Konsepsi Perlindungan Pers Yang Berada Dalam Negara Yang Sedang Berkonflik

Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan- persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. 61

C. Konsepsi Perlindungan Pers Yang Berada Dalam Negara Yang Sedang Berkonflik

Jurnalis melakukan profesi mereka dalam situasi konflik bersenjata untuk melayani “kepentingan publik” karena mereka “memainkan peran penting dalam membawa perhatian masyarakat internasional kengerian dan realitas konflik”. Pengadilan menilai bahwa 61 ibid Universitas Sumatera Utara investigasi dan laporan oleh para jurnalis memungkinkan warga masyarakat internasional untuk menerima informasi penting dari zona konflik. Atas dasar itu, pengadilan memberikan kehormatan kepada jurnalis atas testimonial mereka sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan profesi mereka untuk melindungi jurnalis dalam melaksanakan profesi mereka dalam situasi konflik bersenjata Begitu pentingnya jurnalis perang yang meliput di situasi konflik dikemukakan oleh Peter Arnett, seorang jurnalis veteran perang yang meliput konflik bersenjata di berbagai negara di dunia, dimana ia mengatakan bahwa “fungsi jurnalis dalam meliput peperangan adalah sebagai saksi yang mengemukakan apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Bukan seperti juri yang mengadili. Kenapa jurnalis meliput peperangan? Agar peristiwa yang terjadi pada peperangan dapat diketahui oleh pihak-pihak di luar para pelaku dan penderita peperangan”. Jurnalis yang harus menjalankan profesinya di medan pertempuran, dalam hal ini juga termasuk ke dalam kelompok penduduk sipil, berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, yang dibentuk khusus untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil di saat terjadi suatu peperangan Geneva Convention Relative to the protection of Civilian Persons in time of War. Perlindungan yang diberikan kepada jurnalis perang yang tengah berada di medan perang adalah diberikannya status sebagai orang sipil yang diatur secara khusus dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan 1 1977. 62 62 http:radianadi.wordpress.com20110608perlindungan-jurnalis-dalam-hukum-humaniter- internasional Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4A Konvensi Jenewa III dimana : “Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are persons belonging to one of the following categories, who have fallen into the power of the enemy: Universitas Sumatera Utara ….. 4 Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model.” 63 “Civilian journalists engaged in professional missions in areas of armed conflict must be respected and protected as long as they are not taking a direct part in hostilities. … State practice establishes this rule as a norm of customary international law applicable in both international and non-international armed conflicts.” Pengaturan mengenai perlindungan terhadap jurnalis perang disempurnakan dalam salah satu pasal protokol konvensi tersebut, yaitu dalam pasal 79 Protokol Tambahan 1 1977 protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts yaitu : “1. Journalists engaged in dangerous professional missions in areas of armed conflict shall be considered as civilians within the meaning of Article 50, paragraph 1. 2. They shall be protected as such under the Conventions and this Protocol, provided that they take no action adversely affecting their status as civilians, and without prejudice to the right of war correspondents accredited to the armed forces to the status provided for in Article 4 A 4 of the Third Convention. 3. They may obtain an identity card similar to the model in Annex II of this Protocol. This card, which shall be issued by the government of the State of which the Journalist is a national or in whose territory he resides or in which the news medium employing him is located, shall attest to his status as a journalist. Kemudian pada International Committee of the Red Cross Study on Customary Rules of International Humanitarian Law, Rule 34 Chapter 10 menyatakan bahwa : 64 Untuk dapat diperlakukan sebagai warga sipil maka seorang jurnalis perang dituntut untuk tampil netral dan tidak menunjukkan sikap yang mendukung diantara pihak-pihak 63 Pasal 4A Konvensi Jenewa III 64 dalam pasal 79 Protokol Tambahan 1 1977 protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts Universitas Sumatera Utara yang bertikai, dan sebagai pembuktian atas status mereka, maka harus ditunjukkan kartu identitas seperti yang ditentukan dalam Annex II Protokol Tambahan 1 1977. Adapun tindak kekerasan, pemerkosaan, serta serangan yang disengaja hingga mengakibatkan luka atau tewasnya jurnalis yang dilakukan oleh pihak yang bertikai merupakan suatu pelanggaran berat Grave Breaches terhadap Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol Tambahan 1 1977, dan karenanya tindakan tersebut dianggap merupakan sebuah kejahatan perang Suatu pelanggaran-pelanggaran aturan yang ada dalam Konvensi Jenewa berikut Protokol Tambahan I 1977 akan mendapatkan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan suatu kesalahan dan pihak-pihak dalam sengketa harus mengakhiri dan harus memberantasnya tanpa harus ditunda-tunda lagi. Jurnalis secara hukum berhak atas otonomi yang lebih besar daripada warga sipil lainnya. Jurnalis hanya dapat ditahan untuk “alasan penting keamanan,” dan bahkan kemudian berhak atas suatu perlindungan hukum yang sama sebagai tawanan perang, termasuk hak untuk tidak menanggapi interogasi meskipun notebook dan film secara legal dapat disita oleh personil militer. 65 Organisasi-organisasi wartawan yang terpecah dua karena pengaruh perang dingin,bersatu didalam masalah memintakan perlindungan bagi wartawan yang bertugas di daerah berbahaya, khususnya daerah dimana terjadi konflik bersenjata. Baik IOJ Sejak tahun enampuluhan pemikiran untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan yang melakukan tugas di medan perang konflik bersenjata menjadi program dari banyak organisasi kewartawanan. Penyebabnya adalah karena banyak wartawan yang hilang dan mati pada perang Korea, demikian pula pada waktu perang Vietnam. 65 ibid Universitas Sumatera Utara Intenasional Organisation of Juornalits, dipengaruhi Komunis bermarkas di Praha, maupun IFJ International Federation of Journalits, dipengaruhikubu Barat dan bermarkas di Brussel, kedua-duanya sepakat untuk memintakan perlindungan bagi wartawan. Bahkan organisasi dalam tingkat Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Usaha, seperti IPI International Press Institute dan FIEJ Federation Internationale L’editeur de Journalists juga memberikan banyak sekali perhatian.Usaha-usaha itu dapat mengangkat masalahnya ketingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga dalam Sidang Umum PBB tahun 1972 disepakati bahwa masalah konvensi perlindungan bagi wartawan yang meliput daerah dimana terjadi Konflik bersenjata masuk menjadi agenda pembicaraan.Dalam Sidang Umum ke-28 tahun 1973 diterima sebuah resolusi yang berbunyi : ’’Sidang Umum PBB menyatakan pendapatnya bahwa sangatlah diharapkan untuk dapat dirumuskan suatu konvensi yang memberikan perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya,di daerah dimana terjadi konflik bersenjata”.Sidang Umum meminta Sekretaris Jendral PBB untuk meneruskan kepada Konperensi Diplomatik yang akan membicarakan “Penegasan dan Pengembangan Hukum Humaniter Internasional yang Bersangkutan dengan Konflik Bersenjata”. Sejak itu masalah perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata menjadi isyu yang dibicarakan oleh Unesco.Unesco mensponsori banyak sekali pertemuan internasional dan regional, diantara sesama persatuan wartawan, untuk dapat merumuskan protokol konvensi.Rumusan- rumusan itu kemudian dibicarakan bersama dengan Palang Merah Sedunia, sehingga akhirnya disepakati rumusan-rumusan perlindungan dalam Konvensi Jenewa mengenai orang sipil dan wartawan. Universitas Sumatera Utara Dalam kegiatan-kegiatan ini Konfederasi Wartawan Asean selalu diikut sertakan,sehingga Konfederasi Wartawan Asean mempunyai andil pula didalam merumuskan Protokol 1 Pasal 79 dari Konvensi Jenewa yang berbunyi : 1. 1.Journalists engaged in dangerous professional mission in areas of armed conflict shall be considered as civillians within the meaning of Article 50,paragraph l. 2. They shall be protected as such under the Conventions and this Protocol, provided that they take no action adversely affecting their status as civillians, and without prejudice to the right of war correspondents accredited to the armed forces to the status provided for in article 4 A 4 of the Third Convention. 3. They may obtain an indentity card similar to the model in Annex II of this Protocol.This card,which shall be issued by the Government of the State of which the journalist is a national or in whose territory he resides or in which the news medium, employing him is located, shall attest to his status as a journalist. 66 Tiga ketentuan diatas merupakan suatu kemajuan terhadap perlindungan pada wartawan didalam melakukan tugas berbahaya dimana terjadi konflik bersenjata.Wartawan tidak lagi akan semena-mena ditahan sebagai spion atau mata-mata musuh dan dapat diancam hukuman mati. Atau mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, karena Palang Merah Sedunia akan terus mengamati dan memberikan perlindungan sesuai dengan Protokol dalam Konvensi Jenewa yang baru. 66 Protokol 1 Pasal 79 Universitas Sumatera Utara BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL BAGI PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK A. Kedudukan Pers Sebagai Warga Sipil Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka, berdsarkan pasal 79 protokol tambahan I Konvensi jenewa 1949, seorang wartawan yang sedang menjadalankan profesinya di medan pertempuran harus dianggap sebagai orang sipil civilian. Pengertian orang sipil juga telah disinggung dalam bab sebelumnya. Bersama-sama dengan individu-individu yang dinyatakan sebagai orang sipil lainnya, maka wartawan perang menjadi unsure dari penduduk sipil the civilian population. Seperti yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 protokol tambahan I. 67 Pengaturan terhadap penduduk sipil ini diatur secara khusus dalam kovensi jenewa 1949 geneva convention relative to the protection of civilian persons in time of war. Berbeda dari ketiga konvensi jenewa 1949 lainnya, maka konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil di waktu perang ini bukan merupakan penyempurnaan dari konvensi- konvensi yang telah ada, tetapi merupakan suatu konvensi yang sama sekali baru. Lahirnya konvensi ini tidak lepas dari pengalaman perang dunia II, baik di eropa maupun di asia tdimana konvensi yang waktu itu berlaku dirasa belum cukup mengakomodir perlindungan bagi penduduk sipil dari tindakan sewenang-wenang pihak yang bertikai. Terlebih lagi, perkembangan tehnik persenjataan modern mengakibatkan bertambah sukarnya untuk mencegah penduduk sipil turut menjadi korban serangan musuh. Factor tersebut dan kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan bahwa 67 http:www.hukumonline.comprintedochol9432 Universitas Sumatera Utara perlindungan yang diberikan oleh hokum perang tradisional secara negative dengan menempatkan penduduk sipil sebagai pihak yang berada diluar perang jelas tidak memadai lagi. 68 Lahirnya Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat konvensi pasca Perang Dunia Kedua tidak menghilangkan pembahasan soal status dan kedudukan jurnalis. Dalam Pasal 4 Konvensi Ketiga Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Hukum humaniter atau dahulu disebut sebagai hukum-hukum perang the laws of war mengatur status dan kedudukan jurnalis selama konflik bersenjata. Jauh sebelum konvensi Palang Merah atau Konvensi Jenewa 1949 lahir, status dan kedudukan jurnalis telah diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum- hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat Respecting the Laws and Customs of War on Land Pasal 13 yang menyatakan: Individuals who follow an army without directly belonging to it such as newspaper correspondents and reporters, sulters and contractors, who fall into enemys hands and whom the latter thinks fit to detain, are entiteld to be treated as prisoners of war, provided they are in possesion of certificate from the military authorities of the army which they are accompanying. Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang jurnalis dengan istilah: news paper correspondent and reporters, yang jatuh ke tangan salah satu pihak berkonflik dan ditahan maka dia diperlakukan treated sebagai tawanan perang. Jurnalis tersebut bukan dianggap is sebagai tawanan perang. Untuk memenuhi syarat diperlakukan sebagai tawanan perang, para jurnalis harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pimpinan angkatan bersenjata yang mereka ikuti. 68 ibid Universitas Sumatera Utara Perang telah ditentukan golongan-golongan yang dianggap sebagai tawanan perang, dimana jurnalis termasuk dalam golongan ke-empat. Pasal 4 bagian A 4 dimana dinyatakan: ….. Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model. 69 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 1977 tentang Konflik Bersenjata Internasional secara jelas mengatur perlindungan terhadap jurnalis serta status dan kedudukannya. Pasal 79 tentang Measures of Protection of Journalist terdiri dari tiga ayat. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 79 1 bahwa, Journalist engaged in a dangerous professional mission in areas of armed conflict should be considered as a civilian.... Sehingga jelas sudah bahwa status jurnalis adalah sipil sekalipun ia seorang embedded journalist. Dalam pasal ini tidak terdapat banyak perbedaan dengan pasal 13 Konvensi IV Den Haag 1907, yaitu masih dipersyaratkan adanya kartu identitas yang dikeluarkan oleh otoritas angkatan perang. Perbedaannya, hanya pada istilah yang semula news corespondents and reporters menjadi war correspondents. Perubahan istilah ini terkait dengan kemajuan teknologi dari media pers. 70 69 Konvensi jenewa 1949,pasal 4 bagian a4 70 ibid Unsure pokok dari pengertian orang yang dilindungi dalam arti konvensi ke-4 konvensi jenewa 1949 memuat batasan dari orang-orang dilindungi tersebut : Orang-orang yang dilindungi oleh konvensi adalah mereka dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada Universitas Sumatera Utara dalam tangan suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan Negara mereka.. Warga Negara suatu Negara yang tidak terikan oleh konvensi. Warga Negara suatu Negara netral yang ada di wiliayah suatu Negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungim selama Negara mereka mempunyai perwakilan diplomatic di negeri dalam tangan mana mereka berada. Sehingga, dapat dikatakan bahwa orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah : 1. Penduduk sipil Negara dalam pertikaian yang telah jatuh kedalam kekuasaan musuh atau 2. Apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka, orang-orang yang dilindungi dalam arti konvensi ke-4 adalah penduduk sipil musuh. Selain di wilayahnya sendiri, suatu Negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, sehingga orang-orang yang dilindungi menurut konvensi ke-4 ini dapat juga dirumuskan sebagai : 1. Warga sipil musuh di wilayah Negara pihak dalam pertikaian, dan 2. Penduduk sipil di wilayah yang diduduki, kecuali : a Warga Negara dari Negara penduduk sendiri b Warga Negara dari Negara yang bersekutu dengan Negara pendudukan c Warga Negara dari Negara netral d Warga Negara dari Negara bukan peserta konvensi Tetapi harus ditegaskan juga bahwa orang-orang yang dilindungi tersebut dapat kehilangan hak-hak perlindungan mereka apabila : Universitas Sumatera Utara a Mereka dicurigai melakukan kegiatan yang bertentangan dengan keamanan Negara atau telah terlibat melakukan kegiatan tersebut. b Mereka melakukan pekerjaan mata-mata atau dicurigai melakukan perkerjaan tersebut.

B. Beralihnya Kedudukan Wartawan Pers Menjadi Seorang Tawanan Di Negara yang sedang berkonflik