penggunaan katekol sebagai kopigmen sudah banyak diteliti, seperti pada kopigmentasi jus kismis merah menunjukkan


(39)

penurunan warna sam Pilizota, 2009).

2. Tanin

Tanin secara umum d molekul cukup besar protein. Struktur dasa dalam penelitian ini dengan rumus kimia strukturnya, tanin dib

tannins) dan tanin-ter

Gamb

Menurut Clydesdale d dan asam galotanat d yang ditemukan dalam yang tidak berwarna dalam makanan ber

sampai kekuningan pada 15 hari penyimpan

didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang ar (lebih dari 1000) dan dapat membentuk ko asar tanin dapat dilihat pada Gambar 9. Tanin ni diperoleh dari suplier bahan kimia merk a C76H52O46 dan berat molekul 1701 mg/mMo dibedakan menjadi dua yaitu tanin terkonden terhidrolisiskan (hydrolysabletannins) (Hagerm

bar 9. Struktur dasar tanin (Hagerman et al., 1

e dan Francis dalam Fennema (1976), nama ta t didefinisikan dalam Merck Index sebagai sen

lam kulit batang pohon oak. Tanin yang terda a dan ada juga yang berwarna kuning sampa erkontribusi terhadap sifat menyamak dan

20

anan (Kopjar dan

ng memiliki berat kompleks dengan in yang digunakan rk Sigma Aldrich ol . Berdasarkan ensasi (condensed

rman et al., 1992).

, 1992)

tanin, asam tanat enyawa kompleks rdapat di alam ada pai coklat. Tanin an juga terhadap


(40)

21

pembentukan warna coklat (browning). Penggunaan tanin sebagai senyawa

kopigmen sudah diteliti, seperti pada reaksi kopigmentasi antosianin ekstrak bunga rosella (Khusna, 2009 ; Yuwono dan Choirunnisa, 2009).


(41)

22

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Biomasa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bulan Mei 2014 sampai dengan bulan Juli 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) diperoleh dari Medan, Sumatera Utara (tingat

kematangan 20-26 berdasarkan Heatherbell et al., 1982) . Bahan-bahan kimia

yang digunakan adalah katekol merk Sigma Aldrich, tanin merk Sigma Aldrich, metanol, larutan buffer HCl-KCl pH 1, larutan buffer sitrat pH 3,5, larutan buffer

sitrat pH 4,5 dan air suling.

Alat-alat yang digunakan antara lain Rotary Vacuum Evaporator,

spektrofotometer merk varian tipe cary 50 probe, centrifuge merk Hitachi tipe


(42)

23

volumetri, pipet tetes, kertas saring Whatman No.42, Erlenmeyer 500 mL, gelas ukur, labu ukur, mortar, dan spatula.

C. Metode Penelitian

Penelitian dirancang dalam dua percobaan terpisah, masing masing menggunakan jenis kopigmen yang berbeda untuk setiap perlakuan, yaitu terdiri dari 2 faktor (3x5) dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah rasio molar kopigmen terhadap antosianin, katekol 0:1 (K0), 50:1 (K1), dan 100:1 (K2) dan tanin 0:1 (T0), 50:1 (T1), dan 100:1 (T2). Faktor kedua adalah lama penyimpanan, yaitu hari ke-0 (L0), hari ke-10 (L1), hari ke-20 (L2), hari ke-30 (L3), dan hari ke-40 (L4). Perlakuan disusun secara faktorial dalam rancangan acak kelompok lengkap (RAKL). Data yang diperoleh diuji kemenambahan datanya dengan menggunakan uji Tuckey dan kesamaan ragam diuji dengan menggunakan uji Bartlet. Data dianalisis untuk mendapatkan penduga ragam galat dan mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan, kemudian pengujian dilanjutkan dengan rasio ortogonal dan polinomial ortogonal pada taraf nyata 5% dan 1% (Steel and Torrie, 1991). Hasil kedua kopigmentasi dengan katekol dan tanin dibandingkan secara deskriptif.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Bahan

a. Pengupasan Kulit Terung Belanda dan Pengukuran Kadar Air

Terung Belanda dikupas dan diambil bagian kulitnya, kemudian dilayukan selama semalam pada ruangan yang tidak terpapar cahaya. Kulit terung Belanda yang


(43)

24

telah layu dipotong kecil-kecil dan diukur kadar airnya, sebagian disiapkan untuk diekstrak antosianinnya. Kadar air kulit terung Belanda dianalisis dengan menggunakan metode oven (AOAC, 1970), yaitu sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-105oC selama 3 jam, lalu dinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sampel kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang kembali. Perlakuan ini dilakukan sampai mencapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,0002 g). Kadar air dalam bahan didapat dengan perhitungan sebagai berikut :

Kadar air (BB) (%) = Berat awal – Berat akhir x 100% Berat awal

b. Pembuatan Larutan Buffer pH 1, pH 3,5 dan pH 4,5

Buffer HCl-KCl pH 1 dibuat dengan cara mencampurkan 50 mL larutan HCl 0,2

M dengan 97 mL larutan KCl 0,2 M, dan kemudian diencerkan dengan menambahkan air suling hingga volume 200 mL (Sudarmadji et.al., 1997). Buffer

sitrat pH 3,5 dibuat dengan cara mencampurkan 40 mL larutan asam sitrat 0,1 M dengan 11 mL larutan natrium sitrat 0,1 M, dan kemudian ditambahkan air suling hingga volume 100 mL (Sudarmadji et al., 1997). Buffer sitrat pH 4,5 dengan

cara mencampurkan 28 mL larutan asam sitrat 0,1 M dengan 23 mL larutan sodium sitrat 0,1 M, dan kemudian ditambahkan air suling hingga volume 100 mL (Sudarmadji et al., 1997).


(44)

25

2. Ekstraksi Pigmen AntosianinKulit Terung Belanda

Ekstraksi antosianin dari kulit terung Belanda dilakukan dengan mengikuti metode ekstraksi maserasi Gao dan Mazza (1996) yang dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak 100 g potongan kulit terung Belanda yang sudah diketahui kadar airnya ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmayer 500 mL, kemudian ditambahkan 250 mL metanol yang telah diasamkan dengan 2,5 mL HCl 1%. Selanjutnya campuran kulit terung Belanda – metanol diekstrak dengan bantuan

shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 2 jam. Larutan kemudian didiamkan

selama 24 jam di ruang gelap pada suhu ruang, setelah itu disaring dengan menggunakan kain saring dan kertar saring Whatman No.42 untuk memisahkan padatan dan cairannya. Filtrat yang dihasilkan dipekatkan dengan menggunakan

rotary vacuumevaporator pada suhu 45oC selama 2 Jam, dan dihasilkan pekatan

ekstrak antosianin kulit terung Belanda. Pekatan ekstrak antosianin kemudian diambil cuplikannya untuk mengukur konsentrasi awal antosianin yang ditentukan secara spektrofotometri.


(45)

Gambar 10. D Sumber : Gao

3. Kopigmentasi An

Pekatan ekstrak ant diencerkan dengan m pekatan untuk menda endapan dengan men selama 10 menit. Ju dihitung sesuai denga antosianin (50:1 dan 1 Jumlah kopigm

. Diagram alir ekstraksi antosianin kulit terung ao dan Mazza (1996) dan Hanum (2000)

ntosianin Kulit Terung Belanda

ntosianin yang sudah diukur volumenya menambahkan buffer sitrat pH 3,5 sebanyak

dapatkan larutan yang lebih encer. Larutan enggunakan centrifuge kecepatan 10.000 rpm

Jumlah kopigmen (katekol dan tanin) yang ak gan masing-masing perlakuan rasio molar kop n 100:1)dengan perhitungan sebagai berikut :

men = C x BM x V/1000 x R

26

g Belanda

sebanyak 5mL ak 3 kali volume n dipisahkan dari m pada suhu 5oC akan ditambahkan opigmen terhadap


(46)

27

Keterangan :

C = Konsentrasi antosianin awal (mMol/L)

BM = Berat molekul (BM katekol = 110,11 mg/mMol dan BM tanin = 1701 mg/mMol)

V = Volume sampel (5 taraf perlakuan, masing-masing perlakuan 5mL)

R = Rasio molar 50:1 dan 100:1

Kopigmentasi dilakukan dengan cara memasukkan 5 mL ekstrak antosianin kulit terung Belanda ke dalam botol gelap dan kemudian ditambahkan katekol (42,67 mg untuk rasio 50:1 dan 85,33 mg untuk rasio 100:1) atau tanin (659,14 mg untuk rasio 50:1 dan 1318,27 mg untuk rasio 100:1). Botol sampel kemudian ditutup dan homogenkan dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 100 rpm selama

10 menit hingga katekol atau tanin larut dan bercampur dengan ekstrak. Masing-masing sampel disimpan di tempat yang terpapar cahaya dan dianalisis pada hari ke 0, 10, 20, 30, dan 40.

E. Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk melihat: 1) efek batokromik dan hipokromik dengan spektrofotometri, 2) konsentrasi dan retensi warna antosianin selama penyimpanan pada suhu kamar dan terpapar cahaya, 3) stabilitas antosianin terhadap pemanasan pada suhu 65oC.

1. Pengamatan Efek Batokromik dan Hiperkromik

Sampel antosianin yang tidak dikopigmentasi (rasio 0:1) dan antosianin terkopigmentasi (50:1, dan 100:1) masing-masing sebanyak 0,2 mL dimasukkan ke dalam 6 mL larutan buffer sitrat pH 3,5. Kemudian absorban sampel diukur


(47)

28

600 nm sampai diperoleh Absorban tertinggi (Aλmax) (Rein, 2005). Analisis

scanning dilakukan pada hari ke – 10 agar ekstrak antosianin yang

terkopigmentasi (katekol dan tanin) sudah stabil. Kurva spektrofotometri hasil

Scanning menunjukan pergeseran panjang gelombang maksimum (efek

batokromik), peningkatan absorbansi (hiperkromik) dan penurunan absorbansi (hipokromik).

2. Analisis Konsentrasi Antosianin

Penentuan konsentrasi antosianin dilakukan dengan metode perbedaan pH pada Spektrofotometer (Giusti dan Worlstad, 2001). Konsentrasi monomer antosianin dinyatakan sebagai sianidin 3-rutinosida. Sampel sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi 6 mL larutan buffer pH 1 dan pH 4,5. Nilai absorban setiap sampel diukur dengan spektrofotometer pada

λ 525 nm dan λ 700 nm, menggunakan air suling sebagai blanko. Konsentrasi

dihitung menggunakan persamaan berikut :

Absorban sampel (A) = (Aλmax – A700) pH 1,0 - (Aλmax – A700) pH 4,5 Total antosianin (mMol/L) = (A x DF x 1000) / (ε x 1)s

Total antosianin (mg/L) = (A x MW x DF x 1000) / ( є x l)

Keterangan:

Aλmax = Absorban pada panjang gelombang maksimal

MW Sianidin 3-rutinosida = 630,9 g/Mol DF = Faktor pengenceran

Konstanta absortivitas molar =

ε

= 28.800 L mol-1 cm-1


(48)

29

3. Retensi Warna

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui retensi warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda tidak dikopigmentasi maupun terkopigmentasi selama penyimpanan dengan pengukuran absorbansi pada larutan buffer sitrat pH 3,5 dan

λ 525 nm. Retensi warna selama penyimpanan dihitung dengan rumus :

Retensi Warna (%) = (At/A0) x 100 Keterangan :

At : Absorban pada hari ke-t

A0 : Absorban pada hari ke-0 (Rein dan Heinonen, 2004).

4. Kinetika Degradasi Antosianin pada Suhu 65 oC

Pengujian kinetika degradasi antosianin pada suhu tinggi (65 oC) dilakukan dengan melarutkan 0,5 mL pekatan antosianin kulit terung Belanda ke dalam 6 ml masing-masing larutan buffer HCl-KCl pH 1, 3,5 dan 4,5 kemudian dipanaskan

menggunakan waterbath pada suhu 65oC selama 8 jam dengan interval waktu 2

jam. Larutan diukur absorbansinya pada λ 525 nm (Shi et al., 1992). Konstanta

laju reaksi ordo pertama (k) ditentukan dari kemiringan garis, sedangkan waktu paruh (t½) dihitung dengan menggunakan persamaan laju reaksi ordo satu, sebagai berikut:

= - k c

= - k dt = - k dt ln = - k (t – t0) ln = - k t


(49)

30

pada t = t1/2 ln 0,5 = - k t1/2 t½ = - , Keterangan :

c0 adalah antosianin awal

ct adalah antosianin setelah pemanasan suhu diberikan terhadap waktu (Kopjar dan Pilizota, 2009).


(50)

44

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kopigmentasi dengan katekol pada rasio molar 50:1 dan 100:1 tidak efektif menstabilkan ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea

Sendtn) dilihat dari pengamatan konsentrasi antosianin sampai dengan penyimpanan hari ke-40, namun dari pengamatan retensi warna pada pH 3,5 dan kinetika reaksi degradasi antosianin pada suhu 65oC rasio molar 50:1 mampu menstabilkan ekstrak antosianin kulit terung Belanda (retensi warna 44,35%, k 0,141 dan t½ 4,91 jam).

2. Kopigmentasi dengan tanin mampu menstabilkan ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) dan yang paling

menstabilkan adalah pada perlakuan rasio molar 100:1 dengan konsentrasi antosianin pada penyimpanan hari ke-40 0,10 mMol dibandingkan kontrol 0,03 mMol, retensi warna pada pH 3,5 63,56 % dan laju degradasi antosianin pada suhu 65oC (k) 0,063 dan waktu paruh (t½)11,00 jam.


(51)

45

3. Kopigmentasi dengan tanin lebih menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) dibandingkan kopigmentasi

katekol.

B. Saran

Hasil penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kasar tanaman yang banyak mengandung tanin terhadap efektivitas kopigmentasi serta melakukan identifikasi terhadap jenis ikatan antara antosianin dengan kopigmen tanin pada reaksi kopigmentasi ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea


(52)

46

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, J., U.S. Shivhare, dan G.S.V. Raghavan. 2004. Thermal Degradation Kinetics of Anthocyanin and Visual Colour of Plum Puree.

Journal European Food ResearchandTechnology. 218: 525-528.

AOAC. 1970. Official Methods of Analysis 11th edition. Association of Official AnalyticalCchemist Inc. Washington,D.C.

Asen, S., R.N. Stewart dan K.H. Norris. 1972. Copigmentation of Anthocyanins in Plant Tissues and Its effect on Color. Journal of Phytochemistry. 11: 1139-1144.

Astawan, M. dan Kasih, A.L. 1997. Khasiat Warna-Warni Makanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Bakowska, A., A.Z. Kucharska, dan J. Oszmianski. 2003. The Effects of Heating, UV Irradiation, and Storage on Stability of the Anthocyanin-Polyphenol Copigment Complex. Journal ofFood Chemistry.81 (3) : 349-355.

Boulton, R. 2001. The Copigmentation of Anthocyanins and Its Role in the Color of Red Wine: A Critical Review. Journal Enology

and Viticulture. USA. 52 (2): 67-81 hlm.

Brat, P., F. Tourniaire dan M.J.A. Carlin. 2008. Stability and Analysis of Phenolic Pigments. Di dalam Food Colorants. C. Socaciu (ed.). CRC Press, Boca Raton.

Brenes, C.H., D. Del Pozo-Insfran, and S.T. Talcott. 2005. Stability of Copigmented Anthocyanins and Ascorbic Acid in a Grape Juice Model System. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 49-56.

Brouillard, R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanin. Academic Press. New York. 293 pp.

Castaneda - Ovando, A., M. L. Pacheco-Hernandez, M. E. Paez-Hernandez, J. A. Rodriguez and C.A. Galan-Vidal. 2009. Chemical Studies of Anthocyanins: A Review. Food Chemistry. 113 (4) : 859-871.


(53)

47

Damodaran, S., K.L. Parkin and O. R. Fennema. 2008. Food Chemistry. CRC Press. Boca Raton. New York. 51 pp.

Dangles, O., N. Saito, R. Brouillard. 1993. Anthocyanin Intramolecular Copigment Effect. . Journal of Phytochemistry. 34: 119-124.

Diniyah, N., T. Susanto, dan F. Choirunnisa. 2010. Uji Stabilitas Antosianin pada Kulit Terung. Jurnal Agrotechno. 1: 9.

Eiro, M.J. and M. Heinonen. 2002. Anthocyanin Color Behavior and Stability during Storage: Effect of Intermolecular Copigmentation. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50: 7461-7466.

Elbe J.H. and Schwartz S.J. 1996. Colorants. Di dalam O.R. Fenema (Ed).

Food Chemistry. 2nd ed. Marcel Dekker, Inc. New York. 651–722.

Fennema, O.R. 1976. Food Chemistry, 1st ed. Marcel Dekker. New York.

Francis, F. J. 1982. Analysis of Anthocyanin. Di dalam P. Markakis (Ed).

Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York. 293 hlm.

Gao, L. and G. Mazza. 1996. Extraction of Anthocyanin Pigments from Purple Sun Flower Hulls. Journal of Food Science. 61: 600-603.

Giusti, M.M. and R. E. Wrolstad. 2001. Characterization and Measurement of Anthocyanins by UV-Visible Spectroscopy Unit F1.2 in Current Protocols. Food Analytical Chemistry. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Hagerman A.E., C.T. Robbins, Y. Weerasuriya, T.C. Wilson, and C. Mcarthur 1992. Tannin Chemistry In Relation To Digestion. Journal of Range Management. 45: 57-62

Hanum, T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Ketan Hitam. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 11:17-23.

Harborne, J. B. 1967. Anthocyanins as Food Colors. Academic Press. New York.

Heatherbell, D.A., M.S. Reid, R.E. Wrolstad. 1982. The Tamarillo : Chemical Composition during Growth and Maturation. Journal of Science. 25: 239-243

IARC. 1977. IARC-Monographs Programme on the Evaluation of the Carcinogenic Risk of Chemicals to Humans. Preamble (IARC intern. tech. Rep. No. 77/002).


(54)

48

Jackman, R.L. dan J.L. Smith. 1996. Anthocyanins and Betalanins. Di dalam G. A. F. Hendry dan J. D. Houghton (Eds).Natural Food Colorants.

Blackie Academic & Proffesional. London. U.K. 244-280.

Jenie, B.S.L., Helianti, dan S. Fardiaz.1994. Pemanfaatan Ampas Tahu, Onggok dan Dedak untuk Produksi Pigmen Merah oleh Monascus purpureus.

Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 5 (2): 22-29.

Khusna, A. 2009. Stabilitas Warna Antosianin Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Selama Penyimpanan dengan Metode Kopigmentasi. (Skripsi). Universitas Brawijaya. Malang

Kopjar, M. and V. Pilizota. 2009. Copigmentation effect of Phenolic Componds on Red Currant Juice Anthocyanins during Storage. Journal of Food Science Technology. 1(2) 16-20.

Lee, J., R.W. Durst, and R.E. Wrolstad. 2002. Impact of Juice Processing on Blueberry Anthocyanins and Polyphenolics: Comparison of Two Pretreatments. Journal of Food Science. 67 (5): 1660-1667.

Mahkamah, S. 2004. Perbandingan Stabilitas Panas Ekstrak Antosianin Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) dan Tanaman Hati Ungu (Tradescantia pallida). (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 32 hlm.

Mandal, P and M. Ghosal. 2012. Antioxidant Activities of Different Parts Of Tree Tomato Fruit (Cyphomandra betasea(Cav.) Sendtn. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review andRresearch. ISSN 0976-044 (3-2).

Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Markakis, P. (Ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York. 293 pp.

Markham, K.R.. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 42-47 hlm.

Mateus, N. and V. de Freitas. 2009. Anthocyanins as Food Colorants. Di dalam Gould, K., Davies, K., Winefield, C. (Eds). Anthocyanins. Biosynthesis, Functions, and Applications. Springer. New York.

Mazza, G., dan R. Brouillard. 1990. The mechanism of co-pigmentation of anthocyanins in aqueous solutions. Journal of Phytochemistry. 29: 1097–1102.

Metivier, R.P., F.J. Francis and F.M. Clydesdale. 1980. Solvent Extraction of Anthocyanin from Wine Pomace. Journal of Food Science. 45:1099-1100.


(55)

49

Morton, J. 1987. Tree Tomato. Di dalam Julia F. Morton (Ed). Fruits of Warm Climates. Miami, FL. 437–440.

Ozela, E.F., P.C.Stringheta., and M.C. Chauca. 2007. Stability of Anthocyanin in spinach vine (Basella rubra) Fruit. Journal of Investigation Agriculture.

34 (2): 115-20.

Pudjaatmaka, A.H. 2002. Kamus Kimia. Balai Pustaka. Jakarta.

Rein, M. 2005. Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanin. University of Helsinki. Finland.

Rein, M. and M. Heinonen. 2004. Stability and Enchancement of Berry Juice Color. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 52 (25): 3106-3114

Scheffeldt, P, dan G. Hrazdina. 1978. Copigmentation of anthocyanins under physiological conditions. Journal of Food Science. 43:517-520.

Schwarz, M., J. Picazo-Bacete, P. Winterhalter, and I. Hermosin-Gutierrez. 2005. Effect of Copigments and Grape Cultivar on the Color of Red Wines Fermented After Addition of Copigments. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 8372-8381.

Sembiring, L.R. 2013. Pemanfaatan Ekstrak Terong Belanda (Cyphomandra Betacea Sendtn) Sebagai Pewarna Alami Es Krim. http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint. 4373

Shi, Z., F.J. Francis, dan H. Daun. 1992. Quantitative Comparison of the Stability of Anthocyanins from Brassica oleracea and Tradescantia pallida in Non-sugar Drink Model and Protein Model System. Journal of Food Science. 57: 768-770

Silaban, S.D., E. Prihastanti dan E. Saptiningsih. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Kandungan Total Asam, Kadar Gula serta Kematangan Buah Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn).

Buletin Anatomi dan Fisiologi. 21(1). FSM Universitas Diponegoro.

Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika - Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Subodro, R. dan Sunaryo. 2013. Ekstraksi Pewarna Bahan Antosianin Kulit Terong Ungu Sebagai Pewarna Alami pada Sel Surya Dye Dye-Sensitized Solar Cell (Dssc). Jurnal Politeknosain. XI (2): 74-83.

Sudarmadji, S, Haryono. B dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogykarta. 54-56 hlm.


(56)

50

Talcott S.T., C.H Brenes., D.M. Pires., and D. Del Pozo-Insfran. 2003. Phytochemical Stability and Color Retention of Copigmented and Processed Muscadine Grape Juice. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51: 957-963.

Talcott S.T., C.H. Brenes, Del Follo-Martinez and D. Del Pozo-Insfran. 2007. Stability of copigmented Anthocyanins and ascorbic acid in muscadine grape juice processed by high hydrostatic pressure. Journal of Food Science. 72 : 247-253.

Utomo, E.P. 1992. Isolasi dan Identifikasi Pigmen Antosianindari Kulit Buah Anggur serta Mempelajari Pengaruh pH terhadap Stabilitas Warna dan Strukturnya. (Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilska-Jeszka, J. 2007. Food colorants. Z. E. Sikorski (Ed). Chemical and Functional Properties of Food Components. Boca Raton : CRC Press.

Wrolstad, R.E. and D.A. Heatherbell. 1974. Identification of anthocyanins and distribution of flavonoids in tamarillo fruit (Cyphomandra betaceae

(Cav.) Sendt.). Journal of the Science of Food and Agriculture. 25:1221–1228.

Yuwono, S.S. dan F. Choirunnisa. 2009. Stabilisasi Warna Antosianin Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) Selama Penyimpanan Dengan Metode Kopigmentasi. Kajian Pengaruh pH Media dan Konsentrasi Tanin. Universitas Brawijaya.

Zulfadli. 1989. Uji Mikrobiologi Ekstrak Daun dan Ranting Uncaria Gambir Roxb dibuat Secara Tradisional terhadap beberapa Bakteri Penyebab Diare secara Invitro. Jurnal F-MIPA. Universitas Andalas.


(1)

3. Kopigmentasi dengan tanin lebih menstabilkan warna ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) dibandingkan kopigmentasi katekol.

B. Saran

Hasil penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kasar tanaman yang banyak mengandung tanin terhadap efektivitas kopigmentasi serta melakukan identifikasi terhadap jenis ikatan antara antosianin dengan kopigmen tanin pada reaksi kopigmentasi ekstrak antosianin kulit terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, J., U.S. Shivhare, dan G.S.V. Raghavan. 2004. Thermal Degradation Kinetics of Anthocyanin and Visual Colour of Plum Puree. Journal European Food ResearchandTechnology. 218: 525-528.

AOAC. 1970. Official Methods of Analysis 11th edition. Association of Official AnalyticalCchemist Inc. Washington,D.C.

Asen, S., R.N. Stewart dan K.H. Norris. 1972. Copigmentation of Anthocyanins in Plant Tissues and Its effect on Color. Journal of Phytochemistry. 11: 1139-1144.

Astawan, M. dan Kasih, A.L. 1997. Khasiat Warna-Warni Makanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Bakowska, A., A.Z. Kucharska, dan J. Oszmianski. 2003. The Effects of Heating, UV Irradiation, and Storage on Stability of the Anthocyanin-Polyphenol Copigment Complex. Journal ofFood Chemistry.81 (3) : 349-355.

Boulton, R. 2001. The Copigmentation of Anthocyanins and Its Role in the Color of Red Wine: A Critical Review. Journal Enology

and Viticulture. USA. 52 (2): 67-81 hlm.

Brat, P., F. Tourniaire dan M.J.A. Carlin. 2008. Stability and Analysis of Phenolic Pigments. Di dalam Food Colorants. C. Socaciu (ed.). CRC Press, Boca Raton.

Brenes, C.H., D. Del Pozo-Insfran, and S.T. Talcott. 2005. Stability of Copigmented Anthocyanins and Ascorbic Acid in a Grape Juice Model System. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 49-56.

Brouillard, R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanin. Academic Press. New York. 293 pp.

Castaneda - Ovando, A., M. L. Pacheco-Hernandez, M. E. Paez-Hernandez, J. A. Rodriguez and C.A. Galan-Vidal. 2009. Chemical Studies of Anthocyanins: A Review. Food Chemistry. 113 (4) : 859-871.


(3)

Damodaran, S., K.L. Parkin and O. R. Fennema. 2008. Food Chemistry. CRC Press. Boca Raton. New York. 51 pp.

Dangles, O., N. Saito, R. Brouillard. 1993. Anthocyanin Intramolecular Copigment Effect. . Journal of Phytochemistry. 34: 119-124.

Diniyah, N., T. Susanto, dan F. Choirunnisa. 2010. Uji Stabilitas Antosianin pada Kulit Terung. Jurnal Agrotechno. 1: 9.

Eiro, M.J. and M. Heinonen. 2002. Anthocyanin Color Behavior and Stability during Storage: Effect of Intermolecular Copigmentation. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50: 7461-7466.

Elbe J.H. and Schwartz S.J. 1996. Colorants. Di dalam O.R. Fenema (Ed). Food Chemistry. 2nd ed. Marcel Dekker, Inc. New York. 651–722.

Fennema, O.R. 1976. Food Chemistry, 1st ed. Marcel Dekker. New York.

Francis, F. J. 1982. Analysis of Anthocyanin. Di dalam P. Markakis (Ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York. 293 hlm. Gao, L. and G. Mazza. 1996. Extraction of Anthocyanin Pigments from Purple

Sun Flower Hulls. Journal of Food Science. 61: 600-603.

Giusti, M.M. and R. E. Wrolstad. 2001. Characterization and Measurement of Anthocyanins by UV-Visible Spectroscopy Unit F1.2 in Current Protocols. Food Analytical Chemistry. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Hagerman A.E., C.T. Robbins, Y. Weerasuriya, T.C. Wilson, and C. Mcarthur 1992. Tannin Chemistry In Relation To Digestion. Journal of Range Management. 45: 57-62

Hanum, T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Ketan Hitam. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 11:17-23.

Harborne, J. B. 1967. Anthocyanins as Food Colors. Academic Press. New York.

Heatherbell, D.A., M.S. Reid, R.E. Wrolstad. 1982. The Tamarillo : Chemical Composition during Growth and Maturation. Journal of Science. 25: 239-243

IARC. 1977. IARC-Monographs Programme on the Evaluation of the Carcinogenic Risk of Chemicals to Humans. Preamble (IARC intern. tech. Rep. No. 77/002).


(4)

Jackman, R.L. dan J.L. Smith. 1996. Anthocyanins and Betalanins. Di dalam G. A. F. Hendry dan J. D. Houghton (Eds). Natural Food Colorants. Blackie Academic & Proffesional. London. U.K. 244-280.

Jenie, B.S.L., Helianti, dan S. Fardiaz.1994. Pemanfaatan Ampas Tahu, Onggok dan Dedak untuk Produksi Pigmen Merah oleh Monascus purpureus. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 5 (2): 22-29.

Khusna, A. 2009. Stabilitas Warna Antosianin Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Selama Penyimpanan dengan Metode Kopigmentasi. (Skripsi). Universitas Brawijaya. Malang

Kopjar, M. and V. Pilizota. 2009. Copigmentation effect of Phenolic Componds on Red Currant Juice Anthocyanins during Storage. Journal of Food Science Technology. 1(2) 16-20.

Lee, J., R.W. Durst, and R.E. Wrolstad. 2002. Impact of Juice Processing on Blueberry Anthocyanins and Polyphenolics: Comparison of Two Pretreatments. Journal of Food Science. 67 (5): 1660-1667.

Mahkamah, S. 2004. Perbandingan Stabilitas Panas Ekstrak Antosianin Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) dan Tanaman Hati Ungu (Tradescantia pallida). (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 32 hlm.

Mandal, P and M. Ghosal. 2012. Antioxidant Activities of Different Parts Of Tree Tomato Fruit (Cyphomandra betasea(Cav.) Sendtn. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review andRresearch. ISSN 0976-044 (3-2).

Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Markakis, P. (Ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York. 293 pp.

Markham, K.R.. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 42-47 hlm.

Mateus, N. and V. de Freitas. 2009. Anthocyanins as Food Colorants. Di dalam Gould, K., Davies, K., Winefield, C. (Eds). Anthocyanins. Biosynthesis, Functions, and Applications. Springer. New York.

Mazza, G., dan R. Brouillard. 1990. The mechanism of co-pigmentation of anthocyanins in aqueous solutions. Journal of Phytochemistry. 29: 1097–1102.

Metivier, R.P., F.J. Francis and F.M. Clydesdale. 1980. Solvent Extraction of Anthocyanin from Wine Pomace. Journal of Food Science. 45:1099-1100.


(5)

Morton, J. 1987. Tree Tomato. Di dalam Julia F. Morton (Ed). Fruits of Warm Climates. Miami, FL. 437–440.

Ozela, E.F., P.C.Stringheta., and M.C. Chauca. 2007. Stability of Anthocyanin in spinach vine (Basella rubra) Fruit. Journal of Investigation Agriculture. 34 (2): 115-20.

Pudjaatmaka, A.H. 2002. Kamus Kimia. Balai Pustaka. Jakarta.

Rein, M. 2005. Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanin. University of Helsinki. Finland.

Rein, M. and M. Heinonen. 2004. Stability and Enchancement of Berry Juice Color. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 52 (25): 3106-3114 Scheffeldt, P, dan G. Hrazdina. 1978. Copigmentation of anthocyanins under

physiological conditions. Journal of Food Science. 43:517-520.

Schwarz, M., J. Picazo-Bacete, P. Winterhalter, and I. Hermosin-Gutierrez. 2005. Effect of Copigments and Grape Cultivar on the Color of Red Wines Fermented After Addition of Copigments. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 8372-8381.

Sembiring, L.R. 2013. Pemanfaatan Ekstrak Terong Belanda (Cyphomandra Betacea Sendtn) Sebagai Pewarna Alami Es Krim. http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint. 4373

Shi, Z., F.J. Francis, dan H. Daun. 1992. Quantitative Comparison of the Stability of Anthocyanins from Brassica oleracea and Tradescantia pallida in Non-sugar Drink Model and Protein Model System. Journal of Food Science. 57: 768-770

Silaban, S.D., E. Prihastanti dan E. Saptiningsih. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Kandungan Total Asam, Kadar Gula serta Kematangan Buah Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn). Buletin Anatomi dan Fisiologi. 21(1). FSM Universitas Diponegoro. Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika - Suatu

Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Subodro, R. dan Sunaryo. 2013. Ekstraksi Pewarna Bahan Antosianin Kulit Terong Ungu Sebagai Pewarna Alami pada Sel Surya Dye Dye-Sensitized Solar Cell (Dssc). Jurnal Politeknosain. XI (2): 74-83.

Sudarmadji, S, Haryono. B dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogykarta. 54-56 hlm.


(6)

Talcott S.T., C.H Brenes., D.M. Pires., and D. Del Pozo-Insfran. 2003. Phytochemical Stability and Color Retention of Copigmented and Processed Muscadine Grape Juice. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51: 957-963.

Talcott S.T., C.H. Brenes, Del Follo-Martinez and D. Del Pozo-Insfran. 2007. Stability of copigmented Anthocyanins and ascorbic acid in muscadine grape juice processed by high hydrostatic pressure. Journal of Food Science. 72 : 247-253.

Utomo, E.P. 1992. Isolasi dan Identifikasi Pigmen Antosianindari Kulit Buah Anggur serta Mempelajari Pengaruh pH terhadap Stabilitas Warna dan Strukturnya. (Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilska-Jeszka, J. 2007. Food colorants. Z. E. Sikorski (Ed). Chemical and Functional Properties of Food Components. Boca Raton : CRC Press. Wrolstad, R.E. and D.A. Heatherbell. 1974. Identification of anthocyanins and

distribution of flavonoids in tamarillo fruit (Cyphomandra betaceae (Cav.) Sendt.). Journal of the Science of Food and Agriculture. 25:1221–1228.

Yuwono, S.S. dan F. Choirunnisa. 2009. Stabilisasi Warna Antosianin Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) Selama Penyimpanan Dengan Metode Kopigmentasi. Kajian Pengaruh pH Media dan Konsentrasi Tanin. Universitas Brawijaya.

Zulfadli. 1989. Uji Mikrobiologi Ekstrak Daun dan Ranting Uncaria Gambir Roxb dibuat Secara Tradisional terhadap beberapa Bakteri Penyebab Diare secara Invitro. Jurnal F-MIPA. Universitas Andalas.