C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1
Mengetahui sejauh mana Hukum Internasional mengatur tentang perlindungan terhadap Pers di Negara yang sedang berkonflik.
2 Untuk mengetahui tujuan dari Pers yang melakukan peliputan di Negara yang
sedang berkonflik. 3
Untuk mengetahui betapa pentingnya Pers didalam Negara yang sedang berkonflik.
Manfaat Penelitian Secara Praktis dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang tentang
bagaimana kedudukan Pers di Negara yang sedang berkonflik di atur dalam Hukum Internasional.Seperti yang kita ketahui bahwa perang atau konflik bersenjata dapat terjadi
kapan saja,dan dalam konflik bersenjata tersebut kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia sangat besar, maka diharapkan agar pembaca
semakin mengetahui dan memahami keberadaan Pers di Negara yang sedang berkonflik dalam upaya peliputan berita.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah asli,sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, demikian juga dengan pembahasan
Universitas Sumatera Utara
yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera UtaraPusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas
Hukum USU tertanggal 14 Mei 2013 . Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar refrensi dari
buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan, dan
informasi dari internet. Untuk itu akan diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambildari sumber-sumber yang emberikan pengertian terhadap judul
penelitian ini, yang ditinjau dari sudut etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana, sehingga mempunyai arti yang lebih
tegas.
Pengertian judul “ PERLINDUNGAN TERHADAP PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ” dapat diartikan
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
10
10
UU No.40 Tahun 1999, Ps. 1 ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
Judul ini pada prinsipnya akan membahas tentang sampai sejauh mana Pers itu akan mendapatkan perlidungan yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa Dan Protokol
Tambahan I 1977.
F.Metode Penulisan
Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi ;
1. Jenis Penelitian
Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan kara tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya demikian halnya
dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah metodologi, guna
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya .
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupajan penelitian hukum yuridis normative .
2. Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakniberupa undang-undang, Perjanjian Internasional dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau
karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah, surta kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah
penelitian. c.
Bahan Hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep=konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang
disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan,
makalah , jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, termasuk peraturan perundangan-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a.
Melakukan Inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun
elektronik, dan peraturan perundang-undangan. c.
Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. d.
Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah tersusun secara sistematis kemudia dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kuantitatif.
G.Sistematika Penulisan
Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
kemudian dilanjutkan dengan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian dan sistematika Penulisan.
BAB II : ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS DALAM MENDUKUNG
KEDUDUKAN PERS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai pengertian pers dan teori pers.
BAB III : PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI
PERS DI NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK
Bahasan mengenai Pers di Negara yang sedang berkonflik yang terdiri dari tiga sub bab mengenai Pengertian Negara yang sedang berkonflik, Jenis-
jenis Negara yang sedang berkonflik kemudian Kondisi Pers yang berada di Negara yang sedang berkonflik.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL BAGI PERS DI
NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK
Memuat bahasan mengenai perlindungan Pers di Negara yang sedang berkonflik, yang terdiri dari tiga sub bab mengenai kedudukan Pers sebagai
warga sipil, berubahnya status Pers menjadi tawanan, dan upaya perlindungan Pers di Negara yang sedang berkonflik .
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan, serta saran yang dapat akan diberikan
Universitas Sumatera Utara
BAB II ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS DALAM MENDUKUNG KEDUDUKAN PERS
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pers Dan Teori Pers
1. Pengertian Pers
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers Belanda, atau Press inggris, atau presse prancis, berasal dari
bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. Media massa, menurut
Gamle Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia human communication, dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan
proses penyampaian pesan antar manusia.
11
Melalui komunikasi yang terbuka pemerintah menjadi pertanda berlakunya suatu pemerintahan yang demokratis sebab masyarakatpun menyampaikan pesan dan
Pers dalam arti sempit, yakni media cetak dan pers dalam arti luas , yakni meliputi semua barang cetakan yang ditujukan untuk umum sebagai penggati istilah printed mass
media. Berkembangnya media yang mampu menjangkau massa juga membuat istilah pers semakin meluas. Kini orang juga lazim menyebut pelaku atas kegiatan yang berhubungan
dengan media massa elektronik, Pers Juga melaksanakan kontrol sosial Social Control untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keuasaan baik korupsi, kolusi dan nepotisme.
maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
11
Sobur, Alex. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama Press. hlm. 145
Universitas Sumatera Utara
mesukannya secara terbuka Pers sebagai lembaga control social dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat berpengarauh dalampelaksanaan pemerintahan, bagi
pemerintah yang banyak melakukan kesalahan. Sedangkan control social pers terasa sangat buruk. Sehingga kegiatan pemerintahannya pun terpengaruh. Pers melalui fungsinya
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, control social dan lembaga ekonomi menjadi pengontrol kehidupan masyarakat.
12
a Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya “Four Theories of the Press”
mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut
mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-
tengah masyarakat. Berikut pengertian Pers menurut para ahli:
b Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996
mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang
bersamaan. c
Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar
semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan belanda.
12
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
13
Wartawan ialah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalisme dengan menciptakan laporan akan peristiwa dengan cara pandang objektif dan tidak memiliki pandangan dari
Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial
merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya. Pers sangat erat kaitannya dengan wartawan yang dimana wartawan sebagai insan dari
pers.Wartawan yang dikenal juga sebagai kuli tinta, merupakan unsur penting dan pokok
dalam dunia pers. Pasalnya sebuah peristiwa dapat diabadikan dalam berita sebagaimana masyarakat kita mengenalnya, tidak lahir begitu saja dengan sendirinya. Tetapi, ini berkat
kerja keras para wartawan dalam mencari berita, mengejar sumber berita dan mengemasnya dengan prinsip 5 W + 1 H What, Where, When, Who, Why, dan How. Tak jarang, dalam
salah satu jenis pencarian berita. Seorang wartawan dihadapkan untuk melakukan tugas investigasi, dan menjadikannya berita eklusif. Gambaran singkat di atas, hanya sebatas
siapa wartawan itu?
13
UU No. 40 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
sudut tertentu untuk melayani masyarakat, melalui publikasi dalam bentuk media massa televisi, radio, film dokumentar, koran, majalah, dan internet.
14
Definisi wartawan versi PWI, adalah suatu kegiatan berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data riset, liputan, verifikasi untuk melengkapi
laporannya. Wartawan dituntut objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya.Sedangkan AJI memberikan definisi jurnalis sebagai
profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan
tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan. Kemudian secara yuridis, mengenai pengertian wartawan dapat ditilik pada
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 1 Ayat 3, berbunyi : “Kewartawanan ialah pekerjaankegiatan usaha yang
berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran, dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar, dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio,
televisi, dan film”, dan ayat 4, “Wartawan ialah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam ayat 3 pasal ini secara kontinyu”.
Sementara pandangan tak jauh berbeda diungkapkan dua organisasi wartawan terkemukan di Indonesia, yakni Persatuan Wartawan Indonesia PWI dan Aliansi Jurnalis
Independen AJI.
15
14
“Wartawan,” Wikipedia Indonesia : Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia Maret 2008, http:id.wikipedia.orgwikiWartawan
, diposting Jum’at, 01-08-08. Sumber berkaitan halaman tentang wartawan ini menurut keterangan dalam Wikipedia terakhir di ubah pada 12 Maret 2008.
15
UU No.11 Tahun 1966 ,Ps. 1 ayat 3 dan 4.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang di atas, selanjutnya dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Di UU terbaru ini dalam Pasal 1 ayat 4, wartawan
diberikan definisi: “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”
16
Dengan demikian dapat dikatakan wartawan atau jurnalis
17
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana
hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan
adalah mereka yang melakukan profesinya dalam ranah pemberitaan melalui proses-proses jurnalistik
untuk menghasilkan berita layak bagi pembacamasyarakatpublik yang disebarluaskan atau dipublikasikan melalui media massa seperti surat kabar dan media elektronik dengan
mengedepankan aspek etika dan estitika sebagaimana telah diatur dalam kode etik wartawan sesuai peraturan-peraturan tentang pers di suatu Negara, dimana pers itu
berada.Guna memperlancar tugas profesinya, para wartawan oleh media ditempat dia bekerja selalu dibekali kartu pengenalidentitas yang menunjukkan sebagai pers. Bahkan
seluruh media dalam aturan tertulisnya yang juga biasanya tercantum dalam kartu pers menyebutkan bahwa kartu identitas dalam setiap praktik kewartawanan senantiasa wajib
dikenakan.
16
UU No.40 Tahun 1999, Ps. 1 ayat 4.
17
Istilah lain wartawan adalah juru warta, jurnalism, reporter, newsgatter, press-man, kuli tinta, nyamuk pers, komunikator massa, dan pembela kepentingan rakyat. Dalam praktinya, mereka dapat
dikelompokkan dalam beberapa golongan, yaitu 1 Wartawan Profesional, tipe wartawan yang menjadikan dunia kewartawanan sebagai profesi. 2 Wartawan FreeLance, tipe wartawan yang tidak terikat pada satu
kantor beritasurat kabar. 3 Wartawan Koresponden, tipe wartawan yang bekerja di suatu daerah yang tidak satu wilayah dengan penerbitan dan mengirimkan berita melalui faksimili, e-mail, atau sarana
komunikasi lainnya. 4 Wartawan Kantor Berita, tipe wartawan dari satu kantor berita yang mencari berita untuk suatu kantor berita kemudian beritanya di salurkan atau dijual ke berbagai lembaga penerbitan yang
membutuhkan. Lebih lanjut lihat
http:www.penulissukses.compenulis37.php , diposting Jum’at, 01-08-08.
Universitas Sumatera Utara
yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakinan dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar
manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah perbedaan filsafat. Munculnya teori-teori pers dipicu oleh
dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab pers terhadap kondisi ruang sosial yang ada. Oleh karenanya beberapa sarjana Amerika Serikat yaitu Fred S. Siebert, Theodore
Peterson, dan Wilbur Schramm membentuk “Four Theories of the press”.
2. Teori Pers Dunia
Empat teori pers di dunia ini terdiri dari: 1.
Teori Pers Otoritarian Teori ini menganggap Negara sebagai ekspresi tertinggi dari pada kelompok
manusia, yang mengungguli masyarakat dan individu atau dengan kata lain Negara yang otoriter,
Otoriter dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu sistem. Dapat juga dikatakan sebagai pemerintahan yang diktator pemerintahan yang berkuasa secara penuh.. Dalam teori pers,
ada teori pers otoritarian. Tujuan utama dari teori ini ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Media massa pada teori atau sistem pers ini diawasi melalui paten dari
kerajaan atau izin lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para penguasa sangat
dilarang. Pada sistem pers otoritarian media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki pemerintah.
Teori ini hampir dipakai oleh semua negara, pada saat masyarakat dan teknologi telah cukup maju dalam menghasilkan apa yang kita namakan media massa dalam komunikasi. Teori ini
membentuk dasar bagi sistem-sistem pers di berbagai masyarakat modern, bahkan di negara yang
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi menggunakannya, teori ini terus mempengaruhi praktek-praktek sejumlah pemerintahan yang secara teoritis menyetujui prinsip-prinsip libertarian. Dalam sistem otoritarian, perilaku dan
kinerja politik dalam bentuk apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan tentu
saja bentuk-bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak dirinya. Analisisnya dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang menginformasikan secara fakta dan
bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak.
System pers semacam ini tidak cocok diterapkan di Negara demokratis.
18
a. Media selamanya tunduk pada penguasa .
. Teori ini lahir dan dikembangkan sejak abad 16-17 di Inggris yang merupakan
falsafah kekuasaan mutlak dari kerajaan atau kekuasaan mutlak dari pemerintah, atau kedua-duanya. Bertujuan guna mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan dari
pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk mengabdi kepada Negara.. Negara adalah hal yang sangat penting yang dapat membuat manusia menjadi manusia seutuhnya anpa Negara
manusia menjadi primitif tidak mencapai tujuan hidupnya.Oleh karena itu pers adalat alat penguasa untuk menyampaikan keinginannya kepada rakyat.
Prinsip-prinsipnya :
b. Sensor dibenarkan tak dapat diterima.
c. Kecaman terhadap penguasa dan penympangannya kebijakannya
d. Wartawan tidak memiliki kebebasannya
2. Teori Pers Libertarian
18
http:johanestomysetiawan.blogspot.com200907pengertian-teori-pers-ototarian.html
Universitas Sumatera Utara
Teori ini berasal dari karya Milton, Locke, Mill dan falsafah umum rationalisme dan hak alam yang dipraktikan di Inggris setelah tahun 1688, dan berkembang di Amerika dan
seluruh dunia. Berbeda halnya dengan teori sebelumnya, teori ini bertujuan memberikan peneranganpencerahan, menghibur, dan menjual terutama untuk mengecek dan
menemukan aspek kebenaran.
19
a. Melayani kebutuhan ekonomi iklan;
Hal ini, mempengaruhi fungsi kontrol pasar terhadap media. Yakni “pembenaran sendiri ke kebenaran” dengan “pasaran bebas idea-idea”, dan dikontrol melalui pengadilan
jika terjadi pelanggaran hukum. Teori menganggap bahwa pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menetukan sikap terhadap kebijakan pemerintah.
Pers berhadapan dengan pemerintah Pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah. Teori ini menganggap sensor sebagai hal yang Inkonstitusional.
Tugas-tugasnya :
b. Melayani kehidupan politik;
c. Mencari keuntungan kelangsungan hidupnya;
d. Menjaga hak warga Negara control social;
e. Memberi hiburan.
Ciri-cirinya : a.
Publikasi bebas dari penyensoran; b.
Tidak memerlukan ijin penerbitan, pendistribusian; c.
Kecaman terhadap pejabat, partai politik tidak dipidana; d.
Tidak adak kewajiban untuk mempublikasikan segala hal;
19
http:halil-materipkn.blogspot.com200909bab-3-peranan-pers.html
Universitas Sumatera Utara
e. Publikasi kesalahan dilindungi
sama dengan publikasi kebenaran sepanjang menyangkut opini dan keyakinan;
f. Tidak ada batas hukum dalam mencari berita;
g. Wartawan mempunyai otonomi professional.
3. Pers Tanggung Jawab Sosial
Mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat, kebebasan pers perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan pers
sebab kemerdekaan pers itu harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Hampir sama dengan teori Libertarian, teori ini bertujuan memberi penerangan, menghibur,
menjual, tetapi mengutamakan untuk membangkitkan konflik ke forum diskusi. Dengan tujuan seperti di atas, maka fungsi kontrol bukan hanya pasar dalam arti
pendapat masyarakat dan tindakan dari konsumen. Melainkan terdapat peran penting etika- etika profesi. Jadi, media massa dilarang memberitakan tulisan-tulisan yang melanggar hak-
hak pribadi yang diakui oleh hukum dan dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat. Jika mengingkari, maka masyarakat akan membuat media tersebut mematuhinya
20
4. Teori Pers komunis
Lahir pada era Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazinya dan oleh
Benito Mussolini di Italia dengan Fasismenya. Teori tersebut berdasar pada ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara berberpikir
Russia abad 19.
20
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena ia merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya
kelangsungan para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun dikontrol
dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai dan kebijakan- kebijakannya menyatakan pers adalah alat pemerintah atau partai yang berkuasa dan
bagian integral dari negara sehingga pers itu tunduk kepada negara. Ciri-ciri pers Komunis adalah :
a. Media dibawah kendali kelas pekerja karena pers melayani kelas tersebut.
b. Media tidak dimiliki secara pribadi.
c. Masyarakat berhak melakukan sensor.
21
B. Sejarah Lahirnya Pers Dunia
Dikisahkan oleh empunya kisah, bahwa: ada seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Nabi Nuh, yaitu seorang Nabi yang terkenal waktu ada banjir di dunia ini yang
menyelamatkan marga satwa dari kehancuran total dengan membuat perahu besar atas restu Tuhan. Nabi Nuh Wartawan pertama di dunia ini setelah berhasil mengirimkan berita
dengan menggunakan burung merpati. Oleh Van der Meulen dikatakan bahwa orangorang Babylon menurut catatan Flafius
– Josephus memiliki para penulis sejarah yang bertugas menyusun berita tentang kejadian sehari-hari.
21
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Syahdan ± 800 tahun Sebelum Masehi di tengah bangsa Habrew – purbakala di Pantai Timur Laut Tengah, muncullah orang-orang yang dinamakan The Prothets yakni
mereka yang terang-terangan dan terbuka mengeluarkan kritik ke alamat golongan elite yang memerintahkan mengendam kekurangan-kekurangan tertib sosial yang terdapat pada
masa itu. Mereka itu membacakan pendapat-pendapat mereka di jalan dan di pasar, di pintu gerbang kota; di tempat-tempat di mana khalayak ramai berkumpul. Renan menamakan
mereka dengan “open air journalist”, wartawan~wartawan yang bekerja di bawah langit dan di udara terbuka. Mereka tidak kenal takut untuk membela kebenaran dan keadilan.
22
Pengumuman semacam ini diteruskan oleh Julius Caesar dengan nama Acta’ Diurna ini tidak disebarkan seperti halnya suratkabar tetapi hanya ditulis pada papan pengumuman
yang diletakkan di tempat umum. yaitu di pusat kota Roma Foroum Romanum. Acta Diurna memuat berita-berita resmi dan setiap orang bisa membacanya bahkan boleh
mengutip untuk disebarkan di tempat lain, sehingga untuk penyebaran Acta Diurna ini diserahkan pada usaha swasta. Orang-orang belian yang berkepentingan dengan Kerajaan
Renan berkata; “Karangan pertama jurnalistik yang tidak mengenal damai telah ditulis oleh Amos; seorang pengembala dari Tekoa kurang lebih tahun 800 SM. Itulah
Amos wartawan penegak keadilan dan berani mengkritik keadaan masyarakat sebagai wartawan prototype, intektuil modern dan melihat kebenaran, kenyataan pertama di dunia.
Pada awal berdirinya Kerajaan Romawi, para pejabat tinggi Kerajaan Romawi sering menuliskan segala kejadiannya pada papan muka rumahnya yang merupakan
pemberitahuan bagi setiap orang yang menghendakinya.
22
http:badaruddinamir.wordpress.com20110429proses-sejarah-lahirnya-jurnalistik-sebagai- media-komunikasi-massa
Universitas Sumatera Utara
Romawi memiliki budak belian yang bertugas mengumpulkan berita.Budak-budak tersebut sering mengikuti sidang-sidang senat untuk melaporkan hasil rapat di dewan baik secara
lisan maupun tertulis, maka timbullah istilah Diurnarius. Kemudian muncul lagi orang- orang biasa yang melaksanakan tugas tersebut sebagai mata pencaharian. Ini merupakan
awal mula timbulnya Jurnalistik di dunia ini. Budak-budak pencari berita itu telah mempunyai syarat-syarat terpilih untuk bertindak
sebagai wartawan, antara lain:
23
1. Harus pandai bergaul dan tamilier.
2. Terpelajar dan bisa menulis, cekatan dengan baik dan dapat mengartikan pidato dari
para Senator. 3.
Pandai menggali dan menyajikan berita dan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam masyarakat.
Acta Diurna memuat juga berita mengenai terjadinya gempa bumi, angin topan serta kekejaman bajak laut atau perampokan bahkan kegiatan masyarakat sendiri di samping
berita tentang keputusan hakim, pengangkatan pejabat, dekrit serta undang-undang. Ketika Kaisar Agustus berkuasa timbullah pemikiran baru mengenai penyajian berita.
Kaisar menyuruh memberitakan tentang hasil Rapat Senat di samping berita lain yang berupa khayalan maupun yang sungguh-sungguh terjadi. Acta Diurna berdiri selama 5
abad. Setelah Kerajaan Romawi runtuh maka Acta Diurna lenyap dan tidak ada pemenuhan kebutuhan akan berita, sehingga diisi dengan desas-desus. Pemberitaan terbatas pada surat-
menyurat, terutama para politisi, para cendekia dan para seniman serta pedagang. Surat- menyurat antar pedagang dapat mencapai kemajuan yang amat pesat.
23
ibid
Universitas Sumatera Utara
Para pedagang menghimpun surat-surat perdagangan, kemudian mengirimkan kepada para langganannya. Begitulah seterusnya sampai dapat berhubungan dengan luar negeri.
Akhirnya muncullah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai orang-orang yang khusus ditugaskan untuk menyusun berita kemudian menyebarkan pada para langganannya.
Pada saat itulah muncul pusat-pusat pemberitaan di daerah Eropa. Kantor-kantor demikian biasanya menggunakan berpuluh-puluh tenaga yang dibayar sesuai dengan jumlah baris
berita yang ditulisnya. Suratkabar tertulis hasil karya mereka muncul pertama kali di Vanesia pada tahun 1536.
Sementara itu pada tahun 1450 telah diketemukan orang tentang cara-cara mencetak buku, tetapi pada mulanya tidak mempengaruhi usaha pemberitaan karena suratkabar
tertulis lebih cepat daripada suratkabar tercetak dan oplagnya juga sangat terbatas. Di samping itu, pihak penguasa lebih suka pada suratkabar tertulis karena lebih mudah dalam
mengadakan pengawasan terhadap suratkabar tersebut.
24
Suratkabar tercetak di negara-negara Eropa di mulai dengan terbitan suratkabar di negeri Belanda dan Jerman. Dalam bukunya yang berjudul “De Courant”. R. van der
Meulen mengatakan bahwa suratkabar tertua di dunia adalah suratkabar Cina yang bernama King Pau, yang terbit pada tahun 911. Pada mulanya terbit secara tidak teratur. Tetapi
setelah tahun 1350 terbit sebagai suratkabar mingguan. Walaupun demikian kita tetap mengakui bahwa suratkabar tercetak pertama muncul di Eropa, yaitu dengan terbitnya
mingguan Jerman yang bernama Relation dan Aviso pada tahun 1609.Berbicara mengenai sejarah perkembangan Pers harus Kembali kepada istilah Diurnarie berarti harian dan
dilihat dari dasar filosofi perkembangan Pers tersebut yang setiap hari, kemudian diambil
24
ibid
Universitas Sumatera Utara
dalam bahasa Belanda Journalistik dan bahasa lnggris Journalism yang bersumber pada perkataan Journal. Tentang Jurnalistik setiap ahli memberikannya dalam pelbagai bentuk
tapi bisa dirangkum yaitu bahwa Journalist ialah suatu penggolongan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya masyarakat, Onong
Ucahyana, llmu Komunikasi, hal. 196, dari kata “Diuma”, di As berkembang menjadi Diurnal, di lnggris terkenal istilah Journal, yang barangkali juga diangkat dari kata Romawi
Diurna tersebut. Menurut Webston Dictionary Journal diartikan sebagai Diary atau catatan harian, atau buku yang berisi catatan tentang kejadian sehari-hari. Dari kata Journal
joumalism, yang boleh dikatakan sebagai lapangan pekerjaan. Orang yang melakukan tugas journalism disebut joumalist.
25
C. PERANGKAT HUKUM INTERNASIONAL DALAM MENDUKUNG KEDUDUKAN PERS
1. Berdasarkan Deklarasi Talloires
Pendekatan Konstruktif Untuk A Global Information Pesanan , Pernyataan Prinsip untuk Yang Independen Berita Media berlangganan, dan On Yang Ini Tidak Akan
Kompromi . Selama tujuh tahun perdebatan telah dilakukan di dewan dari UNESCO dan organisasi internasional lainnya atas media dan trotoar diusulkan kebebasan pers. Mereka
yang menganjurkan kontrol ini telah menekan untuk menciptakan apa yang disebut Informasi New World Order yang belum terdefinisi.
Menanggapi media dunia yang bebas memutuskan untuk mengambil inisiatif dan mengumumkan prinsip-prinsip yang pers bebas berlangganan. Untuk mencapai hal ini
25
ibid
Universitas Sumatera Utara
Voices konferensi Freedom dihadiri oleh para pemimpin media dari lima benua diatur oleh Tuft University Fletcher School of hukum dan Diplomasi di pusat Eropa di Talloires,
Perancis, 15-17 Mei, 1981, bekerjasama dengan Komite Kebebasan Pers Dunia
26
Para delegasi menekankan pada kebutuhan terus media berkembang, yang telah memberikan banyak bantuan selama bertahun-tahun. Mereka berjanji untuk memperluas
aliran bebas informasi di seluruh dunia, dan mengatakan mereka akan mendukung upaya oleh badan-badan internasional, pemerintah dan lembaga swasta untuk bekerja sama
dengan Dunia Ketiga dalam memperbarui fasilitas produksi, dan pelatihan. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa kebebasan pers adalah hak asasi manusia yang konferensi
. Pada sesi ini untuk pertama kalinya koran gratis Barat dan lainnya, majalah dan
penyiar mengambil sikap bersatu melawan kampanye oleh blok Soviet dan beberapa negara Dunia Ketiga untuk memberikan UNESCO kewenangan untuk memetakan kursus media
masa depan. Dalam deklarasi bersama yang diadopsi dengan suara bulat oleh 63 delegasi dari 21 negara, UNESCO didesak untuk meninggalkan upaya untuk mengatur informasi
global dan berusaha bukan untuk solusi praktis untuk Media Dunia Ketiga kemajuan. Tapi UNESCO telah memberitahukan akan melanjutkan dengan program, diwajibkan untuk
mengizinkan diskusi dan kemungkinan tindakan pada proposal tidak dapat diterima ke Barat. Mereka menghadiri konferensi bersejarah ini menyatakan bahwa mereka sangat
prihatin dengan kecenderungan yang berkembang di banyak negara dan badan-badan internasional untuk menempatkan kepentingan pemerintah di atas kepentingan individu,
terutama dalam hal informasi.
26
translate.googleusercontent.comtranslate_c?depth=3nv=1rurl=translate.google.comtl=idu =http:www.wpfc.org3Fq3Dnode32usg=ALkJrhjSZzJOu2eluc4aueh6qhIDFHuKPg
Universitas Sumatera Utara
menjanjikan dukungannya. Deklarasi yang berikut adalah pernyataan dari prinsip-prinsip yang diadopsi
27
Juga sadar bahwa kita memiliki keyakinan yang sama, sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki
dan perempuan, dan bangsa-bangsa besar dan kecil, Mengingat apalagi bahwa penandatangan tindakan terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa
menyimpulkan pada tahun 1975 di Helsinki, Finlandia, berjanji diri untuk mendorong :
Berikut adalah teks dari Deklarasi Talloires, diadopsi oleh pemimpin organisasi berita independen dari 21 negara di Voices of Freedom Conference di Talloires, Prancis,
15-17 Mei, 1981 - pernyataan prinsip-prinsip mana suatu berlangganan media massa dunia bebas , dan yang tidak akan pernah berkompromi.
Kami wartawan dari berbagai belahan dunia, wartawan, editor, fotografer, penerbit dan penyiar, dihubungkan oleh dedikasi kita bersama untuk pers bebas, Pertemuan di
Talloires, Perancis, dari 15-17 Mei 1981, untuk mempertimbangkan cara-cara untuk meningkatkan aliran bebas informasi di seluruh dunia, dan untuk menunjukkan tekad kita
untuk menolak perambahan apapun pada arus bebas ini, Bertekad untuk menegakkan tujuan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang
dalam Pasal 19 menyatakan, Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide-ide melalui media tanpa batas, Mengingat komitmen konstitusi United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization untuk mempromosikan aliran bebas ide dengan kata dan gambar,
27
ibid
Universitas Sumatera Utara
aliran bebas dan penyebaran informasi yang lebih luas dari semua jenis, untuk mendorong kerja sama di bidang informasi dan pertukaran informasi dengan negara-negara lain, dan
untuk meningkatkan kondisi di mana wartawan dari satu negara yang berpartisipasi latihan profesi mereka di negara lain yang berpartisipasi dan menyatakan niat mereka secara
khusus untuk mendukung peningkatan sirkulasi akses dan pertukaran informasi
28
28
teks dari Deklarasi Talloires, diadopsi oleh pemimpin organisasi berita independen dari 21 negara di Voices of Freedom Conference di Talloires, Prancis, 15-17
Mei, 1981 - pernyataan prinsip-prinsip mana suatu berlangganan media massa dunia bebas , dan yang tidak akan pernah berkompromi.
,
Menyatakan bahwa: 1. Kami menegaskan komitmen kami terhadap prinsip ini dan mengajak semua
badan-badan internasional dan negara-negara untuk mematuhi setia kepada mereka. 2. Kami percaya bahwa aliran bebas informasi dan ide-ide sangat penting untuk
saling pengertian dan perdamaian dunia. Kami menganggap pembatasan pada pergerakan berita dan informasi bertentangan dengan kepentingan pemahaman
internasional, melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, konstitusi UNESCO, dan babak terakhir dari Konferensi tentang Keamanan dan Kerjasama di
Eropa, dan tidak konsisten dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 3. Kami mendukung hak asasi manusia yang universal untuk diberi informasi yang
lengkap, yang tepat memerlukan sirkulasi bebas dari berita dan opini. Kami penuh semangat menentang setiap campur tangan dengan hak dasar ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Kami bersikeras bahwa akses gratis, oleh rakyat dan pers, untuk semua sumber informasi, baik resmi maupun tidak resmi, harus terjamin dan diperkuat.
Menyangkal kebebasan pers membantah semua kebebasan individu. 5. Kami menyadari bahwa pemerintah, di negara-negara maju dan berkembang,
sering membatasi atau mencegah pelaporan informasi yang mereka anggap merugikan atau memalukan, dan bahwa pemerintah biasanya memanggil
kepentingan nasional untuk membenarkan kendala tersebut. Kami percaya, bagaimanapun, bahwa kepentingan rakyat, dan oleh karena itu kepentingan bangsa,
lebih baik dilayani oleh pelaporan yang bebas dan terbuka. Dari kuat debat publik tumbuh pemahaman yang lebih baik dari masalah yang dihadapi bangsa dan
rakyatnya, dan keluar dari pemahaman perubahan yang lebih besar untuk solusi. 6. Kami percaya dalam setiap masyarakat yang kepentingan umum terbaik dilayani
oleh berbagai media berita independen. Hal ini sering disarankan bahwa beberapa negara tidak dapat mendukung banyaknya jurnal cetak, radio dan stasiun televisi
karena ada dikatakan kurangnya basis ekonomi. Dimana berbagai media independen tidak tersedia untuk alasan apapun, saluran informasi yang ada harus mencerminkan
sudut pandang yang berbeda. 7. Kami mengakui pentingnya iklan sebagai layanan konsumen dan dalam
memberikan dukungan keuangan untuk pers yang kuat dan mandiri. Tanpa kemandirian finansial, pers tidak bisa mandiri. Kami mematuhi prinsip bahwa
keputusan editorial harus bebas dari pengaruh iklan. Kami juga mengakui iklan sebagai sumber informasi yang penting dan pendapat.
Universitas Sumatera Utara
8. Kami menyadari bahwa teknologi baru telah memfasilitasi arus informasi internasional dan bahwa media massa di banyak negara belum cukup manfaat dari
kemajuan ini. Kami mendukung semua upaya oleh organisasi internasional dan badan-badan publik dan swasta lainnya untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini
dan untuk membuat teknologi ini tersedia untuk mempromosikan kemajuan dunia pers dan media penyiaran dan profesi jurnalistik.
9. Kami percaya bahwa perdebatan tentang berita dan informasi dalam masyarakat modern yang telah terjadi di UNESCO dan badan-badan internasional lainnya sekarang
harus dihukum tujuan konstruktif. Kami menegaskan kembali pandangan kita pada beberapa pertanyaan khusus yang timbul dalam proses perdebatan ini, yang yakin
bahwa: a.
Sensor dan bentuk lain dari kontrol sewenang-wenang dari informasi dan pendapat harus dihilangkan, hak rakyat untuk berita dan informasi tidak boleh dipersingkat.
b. Akses oleh wartawan untuk berbagai sumber berita dan opini, resmi atau tidak
resmi, harus tanpa pembatasan. Akses tersebut tidak terlepas dari akses masyarakat terhadap informasi.
c. Tidak akan ada kode etik jurnalistik internasional, pluralitas pandangan membuat
hal ini mustahil. Kode etik jurnalistik, jika diadopsi dalam suatu negara, harus dirumuskan oleh pers itu sendiri dan harus sukarela dalam aplikasi mereka. Mereka
tidak bisa dirumuskan, dipaksakan atau dipantau oleh pemerintah tanpa menjadi alat kontrol resmi pers dan oleh karena itu penolakan kebebasan pers.
d. Anggota pers harus menikmati perlindungan penuh dari hukum nasional dan
internasional. Kami tidak mencari perlindungan khusus atau status khusus dan
Universitas Sumatera Utara
menentang setiap proposal yang akan mengontrol wartawan atas nama melindungi mereka.
e. Seharusnya tidak ada pembatasan kebebasan setiap orang untuk berlatih jurnalisme.
Jurnalis harus bebas untuk membentuk organisasi untuk melindungi kepentingan profesional mereka.
f. Perizinan wartawan dengan menjadi pertanda nasional atau internasional tidak harus
dikenakan sanksi, atau harus persyaratan khusus dituntut wartawan sebagai pengganti lisensi mereka. Tindakan tersebut mengirimkan wartawan untuk kontrol
dan tekanan tidak konsisten dengan kebebasan pers. g.
Tanggung jawab profesional Pers adalah mengejar kebenaran. Untuk mengatur atau mandat tanggung jawab pers adalah untuk menghancurkan kemerdekaannya.
Penjamin akhir dari tanggung jawab jurnalistik adalah pertukaran bebas ide. h.
Semua kebebasan jurnalistik harus berlaku untuk media cetak dan siaran. Karena media penyiaran adalah pemasok utama berita dan informasi di banyak negara, ada
kebutuhan khusus bagi negara-negara untuk menjaga saluran siaran mereka terbuka untuk transmisi bebas dari berita dan opini.
10. Kami berjanji kerjasama dalam semua upaya tulus untuk memperluas arus informasi yang bebas di seluruh dunia. Kami percaya waktunya telah tiba dalam UNESCO dan
badan-badan antar pemerintah lainnya untuk meninggalkan upaya untuk mengatur konten berita dan merumuskan aturan untuk pers. Upaya harus diarahkan bukan untuk mencari
solusi praktis terhadap masalah sebelum kita, seperti meningkatkan kemajuan teknologi, meningkatkan susun profesional dan transfer peralatan, mengurangi tarif komunikasi,
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan kertas yang lebih murah dan menghilangkan hambatan lain untuk pengembangan kemampuan media berita.
Kepentingan kita sebagai insan pers, baik dari negara-negara maju atau berkembang, pada dasarnya adalah sama: Kita adalah deklarasi bersama untuk paling bebas, informasi yang
paling akurat dan tidak memihak yang berada dalam kemampuan profesional kami untuk memproduksi dan mendistribusikan. Kami menolak pandangan pers teoritisi dan para
pejabat nasional atau internasional yang mengklaim bahwa sementara orang-orang di beberapa negara siap untuk kebebasan pers, orang-orang di negara lain cukup berkembang
untuk menikmati kebebasan itu. Kami sangat prihatin dengan kecenderungan yang berkembang di banyak negara dan badan-badan internasional untuk menempatkan
kepentingan pemerintah di atas kepentingan individu, terutama dalam hal informasi. Kami percaya bahwa negara ada untuk individu dan memiliki kewajiban untuk menegakkan hak-
hak individu. Kami percaya bahwa definisi akhir dari kebebasan pers tidak terletak pada tindakan pemerintah atau badan-badan internasional, melainkan dalam profesionalisme,
semangat dan keberanian atau individu jurnalis. Kebebasan pers adalah hak dasar manusia. Kami berjanji diri untuk aksi bersama untuk menegakkan hak ini.
29
2. Berdasarkan Piagam Untuk Kebebasan Pers
Pers yang bebas berarti orang bebas. Untuk tujuan ini, prinsip-prinsip berikut, dasar aliran terkekang berita dan informasi baik di dalam dan lintas batas nasional, layak
29
ibid
Universitas Sumatera Utara
dukungan dari semua pihak berjanji untuk memajukan dan melindungi lembaga-lembaga demokratis.
30
a. Sensor, langsung atau tidak langsung, tidak dapat diterima, sehingga hukum dan
praktek membatasi hak media berita secara bebas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan informasi harus dihapuskan, dan pemerintah, nasional atau lokal,
tidak boleh mengganggu isi cetak atau siaran berita, atau membatasi akses ke sumber berita.
b. Media berita independen, baik cetak dan siaran, harus diizinkan untuk muncul dan
beroperasi secara bebas di semua negara. c.
Tidak boleh ada diskriminasi oleh pemerintah dalam pengobatan mereka, ekonomi atau sebaliknya, media berita dalam suatu negara. Di negara-negara tempat media
pemerintah juga ada, media independen harus memiliki akses gratis yang sama sebagai media resmi harus semua materi dan fasilitas yang diperlukan untuk
penerbitan atau penyiaran operasi. d.
Negara tidak harus membatasi akses ke kertas koran, fasilitas pencetakan dan sistem distribusi, pengoperasian kantor berita, dan ketersediaan frekuensi siaran dan
fasilitas. e.
Hukum, teknis dan tarif praktek oleh otoritas komunikasi yang menghambat distribusi berita dan membatasi aliran informasi dikutuk.
f. Media Pemerintah harus menikmati kemerdekaan editorial dan terbuka untuk
keragaman sudut pandang. Hal ini harus ditegaskan dalam hukum dan praktek.
30
http:translate.googleusercontent.comtranslate_c?depth=3nv=1rurl=translate.google.com tl=idu=http:www.wpfc.org3Fq3Dnode34usg=ALkJrhjBTc9FZmUsU4IY2IlpQo6yFxtjhw
Universitas Sumatera Utara
g. Harus ada akses tidak terbatas oleh media cetak dan penyiaran dalam suatu negara
untuk berita luar dan layanan informasi, dan masyarakat harus menikmati kebebasan yang sama untuk menerima publikasi asing dan siaran luar negeri tanpa
gangguan. h.
Batas negara harus terbuka kepada wartawan. Kuota tidak harus menerapkan, dan aplikasi untuk visa, tekan kepercayaan dan diperlukan dokumentasi lain untuk
pekerjaan mereka harus disetujui segera. Wartawan asing harus diizinkan untuk melakukan perjalanan secara bebas dalam suatu negara dan memiliki akses ke
sumber-sumber berita baik resmi maupun tidak resmi, dan diizinkan untuk impor dan ekspor secara bebas semua bahan profesional yang diperlukan dan peralatan.
i. Pembatasan pada gratis masuk ke bidang jurnalisme atau atas praktek, melalui
prosedur sertifikasi lainnya lisensi atau, harus dihilangkan. j.
Jurnalis, seperti semua warga negara, harus aman dalam diri mereka dan diberikan perlindungan penuh hukum. Jurnalis yang bekerja di zona perang diakui sebagai
warga sipil menikmati semua hak dan kekebalan yang diberikan kepada warga sipil lainnya.
31
Piagam ini untuk Free Press merupakan ketentuan yang disetujui oleh wartawan dari 34 negara di Voices of Freedom konferensi dunia tentang masalah sensor di London, 16-18
Januari, 1987. Konferensi ini diadakan oleh Komite Kebebasan Pers Dunia, bekerjasama dengan Asosiasi Surat Kabar Dunia, International Press Institute, Inter American Press
Association, North American National Association Broadcasters dan Federasi Internasional Periodical Press.
31
Piagam Untuk Kebebasan Pers
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan mewujudkan konsensus yang luas pada prinsip-prinsip yang diperlukan untuk memastikan bebas, media berita independen. Piagam tersebut telah dikutip setuju
pada OSCE dan pertemuan lainnya, resmi disahkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dan UNESCO Direktur Jenderal dan didukung oleh sejumlah organisasi jurnalistik di seluruh
dunia. Kami berharap Piagam ini akan sangat berguna di mana pun prinsip-prinsip kebebasan dan pers yang bebas diperlukan.
3. Perspektif Kemerdekaan Pers
Istilah “Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Pers” sering ditemui dalam berbagai referensi untuk menyebut pada makna yang sama.Kalimat “Kemerdekaan Pers” merupakan
terjemahan dari the freedom of the press, yang dapat dianologkan dengan arti free from the dom, atau bebas dari dari penguasa. Sedangkan, kalimat “Kebebasan Pers” merupakan
terjemahan dari liberty to atau bebas untuk melakukan.Kebebasan pers juga harus diartikan sebagai kebebasan untuk mempnuyai dan menyatakan pendapat melalui pers
32
John C. Merrill dalam bukunya, The Dialetic in Journalism, Toward a Responsibility Use of Press Freedom,
33
32
Alex Sobur, Etika Pers : Profesionalisme Dengan Nurani, Cet 1, Maret 2001 Bandung, Humaniora Utama Press, hal. 331. Alex mengambil sumber ini dari Hasim Nangtjik, Arti dan Konsep Kebebasan Pers :
Kasus Indonesia” dalam Tidar, Herald, dan Suryadi, Petrus ed., Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi : Perkembangan, Permasalahan dan Perspektifnya Jakarta, Sinar Harapan : 1986
33
Ibid, hal. 329. Alex mengambil sumber ini dari William Hachten, The World News Prism. Ames : Iowa State University Press.
menyebutkan bahwa kata-kata kebebasan pers, sebenarnya memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang memungkinkan para pekerja
pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan mereka. Pengertian ini menyiratkan bahwa kebebasan pers mencakup kebebasan negatif bebas
Universitas Sumatera Utara
dari dan kebebasan positif bebas untuk. Secara filosofis, konsep “bebas dari” merupakan pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yg berarti “kondisi yang memungkinkan
seseorang tidak dipaksa untuk melakukan perbuatan tertentu”. Sementara konsep “bebas untuk” merupakan pemikiran Jean Jasques Rousseau dan G.W.F. Hegel, yang berarti
“kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya”.
34
Susanto-Sunario dalam Globalisasi dan Komunikasi, mengatakan bahwa dalam analisis kebebasan sosial, biasanya diadakan penganalisaan berdasarkan nilai “positif” dan
“negatif”, perdebatan mana tidak akan berakhir karena nilai erat hubungnnya dengan budaya dan tingkat pendidikan, serta latar belakang keluarga. Karenanya, sebaiknya
kebebasan nilai sosial dilihat dari segi : bebas untuk apa dan bebas dari apa.
35
Konsep bebas untuk apa? Ialah jenis kebebasan yang menunjukkan kepada kebebasan eksistensial,
yakni untuk memilih jenis pendidikan yang menurut diri adalah terbaik untuk dirinya. Dengan demikian, kebebasan seseorang untuk memilih bidang kewartawanan jurnalistik
sebagai profesi dan sumber nafkahnya adalah kebebasan eksistensialnya. Tolak ukur “bebas dari apa?” akan dijawab dengan segera oleh pers sebagai bebas dari sensor.
36
34
Ibid, hal. 332
35
Ibid. Alex mengambil sumber dari Susanto, Globalisasi dan Komunikasi. 1993 Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
36
Ibid
Namun demikian, kebebasan tanpa sensor, dimaknai tidak secara mutlak. Tetapi, tetap ada
pembatasan sesuai dengan etika profesionalisme jurnalistik yang dilakukan di pra pemberitaan.
Universitas Sumatera Utara
Albert Camus mengungkapkan, bahwa kemerdekaan pers tidak mati sendirin. Pada waktu bersamaan, keadilan akan diasingkan selama-lamanya, bangsa mulai merintih sakit
dan yang tak bersalah akan disalibkan berkali-kali setiap hari. Dengan kata lain, kemerdekaan pers adalah ekspresi pribadi paling asasi yang harus dijamin di manapun,
siapa pun, dan kapan pun. Ini artinya, ditiadakannya kebebasan pers merupakan kemunduran dari permukaan bumi, berbagai tujuan ideal kehidupan pun akan ikut
terkubur.
37
Penggunaan kedua istilah tadi secara yuridis pun masing-masing pernah digunakan, misalnya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers dalam Pasal 5 Ayat 1 : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara di jamin” dan Pasl 5 Ayat 2 : “Kebebasan pers ini didasarkan atas tanggungjawab nasional
dan pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang ini”.
38
Undang-Undang ini selanjutnya mengalami penambahan melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan perubahan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Kemudian
diganti dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Di ketentuan perundang-undangan pers yang baru, istilah “kebebasan pers” tidak lagi digunakan. Tetapi
diganti dengan istilah “kemerdekaan pers”, ia diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”, kemudian Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara, Pasal 4
37
Nurudin, Pers dalam Lipatan Kekuasaan : Tragedi Pers Tiga Zaman, Cet 1, Januari 2003 Malang, UMM Pers, hal. 1.
38
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU No. 11. Tahun 1966, LN No. 40, tahun 1966 UU 11 Op. Cit., Pasal 5 Ayat 1, 2.
Universitas Sumatera Utara
Ayat 2 menerangkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Dalam Pasal 4 Ayat 3 disebutkan bahwa untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dan Pasal 4 Ayat 4, mengatakan bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
39
Landasan hukum tentang kemerdekaan atau kebebasan pers di atas, diperkuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar UUD 1945 Pasal 28 F sebagai berikut: Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
40
Wikrama dalam bukunya
41
Sejalannya ide kemerdekaan pers dalam ranah hukum positif Negara kita, tidak terlepas dari gagasan normatif yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi
mengatakan, dari bunyi pasal di atas ada beberapa frase kunci yang dapat ditafsirkan sebagai kemerdekaan pers, yaitu: hak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Namun demikian, penyebutan kemerdekaan pers masih
sebatas implisit, bukan eksplisit. Sehingga ketika mengatakan kemerdekaan pers disini hanyalah sebuah tafsiran saja, dan ini membuka peluang yang sama untuk lainnya
menafsirkan sesuai kepentingannya.
39
UU 40, Op. Cit, Ps. 1 Ayat 1, 2, 3, 4.
40
Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002.
41
Wikrama, Op. Cit., hal 39 et Seq.
Universitas Sumatera Utara
Manusia DUHAM, sebagai berikut: Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DALAM MELINDUNGI PERS DI
NEGARA YANG SEDANG BERKONFLIK A. Definisi Negara Yang Sedang Berkonflik
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang disebut bangsa dan telah mendiami wilayah tertentu42
Defenisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black. Beliau mendefenisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu
wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum, yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta
bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.
Negara merupakan subyek hukum yang terpenting par-excelence dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Sebagai
subyek hukum internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional. J.L. Brierly memberi batasan negara ini sebagai suatu lembaga institution,
yaitu suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan dan melaksanakan kegiatan- kegiatannya. Fenwick mendefenisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang
diorganisir secara tetap, menduduki, dan hidup dalam suatu batas daerah, bebas dari pengawasan negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka
bumi.
42
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1998, hal.142
Universitas Sumatera Utara
Meskipun telah banyak sarjana yang mengemukakan defenisi atau criteria tersebut namun secara umum apa yang telah dikemukakan diatas, tidak jauh bedanya dengan unsur
‘tradisional’ suatu negara yang tercantum dalam pasal 1 Montevideo Pan American Convention on Rights and Duties of States of 1933. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“The State a person of international law should posses the following qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, and a capacity to enter into
relation with other States.”
43
a. Harus ada rakyat yang permanen
Unsur-unsur diatas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum internasional seperti Oppenheim-Lauterpacht. Berikut adalah uraian tentang masing-masing unsur
tersebut.
Rakyat yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum
nasional. Sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda, dan memiliki kelompok
kepentingan yang saling bertentangan. Syarat penting untuk unsure ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik organized population.
Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik ‘hidup’ berdampingan dengan masyarakat dis-organized.
44
b. Harus ada wilayah atau daerah yang tetap
43
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, hal.2
44
Ibid, hal.3
Universitas Sumatera Utara
Ada wilayah atau daerah yang tetap, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain a wandering people bukan
termasuk kedalam unsur ini. Tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu
kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak. Unsur ini dan unsur a tidak ada
batas tertentu, baik jumlah penduduk maupun luas daerahnya.
45
c. Harus ada pemerintahan
Untuk menjadi negara tidaklah prlu memiliki wilayah yang tetap atau memiliki batas-batas negara yang tidak sedang dalam sengketa. Sebagai contoh, sejak
merdeka hingga kini, RI masih memiliki batas-batas wilayah laut yang belum jelas, bahkan menjadi sengketa di pengadilan internasional. Sengketa kepemilikan pulau
Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia di Mahkamah internasional, atau batas landas kontinen antara RI dan Australia adalah sekedar beberapa contoh saja. Dalam
putusan pengadilan, lahir suatu prinsip yaitu bahwa suatu negara dapat diakui sebagai negara asalkan ia mempunyai wilayah betapapun besar kecilnya sepanjang
wilayah tersebut cukup konsisten sufficient consistency.
Yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, dan memerintah menurut hukum negaranya. Suatu masyarakat yang anarchis bukan termasuk negara. Beng
Bromst menyebut kriteria ini sebagai ‘organized government’ pemerintahan yang terorganisir. Bentuk pemerintahan yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya
bergantung kepada rakyatnya. Apakah itu berupa republic, kerajaan atau bentuk
45
Ibid, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang rakyatnya kehendaki. Hukum internasional menghendaki agar pemerintah mempunyai kekuasaan yang stabil dan efektif atas seluruh rakyat dan
wilayahnya. Yang dimaksud dengan kekuasaan yang efektif adalah pemerintah harus mempunyai kapasitas yang nyata untuk melaksanakan semua fungsi
kenegaraan dan kedaulatannya.
46
d. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
Untuk unsur keempat ini, Oppenheim-Luterpacht menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” sovereign. Yang dimaksud dengan pemerintah
yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun keluar batas-batas negeri. Dalam hubungan internasional, kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah
sebuah keharusan demi menjadi bagian dari masyarakat internasional dan subjek hukum internasional. Pada dasarnya, peran penting dari kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan negara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan negara itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama, tidak ada satupun negara di dunia ini
yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu setiap negara membutuhkan negara lain.
Setelah keempat unsur diatas terpenuhi, maka suatu negara yang ingin diakui eksistensinya sebagai subjek hukum internasional juga memerlukan unsur deklaratif berupa
pengakuan. Pengakuan adalah tindakan yang dilakukan oleh satu atau beberapa negara yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu dari masyarakat yang terorganisir secara
46
Ibid, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
politis, yang tidak terikat pada negara lain, dan mempunyai kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, dan dengan cara tersebut negara yang
mengakui menyatakan kehendak untuk menganggap negara yang diakui sebagai bagian dari masyarakat internasional.
47
Dalam bukunya The Web of Government, Mc. Iver
48
a. A tri partite classification of state
mengemukakan adanya 2 dua macam system pengklasifikasian negara, yaitu:
Klasifikasi tentang bentuk negara dengan system yng pertama ini disebut juga sebagai sistem tradisionel classification, dimana system ini menggunakan dasar atau
kriteria “pemegang kekuasaan pemerintahan negara”. Hal ini mempunyai dua macam tujuan yaitu:
1 Untuk mengetahui jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintahan.
2 Untuk mengetahui sifat daripada pemerintahan
b. A bi partite classification of state
Dasar atau kriteria dari sistem klasifikasi ini adalah dasar atau alasan yang bersifat praktis, yaitu menggunakan dasar-dasar konstitusional, yang meliputi hal-hal sebagai
berikut: 1
Sifat hubungan antara satu orang yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan negara dengan beberapa orang yang memegang kekuasaan negara sebagai
pendukungnya.
47
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 176
48
Mc. Iver, The Web of Government, New York: The Macmillan, 1951, hal 147
Universitas Sumatera Utara
2 Sifat hubungan antara beberapa orang yang memegang pucuk pimpinan
pemerintahan negara dengan rakyat yang diperintahnya.
49
Dengan berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, apabila terdapat bebrapa orang yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara tersebut dan dapat mempertanggungjawabkan segala aktiftas yang dilaksanakan kepada rakyat. Negara semacam ini dinamakan negara demokrasi. Kedua,
sedangkan apabila tidak terdapat hubungan pertanggungjawaban antara pemegang kekuasaan dalam pemerintah dengan rakyat, maka negara tersebut dinamakan negara
oligarki. Jadi penggolongan negara dengan sistem a bi partite classification of state ini menghasilkan dua golongan besar negara, yaitu negara demokrasi dan negara oligarki.
Berbeda dengan Mc. Iver, Kranenburg dalam melakukan klasifikasi negara berdasarkan kriteria sebagai berikut: Kriteria pertama dapat dibedakan menjadi 2 dua
yaitu; Pertama, Sifat hubungan antara fungsi-fungsi dengan organ-organ yang ada dalam negara, apakah fungsi-fungsi negara tersebut hanya dipusatkan pada satu organ atau
dipisah-pisahkan dan didistribusikan kepada beberapa organ. Kedua, Sifat dari organ itu sendiri, bahwa fungsi-fungsi negara tersebut dipusatkan pada satu organ, serta
bagaimanakah sifat hubungan antara organ-organ tersebut. Dengan berdasarkan kriteria pertama ini, negara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
50
49
Suryo S Hadiwijoyo, op.cit., hal 14
50
Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UGM Press, 2005, hal 188
Negara dimana semua fungsi atau kekuasaan negara tersebut dipusatkan pada satu organ. Negara demikian ini adalah
negara yang melaksanakan sistem absolut. Kemudian Negara dimana fungsi-fungsi atau kekuasaan negara tersebut dipisah-pisahkan, pemisahan kekuasaan ini biasanya yang dianut
Universitas Sumatera Utara
adalah teori pemisahan kekuasaan dari Montesque, dimana kemudian masing-masing kekuasaan tersebut diserahkan atau didistribusikan kepada beberapa organ. Berdasarkan hal
tersebut, maka negara yang melaksanakan system pemisahan kekuasaan dapat diklasifikasikan menjadi, negara dengan sistem pemerintahan Presidensil, negara dengan
sistem pemerintahan Parlementer, dan negara dengan sistem Referendum. Kriteria yang kedua yang dipergunakan atau dikemukakan oleh Kranenburg
mengklasifikasi bentuk negara berdasarkan perkembangan sejarah, dan penjenisan negara yang timbul dari perkembangan politik jaman modern. Berdasarkan kriteria ini negara
dapat diklasifikasikan sebagai, negara-negara dalam bentuk-bentuk historis yaitu; federasi negara-negara dari jaman kuno, sistem provincia Romawi, negara-negara dengan system
feodal. Kemudian negara-negara dalam bentuk modern, yaitu; Perserikatan negara-negara atau Statebund, negara serikat atau Bundestaat, negara kesatuan atau negara unitaris, dan
negara persemakmuran bersama Inggris British Commonwealth of Nations. Kelsen dalam Poerbopranoto menyatakan bahwa persoalan tentang syarat-syarat
berdirinya sebuah negara, yakni dengan pertanyaan apakah suatu bentuk masyarakat telah memenuhi persyaratan tertentu sehingga merupakan “negara”, itu adalah persoalan yang
bersifat hukum yuridis.
51
51
Kontjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Etresco, 1987, hal. 2
Dengan kata lain, suatu bentuk masyarakat itu dapat dinamakan “negara”, ditentukan menurut pertimbangan dan norma hukum, yakni hukum negara.
Ketentuan tentang cara penyusunan suatu negara dan perlengkapan negara, dan juga cara negara beserta lembaga-lembaga dan kelengkapannya tersebut bekerja, dimana hal tersebut
sebagian terletak dilapangan hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan.
Universitas Sumatera Utara
Hestu Cipto Handoyo
52
menyatakan bahwa bangunan negara berkaitan erat dengan susunan dan struktur negara. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Hestu secara garis
besar dikenal adanya 3 tiga macam bangunan negara, yaitu Negara Kesatuan Unitaris, Negara Serikat Federalis, dan Serikat Negara-negara Konfederalis. Negara disebut
Negara Kesatuan apabila hanya terdapat satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat Undang-undang yang berlaku di negara tersebut, yakni Pemerintah pusat, sedangkan
Pemerintah Daerah Local Government hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dikenal adanya dua
negara kesatuan, khususnya bila ditinjau dari asas penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu; Pertama, Negara Kesatuan dengan asas Sentralisasi; Kedua, Negara Kesatuan dengan
asas Desentralisasi.
53
Bangunan Negara Serikat Federalis, apabila dalam negara tersebut antara Pemerintah Pusat Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian mempunyai
wewenang yang sama dalam membentuk Undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah Federal berlaku untuk seluruh wilayah negara, sedangkan undang-undang yang dibuat oleh
pemerintah Negara Bagian hanya berlaku untuk Negara Bagian saja. Sedangkan sebuah negara dinyatakan sebagai Negara Konfederalis apabila negara terdiri dari gabungan
beberapa negara yang sejak semula berdaulat, dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi- fungsi tertentu. Penggabungan tersebut tidak menghilangkan kedaulatan dari masing-
masing negara. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas
52
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Atmajaya, 2003, hal. 87
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa
perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal
ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta
kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat
ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan
kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap
manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi
pikirannya. Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan
berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa
serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana
Universitas Sumatera Utara
pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat
terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik
yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara,
tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah- masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama
atau dapat melebihi. Dewasa ini pada masa damai, sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang
dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi
keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya
tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik
menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan.
Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim
sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi
faktor keamanan dan pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
B. Jenis-jenis Negara yang sedang berkonflik
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1. “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”international
armed conflict; serta 2.
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” non-international armed conflict.
Bagaimana membedakan ke dua jenis konflik tersebut ? Perbedaan utama antara ‘non- international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status
hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara sebagaimana dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949; atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai
dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 4 juncto Pasal 96 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977.
54
Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk
konflik bersenjata, antara lain : Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war
proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi
54
http:arlina100.wordpress.com20090111konflik-bersenjata-internasional-dan-konflik- bersenjata-non-internasional-apa-bedanya
Universitas Sumatera Utara
pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.
55
a. Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1,
Paragraf 3. 1.
Konflik bersenjata antara pihak peserta negara dengan bukan pihak peserta negara atau penguasa de facto, misalnya penguasa yang
memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa danatau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2,
Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
2. Konflik bersenjata antar pihak peserta negara dan bukan pihak
peserta negara atau penguasa de facto, yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2,
Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II penguasa : authority. 3.
Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta non-contracting parties. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa
Pasal 3 penguasa, Marthen Clause, Protokol 2 penguasa. 4.
Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional pemberontakan. Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum
Internasional Publik.
55
http:dewaarka.wordpress.com20100308hukum-humaniter-internasional
Universitas Sumatera Utara
5. Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum
Publik Hukum Pidana.
56
b. Haryomataram, membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
1 Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional War Of National Liberation dan konflik bersenjata internal
yang diinternasionalisir Internationalized Internal Armed Conflict. Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi
antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara non-state entity di
pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini
Pasal 1 ayat 4 protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau
bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
57
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-
international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan
56
Ibid
57
ibid
Universitas Sumatera Utara
penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara misalnya negara A berperang melawan negara B. Sengketa
bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat 4 jo. Pasal
96 ayat 3 Protokol Tambahan I tahun 1977.
2 Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara
civil war misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang
pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal
saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
58
58
http:b2hr-rakyat.blogspot.com201211hukum-perang-humaniter-internasional.html
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non- internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka
tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk
merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
Universitas Sumatera Utara
a. Dieter Fleck , Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara
penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan
bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.
b. Pietro Verri, Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara
angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara
antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan
seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata
non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara. c.
Hans-Peter Gasser, Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan
kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner,
kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah- istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk
memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik
seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak
Universitas Sumatera Utara
minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-
Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang
berperang belligerent, maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas.
Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern internal character dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan
atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah
de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari
pihak pemberontak. Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa
bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut
59
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota- anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang
tidak lagi turut serta hors de combat karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain :
59
ibid
Universitas Sumatera Utara
apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau
kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk
dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga : 1.
Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
2. Penyanderaan;
3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan
merendahkan martabat; 4.
Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang
memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
60
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1.
Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau
sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949,
sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil Convention in Miniature. Selanjutnya
60
ibid
Universitas Sumatera Utara
Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam
sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan- persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan
bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1.
Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam
pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu
negara.
61
C. Konsepsi Perlindungan Pers Yang Berada Dalam Negara Yang Sedang Berkonflik