Perspektif Kemerdekaan Pers Sejarah Lahirnya Pers Dunia

Ketentuan mewujudkan konsensus yang luas pada prinsip-prinsip yang diperlukan untuk memastikan bebas, media berita independen. Piagam tersebut telah dikutip setuju pada OSCE dan pertemuan lainnya, resmi disahkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dan UNESCO Direktur Jenderal dan didukung oleh sejumlah organisasi jurnalistik di seluruh dunia. Kami berharap Piagam ini akan sangat berguna di mana pun prinsip-prinsip kebebasan dan pers yang bebas diperlukan.

3. Perspektif Kemerdekaan Pers

Istilah “Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Pers” sering ditemui dalam berbagai referensi untuk menyebut pada makna yang sama.Kalimat “Kemerdekaan Pers” merupakan terjemahan dari the freedom of the press, yang dapat dianologkan dengan arti free from the dom, atau bebas dari dari penguasa. Sedangkan, kalimat “Kebebasan Pers” merupakan terjemahan dari liberty to atau bebas untuk melakukan.Kebebasan pers juga harus diartikan sebagai kebebasan untuk mempnuyai dan menyatakan pendapat melalui pers 32 John C. Merrill dalam bukunya, The Dialetic in Journalism, Toward a Responsibility Use of Press Freedom, 33 32 Alex Sobur, Etika Pers : Profesionalisme Dengan Nurani, Cet 1, Maret 2001 Bandung, Humaniora Utama Press, hal. 331. Alex mengambil sumber ini dari Hasim Nangtjik, Arti dan Konsep Kebebasan Pers : Kasus Indonesia” dalam Tidar, Herald, dan Suryadi, Petrus ed., Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi : Perkembangan, Permasalahan dan Perspektifnya Jakarta, Sinar Harapan : 1986 33 Ibid, hal. 329. Alex mengambil sumber ini dari William Hachten, The World News Prism. Ames : Iowa State University Press. menyebutkan bahwa kata-kata kebebasan pers, sebenarnya memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan mereka. Pengertian ini menyiratkan bahwa kebebasan pers mencakup kebebasan negatif bebas Universitas Sumatera Utara dari dan kebebasan positif bebas untuk. Secara filosofis, konsep “bebas dari” merupakan pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yg berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang tidak dipaksa untuk melakukan perbuatan tertentu”. Sementara konsep “bebas untuk” merupakan pemikiran Jean Jasques Rousseau dan G.W.F. Hegel, yang berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya”. 34 Susanto-Sunario dalam Globalisasi dan Komunikasi, mengatakan bahwa dalam analisis kebebasan sosial, biasanya diadakan penganalisaan berdasarkan nilai “positif” dan “negatif”, perdebatan mana tidak akan berakhir karena nilai erat hubungnnya dengan budaya dan tingkat pendidikan, serta latar belakang keluarga. Karenanya, sebaiknya kebebasan nilai sosial dilihat dari segi : bebas untuk apa dan bebas dari apa. 35 Konsep bebas untuk apa? Ialah jenis kebebasan yang menunjukkan kepada kebebasan eksistensial, yakni untuk memilih jenis pendidikan yang menurut diri adalah terbaik untuk dirinya. Dengan demikian, kebebasan seseorang untuk memilih bidang kewartawanan jurnalistik sebagai profesi dan sumber nafkahnya adalah kebebasan eksistensialnya. Tolak ukur “bebas dari apa?” akan dijawab dengan segera oleh pers sebagai bebas dari sensor. 36 34 Ibid, hal. 332 35 Ibid. Alex mengambil sumber dari Susanto, Globalisasi dan Komunikasi. 1993 Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 36 Ibid Namun demikian, kebebasan tanpa sensor, dimaknai tidak secara mutlak. Tetapi, tetap ada pembatasan sesuai dengan etika profesionalisme jurnalistik yang dilakukan di pra pemberitaan. Universitas Sumatera Utara Albert Camus mengungkapkan, bahwa kemerdekaan pers tidak mati sendirin. Pada waktu bersamaan, keadilan akan diasingkan selama-lamanya, bangsa mulai merintih sakit dan yang tak bersalah akan disalibkan berkali-kali setiap hari. Dengan kata lain, kemerdekaan pers adalah ekspresi pribadi paling asasi yang harus dijamin di manapun, siapa pun, dan kapan pun. Ini artinya, ditiadakannya kebebasan pers merupakan kemunduran dari permukaan bumi, berbagai tujuan ideal kehidupan pun akan ikut terkubur. 37 Penggunaan kedua istilah tadi secara yuridis pun masing-masing pernah digunakan, misalnya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 5 Ayat 1 : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara di jamin” dan Pasl 5 Ayat 2 : “Kebebasan pers ini didasarkan atas tanggungjawab nasional dan pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang ini”. 38 Undang-Undang ini selanjutnya mengalami penambahan melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan perubahan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Kemudian diganti dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Di ketentuan perundang-undangan pers yang baru, istilah “kebebasan pers” tidak lagi digunakan. Tetapi diganti dengan istilah “kemerdekaan pers”, ia diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”, kemudian Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara, Pasal 4 37 Nurudin, Pers dalam Lipatan Kekuasaan : Tragedi Pers Tiga Zaman, Cet 1, Januari 2003 Malang, UMM Pers, hal. 1. 38 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU No. 11. Tahun 1966, LN No. 40, tahun 1966 UU 11 Op. Cit., Pasal 5 Ayat 1, 2. Universitas Sumatera Utara Ayat 2 menerangkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Dalam Pasal 4 Ayat 3 disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dan Pasal 4 Ayat 4, mengatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. 39 Landasan hukum tentang kemerdekaan atau kebebasan pers di atas, diperkuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar UUD 1945 Pasal 28 F sebagai berikut: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 40 Wikrama dalam bukunya 41 Sejalannya ide kemerdekaan pers dalam ranah hukum positif Negara kita, tidak terlepas dari gagasan normatif yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi mengatakan, dari bunyi pasal di atas ada beberapa frase kunci yang dapat ditafsirkan sebagai kemerdekaan pers, yaitu: hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Namun demikian, penyebutan kemerdekaan pers masih sebatas implisit, bukan eksplisit. Sehingga ketika mengatakan kemerdekaan pers disini hanyalah sebuah tafsiran saja, dan ini membuka peluang yang sama untuk lainnya menafsirkan sesuai kepentingannya. 39 UU 40, Op. Cit, Ps. 1 Ayat 1, 2, 3, 4. 40 Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002. 41 Wikrama, Op. Cit., hal 39 et Seq. Universitas Sumatera Utara Manusia DUHAM, sebagai berikut: Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Universitas Sumatera Utara BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK A. Definisi Negara Yang Sedang Berkonflik Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang disebut bangsa dan telah mendiami wilayah tertentu42 Defenisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black. Beliau mendefenisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum, yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Negara merupakan subyek hukum yang terpenting par-excelence dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Sebagai subyek hukum internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional. J.L. Brierly memberi batasan negara ini sebagai suatu lembaga institution, yaitu suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan dan melaksanakan kegiatan- kegiatannya. Fenwick mendefenisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisir secara tetap, menduduki, dan hidup dalam suatu batas daerah, bebas dari pengawasan negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi. 42 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1998, hal.142 Universitas Sumatera Utara Meskipun telah banyak sarjana yang mengemukakan defenisi atau criteria tersebut namun secara umum apa yang telah dikemukakan diatas, tidak jauh bedanya dengan unsur ‘tradisional’ suatu negara yang tercantum dalam pasal 1 Montevideo Pan American Convention on Rights and Duties of States of 1933. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “The State a person of international law should posses the following qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, and a capacity to enter into relation with other States.” 43 a. Harus ada rakyat yang permanen Unsur-unsur diatas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum internasional seperti Oppenheim-Lauterpacht. Berikut adalah uraian tentang masing-masing unsur tersebut. Rakyat yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda, dan memiliki kelompok kepentingan yang saling bertentangan. Syarat penting untuk unsure ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik organized population. Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik ‘hidup’ berdampingan dengan masyarakat dis-organized. 44 b. Harus ada wilayah atau daerah yang tetap 43 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, hal.2 44 Ibid, hal.3 Universitas Sumatera Utara Ada wilayah atau daerah yang tetap, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain a wandering people bukan termasuk kedalam unsur ini. Tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak. Unsur ini dan unsur a tidak ada batas tertentu, baik jumlah penduduk maupun luas daerahnya. 45 c. Harus ada pemerintahan Untuk menjadi negara tidaklah prlu memiliki wilayah yang tetap atau memiliki batas-batas negara yang tidak sedang dalam sengketa. Sebagai contoh, sejak merdeka hingga kini, RI masih memiliki batas-batas wilayah laut yang belum jelas, bahkan menjadi sengketa di pengadilan internasional. Sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia di Mahkamah internasional, atau batas landas kontinen antara RI dan Australia adalah sekedar beberapa contoh saja. Dalam putusan pengadilan, lahir suatu prinsip yaitu bahwa suatu negara dapat diakui sebagai negara asalkan ia mempunyai wilayah betapapun besar kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten sufficient consistency. Yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, dan memerintah menurut hukum negaranya. Suatu masyarakat yang anarchis bukan termasuk negara. Beng Bromst menyebut kriteria ini sebagai ‘organized government’ pemerintahan yang terorganisir. Bentuk pemerintahan yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya bergantung kepada rakyatnya. Apakah itu berupa republic, kerajaan atau bentuk 45 Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara lainnya yang rakyatnya kehendaki. Hukum internasional menghendaki agar pemerintah mempunyai kekuasaan yang stabil dan efektif atas seluruh rakyat dan wilayahnya. Yang dimaksud dengan kekuasaan yang efektif adalah pemerintah harus mempunyai kapasitas yang nyata untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan dan kedaulatannya. 46 d. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain Untuk unsur keempat ini, Oppenheim-Luterpacht menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” sovereign. Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun keluar batas-batas negeri. Dalam hubungan internasional, kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah sebuah keharusan demi menjadi bagian dari masyarakat internasional dan subjek hukum internasional. Pada dasarnya, peran penting dari kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan negara itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama, tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu setiap negara membutuhkan negara lain. Setelah keempat unsur diatas terpenuhi, maka suatu negara yang ingin diakui eksistensinya sebagai subjek hukum internasional juga memerlukan unsur deklaratif berupa pengakuan. Pengakuan adalah tindakan yang dilakukan oleh satu atau beberapa negara yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu dari masyarakat yang terorganisir secara 46 Ibid, hal. 5 Universitas Sumatera Utara politis, yang tidak terikat pada negara lain, dan mempunyai kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, dan dengan cara tersebut negara yang mengakui menyatakan kehendak untuk menganggap negara yang diakui sebagai bagian dari masyarakat internasional. 47 Dalam bukunya The Web of Government, Mc. Iver 48 a. A tri partite classification of state mengemukakan adanya 2 dua macam system pengklasifikasian negara, yaitu: Klasifikasi tentang bentuk negara dengan system yng pertama ini disebut juga sebagai sistem tradisionel classification, dimana system ini menggunakan dasar atau kriteria “pemegang kekuasaan pemerintahan negara”. Hal ini mempunyai dua macam tujuan yaitu: 1 Untuk mengetahui jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintahan. 2 Untuk mengetahui sifat daripada pemerintahan b. A bi partite classification of state Dasar atau kriteria dari sistem klasifikasi ini adalah dasar atau alasan yang bersifat praktis, yaitu menggunakan dasar-dasar konstitusional, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1 Sifat hubungan antara satu orang yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan negara dengan beberapa orang yang memegang kekuasaan negara sebagai pendukungnya. 47 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 176 48 Mc. Iver, The Web of Government, New York: The Macmillan, 1951, hal 147 Universitas Sumatera Utara 2 Sifat hubungan antara beberapa orang yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan negara dengan rakyat yang diperintahnya. 49 Dengan berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, apabila terdapat bebrapa orang yang memegang kekuasaan pemerintahan negara tersebut dan dapat mempertanggungjawabkan segala aktiftas yang dilaksanakan kepada rakyat. Negara semacam ini dinamakan negara demokrasi. Kedua, sedangkan apabila tidak terdapat hubungan pertanggungjawaban antara pemegang kekuasaan dalam pemerintah dengan rakyat, maka negara tersebut dinamakan negara oligarki. Jadi penggolongan negara dengan sistem a bi partite classification of state ini menghasilkan dua golongan besar negara, yaitu negara demokrasi dan negara oligarki. Berbeda dengan Mc. Iver, Kranenburg dalam melakukan klasifikasi negara berdasarkan kriteria sebagai berikut: Kriteria pertama dapat dibedakan menjadi 2 dua yaitu; Pertama, Sifat hubungan antara fungsi-fungsi dengan organ-organ yang ada dalam negara, apakah fungsi-fungsi negara tersebut hanya dipusatkan pada satu organ atau dipisah-pisahkan dan didistribusikan kepada beberapa organ. Kedua, Sifat dari organ itu sendiri, bahwa fungsi-fungsi negara tersebut dipusatkan pada satu organ, serta bagaimanakah sifat hubungan antara organ-organ tersebut. Dengan berdasarkan kriteria pertama ini, negara dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 50 49 Suryo S Hadiwijoyo, op.cit., hal 14 50 Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UGM Press, 2005, hal 188 Negara dimana semua fungsi atau kekuasaan negara tersebut dipusatkan pada satu organ. Negara demikian ini adalah negara yang melaksanakan sistem absolut. Kemudian Negara dimana fungsi-fungsi atau kekuasaan negara tersebut dipisah-pisahkan, pemisahan kekuasaan ini biasanya yang dianut Universitas Sumatera Utara adalah teori pemisahan kekuasaan dari Montesque, dimana kemudian masing-masing kekuasaan tersebut diserahkan atau didistribusikan kepada beberapa organ. Berdasarkan hal tersebut, maka negara yang melaksanakan system pemisahan kekuasaan dapat diklasifikasikan menjadi, negara dengan sistem pemerintahan Presidensil, negara dengan sistem pemerintahan Parlementer, dan negara dengan sistem Referendum. Kriteria yang kedua yang dipergunakan atau dikemukakan oleh Kranenburg mengklasifikasi bentuk negara berdasarkan perkembangan sejarah, dan penjenisan negara yang timbul dari perkembangan politik jaman modern. Berdasarkan kriteria ini negara dapat diklasifikasikan sebagai, negara-negara dalam bentuk-bentuk historis yaitu; federasi negara-negara dari jaman kuno, sistem provincia Romawi, negara-negara dengan system feodal. Kemudian negara-negara dalam bentuk modern, yaitu; Perserikatan negara-negara atau Statebund, negara serikat atau Bundestaat, negara kesatuan atau negara unitaris, dan negara persemakmuran bersama Inggris British Commonwealth of Nations. Kelsen dalam Poerbopranoto menyatakan bahwa persoalan tentang syarat-syarat berdirinya sebuah negara, yakni dengan pertanyaan apakah suatu bentuk masyarakat telah memenuhi persyaratan tertentu sehingga merupakan “negara”, itu adalah persoalan yang bersifat hukum yuridis. 51 51 Kontjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Etresco, 1987, hal. 2 Dengan kata lain, suatu bentuk masyarakat itu dapat dinamakan “negara”, ditentukan menurut pertimbangan dan norma hukum, yakni hukum negara. Ketentuan tentang cara penyusunan suatu negara dan perlengkapan negara, dan juga cara negara beserta lembaga-lembaga dan kelengkapannya tersebut bekerja, dimana hal tersebut sebagian terletak dilapangan hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan. Universitas Sumatera Utara Hestu Cipto Handoyo 52 menyatakan bahwa bangunan negara berkaitan erat dengan susunan dan struktur negara. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Hestu secara garis besar dikenal adanya 3 tiga macam bangunan negara, yaitu Negara Kesatuan Unitaris, Negara Serikat Federalis, dan Serikat Negara-negara Konfederalis. Negara disebut Negara Kesatuan apabila hanya terdapat satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat Undang-undang yang berlaku di negara tersebut, yakni Pemerintah pusat, sedangkan Pemerintah Daerah Local Government hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dikenal adanya dua negara kesatuan, khususnya bila ditinjau dari asas penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu; Pertama, Negara Kesatuan dengan asas Sentralisasi; Kedua, Negara Kesatuan dengan asas Desentralisasi. 53 Bangunan Negara Serikat Federalis, apabila dalam negara tersebut antara Pemerintah Pusat Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian mempunyai wewenang yang sama dalam membentuk Undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah Federal berlaku untuk seluruh wilayah negara, sedangkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah Negara Bagian hanya berlaku untuk Negara Bagian saja. Sedangkan sebuah negara dinyatakan sebagai Negara Konfederalis apabila negara terdiri dari gabungan beberapa negara yang sejak semula berdaulat, dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi- fungsi tertentu. Penggabungan tersebut tidak menghilangkan kedaulatan dari masing- masing negara. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas 52 Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Atmajaya, 2003, hal. 87 53 Ibid. Universitas Sumatera Utara selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan. Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya. Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana Universitas Sumatera Utara pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah- masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi. Dewasa ini pada masa damai, sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan. Universitas Sumatera Utara

B. Jenis-jenis Negara yang sedang berkonflik