Perlindungan Terhadap Pers Di Negara Yang Sedang Berkonflik Menurut Hukum Internasional

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

JEAN BERNARD MYSON NIM: 090200190

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

JEAN BERNARD MYSON NIM: 090200190

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

(Arif, S.H., M.H) NIP. 196403301993031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abdul Rahman, S.H., M.H Dr. Jelly Leviza,SH.M.Hum NIP.195710301984031002

NIP.197308012002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Abdul Rahman, S.H., M.H *) Dr. Jelly Leviza,SH.M.Hum **)

Jean Bernard Myson ***)

Korban Pers yang terbunuh atau terluka dalam konflik bersenjata semakin tahunnya meningkat. Hukum humaniter internasional mengatur dalam dalam Art. 79 Prot. Tambahan I untuk kedua perlindungan sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata. Mereka tidak dapat ditargetkan secara langsung dan tidak dapat digunakan sebagai perisai.

Pasukan militer harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil di daerah konflik melawan efek dari operasi militer. Namun, Pers yang berpatisipasi dalam serta setiap kegiatan militer kehilangan status kekebalan sebagaimana rakyat sipil yang dlindungi oleh hokum humaniter internasional. Misalnya, dengan melengkapi diri dengan alat-alat bersenjata atau menjadi mata-mata bagi pihak yang merugikan.

Orang tawanan tidak boleh disiksa atau dieksekusi tanpa pengadilan sebelum pengadilan yang independen. Peralatan media tidak fasilitas militer, bahkan jika mereka digunakan untuk propaganda atau untuk menghasut penduduk untuk melakukan kekejaman terhadap kelompok ras atau agama atau minoritas lainnya.

Menurut Art. 52 Prot. Tambahan I, mereka harus dilihat sebagai objek sipil. Misalnya, sebuah stasiun radio tidak dapat ditargetkan secara langsung dan harus dilindungi terhadap setiap efek operasi militer. Banyak serangan terhadap Pers tidak pernah diteliti karena kesalahan dikelola oleh pengakuan. Pers akan selalu ditargetkan tetapi masyarakat internasional secara keseluruhan harus melakukan yang terbaik untuk mencegah tindakan tersebut. Serangan terhadap Pers merupakan ancaman bagi perdamaian dan kesejahteraan semua negara di dunia.

Kata Kunci : Perlindungan, Pers, Perlindungan Pers, Negara Yang Sedang Berkonflik __________________________________

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II


(4)

ABSTRACT

Abdul Rahman, S.H., M.H *) Dr. Jelly Leviza,SH.M.Hum **)

Jean Bernard Myson ***)

Release victims who were killed or wounded in armed conflict more annually increasing . International humanitarian law set in the Art . 79 Prot . Annex I to the second as the protection of civilians in armed conflict . They can not be targeted directly and can not be used as a shield .

Military forces must take all necessary measures to protect civilians in conflict areas against the effects of military operations . However , Press who participated in military activities as well as any loss of immune status as civilians dlindungi by international humanitarian law . For example , by equipping themselves with the tools of armed or become a spy for the adverse party .

Prisoners must not be tortured or executed without trial before an independent court . Media tools are not military facilities , even if they are used for propaganda or to incite the population to commit atrocities against racial or religious groups or other minorities .

According to Art . 52 Prot . Annex I , they should be viewed as a civilian object . For example , a radio station can not be targeted directly , and must be protected against any effects of military operations . Many of the attacks against the press was never investigated because the error is managed by the recognition . The press will always be targeted but the whole international community should do its best to prevent such action . Attacks on Press are a threat to the peace and prosperity of all countries in the world .

Keywords : Protection, Press, Press Release Protection, Conflict Countries __________________________________

* Supervisor Lecturer I ** Supervisor Lecturer II


(5)

Dengan ini saya :

Nama : JEAN BERNARD MYSON

NIM : 090200190

Judul : PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Januari 2014

JEAN BERNARD MYSON NIM. 090200190


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat, yang kasihNya selalu setia menyertai dan telah mencurahkan berkat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL”. Skripsi

ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua saya, Drs.Edy M Sagala dan Roslinawaty Sitanggang yang telah mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1).

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(7)

4. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik; 7. Bapak Arif S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional;

8. Bapak Dr.Jelly Leviza S.H.,M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah Bapak berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya;

9. Bapa selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang Ibu berikan kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi;

10.Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Keluarga Besar yang selalu memberikan perhatian dan semangat dalam mendukung tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi tetapi juga untuk banyak hal dalam hidup saya, terutama untuk Papa dan Mama serta abang saya Ronny Sagala dan adik saya Adam Sagala;

12.International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU;

13.Kawan-kawan rumah rakyat saya, Hotman Aruan, Haposan Thioeldo Sihombing, Gabriel Sidabutar, Sumanggam Wahyu, Zeky Muharam, Humala Parlaungan, Jonathan Sinaga, Devara Andreas, Doan Pangaribuan, Sayyid Muhammad. Terima kasih telah melewati malam dan pagi bersama. Sukses untuk kita semua;


(8)

14.Cinta saya, Chintami Maranatha Sihombing yang memberikan dukungan dan semangat dalam menggapai cita-cita saya;

15.Untuk seluruh teman-teman terbaik selama di Medan khususnya di Fakultas Hukum USU yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Terima kasih telah membuat hari-hari di Medan menjadi penuh makna.

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna lagi, baik dari segi isi/materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.

Akhirnya, semoga Tuhan memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Januari 2014 Penulis

Jean Bernard Myson NIM.090200190


(9)

DAFTAR ISI KATA

PENGANTAR……….………..i

DAFTAR ISI……….iv

ABSTRAKSI………vii

BAB I PENDAHULUAN……….……….1

A.Latar Belakang……… ………1

B.Perumusan Masalah………..………...………..10

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………11

D.Keaslian Penelitian………..………12

E.Tinjauan Kepustakaan…. ………12

F.Metode Penulisan………13

G.Sistematika Penulisan………..……….16

BAB II ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS DALAM MENDUKUNG KEDUDUKAN PERS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL……18

A. Pers Dan Teori Pers 1. Pengertian Pers………18

2. Teori Pers Dunia……….23

B. Sejarah Lahirnya Pers Dunia………28

C. Perangkat Hukum Internasional Dalam Mendukung Kedudukan Pers 1. Berdasarkan Deklarasi Talloires………32

2. Berdasarkan Piagam Untuk Kebebasan Pers ( Charter For Free Press )…41 3. Perspektif Kemerdekaan dan kedudukan Pers………44


(10)

BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI

PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK………49

A. Definisi Negara Konflik………49

B. Jenis – jenis Negara Konflik 1. Konflik Bersenjata Yang Bersifat Internasional………62

2. Konflik Bersenjata Yang Bersifat Non-Internasional………63

C. Konsepsi Perlindungan Pers Yang Berada Dalam Negara Konflik………68

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL BAGI PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK………..75

A. Kedudukan Pers Sebagai Warga Sipil ( Konvensi Jenewa 1949 )………75

B. Beralihnya kedudukan Pers Menjadi Seorang Tawanan di Negara Konflik 1. Sebab-Sebab Peralihan Kedudukan………79

2. Perlindungan Umum Terhadap Tawanan Di Negara Konflik………80

3. Perlindungan Tawanan Perang Saat pertama Ditahan………81

4. Interogasi Tawanan Perang……….82

5. Perlindungan Tawanan Perang Pada Masa Tahanan………84

C. Peranan Organisasi Internasional dalam memberikan perlindungan terhadap Pers di Negara konflik………..85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN91 A. Kesimpulan………91

B. Saran………91


(11)

ABSTRAKSI

Abdul Rahman, S.H., M.H *) Dr. Jelly Leviza,SH.M.Hum **)

Jean Bernard Myson ***)

Korban Pers yang terbunuh atau terluka dalam konflik bersenjata semakin tahunnya meningkat. Hukum humaniter internasional mengatur dalam dalam Art. 79 Prot. Tambahan I untuk kedua perlindungan sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata. Mereka tidak dapat ditargetkan secara langsung dan tidak dapat digunakan sebagai perisai.

Pasukan militer harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil di daerah konflik melawan efek dari operasi militer. Namun, Pers yang berpatisipasi dalam serta setiap kegiatan militer kehilangan status kekebalan sebagaimana rakyat sipil yang dlindungi oleh hokum humaniter internasional. Misalnya, dengan melengkapi diri dengan alat-alat bersenjata atau menjadi mata-mata bagi pihak yang merugikan.

Orang tawanan tidak boleh disiksa atau dieksekusi tanpa pengadilan sebelum pengadilan yang independen. Peralatan media tidak fasilitas militer, bahkan jika mereka digunakan untuk propaganda atau untuk menghasut penduduk untuk melakukan kekejaman terhadap kelompok ras atau agama atau minoritas lainnya.

Menurut Art. 52 Prot. Tambahan I, mereka harus dilihat sebagai objek sipil. Misalnya, sebuah stasiun radio tidak dapat ditargetkan secara langsung dan harus dilindungi terhadap setiap efek operasi militer. Banyak serangan terhadap Pers tidak pernah diteliti karena kesalahan dikelola oleh pengakuan. Pers akan selalu ditargetkan tetapi masyarakat internasional secara keseluruhan harus melakukan yang terbaik untuk mencegah tindakan tersebut. Serangan terhadap Pers merupakan ancaman bagi perdamaian dan kesejahteraan semua negara di dunia.

Kata Kunci : Perlindungan, Pers, Perlindungan Pers, Negara Yang Sedang Berkonflik __________________________________

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II


(12)

ABSTRACT

Abdul Rahman, S.H., M.H *) Dr. Jelly Leviza,SH.M.Hum **)

Jean Bernard Myson ***)

Release victims who were killed or wounded in armed conflict more annually increasing . International humanitarian law set in the Art . 79 Prot . Annex I to the second as the protection of civilians in armed conflict . They can not be targeted directly and can not be used as a shield .

Military forces must take all necessary measures to protect civilians in conflict areas against the effects of military operations . However , Press who participated in military activities as well as any loss of immune status as civilians dlindungi by international humanitarian law . For example , by equipping themselves with the tools of armed or become a spy for the adverse party .

Prisoners must not be tortured or executed without trial before an independent court . Media tools are not military facilities , even if they are used for propaganda or to incite the population to commit atrocities against racial or religious groups or other minorities .

According to Art . 52 Prot . Annex I , they should be viewed as a civilian object . For example , a radio station can not be targeted directly , and must be protected against any effects of military operations . Many of the attacks against the press was never investigated because the error is managed by the recognition . The press will always be targeted but the whole international community should do its best to prevent such action . Attacks on Press are a threat to the peace and prosperity of all countries in the world .

Keywords : Protection, Press, Press Release Protection, Conflict Countries __________________________________

* Supervisor Lecturer I ** Supervisor Lecturer II


(13)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. 1

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan

1


(14)

atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.2

2) Geza Herzeg : “ Part of the rule of public international law which serve as the

protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it

Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law

Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),

yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on

the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang

baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter :

1) Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal

provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”

2


(15)

is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”

3) Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”

4) Esbjorn Rosenbland : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan

berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”

5) S.R Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“

6) Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang3

Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah

3


(16)

lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed

conflict).

Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara — yang sering disebut traktat atau konvensi — dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui. Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta


(17)

kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan. Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya. Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.4

4


(18)

Kehadiran Pers dalam konflik bersenjata sangat penting artinya menurut Hukum Humaniter, tanpa kehadiran mereka publik tidak akan tahu apakah para pihak yang bersengketa menghormati atau sebaliknya tidak mengindahkan Hukum Humaniter selama konflik berlangsung. Ketidaktahuan publik berarti ketiadaan control terhadap para pihak dalam pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional. 5

Sejarah Pers dalam situasi perang bersenjata sejajar dengan sejarah peperangan itu sendiri yaitu setidaknya sejak awal abad kedua puluh. Sejak tahun enam-puluhan pemikiran untuk memberikan perlindungan terhadap Pers yang melakukan tugas di medan perang (konflik bersenjata) menjadi perhatian dari banyak organisasi Pers dari seluruh dunia. Penyebabnya adalah karena banyak Pers yang hilang dan mati pada perang Korea, demikian pula pada waktu perang Vietnam . Pers melakukan profesi mereka dalam situasi konflik bersenjata untuk melayani “kepentingan publik” karena mereka “memainkan peran penting dalam membawa perhatian masyarakat Internasional kengerian dan realitas konflik”. Pengadilan menilai bahwa investigasi dan laporan oleh para Pers memungkinkan warga masyarakat Internasional untuk menerima informasi penting dari zona konflik. Atas dasar itu, pengadilan memberikan kehormatan kepada Pers atas testimonial mereka sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan profesi mereka untuk melindungi Pers dalam melaksanakan profesi mereka dalam situasi konflik bersenjata.6

Begitu pentingnya Pers perang yang meliput di situasi konflik dikemukakan oleh Peter Arnett, seorang Pers veteran perang yang meliput konflik bersenjata di berbagai Negara di dunia, dimana ia mengatakan bahwa “fungsi Pers dalam meliput peperangan

5

http://radianadi.wordpress.com/2011/06/08/perlindungan-Pers-dalam-Hukum-humaniter-Internasional/

6


(19)

adalah sebagai saksi yang mengemukakan apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Bukan seperti juri yang mengadili. Kenapa Pers meliput peperangan? Agar peristiwa yang terjadi pada peperangan dapat diketahui oleh pihak-pihak di luar para pelaku dan penderita peperangan”. Pers yang harus menjalankan profesinya di medan pertempuran, dalam hal ini juga termasuk ke dalam kelompok penduduk sipil,berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4A Konvensi Jenewa III dimana :

“Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are Persons

belonging to one of the following categories, who have fallen into the power of the enemy: ….. (4) Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model.7

Adapun tindak kekerasan, pemerkosaan, serta serangan yang disengaja hingga mengakibatkan luka atau tewasnya Pers yang dilakukan oleh pihak yang bertikai merupakan suatu pelanggaran berat (Grave Breaches) terhadap Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol Tambahan 1 1977, dan karenanya tindakan tersebut dianggap merupakan sebuah kejahatan perang Suatu pelanggaran-pelanggaran aturan yang ada dalam Konvensi Jenewa berikut Protokol Tambahan I 1977 akan mendapatkan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan suatu kesalahan dan pihak-pihak dalam sengketa

Pers perang dituntut untuk tampil netral dan tidak menunjukkan sikap yang mendukung diantara pihak-pihak yang bertikai, dan sebagai pembuktian atas status mereka, maka harus ditunjukkan kartu identitas seperti yang ditentukan dalam Annex II Protokol Tambahan 1 1977.

7


(20)

harus mengakhiri dan harus memberantasnya tanpa harus ditunda-tunda lagi. Pers secara Hukum berhak atas otonomi yang lebih besar daripada warga sipil lainnya. Pers hanya dapat ditahan untuk “alasan penting keamanan,” dan bahkan kemudian berhak atas suatu perlindungan Hukum yang sama sebagai tawanan perang, termasuk hak untuk tidak menanggapi interogasi (meskipun notebook dan film secara legal dapat disita oleh Personil militer).

Serta harus dihormati dan dilindungi karenanya dan resolusi tersebut juga menekankan bahwa “serangan tanpa pandang bulu pada warga sipil dan orang yang dilindungin lainnya, dan komisi mengenai pelanggaran sistematis, mencolok dan meluas terhadap Hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan Internasional dalam situasi konflik bersenjata mungkin merupakan ancaman perdamaian dan keamanan Internasional.8

Dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan perang seorang wartawan juga tidak terlepas dari berbagai resiko yang bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa mereka sendiri dalam peliputan di wilayah konflik bersenjata. Setiap wartawan harus punya Persiapa yang matang dalam melakukan tuagas nya terutaman di medan berbahaya seperti di Negara yang sedang berkonflik bersenjata. Di Negara-Negara barat wartawan tidak hanya dibekali perlengkapan, tapi juga pelatihan, misalnya mengenai karakter senjata dari desingan peluru dan sebagainya. Kesadaran perlindungan keselamatan dan kesejahteraan wartawan itu perlu dibangkitkan, lagi pula wartawan bukan seperti terntara yang siap


(21)

tempur ditugaskan di medan tempur. Pers bukan hanya warga sipil non-kombatan(pasukan tempur),tapi juga profesi yang membawa misi penyaluran informasi secara khusus.9

1. Bagaimana perangkat-perangkat Hukum Internasional dalam mendukung kedudukan Pers ?

Maka berdasarkan hal tersebut diskripsi ini tertarik untuk membahas dan menuangkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Perlindungan terhadap Pers di Negara yang sedang berkonflik menurut Hukum Internasional”.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

2. Bagaimana perspektif Hukum Internasional dalam melindungi Pers di Negara yang sedang berkonflik ?

3. Bagaimana perlindungan Hukum Internasional terhadap Pers di Negara yang sedang berkonflik ?

9

Atmakusumah, “Perlindungan bagi Wartawan Peliput Perang Tak Sekedar Asuransi.” Harian


(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengetahui sejauh mana Hukum Internasional mengatur tentang perlindungan terhadap Pers di Negara yang sedang berkonflik.

2) Untuk mengetahui tujuan dari Pers yang melakukan peliputan di Negara yang sedang berkonflik.

3) Untuk mengetahui betapa pentingnya Pers didalam Negara yang sedang berkonflik.

Manfaat Penelitian

Secara Praktis dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang tentang bagaimana kedudukan Pers di Negara yang sedang berkonflik di atur dalam Hukum Internasional.Seperti yang kita ketahui bahwa perang atau konflik bersenjata dapat terjadi kapan saja,dan dalam konflik bersenjata tersebut kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia sangat besar, maka diharapkan agar pembaca semakin mengetahui dan memahami keberadaan Pers di Negara yang sedang berkonflik dalam upaya peliputan berita.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah asli,sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, demikian juga dengan pembahasan


(23)

yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 14 Mei 2013 . Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar refrensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu akan diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambildari sumber-sumber yang emberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana, sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.

Pengertian judul “ PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG

SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ” dapat diartikan

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 10

10


(24)

Judul ini pada prinsipnya akan membahas tentang sampai sejauh mana Pers itu akan mendapatkan perlidungan yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa Dan Protokol Tambahan I 1977.

F.Metode Penulisan

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi ;

1. Jenis Penelitian

Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan kara tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah ( metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya .

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupajan penelitian hukum yuridis normative .

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakniberupa undang-undang, Perjanjian Internasional dan sebagainya.


(25)

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah, surta kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

c. Bahan Hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep=konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah , jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, termasuk peraturan perundangan-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan Inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian


(26)

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah tersusun secara sistematis kemudia dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kuantitatif.

G.Sistematika Penulisan

Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kemudian dilanjutkan dengan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian dan sistematika Penulisan.

BAB II : ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS DALAM MENDUKUNG

KEDUDUKAN PERS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai pengertian pers dan teori pers.

BAB III : PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI

PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK

Bahasan mengenai Pers di Negara yang sedang berkonflik yang terdiri dari tiga sub bab mengenai Pengertian Negara yang sedang berkonflik, Jenis-jenis Negara yang sedang berkonflik kemudian Kondisi Pers yang berada di Negara yang sedang berkonflik.


(27)

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL BAGI PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK

Memuat bahasan mengenai perlindungan Pers di Negara yang sedang berkonflik, yang terdiri dari tiga sub bab mengenai kedudukan Pers sebagai warga sipil, berubahnya status Pers menjadi tawanan, dan upaya perlindungan Pers di Negara yang sedang berkonflik .

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan, serta saran yang dapat akan diberikan


(28)

BAB II

ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS DALAM MENDUKUNG KEDUDUKAN PERS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Pers Dan Teori Pers 1. Pengertian Pers

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.11

Melalui komunikasi yang terbuka pemerintah menjadi pertanda berlakunya suatu pemerintahan yang demokratis sebab masyarakatpun menyampaikan pesan dan

Pers dalam arti sempit, yakni media cetak dan pers dalam arti luas , yakni meliputi semua barang cetakan yang ditujukan untuk umum sebagai penggati istilah printed mass media. Berkembangnya media yang mampu menjangkau massa juga membuat istilah pers semakin meluas. Kini orang juga lazim menyebut pelaku atas kegiatan yang berhubungan dengan media massa elektronik, Pers Juga melaksanakan kontrol sosial (Social Control) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keuasaan baik korupsi, kolusi dan nepotisme. maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

11

Sobur, Alex. (2001). Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama Press. hlm. 145


(29)

mesukannya secara terbuka Pers sebagai lembaga control social dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat berpengarauh dalampelaksanaan pemerintahan, bagi pemerintah yang banyak melakukan kesalahan. Sedangkan control social pers terasa sangat buruk. Sehingga kegiatan pemerintahannya pun terpengaruh. Pers melalui fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, control social dan lembaga ekonomi menjadi pengontrol kehidupan masyarakat.12

a) Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya “Four Theories of the Press” mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian,

the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut

mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.

Berikut pengertian Pers menurut para ahli:

b) Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.

c) Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan belanda.

12


(30)

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.13

Wartawan ialah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalisme dengan menciptakan laporan akan peristiwa dengan cara pandang objektif dan tidak memiliki pandangan dari Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya.

Pers sangat erat kaitannya dengan wartawan yang dimana wartawan sebagai insan dari pers.Wartawan yang dikenal juga sebagai kuli tinta, merupakan unsur penting dan pokok dalam dunia pers. Pasalnya sebuah peristiwa dapat diabadikan dalam berita sebagaimana masyarakat kita mengenalnya, tidak lahir begitu saja dengan sendirinya. Tetapi, ini berkat kerja keras para wartawan dalam mencari berita, mengejar sumber berita dan mengemasnya dengan prinsip 5 W + 1 H (What, Where, When, Who, Why, dan How). Tak jarang, dalam salah satu jenis pencarian berita. Seorang wartawan dihadapkan untuk melakukan tugas investigasi, dan menjadikannya berita eklusif. Gambaran singkat di atas, hanya sebatas siapa wartawan itu?

13


(31)

sudut tertentu untuk melayani masyarakat, melalui publikasi dalam bentuk media massa (televisi, radio, film dokumentar, koran, majalah, dan internet).14

Definisi wartawan versi PWI, adalah suatu kegiatan berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya.Sedangkan AJI memberikan definisi jurnalis sebagai profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan. Kemudian secara yuridis, mengenai pengertian wartawan dapat ditilik pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 1 Ayat 3, berbunyi : “Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/ usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran, dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar, dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi, dan film”, dan ayat 4, “Wartawan ialah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam ayat (3) pasal ini secara kontinyu”.

Sementara pandangan tak jauh berbeda diungkapkan dua organisasi wartawan terkemukan di Indonesia, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

15

14

“Wartawan,” Wikipedia Indonesia : Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia (Maret 2008),

wartawan ini menurut keterangan dalam Wikipedia terakhir di ubah pada 12 Maret 2008.

15


(32)

Undang-Undang di atas, selanjutnya dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Di UU terbaru ini dalam Pasal 1 ayat 4, wartawan diberikan definisi: “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”16Dengan demikian dapat dikatakan wartawan atau jurnalis17

Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan

adalah mereka yang melakukan profesinya dalam ranah pemberitaan melalui proses-proses jurnalistik untuk menghasilkan berita layak bagi pembaca/masyarakat/publik yang disebarluaskan atau dipublikasikan melalui media massa seperti surat kabar dan media elektronik dengan mengedepankan aspek etika dan estitika sebagaimana telah diatur dalam kode etik wartawan sesuai peraturan-peraturan tentang pers di suatu Negara, dimana pers itu berada.Guna memperlancar tugas profesinya, para wartawan oleh media ditempat dia bekerja selalu dibekali kartu pengenal/identitas yang menunjukkan sebagai pers. Bahkan seluruh media dalam aturan tertulisnya yang juga biasanya tercantum dalam kartu pers menyebutkan bahwa kartu identitas dalam setiap praktik kewartawanan senantiasa wajib dikenakan.

16

UU No.40 Tahun 1999, Ps. 1 ayat (4).

17 Istilah lain wartawan adalah juru warta, jurnalism, reporter, newsgatter, press-man, kuli tinta,

nyamuk pers, komunikator massa, dan pembela kepentingan rakyat. Dalam praktinya, mereka dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan, yaitu 1) Wartawan Profesional, tipe wartawan yang menjadikan dunia kewartawanan sebagai profesi. 2) Wartawan FreeLance, tipe wartawan yang tidak terikat pada satu kantor berita/surat kabar. 3) Wartawan Koresponden, tipe wartawan yang bekerja di suatu daerah yang tidak satu wilayah dengan penerbitan dan mengirimkan berita melalui faksimili, e-mail, atau sarana komunikasi lainnya. 4) Wartawan Kantor Berita, tipe wartawan dari satu kantor berita yang mencari berita untuk suatu kantor berita kemudian beritanya di salurkan atau dijual ke berbagai lembaga penerbitan yang


(33)

yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakinan dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah perbedaan filsafat. Munculnya teori-teori pers dipicu oleh dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab pers terhadap kondisi ruang sosial yang ada. Oleh karenanya beberapa sarjana Amerika Serikat yaitu Fred S. Siebert, Theodore

Peterson, dan Wilbur Schramm membentuk “Four Theories of the press”. 2. Teori Pers Dunia

Empat teori pers di dunia ini terdiri dari: 1. Teori Pers Otoritarian

Teori ini menganggap Negara sebagai ekspresi tertinggi dari pada kelompok manusia, yang mengungguli masyarakat dan individu atau dengan kata lain Negara yang otoriter, Otoriter dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu sistem. Dapat juga dikatakan sebagai pemerintahan yang diktator (pemerintahan yang berkuasa secara penuh).. Dalam teori pers, ada teori pers otoritarian. Tujuan utama dari teori ini ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Media massa pada teori atau sistem pers ini diawasi melalui paten dari kerajaan atau izin lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para penguasa sangat dilarang. Pada sistem pers otoritarian media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki pemerintah.

Teori ini hampir dipakai oleh semua negara, pada saat masyarakat dan teknologi telah cukup maju dalam menghasilkan apa yang kita namakan media massa dalam komunikasi. Teori ini membentuk dasar bagi sistem-sistem pers di berbagai masyarakat modern, bahkan di negara yang


(34)

tidak lagi menggunakannya, teori ini terus mempengaruhi praktek-praktek sejumlah pemerintahan yang secara teoritis menyetujui prinsip-prinsip libertarian. Dalam sistem otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan tentu saja bentuk-bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak dirinya. Analisisnya dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang menginformasikan secara fakta dan bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers semacam ini tidak cocok diterapkan di Negara demokratis. 18

a. Media selamanya tunduk pada penguasa .

.

Teori ini lahir dan dikembangkan sejak abad 16-17 di Inggris yang merupakan falsafah kekuasaan mutlak dari kerajaan atau kekuasaan mutlak dari pemerintah, atau kedua-duanya. Bertujuan guna mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan dari pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk mengabdi kepada Negara.. Negara adalah hal yang sangat penting yang dapat membuat manusia menjadi manusia seutuhnya anpa Negara manusia menjadi primitif tidak mencapai tujuan hidupnya.Oleh karena itu pers adalat alat penguasa untuk menyampaikan keinginannya kepada rakyat.

Prinsip-prinsipnya :

b. Sensor dibenarkan tak dapat diterima.

c. Kecaman terhadap penguasa dan penympangannya kebijakannya d. Wartawan tidak memiliki kebebasannya

2. Teori Pers Libertarian

18


(35)

Teori ini berasal dari karya Milton, Locke, Mill dan falsafah umum rationalisme dan hak alam yang dipraktikan di Inggris setelah tahun 1688, dan berkembang di Amerika dan seluruh dunia. Berbeda halnya dengan teori sebelumnya, teori ini bertujuan memberikan penerangan/pencerahan, menghibur, dan menjual terutama untuk mengecek dan menemukan aspek kebenaran.19

a. Melayani kebutuhan ekonomi (iklan);

Hal ini, mempengaruhi fungsi kontrol pasar terhadap media. Yakni “pembenaran sendiri ke kebenaran” dengan “pasaran bebas idea-idea”, dan dikontrol melalui pengadilan jika terjadi pelanggaran hukum. Teori menganggap bahwa pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menetukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Pers berhadapan dengan pemerintah Pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah. Teori ini menganggap sensor sebagai hal yang Inkonstitusional.

Tugas-tugasnya :

b. Melayani kehidupan politik;

c. Mencari keuntungan (kelangsungan hidupnya); d. Menjaga hak warga Negara (control social); e. Memberi hiburan.

Ciri-cirinya :

a. Publikasi bebas dari penyensoran;

b. Tidak memerlukan ijin penerbitan, pendistribusian; c. Kecaman terhadap pejabat, partai politik tidak dipidana; d. Tidak adak kewajiban untuk mempublikasikan segala hal;

19


(36)

e. Publikasi kesalahan dilindungi sama dengan publikasi kebenaran sepanjang menyangkut opini dan keyakinan;

f. Tidak ada batas hukum dalam mencari berita; g. Wartawan mempunyai otonomi professional. 3. Pers Tanggung Jawab Sosial

Mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat, kebebasan pers perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan pers sebab kemerdekaan pers itu harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Hampir sama dengan teori Libertarian, teori ini bertujuan memberi penerangan, menghibur, menjual, tetapi mengutamakan untuk membangkitkan konflik ke forum diskusi.

Dengan tujuan seperti di atas, maka fungsi kontrol bukan hanya pasar dalam arti pendapat masyarakat dan tindakan dari konsumen. Melainkan terdapat peran penting etika-etika profesi. Jadi, media massa dilarang memberitakan tulisan-tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang diakui oleh hukum dan dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat. Jika mengingkari, maka masyarakat akan membuat media tersebut mematuhinya20

4. Teori Pers komunis

Lahir pada era Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazinya dan oleh Benito Mussolini di Italia dengan Fasismenya. Teori tersebut berdasar pada ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara berberpikir Russia abad 19.

20


(37)

Oleh karena ia merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya kelangsungan para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun dikontrol dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai dan kebijakan-kebijakannya menyatakan pers adalah alat pemerintah atau partai yang berkuasa dan bagian integral dari negara sehingga pers itu tunduk kepada negara.

Ciri-ciri pers Komunis adalah :

a. Media dibawah kendali kelas pekerja karena pers melayani kelas tersebut. b. Media tidak dimiliki secara pribadi.

c. Masyarakat berhak melakukan sensor.21

B. Sejarah Lahirnya Pers Dunia

Dikisahkan oleh empunya kisah, bahwa: ada seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Nabi Nuh, yaitu seorang Nabi yang terkenal waktu ada banjir di dunia ini yang menyelamatkan marga satwa dari kehancuran total dengan membuat perahu besar atas restu Tuhan. Nabi Nuh Wartawan pertama di dunia ini setelah berhasil mengirimkan berita dengan menggunakan burung merpati.

Oleh Van der Meulen dikatakan bahwa orangorang Babylon menurut catatan Flafius – Josephus memiliki para penulis sejarah yang bertugas menyusun berita tentang kejadian sehari-hari.

21


(38)

Syahdan ± 800 tahun Sebelum Masehi di tengah bangsa Habrew – purbakala di Pantai Timur Laut Tengah, muncullah orang-orang yang dinamakan The Prothets yakni mereka yang terang-terangan dan terbuka mengeluarkan kritik ke alamat golongan elite yang memerintahkan mengendam kekurangan-kekurangan tertib sosial yang terdapat pada masa itu. Mereka itu membacakan pendapat-pendapat mereka di jalan dan di pasar, di pintu gerbang kota; di tempat-tempat di mana khalayak ramai berkumpul. Renan menamakan mereka dengan “open air journalist”, wartawan~wartawan yang bekerja di bawah langit dan di udara terbuka. Mereka tidak kenal takut untuk membela kebenaran dan keadilan.22

Pengumuman semacam ini diteruskan oleh Julius Caesar dengan nama Acta’ Diurna ini tidak disebarkan seperti halnya suratkabar tetapi hanya ditulis pada papan pengumuman yang diletakkan di tempat umum. yaitu di pusat kota Roma (Foroum Romanum). Acta Diurna memuat berita-berita resmi dan setiap orang bisa membacanya bahkan boleh mengutip untuk disebarkan di tempat lain, sehingga untuk penyebaran Acta Diurna ini diserahkan pada usaha swasta. Orang-orang belian yang berkepentingan dengan Kerajaan Renan berkata; “Karangan pertama jurnalistik yang tidak mengenal damai telah ditulis oleh Amos; seorang pengembala dari Tekoa kurang lebih tahun 800 SM. Itulah Amos wartawan penegak keadilan dan berani mengkritik keadaan masyarakat sebagai wartawan prototype, intektuil modern dan melihat kebenaran, kenyataan pertama di dunia. Pada awal berdirinya Kerajaan Romawi, para pejabat tinggi Kerajaan Romawi sering menuliskan segala kejadiannya pada papan muka rumahnya yang merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang menghendakinya.

22

http://badaruddinamir.wordpress.com/2011/04/29/proses-sejarah-lahirnya-jurnalistik-sebagai-media-komunikasi-massa/


(39)

Romawi memiliki budak belian yang bertugas mengumpulkan berita.Budak-budak tersebut sering mengikuti sidang-sidang senat untuk melaporkan hasil rapat di dewan baik secara lisan maupun tertulis, maka timbullah istilah Diurnarius. Kemudian muncul lagi orang-orang biasa yang melaksanakan tugas tersebut sebagai mata pencaharian. Ini merupakan awal mula timbulnya Jurnalistik di dunia ini.

Budak-budak pencari berita itu telah mempunyai syarat-syarat terpilih untuk bertindak sebagai wartawan, antara lain:23

1. Harus pandai bergaul dan tamilier.

2. Terpelajar dan bisa menulis, cekatan dengan baik dan dapat mengartikan pidato dari para Senator.

3. Pandai menggali dan menyajikan berita dan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam masyarakat.

Acta Diurna memuat juga berita mengenai terjadinya gempa bumi, angin topan serta kekejaman bajak laut atau perampokan bahkan kegiatan masyarakat sendiri di samping berita tentang keputusan hakim, pengangkatan pejabat, dekrit serta undang-undang.

Ketika Kaisar Agustus berkuasa timbullah pemikiran baru mengenai penyajian berita. Kaisar menyuruh memberitakan tentang hasil Rapat Senat di samping berita lain yang berupa khayalan maupun yang sungguh-sungguh terjadi. Acta Diurna berdiri selama 5 abad. Setelah Kerajaan Romawi runtuh maka Acta Diurna lenyap dan tidak ada pemenuhan kebutuhan akan berita, sehingga diisi dengan desas-desus. Pemberitaan terbatas pada surat-menyurat, terutama para politisi, para cendekia dan para seniman serta pedagang. Surat-menyurat antar pedagang dapat mencapai kemajuan yang amat pesat.

23


(40)

Para pedagang menghimpun surat-surat perdagangan, kemudian mengirimkan kepada para langganannya. Begitulah seterusnya sampai dapat berhubungan dengan luar negeri. Akhirnya muncullah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai orang-orang yang khusus ditugaskan untuk menyusun berita kemudian menyebarkan pada para langganannya. Pada saat itulah muncul pusat-pusat pemberitaan di daerah Eropa. Kantor-kantor demikian biasanya menggunakan berpuluh-puluh tenaga yang dibayar sesuai dengan jumlah baris berita yang ditulisnya. Suratkabar tertulis hasil karya mereka muncul pertama kali di Vanesia pada tahun 1536.

Sementara itu pada tahun 1450 telah diketemukan orang tentang cara-cara mencetak buku, tetapi pada mulanya tidak mempengaruhi usaha pemberitaan karena suratkabar tertulis lebih cepat daripada suratkabar tercetak dan oplagnya juga sangat terbatas. Di samping itu, pihak penguasa lebih suka pada suratkabar tertulis karena lebih mudah dalam mengadakan pengawasan terhadap suratkabar tersebut.24

Suratkabar tercetak di negara-negara Eropa di mulai dengan terbitan suratkabar di negeri Belanda dan Jerman. Dalam bukunya yang berjudul “De Courant”. R. van der Meulen mengatakan bahwa suratkabar tertua di dunia adalah suratkabar Cina yang bernama King Pau, yang terbit pada tahun 911. Pada mulanya terbit secara tidak teratur. Tetapi setelah tahun 1350 terbit sebagai suratkabar mingguan. Walaupun demikian kita tetap mengakui bahwa suratkabar tercetak pertama muncul di Eropa, yaitu dengan terbitnya mingguan Jerman yang bernama Relation dan Aviso pada tahun 1609.Berbicara mengenai sejarah perkembangan Pers harus Kembali kepada istilah Diurnarie berarti harian dan dilihat dari dasar filosofi perkembangan Pers tersebut yang setiap hari, kemudian diambil

24


(41)

dalam bahasa Belanda Journalistik dan bahasa lnggris Journalism yang bersumber pada perkataan Journal. Tentang Jurnalistik setiap ahli memberikannya dalam pelbagai bentuk tapi bisa dirangkum yaitu bahwa Journalist ialah suatu penggolongan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya masyarakat, (Onong Ucahyana, llmu Komunikasi, hal. 196), dari kata “Diuma”, di As berkembang menjadi

Diurnal, di lnggris terkenal istilah Journal, yang barangkali juga diangkat dari kata Romawi Diurna tersebut. Menurut Webston Dictionary Journal diartikan sebagai Diary atau catatan

harian, atau buku yang berisi catatan tentang kejadian sehari-hari. Dari kata Journal

joumalism, yang boleh dikatakan sebagai lapangan pekerjaan. Orang yang melakukan tugas journalism disebut joumalist.25

C. PERANGKAT HUKUM INTERNASIONAL DALAM MENDUKUNG

KEDUDUKAN PERS

1. Berdasarkan Deklarasi Talloires

Pendekatan Konstruktif Untuk A Global Information Pesanan , Pernyataan Prinsip untuk Yang Independen Berita Media berlangganan, dan On Yang Ini Tidak Akan Kompromi . Selama tujuh tahun perdebatan telah dilakukan di dewan dari UNESCO dan organisasi internasional lainnya atas media dan trotoar diusulkan kebebasan pers. Mereka yang menganjurkan kontrol ini telah menekan untuk menciptakan apa yang disebut Informasi New World Order yang belum terdefinisi.

Menanggapi media dunia yang bebas memutuskan untuk mengambil inisiatif dan mengumumkan prinsip-prinsip yang pers bebas berlangganan. Untuk mencapai hal ini

25


(42)

Voices konferensi Freedom dihadiri oleh para pemimpin media dari lima benua diatur oleh Tuft University Fletcher School of hukum dan Diplomasi di pusat Eropa di Talloires, Perancis, 15-17 Mei, 1981, bekerjasama dengan Komite Kebebasan Pers Dunia 26

Para delegasi menekankan pada kebutuhan terus media berkembang, yang telah memberikan banyak bantuan selama bertahun-tahun. Mereka berjanji untuk memperluas "aliran bebas informasi di seluruh dunia," dan mengatakan mereka akan mendukung upaya oleh badan-badan internasional, pemerintah dan lembaga swasta untuk bekerja sama dengan Dunia Ketiga dalam memperbarui fasilitas produksi, dan pelatihan. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa "kebebasan pers adalah hak asasi manusia" yang konferensi

.

Pada sesi ini untuk pertama kalinya koran gratis Barat dan lainnya, majalah dan penyiar mengambil sikap bersatu melawan kampanye oleh blok Soviet dan beberapa negara Dunia Ketiga untuk memberikan UNESCO kewenangan untuk memetakan kursus media masa depan. Dalam deklarasi bersama yang diadopsi dengan suara bulat oleh 63 delegasi dari 21 negara, UNESCO didesak untuk meninggalkan upaya untuk mengatur informasi global dan berusaha bukan untuk solusi praktis untuk Media Dunia Ketiga kemajuan. Tapi UNESCO telah memberitahukan akan melanjutkan dengan program, diwajibkan untuk mengizinkan diskusi dan kemungkinan tindakan pada proposal tidak dapat diterima ke Barat. Mereka menghadiri konferensi bersejarah ini menyatakan bahwa mereka "sangat prihatin dengan kecenderungan yang berkembang di banyak negara dan badan-badan internasional untuk menempatkan kepentingan pemerintah di atas kepentingan individu, terutama dalam hal informasi."

26

translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=3&nv=1&rurl=translate.google.com&tl=id&u =http://www.wpfc.org/%3Fq%3Dnode/32&usg=ALkJrhjSZzJOu2eluc4aueh6qhIDFHuKPg


(43)

menjanjikan dukungannya. Deklarasi yang berikut adalah pernyataan dari prinsip-prinsip yang diadopsi27

Juga sadar bahwa kita memiliki keyakinan yang sama, sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, "dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan, dan bangsa-bangsa besar dan kecil," Mengingat apalagi bahwa penandatangan tindakan terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa menyimpulkan pada tahun 1975 di Helsinki, Finlandia, berjanji diri untuk mendorong

:

(Berikut adalah teks dari Deklarasi Talloires, diadopsi oleh pemimpin organisasi berita independen dari 21 negara di Voices of Freedom Conference di Talloires, Prancis, 15-17 Mei, 1981 - pernyataan prinsip-prinsip mana suatu berlangganan media massa dunia bebas , dan yang tidak akan pernah berkompromi.)

Kami wartawan dari berbagai belahan dunia, wartawan, editor, fotografer, penerbit dan penyiar, dihubungkan oleh dedikasi kita bersama untuk pers bebas, Pertemuan di Talloires, Perancis, dari 15-17 Mei 1981, untuk mempertimbangkan cara-cara untuk meningkatkan aliran bebas informasi di seluruh dunia, dan untuk menunjukkan tekad kita untuk menolak perambahan apapun pada arus bebas ini,

Bertekad untuk menegakkan tujuan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang dalam Pasal 19 menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide-ide melalui media tanpa batas, " Mengingat komitmen konstitusi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization untuk "mempromosikan aliran bebas ide dengan kata dan gambar,"

27


(44)

"aliran bebas dan penyebaran informasi yang lebih luas dari semua jenis, untuk mendorong kerja sama di bidang informasi dan pertukaran informasi dengan negara-negara lain, dan untuk meningkatkan kondisi di mana wartawan dari satu negara yang berpartisipasi latihan profesi mereka di negara lain yang berpartisipasi "dan menyatakan niat mereka secara khusus untuk mendukung" peningkatan sirkulasi akses dan pertukaran informasi 28

28

teks dari Deklarasi Talloires, diadopsi oleh pemimpin organisasi berita

independen dari 21 negara di Voices of Freedom Conference di Talloires, Prancis, 15-17 Mei, 1981 - pernyataan prinsip-prinsip mana suatu berlangganan media massa dunia bebas , dan yang tidak akan pernah berkompromi.

, "

Menyatakan bahwa:

1. Kami menegaskan komitmen kami terhadap prinsip ini dan mengajak semua badan-badan internasional dan negara-negara untuk mematuhi setia kepada mereka. 2. Kami percaya bahwa aliran bebas informasi dan ide-ide sangat penting untuk saling pengertian dan perdamaian dunia. Kami menganggap pembatasan pada pergerakan berita dan informasi bertentangan dengan kepentingan pemahaman internasional, melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, konstitusi UNESCO, dan babak terakhir dari Konferensi tentang Keamanan dan Kerjasama di Eropa, dan tidak konsisten dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

3. Kami mendukung hak asasi manusia yang universal untuk diberi informasi yang lengkap, yang tepat memerlukan sirkulasi bebas dari berita dan opini. Kami penuh semangat menentang setiap campur tangan dengan hak dasar ini.


(45)

4. Kami bersikeras bahwa akses gratis, oleh rakyat dan pers, untuk semua sumber informasi, baik resmi maupun tidak resmi, harus terjamin dan diperkuat. Menyangkal kebebasan pers membantah semua kebebasan individu.

5. Kami menyadari bahwa pemerintah, di negara-negara maju dan berkembang, sering membatasi atau mencegah pelaporan informasi yang mereka anggap merugikan atau memalukan, dan bahwa pemerintah biasanya memanggil kepentingan nasional untuk membenarkan kendala tersebut. Kami percaya, bagaimanapun, bahwa kepentingan rakyat, dan oleh karena itu kepentingan bangsa, lebih baik dilayani oleh pelaporan yang bebas dan terbuka. Dari kuat debat publik tumbuh pemahaman yang lebih baik dari masalah yang dihadapi bangsa dan rakyatnya, dan keluar dari pemahaman perubahan yang lebih besar untuk solusi. 6. Kami percaya dalam setiap masyarakat yang kepentingan umum terbaik dilayani oleh berbagai media berita independen. Hal ini sering disarankan bahwa beberapa negara tidak dapat mendukung banyaknya jurnal cetak, radio dan stasiun televisi karena ada dikatakan kurangnya basis ekonomi. Dimana berbagai media independen tidak tersedia untuk alasan apapun, saluran informasi yang ada harus mencerminkan sudut pandang yang berbeda.

7. Kami mengakui pentingnya iklan sebagai layanan konsumen dan dalam memberikan dukungan keuangan untuk pers yang kuat dan mandiri. Tanpa kemandirian finansial, pers tidak bisa mandiri. Kami mematuhi prinsip bahwa keputusan editorial harus bebas dari pengaruh iklan. Kami juga mengakui iklan sebagai sumber informasi yang penting dan pendapat.


(46)

8. Kami menyadari bahwa teknologi baru telah memfasilitasi arus informasi internasional dan bahwa media massa di banyak negara belum cukup manfaat dari kemajuan ini. Kami mendukung semua upaya oleh organisasi internasional dan badan-badan publik dan swasta lainnya untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini dan untuk membuat teknologi ini tersedia untuk mempromosikan kemajuan dunia pers dan media penyiaran dan profesi jurnalistik.

9. Kami percaya bahwa perdebatan tentang berita dan informasi dalam masyarakat modern yang telah terjadi di UNESCO dan badan-badan internasional lainnya sekarang harus dihukum tujuan konstruktif. Kami menegaskan kembali pandangan kita pada beberapa pertanyaan khusus yang timbul dalam proses perdebatan ini, yang yakin bahwa:

a. Sensor dan bentuk lain dari kontrol sewenang-wenang dari informasi dan pendapat harus dihilangkan, hak rakyat untuk berita dan informasi tidak boleh dipersingkat. b. Akses oleh wartawan untuk berbagai sumber berita dan opini, resmi atau tidak

resmi, harus tanpa pembatasan. Akses tersebut tidak terlepas dari akses masyarakat terhadap informasi.

c. Tidak akan ada kode etik jurnalistik internasional, pluralitas pandangan membuat hal ini mustahil. Kode etik jurnalistik, jika diadopsi dalam suatu negara, harus dirumuskan oleh pers itu sendiri dan harus sukarela dalam aplikasi mereka. Mereka tidak bisa dirumuskan, dipaksakan atau dipantau oleh pemerintah tanpa menjadi alat kontrol resmi pers dan oleh karena itu penolakan kebebasan pers.

d. Anggota pers harus menikmati perlindungan penuh dari hukum nasional dan internasional. Kami tidak mencari perlindungan khusus atau status khusus dan


(47)

menentang setiap proposal yang akan mengontrol wartawan atas nama melindungi mereka.

e. Seharusnya tidak ada pembatasan kebebasan setiap orang untuk berlatih jurnalisme. Jurnalis harus bebas untuk membentuk organisasi untuk melindungi kepentingan profesional mereka.

f. Perizinan wartawan dengan menjadi pertanda nasional atau internasional tidak harus dikenakan sanksi, atau harus persyaratan khusus dituntut wartawan sebagai pengganti lisensi mereka. Tindakan tersebut mengirimkan wartawan untuk kontrol dan tekanan tidak konsisten dengan kebebasan pers.

g. Tanggung jawab profesional Pers adalah mengejar kebenaran. Untuk mengatur atau mandat tanggung jawab pers adalah untuk menghancurkan kemerdekaannya. Penjamin akhir dari tanggung jawab jurnalistik adalah pertukaran bebas ide.

h. Semua kebebasan jurnalistik harus berlaku untuk media cetak dan siaran. Karena media penyiaran adalah pemasok utama berita dan informasi di banyak negara, ada kebutuhan khusus bagi negara-negara untuk menjaga saluran siaran mereka terbuka untuk transmisi bebas dari berita dan opini.

10. Kami berjanji kerjasama dalam semua upaya tulus untuk memperluas arus informasi yang bebas di seluruh dunia. Kami percaya waktunya telah tiba dalam UNESCO dan badan-badan antar pemerintah lainnya untuk meninggalkan upaya untuk mengatur konten berita dan merumuskan aturan untuk pers. Upaya harus diarahkan bukan untuk mencari solusi praktis terhadap masalah sebelum kita, seperti meningkatkan kemajuan teknologi, meningkatkan susun profesional dan transfer peralatan, mengurangi tarif komunikasi,


(48)

menghasilkan kertas yang lebih murah dan menghilangkan hambatan lain untuk pengembangan kemampuan media berita.

Kepentingan kita sebagai insan pers, baik dari negara-negara maju atau berkembang, pada dasarnya adalah sama: Kita adalah deklarasi bersama untuk paling bebas, informasi yang paling akurat dan tidak memihak yang berada dalam kemampuan profesional kami untuk memproduksi dan mendistribusikan. Kami menolak pandangan pers teoritisi dan para pejabat nasional atau internasional yang mengklaim bahwa sementara orang-orang di beberapa negara siap untuk kebebasan pers, orang-orang di negara lain cukup berkembang untuk menikmati kebebasan itu. Kami sangat prihatin dengan kecenderungan yang berkembang di banyak negara dan badan-badan internasional untuk menempatkan kepentingan pemerintah di atas kepentingan individu, terutama dalam hal informasi. Kami percaya bahwa negara ada untuk individu dan memiliki kewajiban untuk menegakkan hak-hak individu. Kami percaya bahwa definisi akhir dari kebebasan pers tidak terletak pada tindakan pemerintah atau badan-badan internasional, melainkan dalam profesionalisme, semangat dan keberanian atau individu jurnalis. Kebebasan pers adalah hak dasar manusia. Kami berjanji diri untuk aksi bersama untuk menegakkan hak ini. 29

2. Berdasarkan Piagam Untuk Kebebasan Pers

Pers yang bebas berarti orang bebas. Untuk tujuan ini, prinsip-prinsip berikut, dasar aliran terkekang berita dan informasi baik di dalam dan lintas batas nasional, layak

29


(49)

dukungan dari semua pihak berjanji untuk memajukan dan melindungi lembaga-lembaga demokratis.30

a. Sensor, langsung atau tidak langsung, tidak dapat diterima, sehingga hukum dan praktek membatasi hak media berita secara bebas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan informasi harus dihapuskan, dan pemerintah, nasional atau lokal, tidak boleh mengganggu isi cetak atau siaran berita, atau membatasi akses ke sumber berita.

b. Media berita independen, baik cetak dan siaran, harus diizinkan untuk muncul dan beroperasi secara bebas di semua negara.

c. Tidak boleh ada diskriminasi oleh pemerintah dalam pengobatan mereka, ekonomi atau sebaliknya, media berita dalam suatu negara. Di negara-negara tempat media pemerintah juga ada, media independen harus memiliki akses gratis yang sama sebagai media resmi harus semua materi dan fasilitas yang diperlukan untuk penerbitan atau penyiaran operasi.

d. Negara tidak harus membatasi akses ke kertas koran, fasilitas pencetakan dan sistem distribusi, pengoperasian kantor berita, dan ketersediaan frekuensi siaran dan fasilitas.

e. Hukum, teknis dan tarif praktek oleh otoritas komunikasi yang menghambat distribusi berita dan membatasi aliran informasi dikutuk.

f. Media Pemerintah harus menikmati kemerdekaan editorial dan terbuka untuk keragaman sudut pandang. Hal ini harus ditegaskan dalam hukum dan praktek.

30

http://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=3&nv=1&rurl=translate.google.com& tl=id&u=http://www.wpfc.org/%3Fq%3Dnode/34&usg=ALkJrhjBTc9FZmUsU4IY2IlpQo6yFxtjhw


(50)

g. Harus ada akses tidak terbatas oleh media cetak dan penyiaran dalam suatu negara untuk berita luar dan layanan informasi, dan masyarakat harus menikmati kebebasan yang sama untuk menerima publikasi asing dan siaran luar negeri tanpa gangguan.

h. Batas negara harus terbuka kepada wartawan. Kuota tidak harus menerapkan, dan aplikasi untuk visa, tekan kepercayaan dan diperlukan dokumentasi lain untuk pekerjaan mereka harus disetujui segera. Wartawan asing harus diizinkan untuk melakukan perjalanan secara bebas dalam suatu negara dan memiliki akses ke sumber-sumber berita baik resmi maupun tidak resmi, dan diizinkan untuk impor dan ekspor secara bebas semua bahan profesional yang diperlukan dan peralatan. i. Pembatasan pada gratis masuk ke bidang jurnalisme atau atas praktek, melalui

prosedur sertifikasi lainnya lisensi atau, harus dihilangkan.

j. Jurnalis, seperti semua warga negara, harus aman dalam diri mereka dan diberikan perlindungan penuh hukum. Jurnalis yang bekerja di zona perang diakui sebagai warga sipil menikmati semua hak dan kekebalan yang diberikan kepada warga sipil lainnya.31

Piagam ini untuk Free Press merupakan ketentuan yang disetujui oleh wartawan dari 34 negara di Voices of Freedom konferensi dunia tentang masalah sensor di London, 16-18 Januari, 1987. Konferensi ini diadakan oleh Komite Kebebasan Pers Dunia, bekerjasama dengan Asosiasi Surat Kabar Dunia, International Press Institute, Inter American Press

Association, North American National Association Broadcasters dan Federasi Internasional Periodical Press.

31


(51)

Ketentuan mewujudkan konsensus yang luas pada prinsip-prinsip yang diperlukan untuk memastikan bebas, media berita independen. Piagam tersebut telah dikutip setuju pada OSCE dan pertemuan lainnya, resmi disahkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dan UNESCO Direktur Jenderal dan didukung oleh sejumlah organisasi jurnalistik di seluruh dunia. Kami berharap Piagam ini akan sangat berguna di mana pun prinsip-prinsip kebebasan dan pers yang bebas diperlukan.

3. Perspektif Kemerdekaan Pers

Istilah “Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Pers” sering ditemui dalam berbagai referensi untuk menyebut pada makna yang sama.Kalimat “Kemerdekaan Pers” merupakan terjemahan dari the freedom of the press, yang dapat dianologkan dengan arti free from the

dom, atau bebas dari dari penguasa. Sedangkan, kalimat “Kebebasan Pers” merupakan

terjemahan dari liberty to atau bebas untuk melakukan.Kebebasan pers juga harus diartikan sebagai kebebasan untuk mempnuyai dan menyatakan pendapat melalui pers32

John C. Merrill dalam bukunya, The Dialetic in Journalism, Toward a

Responsibility Use of Press Freedom,33

32

Alex Sobur, Etika Pers : Profesionalisme Dengan Nurani, Cet 1, Maret 2001 (Bandung, Humaniora

Utama Press), hal. 331. Alex mengambil sumber ini dari Hasim Nangtjik, Arti dan Konsep Kebebasan Pers : Kasus Indonesia” dalam Tidar, Herald, dan Suryadi, Petrus (ed.), Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi : Perkembangan, Permasalahan dan Perspektifnya (Jakarta, Sinar Harapan : 1986)

33

Ibid, hal. 329. Alex mengambil sumber ini dari William Hachten, The World News Prism. Ames : Iowa State University Press.

menyebutkan bahwa kata-kata kebebasan pers, sebenarnya memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan mereka. Pengertian ini menyiratkan bahwa kebebasan pers mencakup kebebasan negatif (bebas


(52)

dari) dan kebebasan positif (bebas untuk). Secara filosofis, konsep “bebas dari” merupakan

pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yg berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang tidak dipaksa untuk melakukan perbuatan tertentu”. Sementara konsep “bebas untuk” merupakan pemikiran Jean Jasques Rousseau dan G.W.F. Hegel, yang berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya”.34

Susanto-Sunario dalam Globalisasi dan Komunikasi, mengatakan bahwa dalam analisis kebebasan sosial, biasanya diadakan penganalisaan berdasarkan nilai “positif” dan “negatif”, perdebatan mana tidak akan berakhir karena nilai erat hubungnnya dengan budaya dan tingkat pendidikan, serta latar belakang keluarga. Karenanya, sebaiknya kebebasan nilai sosial dilihat dari segi : bebas untuk apa dan bebas dari apa.35 Konsep bebas untuk apa? Ialah jenis kebebasan yang menunjukkan kepada kebebasan eksistensial, yakni untuk memilih jenis pendidikan yang menurut diri adalah terbaik untuk dirinya. Dengan demikian, kebebasan seseorang untuk memilih bidang kewartawanan (jurnalistik) sebagai profesi dan sumber nafkahnya adalah kebebasan eksistensialnya. Tolak ukur “bebas dari apa?” akan dijawab dengan segera oleh pers sebagai bebas dari sensor.36

34

Ibid, hal. 332

35

Ibid. Alex mengambil sumber dari Susanto, Globalisasi dan Komunikasi. 1993 (Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan)

36

Ibid

Namun demikian, kebebasan tanpa sensor, dimaknai tidak secara mutlak. Tetapi, tetap ada pembatasan sesuai dengan etika profesionalisme jurnalistik yang dilakukan di pra pemberitaan.


(53)

Albert Camus mengungkapkan, bahwa kemerdekaan pers tidak mati sendirin. Pada waktu bersamaan, keadilan akan diasingkan selama-lamanya, bangsa mulai merintih sakit dan yang tak bersalah akan disalibkan berkali-kali setiap hari. Dengan kata lain, kemerdekaan pers adalah ekspresi pribadi paling asasi yang harus dijamin di manapun, siapa pun, dan kapan pun. Ini artinya, ditiadakannya kebebasan pers merupakan kemunduran dari permukaan bumi, berbagai tujuan ideal kehidupan pun akan ikut terkubur.37

Penggunaan kedua istilah tadi secara yuridis pun masing-masing pernah digunakan, misalnya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 5 Ayat (1) : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara di jamin” dan Pasl 5 Ayat (2) : “Kebebasan pers ini didasarkan atas tanggungjawab nasional dan pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang ini”.38

Undang-Undang ini selanjutnya mengalami penambahan melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan perubahan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Kemudian diganti dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Di ketentuan perundang-undangan pers yang baru, istilah “kebebasan pers” tidak lagi digunakan. Tetapi diganti dengan istilah “kemerdekaan pers”, ia diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”, kemudian Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara, Pasal 4

37

Nurudin, Pers dalam Lipatan Kekuasaan : Tragedi Pers Tiga Zaman, Cet 1, Januari 2003 (Malang,

UMM Pers), hal. 1.

38

Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU No. 11. Tahun 1966, LN


(54)

Ayat (2) menerangkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Dalam Pasal 4 Ayat (3) disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dan Pasal 4 Ayat (4), mengatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.39

Landasan hukum tentang kemerdekaan atau kebebasan pers di atas, diperkuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 F sebagai berikut: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

40

Wikrama dalam bukunya41

Sejalannya ide kemerdekaan pers dalam ranah hukum positif Negara kita, tidak terlepas dari gagasan normatif yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi mengatakan, dari bunyi pasal di atas ada beberapa frase kunci yang dapat ditafsirkan sebagai kemerdekaan pers, yaitu: hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Namun demikian, penyebutan kemerdekaan pers masih sebatas implisit, bukan eksplisit. Sehingga ketika mengatakan kemerdekaan pers disini hanyalah sebuah tafsiran saja, dan ini membuka peluang yang sama untuk lainnya menafsirkan sesuai kepentingannya.

39

UU 40, Op. Cit, Ps. 1 Ayat (1), (2), (3), (4).

40

Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002.

41


(55)

Manusia (DUHAM), sebagai berikut: Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).


(56)

BAB III

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK

A. Definisi Negara Yang Sedang Berkonflik

Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang disebut bangsa dan telah mendiami wilayah tertentu42

Defenisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black. Beliau mendefenisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum, yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Negara merupakan subyek hukum yang terpenting (par-excelence) dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Sebagai subyek hukum internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional. J.L. Brierly memberi batasan negara ini sebagai suatu lembaga (institution), yaitu suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwick mendefenisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisir secara tetap, menduduki, dan hidup dalam suatu batas daerah, bebas dari pengawasan negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.

42


(1)

2. Agar status warga sipil yang melekat pada Pers ditanggalkan karena Pers dan tidak disamakan lagi,karena Pers tersebut mengemban misi yang berat yang dimana dituntut harus berada digarda terdepan dalam pencarian berita ataupun kebenaran di lapangan, Pers seharusnya tidak boleh ditawan karena mereka tidak mengambil andil dari perpecahan tersebut hanya mencari fakta yang dimana untuk diberikan bagi khalayak ramai

3. Peranan pemerintah yang sedang berkonflik atau pemerintah negara asal Pers tersebut agar lebih peka terhadap pengamanan pers tersebut di medan yang penuh bahaya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Aust, Anthony. Handbook of International Law. Cambridge: Cambridge University Press. 2005.

Brownlie, Ian. Principles of Public International Law. Oxford: Clarendon Press. 1973.

C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil. Modul Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit Djambatan. 2002.

Carter, Barry E. & Philip R. Trimble. International Law. Canada: Little, Brown and Company. 1991.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

Dian Wirengjurit. Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir. Bandung: PT. Alumni. 2002.

G.P.H. Djatikoesoemo. Hukum Internasional tentang Damai. Jakarta: Penerbit N.V. Pemandangan Jakarta. 1956.

I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional cetakan II. Bandung: Mandar Maju. 2003.

J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 1 terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Indonesia. Jakarta. 1993.


(3)

Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum. Jakarta: Bina Cipta. 1982.

Perserikatan Bangsa-bangsa. Berbagai Konsep Keamanan. New York. 1986.

Shaw, Malcolm N. International Law Fourth Edition. Cambridge: Cambridge University Press. 1997.

Shotwell, James T. & Marina Salvin. Lessons on Security and Disarmament From the History of The League of Nations. New York: King’s Crown Press. 1949.

Sumarsono Mestoko. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa. Jakarta: Sinar Harapan. 1985.

Sumaryo Suryokusumo. Organisasi Internasional. Jakarta: UI Press. 1987.

Teuku Amy Rudy. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung: Refika Aditama. 1998.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1998

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Grafindo Persada, 2002,

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Mc. Iver, The Web of Government, New York: The Macmillan, 1951. Suryo S Hadiwijoyo, op.cit., hal 14

Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UGM Press, 2005.


(4)

Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta: Atmajaya, 2003.

Sobur, Alex. (2001). Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama Press.

Konvensi / Traktat Konvensi Jenewa III Protokol Tambahan 1 1977 Deklarasi Talloires

Charter For Free Undang - Undang UU No.40 Tahun 1999 UU No.11 Tahun 1966 Website


(5)

http://indonesiaxpost.com/

http://www.tempo.co/


(6)

http://www.un.org/

Jurnal, Buletin & Makalah

Nurudin, Pers dalam Lipatan Kekuasaan : Tragedi Pers Tiga Zaman, Cet 1, Januari 2003 (Malang, UMM Pers), hal. 1.

Atmakusumah, “Perlindungan bagi Wartawan Peliput Perang Tak Sekedar Asuransi.” Harian Umum Sinar Sore Harapan 10 Januari 2004.