Studi Komparatif Sistem Penggemukan Sapi Kereman di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar
STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI
KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR
DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH
KABUPATEN ACEH BESAR
TESIS
OLEH :
SURYANI
107040002
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(2)
STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI
KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR
DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH
KABUPATEN ACEH BESAR
TESIS
Oleh :
SURYANI
107040002
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(3)
STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI
KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR
DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH
KABUPATEN ACEH BESAR
TESIS
Oleh : SURYANI 107040002
Untuk memperoleh Gelar Magister Peternakan dalam Program Studi Ilmu Peternakan
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(4)
Judul : Studi Komparatif Sistem Penggemukan Sapi Kereman di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar Nama Mahasiswa : Suryani
NIM : 107040002
Program Studi : Ilmu Peternakan
Menyetujui oleh : Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS
Anggota
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir.Darma Bakti, MS
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri di bawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain.
Medan, April 2013
Suryani NIM 107040002
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Matang Mesjid (Bireuen) pada tanggal 12 Desember 1963 dari Ayahanda Alm M. Yusuf dan Ibunda Hj. Aisyah sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara.
Penulis menyelesaikan sekolah menengah umum di SMA Negeri 1 Peusangan pada Tahun 1984. Tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana Peternakan dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Pada Tahun 1993 penulis diterima di sekolah tinggi pertanian Almuslem sebagai tenaga pengajar pada program studi peternakan. Pada Tahun 2007 penulis lulus PNS di Dinas Peternakan Kabupaten Bireuen. Penulis bekerja sebagai tenaga penyuluh pertanian lapangan di BP3K Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen sampai sekarang.
Pada Tahun 2010 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister pada Fakultas Pertanian Sumatera Utara Program Studi Ilmu Peternakan.
(7)
ABSTRAK
SURYANI. Studi Komparatif Sistem Penggemukan Sapi Kereman di Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar, dibimbing oleh : Hasnudi sebagai ketua komisi pembimbing dan Ma’ruf Tafsin sebagai anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September Tahun 2012 di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi produktivitas sapi kereman di kedua daerah, mengetahui kelayakan secara finansial dan menganalisis strategi pengembangan usaha penggemukan sapi kereman di Bantaran Sungai Kabupaten Aceh Besar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan observasi lokasi penelitian dengan bantuan kuisioner, menggunakan data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi linier berganda dan strategi analisis SWOT. Hasil analisis regresi menunjukkan variabel hijauan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap produktivitas sapi kereman di kedua daerah. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi kereman di kedua daerah layak untuk dilaksanakan. Hasil uji t menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) nilai (NBCR >1), (NPV>0) dan (IRR ≥40%) antara Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai.
Strategi Pengembangan sapi kereman di Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar berfokus pada WO yaitu memanfaatkan seluruh peluang dengan cara meminimalkan kelemahan, antara lain 1) peningkatan pengetahuan peternak dalam usahanya melalui tenaga penyuluh, 2) pemanfaatan teknologi dan informasi dalam pengelolaan hasil samping peternakan 3) pemanfaatan lahan yang tersedia dalam pengembangan usaha.
Kata kunci : Bantaran Sungai Krueng Aceh, Sapi Kereman, Analisi Regresi, Analisis Finansial, Strategi Pengembangan
(8)
ABSTRACT
SURYANI. Comparative Study of Kereman System of Feedlot Cattle in Land and Outer Land River of Krueng Aceh, Aceh Besar district, guided by: Hasnudi as chairman commission and Ma’ruf Tafsin as member commission.
Study of Comparative Kereman system cattle production in River Land and out of Krueng Aceh, Aceh Besar District was presented conducted from April to September, 2012.The studies was determined by variables affective the productivity, financial analysis, also strategy of Kereman system cattle in the Kreung Aceh, Aceh Besar district. The method of these study were used observation and survey with questioner data. The statistical analysis data using by
multiple linier regression and the strategy analysis using SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Treats). The results indicated that variable
forages affected (p<0,05) on cattle productions for both area. The results of the financial analysis showed that Kereman system of feedlot were feasible but have no differences (p>0,05), the results were obtained (NBCR >1), (NPV>0) and (IRR ≥40%) between the River Land area and Outer Regional. Strategy of development Kereman system of feedlot cattle in the River Land area Krueng Aceh, Aceh Besar district were focused as 1) increasing knowledge of farmers in business through FEA, 2) using on the technology and information in the management of livestock byproduct 3 ) utilization of the available land in the development effort.
Keywords: River Land Krueng Aceh, Kereman system of Feedlot Cattle, regression analysis, Financial Analysis, Strategy Development
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul dari tesis ini adalah “Studi Komparatif Sistem Penggemukan Sapi Kereman Di Daerah Bantaran Sungai Dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar “.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS dan Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin M.Si. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rahmanta Ginting M.S. dan Ibu Dr. Nevy Diana Hanafi S.Pt, M.Si selaku dosen penguji. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP, selaku Ketua Program Magister Ilmu Peternakan, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MP, selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga tesis ini memberi manfaat bagi para pembaca.
Medan, April 2013
(10)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... Rumusan Masalah ... 3
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 4
Ruang Lingkup Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daya Saing Usaha Peternakan ... 6
Pengertian Produktivitas ... 7
Pengukuran Produktivitas dengan Pendekatan Cobb-Douglas ... 10
Mentransformasi Persamaan Regresi Linier ... 11
Analisa Efisiensi Proses Produksi ... 12
Return to Scale ... 12
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong 13 Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong. 18 Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Daging Sapi ... 22
Kebijakan Output Daging Sapi ... 23
Kebijakan Input Pakan Ternak ... 25
BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27
Jenis dan Sumber data ... 27
Metode Pengumpulan sampel ... 28
Metode Analisis Data ... 28
Analisis Produktivitas ... 28
Analisis Finansial... ... 29
Analisis Strategi Pengembangan Sapi Kereman di Kabupaten Aceh Besar... ... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Aceh Besar ... 36
Gambaran Umum Responden ... 37
(11)
Tingkat Pendidikan Peternak Responden ... 38
Jumlah Tanggungan Peternak Responden ... 39
Pengalaman Peternak Responden ... 39
Status Pekerjaan ... 40
Sistem Pemeliharaan Sapi ... 40
Pemberian Pakan ... 41
Perkandangan ... 42
Tenaga Kerja ... 43
Pemasaran ... 43
Hasil Analisis ... 44
Hasil Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi ...Produktivitas Sapi Potong ... 48
Hasil Analisis Finansial... 50
Hasil Analisis Strategi Pengembangan Sapi Kereman di Kabupaten Aceh Besar ... 53
KESIMPULAN Kesimpulan ... 65
Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
(12)
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Umur Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar ... 37
2. Tingkat Pendidikan Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar.... 38
3. Jumlah Tanggungan Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar .. 39
4. Pengalaman Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar ... 39
5. Karakteristik responden di lokasi penelitian berdasarkan status Pekerjaan ... 40
6. Hasil Uji F di Kabupaten Aceh Besar ... 44
7. Uji Individual pengaruh batang pisang, hijauan, tenaga kerja, bobot awal terhadap produktivitas sapi kereman di Kabupaten Aceh Besar ... 46
8. Rataan Variabel yang diamati di Kabupaten Aceh Besar ... 49
9. Analisis Parameter Finansial ... 51
10. Anaisis Parameter Teknis ... 53
11. Matriks IFAS ... 58
(13)
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Kerangka Penyusunan Formula Strategi ... 31
2. Matriks SWOT ... 33
3. Penentuan Matriks Grand Strategy ... 34
4. Jenis Pakan yang digunakan di Lokasi Penelitian ... 41
5. Kandang yang digunakan untuk penggemukan... 42
6. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar ... 60
7. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar ... 61
8. Matriks Grand Strategy di Daerah Bantaran Sungai Kabupaten Aceh Besar ... 62
9. Matriks Grand Strategy di Luar Daerah Bantaran Sungai Kabupaten Aceh Besar ... 62
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1.. Karakteristik Peternak Sampel di Daerah Bantaran Sungai
Kabupaten Aceh Besar ... 71 2.Karakteristik Peternak Sampel di Luar Daerah Bantaran Sungai
Kabupaten Aceh Besar ... 72 3. Perincian Rata-Rata Penggunaan Biaya Peralatan Tahun ke-0 Pada
Usaha Penggemukan Sapi Potong Pola 2 Ekor di Daerah Bantaran
Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai ... 73 4. Perincian Biaya Investasi Tahun Ke- 1, 2, Dan 3 Pada Usaha
Penggemukan Sapi Potong Pola 2 Ekor di Daerah Bantaran
Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai ... 74 5. Perincian Biaya Operasional Usaha Penggemukan Sapi Potong Pola 2
Ekor per Tahun di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran
Sungai… ... 75 6. Perincian Biaya Penyusutan Kandang Dan Peralatan yang dipergunakan dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong Pola 2 ekor di Bantaran
Sungai dan Luar Bantaran Sungai ... 76 7. Perincian Biaya Penerimaan Tahun ke-1, 2, dan 3 Pada Usaha
Penggemukan Sapi Potong Pola 2 Ekor di Daerah Bantaran
Sungai ... 77 8. Perincian Biaya Penerimaan Tahun ke-1, 2, dan 3 Pada Usaha
Penggemukan Sapi Potong Pola 2 Ekor di Luar Daerah Bantaran
Sungai ... 78 9. Analisa Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Potong Pola 2 Ekor
Di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai ... 79 10. Rincian Produktivitas Sapi Potong di Daerah Bantaran Sungai ... 80 11. Hasil Olah data Regresi di Daerah Bantaran Sungai ... 81 12. Rincian Produktivitas Sapi Potong di luar Daerah Bantaran Sungai . 82 13. Hasil Olah data Regresi Luar Daerah Bantaran Sungai ... 83 14. Perhitungan NPV, NBCR dan IRR Pada Usaha Penggemukan
Sapi Potong di Derah Bantaran Sungai ... 86 15. Perhitungan NPV, NBCR dan IRR Pada Usaha Penggemukan
Sapi Potong di Luar Daerah Bantaran Sungai... 88 16. Hasil Uji t Produktivitas Sapi Kereman di Daerah Bantaran Sungai
dan Luar Bantaran Sungai ... 90 17. Hasil Uji t Konsumsi Batang Pisang di Daerah Bantaran Sungai
dan Luar Bantaran Sungai ... 91 18. Hasil Uji t Konsumsi Hijauan di Daerah Bantaran Sungai dan
Luar Bantaran Sungai ... 92 19. Hasil Uji t Tenaga Kerja di Daerah Bantaran Sungai dan
Luar Bantaran Sungai ... 93 20. Hasil Uji t Bobot Awal Bakalan di Daerah Bantaran Sungai
dan Luar Bantaran Sungai ... 94 21. Hasil Uji t Tingkat Konsumsi di Daerah Bantaran Sungai
(15)
dan Luar Bantaran Sungai ... 96 23. Hasil Uji t NBCR pada Df 18% di Daerah Bantaran Sungai
dan Luar Bantaran Sungai ... 97 24. Hasil Uji t IRR pada Df 40% di Daerah Bantaran Sungai
dan Luar Bantaran Sungai ... 98 25. Kuisioner Penelitian ... 99 26. Peta Kabupaten Aceh Besar ... 101
(16)
ABSTRAK
SURYANI. Studi Komparatif Sistem Penggemukan Sapi Kereman di Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar, dibimbing oleh : Hasnudi sebagai ketua komisi pembimbing dan Ma’ruf Tafsin sebagai anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September Tahun 2012 di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi produktivitas sapi kereman di kedua daerah, mengetahui kelayakan secara finansial dan menganalisis strategi pengembangan usaha penggemukan sapi kereman di Bantaran Sungai Kabupaten Aceh Besar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan observasi lokasi penelitian dengan bantuan kuisioner, menggunakan data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi linier berganda dan strategi analisis SWOT. Hasil analisis regresi menunjukkan variabel hijauan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap produktivitas sapi kereman di kedua daerah. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi kereman di kedua daerah layak untuk dilaksanakan. Hasil uji t menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) nilai (NBCR >1), (NPV>0) dan (IRR ≥40%) antara Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai.
Strategi Pengembangan sapi kereman di Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar berfokus pada WO yaitu memanfaatkan seluruh peluang dengan cara meminimalkan kelemahan, antara lain 1) peningkatan pengetahuan peternak dalam usahanya melalui tenaga penyuluh, 2) pemanfaatan teknologi dan informasi dalam pengelolaan hasil samping peternakan 3) pemanfaatan lahan yang tersedia dalam pengembangan usaha.
Kata kunci : Bantaran Sungai Krueng Aceh, Sapi Kereman, Analisi Regresi, Analisis Finansial, Strategi Pengembangan
(17)
ABSTRACT
SURYANI. Comparative Study of Kereman System of Feedlot Cattle in Land and Outer Land River of Krueng Aceh, Aceh Besar district, guided by: Hasnudi as chairman commission and Ma’ruf Tafsin as member commission.
Study of Comparative Kereman system cattle production in River Land and out of Krueng Aceh, Aceh Besar District was presented conducted from April to September, 2012.The studies was determined by variables affective the productivity, financial analysis, also strategy of Kereman system cattle in the Kreung Aceh, Aceh Besar district. The method of these study were used observation and survey with questioner data. The statistical analysis data using by
multiple linier regression and the strategy analysis using SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Treats). The results indicated that variable
forages affected (p<0,05) on cattle productions for both area. The results of the financial analysis showed that Kereman system of feedlot were feasible but have no differences (p>0,05), the results were obtained (NBCR >1), (NPV>0) and (IRR ≥40%) between the River Land area and Outer Regional. Strategy of development Kereman system of feedlot cattle in the River Land area Krueng Aceh, Aceh Besar district were focused as 1) increasing knowledge of farmers in business through FEA, 2) using on the technology and information in the management of livestock byproduct 3 ) utilization of the available land in the development effort.
Keywords: River Land Krueng Aceh, Kereman system of Feedlot Cattle, regression analysis, Financial Analysis, Strategy Development
(18)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa, tetapi juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) dan dapat menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor (Daryanto, 2009).
Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat karena bertambahnya penduduk Indonesia, dan peningkatan rata-rata pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat yang semula banyak mengkonsumsi karbohidrat kea rah konsumsi daging, telur dan susu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa permintaan akan telur dan daging ayam dalam negeri saat ini telah dapat dipenuhi oleh produksi local, akan tetapi susu dan daging sapi masih memerlukan pasokan dari luar negeri. Berbagai usaha pembangunan peternakan telah diupayakan oleh pemerintah sampai ke pelosok daerah namun masih terdapat kekurangan produksi yang akan mensuplay kebutuhan penduduk Indonesia akan protein hewani (Budiarto, 1991).
Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah otonomi di Provinsi Aceh yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai hinterland (daerah penyangga) bagi wilayah andalan ibukota provinsi yaitu Kota Banda Aceh. Peran yang cukup menonjol sektor pertanian dalam struktur ekonomi daerah ditunjukkan dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) sebesar 30.7% dan menyerap tenaga kerja sebesar 41.7%
(19)
(79.325 orang) dari total angkatan kerja (186.911 orang) pada tahun 2009 (Bappeda Aceh Besar 2010).
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi di Kabupaten Aceh Besar, terkait dengan perannya terhadap pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan serta memacu pengembangan wilayah. Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2009) sektor peternakan mengalami pertumbuhan sebesar 4.97%, terutama dipengaruhi laju peningkatan produksi daging sebesar 6,97% per tahun. Pada tahun 2009 produksi daging di Kabupaten Aceh Besar telah mencapai 2 131.1 ton, dimana sebesar 63% (1 342.6 ton) berupa daging sapi. Sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah sekaligus sentra produksi di Provinsi Aceh dengan sebaran sebesar 16.1% dari total populasi sebesar 688.118 ekor (DINKESWANNAK, 2010).
Sistem penggemukan sapi potong secara kereman di Kabupaten Aceh Besar dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada kegiatan perekonomian diarahkan untuk mencapai tingkat efesiensi ekonomi sehingga produksi dan produktivitas yang optimal dapat tercapai. Pengembangan produksi sapi potong harus dipertimbangkan berbagai aspek penting yang berkaitan dengan sumber daya lokal seperti kondisi agroekologi, daya dukung wilayah, nilai ekonomi, serta faktor kendala melalui pendekatan wilayah dan proses partisipasi yang disinergikan dengan arahan pembangunan daerah (DEPTAN, 2001).
Sebagai salah satu kabupaten penghasil ternak di Propinsi Aceh, pengusahaan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yang dilakukan pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DBS) Krueng Aceh perlu dikaji untuk mengetahui faktor kendala teknis maupun non teknis sehingga dapat dirumuskan solusi perbaikan dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan penelitian yang komprehensif untuk menganalisa berbagai komponen yang terlibat dalam pengusahaan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar beserta pengaruh faktor eksternal terhadap produktivitas. Penentuan faktor kendala dan prioritas pengembangan menjadi pertimbangan yang menentukan pola pengembangan sapi potong berbasis sumberdaya lokal yang tersedia.
(20)
Rumusan Masalah
Usaha penggemukan sapi kereman merupakan komponen usahatani yang cukup berkembang di Kabupaten Aceh Besar. Usaha penggemukan sapi telah lama dikenal masyarakat yang dilakukan pada Daerah Bantaran Sungai (DBS) maupun di luar Bantara Sungai (luar DBS) Krueng Aceh. Kenyataannya bahwa jumlah petani peternak sapi kereman di DBS lebih besar dari pada di luar DBS.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel yang mempengaruhi produktivitas usaha penggemukan sapi potong di daerah DBS dan luar DBS Kabupaten Aceh Besar.
2. Usaha ternak sapi potong layak secara finansial dikembangkan di Kabupaten aceh Besar.
3. Strategi pengembangan usaha penggemukan sapi potong di daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi dan daya saing pengusahaan penggemukan sapi potong di Daerah Bantaran Sungai (DBS) dan luar Daerah Bantaran Sungai (luar DBS) di Kabupaten Aceh Besar, secara rinci tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Variabel apa saja yang mempengaruhi produktivitas usaha penggemukan sapi potong di daerah DBS dan luar DBS Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar.
2. Kelayakan secara finansial usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
3. Analisis strategi pengembangan usaha penggemukan sapi potong di daerah Bantaran Sungai Luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Manfaat penelitian
(21)
1. Petani; yakni agar petani dapat mengetahui usaha yang dilakukan selama ini member manfaat atau tidak bagi mereka secara finansial dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha penggemukan sapi potong.
2. Pemerintah; yakni agar pemerintah dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan penerimaan peternak sehingga kesejahteraan peternak akan dapat ditingkatkan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Daerah Bantara Sungai (DBS) dan luar Daerah Bantaran Sungai (luar DBS) Kabupaten Aceh Besar yang merupakan sentral produksi sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Lokasi penelitian adalah di tingkat kecamatan yang merupakan basis pengembangan usaha pengemukan sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan pada rumah tangga peternak yang mengusahakan pengemukan sapi potong yang tersebar di dua Kecamatan yaitu; Kecamatan Suka Makmur (DBS) terdiri dari Desa Bukloh dan Aneuk Glong Titie dan untuk Kecamatan Darussalam (luar DBS) terdiri dari Desa Kampung Cot dan Miruk Taman. Analisis produksi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha pengemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis yang dicapai di DBS dan luar DBS Kabupaten Aceh Besar. Untuk mengetahui daya saing komparatif usaha pengemukan sapi potong dilakukan pendekatan terhadap pengunaan sumber daya domestik dan input tradable. Analisis ini akan memberikan informasi keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus efisiensi ekonomis serta dampak kebijakan terhadap usaha pengemukan sapi potong di Daerah Bantara Sungai dan luar Daerah Bantaran Sungai Kabupaten Aceh Besar.
(22)
TINJAUAN PUSTAKA
Daya Saing Usaha Peternakan
Pada dasawarsa 1990-an mulai terjadi revolusi peternakan dan diperkirakan akan terus berlangsung dalam 20 tahun ke depan, dan ini berbeda dengan revolusi hijau yang mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi produksi yaitu penemuan varitas baru yang berumur pendek, maka penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi permintaan (Pantjar dan Prajogo, 2004). Permintaan akan produk peternakan di pasar domestik diperkirakan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan pertumbuhan jumlah penduduk (Pantjar dan Prajogo, 2004). Usaha-usaha pengembangbiakan ternak jua telah dilakukan baik pada pembentukan breed silang maupun persilangan antar bos, akan tetapi Indonesia sampai 2020 diperkirakan masih akan mengalami difisit produksi daging sekitar 2,7 juta ton (Rutledge, 2004).
Produksi daging pada tahun 1998 berjumlah 1.228.500 ton dan sekitar 27,89% dari sejumlah tersebut berupa daging sapi (Ditjen Peternakan, 1999). Permintaan daging sapi yang semakin meningkat akan menjadi perhatian pemerintah yang ingin memberdayakan peternakan rakyat dengan memberikan porsi 90% untuk memenuhi kebutuhan daging Nasional (Soehardji, 1995). Oleh karena itu perlu diperlukan suatu teknologi penggemukan sapi yang mampu diadopsi oleh peternakan rakyat, keberhasilan dalam meningkatkan produksi dalam usaha penggemukan sapi dapat dicapai melalui rekayasa berbagai faktor produksi (Soehardji, 1995).
Matatula (1997) menyatakan bahwa peternakan rakyat memiliki posisi strategis sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak. Sarwono dan Arianto (2001) menyatakan bahwa peternakan yang berasal dari peternakan rakyat rata-rata belum mencapai bobot yang maksimal ketika dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), persentase karkas masih kurang dari 50%. Lebih lanjut dikatakan bahwa kalau sapi digemukkan lebih dahulu selama 2-3 bulan sebelum dipotong diperkirakan persentase karkas dari 45% - 50% menjadi 56%.
(23)
Wirdahayati et al, (1999) menyatakan bahwa peluang untuk mengoptimalkan pertumbuhan ternak masih memungkinkan mengingat perkembang sapi mampu tumbuh dengan baik apabila dikelola dengan baik disertai peningkatan mutu dan jumlah pakan ternak. Untuk menunjang pengemukan sapi potdisi petani perlu upaya perbaikan manajemen dan pemberian pakan (Haryanto et al, 2002).
Pengertian Produktivitas
Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas.
Ada yang melihat pada performansi dengan memberikan penekanan pada nilai efisiensi. Efisiensi diukur sebagai rasio output dan input. Dengan kata lain, pengukuran efesiensi menghendaki outcome, dan penentuan jumlah sumber daya yang dipakai untuk menghasilkan outcome tersebut. Dengan demikian, pengertian produktivitas dapat didefinisikan sebagai rasio antara efektivitas pencapaian tujuan pada tingkat kualitas tertentu (output) dan efisiensi penggunaan sumber daya (input). Produktivitas merupakan suatu kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat dirumuskan (Gaspersz, 1998):
Pengukuran produktivitas yang hanya memperhitungkan salah satu sumber daya sebagai variabel input dikenal sebagai produktivitas faktor tunggal (single-factor productivity). Sementara pengukuran produktivitas yang memperhitungkan semua variabel input (tenaga kerja, material, energi, modal) dikenal sebagai produktivitas multifaktor (multyfactor productivity) atau produktivitas faktor total (Hayzer dan Render, 2004).
Perhitungan produktivitas membantu manajer perusahaan menilai seberapa baik mereka bekerja. Ukuran produktivitas multifaktor menyajikan infomasi yang
(24)
lebih baik dalam perhitungan antar faktor, tetapi terdapat beberapa masalah dalam perhitungan tersebut, yaitu (Hayzer dan Render, 2005):
1. Kualitas dapat berubah walaupun input dan output tetap.
2. Unsur luar dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan produktivitas pada sistem.
3. Kurang atau bahkan tidak ada satuan pengukuran yang akurat.
Produktivitas faktor adalah kunci untuk menetapkan kombinasi, atau proporsi input (variable proportion) yang optimal yang harus dipergunakan untuk menghasilkan satu produk yang mengacu pada the law of variable proportion. Produktivitas faktor memberikan dasar untuk penggunaan sumber daya yang efisien dalam sebuah sistem produksi. Pengembangan output di mana terdapat sekurang-kurangnya satu faktor produksi yang konstan dijelaskan oleh the law of deminishing returns dari faktor berubah. The law of deminishing returns menyatakan bahwa sementara jumlah satu input variabel meningkat, dengan jumlah semua faktor lainnya dinyatakan konstan, kenaikan yang dihasilkan dalam output pada akhirnya akan menurun (Pappas dan Hirschey, 1993 dan Soekartawi, dkk, 1986).
Pada hakekatnya produktivitas kerja akan banyak dipengaruhi oleh dua faktor (Wignjosoebroto, 2003):
1. Faktor teknis, yaitu berhubungan dengan pemakaian dan penerapan fasilitas produksi secara lebih baik, penerapan metode kerja yang lebih efektif serta efisien dan penggunaan input yang lebih ekonomis.
2. Faktor manusia, yaitu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap usaha-usaha yang dilakukan manusia dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Di sini hal pokok penentu adalah motivasi kerja yang memerlukan pendorong ke arah kemajuan dan peningkatan prestasi kerja seseorang.
David J. Sumanth memperkenalkan suatu model daur produktivitas yang disebut ‘MEPI’. Pada dasarnya konsep siklus produktivitas terdiri dari empat
(25)
tahap utama untuk digunakan dalam peningkatan produktivitas terus menerus (Sumanth, 1985), yaitu:
1. Pengukuran produktivitas 2. Evaluasi produktivitas 3. Perencanaan produktivitas 4. Peningkatan produktivitas
Beberapa manfaat utama dari pengukuran produktivitas (Gaspersz, 1998) adalah sebagai berikut :
1. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai indikator yang menilai kemampuan suatu sistem dalam mencapai tujuan perusahaan.
2. Pengukuran produktivitas digunakan untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usaha peningkatan performansi perusahaan.
3. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai bahan pembanding suatu perusahaan/sistem dengan perusahaan/sistem lain.
4. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meramalkan kondisi perusahaan/sistem pada masa yang akan datang termasuk merumuskan target-target yang ingin dicapai.
5. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meningkatkan kesadaran suatu perusahaan/sistem akan pentingnya usaha-usaha peningkatan produktivitas
Pengukuran Produktivitas dengan Pendekatan Cobb-Douglas
Sebelum melakukan pengukuran produktivitas pada semua sistem, terlebih dahulu harus dirumuskan secara jelas output apa saja yang diharapkan dari sistem itu dan sumber daya (input) apa saja yang akan digunakan dalam proses sistem tersebut untuk menghasilkan output.
Salah satu model pengukuran produktivitas yang sering digunakan adalah pengukuran berdasarkan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua variabel atau lebih, variabel yang satu disebut variabel independent (Y) dan yang lain disebut variabel dependent (X). Kelebihan dari fungsi produksi Cobb-Douglas:
(26)
1. Bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas bersifat sederhana dan mudah penerapannya.
2. Fungsi produksi Cobb-Douglas mampu menggambarkan keadaan skala hasil (return to scale), apakah sedang meningkat, tetap atau menurun. 3. Koefisien-koefisien fungsi produksi Cobb-Douglas secara langsung
menggambarkan elastisitas produksi dari setiap input yang digunakan dan dipertimbangkan untuk dikaji dalam fungsi produksi Cobb-Douglas itu. 4. Koefisien intersep dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan indeks
efisiensi produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output dari sistem produksi yang dikaji
Kekurangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas:
1. Spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil.
2. Kesalahan pengukuran variabel ini terletak pada validitas data, apakah data yang dipakai sudah benar, terlalu ekstrim ke atas atau sebaliknya. Kesalahan pengukuran ini akan menyebabkan besaran elastisitas menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah.
3. Dalam praktek, faktor manajemen merupakan faktor yang juga penting untuk meningkatkan produksi, tetapi variabel ini kadang-kadang terlalu sulit diukur dan dipakai dalam variabel independent dalam pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Bentuk umum fungsi produksi Cobb-Douglas adalah: Q = δ.I α
Keterangan: Q = Output
I = Jenis input yang digunakan dalam proses produksi dan dipertimbangkan untuk dikaji
δ = indeks efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output
(27)
Mentransformasi Persamaan Regresi Linier
Sebelum data dapat diolah dan dianalisis lebih lanjut, data-data yang diperoleh harus terlebih dulu ditransformasikan ke dalam bentuk Logaritma Natural (Ln). Kemudian data-data dalam bentuk Logaritma Natural tersebut diolah kembali untuk mendapatkan persamaan regresi Y = a + bX, atau dikembalikan pada variabel aslinya dengan Y = Ln Q dan X = Ln I. Maka persamaan regresi menjadi Ln Q = a + b(Ln I). Selanjutnya regresi linier tersebut ditransformasikan ke dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan langkah:
Ln Q = a + b(Ln I) Ln Q = a + Ln Ib Ln Q – Ln Ib = a Q = eaIb
Dengan demikian persamaan Cobb-Douglas telah didapat dengan ea merupakan indeks efisiensi dari proses transformasi, serta a dan b merupakan elastisitas produksi dari input yang digunakan.
Analisa Efisiensi Proses Produksi
Efisiensi merupakan penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan jumlah produksi sebesar-besarnya tanpa melupakan kualitas dari produk yang dihasilkan. Efisiensi proses produksi dapat dilihat dari koefisien intersep fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu:
Indeks efisiensi = ea Keterangan: e = 2,71828
a = koefisien intersep persamaan regresi
Indeks efisiensi akan didapat dari perhitungan, dengan semakin tinggi indeks efisiensi produksi berarti proses transformasi input menjadi output menjadi semakin efisien. Selain indeks efisiensi, rasio efisiensi juga akan didapat dari perhitungan. Rasio efisiensi menunjukkan perbandingan kemampuan menghasilkan output dengan memakai input yang tersedia.
(28)
Return to Scale
Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas, terdapat tiga
situasi yang mungkin dalam tingkat pengembalian terhadap skala (Browning dan Browning, 1989).
1. Jika kenaikan yang proporsional dalam semua input sama dengan kenaikan yang proporsional dalam output (εp = 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala konstan (constant returns to scale).
2. Jika kenaikan yang proporsional dalam output kemungkinan lebih besar daripada kenaikan dalam input (εp > 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala meningkat (increasing returns to scale).
3. Jika kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input (εp < 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala menurun (decreasing returns to scale).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong
Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan (feedlot fattening) dan di padang rumput (pasture fattening).
Parameter yang penting diperhatikan dalam operasional usaha feedlot adalah laju pertumbuhan, efisiensi pertambahan bobot badan, nilai konversi pakan yang efisien, produksi karkas dan daging, dan rasio feed cost gain yang ekonomis (Dyer dan O’Mary, 1977). Menurut Bowker et al. (1978) efisiensi usaha feedlot sangat ditentukan oleh imbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan produk yang dihasilkan. Pakan dengan kualitas yang baik umumnya dapat meningkatkan efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan nilai produk yang dihasilkan.
Pertambahan bobot badan sapi terkait dengan pertumbuhan ternak. Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa.
(29)
Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum, dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh (Lawrie, 2003).
Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai, bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertumbuhan
selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan
bobot badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan (Tulloh, 1978; Edey, 1983).
Dalam suatu usaha ternak sapi potong, faktor produksi juga mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak sapi potong tersebut seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Untuk menghasilkan suatu hasil produksi yang baik diperlukan kerjasama beberapa faktor produksi yang meliputi lahan, modal, tenaga kerja, dan keahlian peternak, tentunya kombinasi faktor– faktor produksi tersebut perlu digunakan secara efisien sehingga dapat memberikan keuntungan yang baik bagi para peternak. Keberhasilan pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan atau bibit yang dipilih serta sistem usaha dan pemeliharaan ternak sapi potong yang dikelola oleh peternak tersebut yang meliputi seleksi jenis bibit, sistem perkandangan, pemberian pakan hijau, pemberian air minum, kebersihan ternak sapi potong dan kandang, serta pemberian obat-obatan (Santoso, 2008).
Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan pemeliharaan sapi potong juga sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi
(30)
yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik, maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga.
Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya penggemukan sapi potong masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.
Arfa’i (1992) dan Lutfiadi (1999) telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak sapi potong. Kedua penelitian tersebut menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Hermawan et al. (2006) dan Trestini (2006) melakukan penelitian tingkat efisiensi teknis sapi potong menggunakan fungsi produksi frontier. Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah pemberian konsentrat (P < 0.05), jumlah pemberian hijauan (P < 0.01) dan bangsa sapi yang dipelihara (P < 0.01). Di samping itu penggunaan faktor produksi pada perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien. Penelitian Lutfiadi (1999) menghasilkan bahwa telah tercapai efisiensi teknis untuk pemanfaatan konsentrat dan hijauan, sedangkan penggunaan biaya overhead dan tenaga kerja tidak efisien.
Trestini (2006) menghasilkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha ternak adalah 78.6 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan tenaga kerja per LSU.
Penelitian Hermawan et al. (2006) menggunakan metode yang berbeda dalam mengukur efisiensi teknis usaha ternak yaitu mengacu pada pendekatan
(31)
Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Penelitian tersebut menghasilkan, untuk peternak di Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis. Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua kabupaten masih rendah (0.23-0.51) dan peranannya sebagai sumber pendapatan petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk Temanggung). Penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dimana rata-rata produksi ternak sapi selama setahun di Minahasa dan Boolang Mongondow masing-masing sebesar 330.99 kg dan 249.25 kg. Input produksi yang menentukan dalam produksi adalah pakan dan obat-obatan.
Kajian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani yaitu Riyanto (1980) dan Afrizal (2009). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan model fungsi produski Cobb-Douglas dalam penelitiannya. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada bawang merah di Brebes yang dilakukan oleh Riyanto (1980) menghasilkan bahwa peubah bebas yang digunakan dapat menerangkan keragaman produksi dengan R2 sebesar 94 persen. Semua input tidak tetap berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen, kecuali Urea pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Penelitian lainnya yang juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam penelitiannya yaitu penelitian Afrizal (2009) yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara nyata sebagai input adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit.
(32)
Disamping itu pengalaman petani dalam berusahatani gambir, frekuensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi secara nyata.
Fungsi Produksi Cobb-Douglas juga digunakan dalam penelitian untuk menganalisis efisiensi ekonomis suatu usahatani, seperti yang dilakukan oleh Riyanto (1980) dan Purmiyanti (2002). Penelitian Riyanto (1980) menghasilkan bahwa secara ekonomis penggunaan input belum efisien yang ditunjukkan oleh nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu. Penelitian untuk komoditas bawang merah menghasilkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan, dan varietas bibit berpengaruh terhadap produksi. Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan membandingkan Nilai Produk Marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga input tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input dalam produksi bawang merah masih belum efisien.
Selain penelitian yang menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, ada metode lain yang juga dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi suatu usahatani. Utama (2003) melakukan penelitian dengan metode pendekatan fungsi produksi stochastic frontier menggunakan Maximum Likelihood (MLE) menghasilkan bahwa nitrogen, penggunaan tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) mempunyai hubungan yang positif dan mempengaruhi secara nyata terhadap produksi. Sebaliknya Rodentisida mempunyai hubungan yang negative dan berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Ini berarti bahwa penggunaan Rodentisida akan menurunkan produksi padi.
Penelitian Sukiyono (2005) yang menggunakan fungsi produksi frontier diduga dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) menghasilkan bahwa sebagian besar peubah nyata secara statistik pada setiap tingkat kepercayaan kecuali untuk peubah pupuk urea dan benih yang digunakan.
Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7 persen sampai 99 persen dengan rata-rata 65 persen. Namun secara umum tingkat
(33)
efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup tinggi. Singh (2007) menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical eficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala menengah dan besar.
Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong
Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumberdayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.
Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi
(34)
suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan perdagangan internasional yaitu perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang memiliki keunggulan komparatif.
Salvatore dan Diulio (2004) menjelaskan bahwa meskipun perdagangan dapat memberikan keuntungan yang besar, banyak negara membatasi aliran perdagangan yang bebas dengan mengenakan tarif, kuota, dan hambatan--hambatan yang lain. Tarif impor adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap barang-barang impor. Kuota impor adalah hambatan kuantitatif pada jumlah barang yang akan diimpor pada tahun tersebut. Hambatan yang lain meliputi peraturan kesehatan, dan standar keamanan dan polusi. Hambatan perdagangan didukung oleh tenaga kerja dan berbagai perusahaan dalam sejumlah industri sebagai bentuk perlindungan terhadap pesaing asing. Namun hambatan ini umumnya membebani masyarakat secara keseluruhan karena praktik ini mengurangi ketersediaan barang dan meningkatkan harganya.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya saing sektor industri, agribisnis atau komoditas mengacu pada alat analisis parsial, seperti Relative Trade Advantage (RTA), Revealed Competitive Advantage (RCA), dan Agribusiness Executive Survey (AES) (Daryanto dan Saptana 2009). Analisis deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Monke dan Pearson (1995) memperkenalkan Policy Analisis Matrix (PAM) yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif (analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis finansial). Selain digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen.
(35)
Daya saing subsektor peternakan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati dalam menyediakan bahan baku pakan (jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, limbah sawit, dan hijauan pakan ternak), (2) sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha peternakan, (3) ketersediaan kapital atau modal yang memadai, (4) inovasi teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang peternakan serta adaptasinya ditingkat peternak akan menjadi sumber pertumbuhan produktivitas subsektor peternakan, dan (5) kelembagaan peternak sebagai wadah transfer teknologi dan informasi (Daryanto dan Saptana, 2009).
Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Haryono (1991), Emilya (2001) Purmiyanti 2002), Sumaryanto dan Friyanto (2003), serta Kurniawan (2008). Untuk penelitian daya saing usaha ternak belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini berkaitan dengan daya saing usaha peternakan khususnya usaha ternak sapi potong diantaranya adalah penelitian Nalle (1996), Nefri (2000), Perdana (2003), Lamy et al. (2003), Simatupang dan Hadi (2004), Widodo (2006) serta Daryanto dan Saptana (2009).
Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisit produksi daging sapi sebesar 2.7 juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput grass-fed livestock farming), seperti sapi potong, kerbau, kambing, dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem peternakan berbasis pakan asal biji-bijian (grain-fed livestock farming), yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi termasuk pasar domestik yang sangat besar), diperlukan pengembangan teknologi spesifik lokasi usaha peternakan intensif (grain-fed) yang berorientasi pada permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan berbasis pakan rumput agar tidak punah.
(36)
Analisis daya saing usaha ternak sapi potong menggunakan metode analisis PAM menunjukkan hasil yang berbeda untuk berbagai daerah. Penelitian Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000) menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) 0.52-0.56.
Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak berbeda nyata. Widodo (2006) menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak (SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu dibawah lima persen.
Lamy et al. (2003) menganalisa sekelompok indikator dan faktor-faktor determinan yang memungkinkan perbandingan penilaian daya saing sektor produksi daging sapi di Argentina dan Kanada. Hasil analisis menunjukkan bahwa pangsa ekspor Argentina menurun sementara untuk Kanada meningkat. Biaya
(37)
pemasaran di Argentina lebih tinggi dibandingkan Kanada. Namun produsen di Argentina berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Kanada jika dilihat dari potensi lahan, dimana Argentina memiliki wilayah luas yang tidak digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk ternak produksi. Sebaliknya Kanada tidak memiliki lahan tidur seperti itu dan karenanya untuk meningkatkan produksi ternak maka harus dilakukan melalui peningkatan efisiensi seperti peningkatan produksi padang rumput, faktor genetik, dan lain-lain.
Penelitian Daryanto dan Saptana (2009) menghasilkan bahwa beberapa faktor penentu dalam pengembangan kemitraan berdaya saing, diantaranya : 1) konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat, (2) pengembangan sistem informasi, terutama informasi pasar dan harga, serta (3) perlunya perlindungan peternak rakyat dan adanya praktek-praktek kegiatan usaha yang mengarah kepada monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut terlihat bahwa penelitian sebelumnya khususnya untuk usaha ternak sapi potong mengkaji secara terpisah antara analisis produksi dengan daya saing. Untuk itu dalam studi ini peneliti ingin menganalisis produksi dan daya saing sebagai suatu kesatuan karena produksi dan daya saing dalam suatu usahatani ternak sangat terkait.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging .Sapi
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (2004) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya.
(38)
Kebijakan Output Daging Sapi
Pada perekonomian modern, pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai peningkat efisiensi produksi, pencipta pemerataan dan keadilan, serta sebagai pemicu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Isu yang paling relevan dalam hubungan antar negara adalah bagaimana menata kembali sistem produksi dan perdagangan sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan pada bidang produksi seharusnya dikembalikan pada keunggulan komparatif suatu negara, seperti halnya negara Indonesia yang memiliki keunggulan pada sektor agribisnis dan agroindustri. Kebijakan pada bidang perdagangan sebaiknya mengacu pada aturan yang terdapat dalam Perjanjian Umum tentang tarif dan Perdagangan (General Agreement of Tarif and Trade /GATT) (Mayrita, 2007).
Kebijakan dalam memacu pertumbuhan usaha peternakan secara nasional tidak dapat mengimbangi laju permintaan akan kebutuhan daging. Maka pemerintah melakukan kebijakan impor daging untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor daging sapi sudah dimulai sejak tahun 1974, dan jumlah impor cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan yang tajam dalam impor daging sapi menimbulkan kekhawatiran terutama oleh Direktorat Jenderal Peternakan, karena harga yang dijual oleh importir jauh lebih murah dari daging lokal. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan usaha peternakan rakyat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen Peternakan menetapkan suatu kebijaksanaan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (ASPIDI) di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung (Gaung) yakni : (1) peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, (2) industri peternakan rakyat menjadi pendukung, dan (3) impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan.
Berdasarkan kebijakan tersebut maka pemerintah membuat suatu batasan mengenai jumlah daging yang dapat diimpor setiap tahunnya atau yang dikenal
(39)
dengan kuota yaitu hanya pada batas kekurangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal. Dalam upaya untuk membatasi impor daging sapi yang berlebihan, salah satu upaya adalah melalui pembebanan tarif impor daging sapi yang masuk ke dalam negeri yang diberlakukan oleh Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) melalui keputusan Menteri Keuangan. Kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging sapi bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Secara bertahap, pemerintah Indonesia telah bertekad untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020 yang sepenuhnya konsisiten terhadap World Trade Organization (WTO) melalui kebijakan deregulasi untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lini subsistem agribisnis.
Tarif impor untuk komoditas daging sapi pernah dikenakan sampai sebesar 30 persen. Tarif ini telah diturunkan secara bertahap. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 (kesepakatan AFTA), tarif impor daging sapi akan diturunkan menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132.PMK.0.10/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010 menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen.
Untuk merangsang perkembangan investasi dalam usaha industri peternakan sapi potong yang menggunakan sapi impor, maka sejalan dengan maksud SK. Mentan Nomor 362/1990, dikeluarkan kebijakan oleh Menteri Keuangan Nomor 522/1991 (salah satu butir PAKJUN 1991), yang berisikan antara lain tentang penurunan tarif impor sapi bakalan dari 15 persen menjadi persen. Inpres No.B-089/Setbang/2/1994 tanggal 19 Pebruasi 1994 berisi tentang pengaturan penataan segmentasi pasar daging dan jerohan. SK. Dirjen Peternakan yang berkaitan dengan perijinan impor sapi bakalan mensyaratkan minimal 10 persen dari sapi bakalan yang diimpor dikerjasamakan dengan peternak sebagai plasma.
(40)
Dirgantoro (2004) mengemukakan beberapa argumen untuk melakukan pembatasan atau pelarangan impor antara lain: (1) melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak jujur misalnya praktek dumping, (2) melindungi industri yang baru muncul (infant industry), (3) tujuan tertentu yang terkait dengan kepentingan dan keamanan nasional, (4) memperbaiki neraca perdagangan, dan (5) redistribusi pendapatan.
Dirjen Peternakan Departemen Pertanian mengemukakan bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi naiknya harga daging karena daging bukan merupakan komoditi khusus yang penentuan harganya dilakukan melalui kebijakan harga tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jadi pemerintah hanya memfasilitasi tersedianya stok sapi hidup yang siap potong, sehat, dan bebas dari penyakit hewan menular (Portal Nasional Republik Indonesia, 2008).
Kebijakan Input Pakan Ternak
Pakan merupakan salah satu komoditi dari subsistem agribisnis hulu, atau dengan kata lain penyedia sapronak untuk subsistem budidaya ternak. Pakan merupakan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berimbas pada peningkatan bobot badan ternak dan performa ternak yang diinginkan. Peningkatan populasi, produksi daging, susu, dan telur sebagai hasil ternak sangat tergantung dari penyediaan pakan yang baik dan berkualitas. Selain itu dalam usaha peternakan biaya pakan mencapai persentasi tertinggi dalam biaya produksi yaitu mencapai 50-70 persen. Distribusi atau peredaran pakan atau bahan baku pakan melalui jalur ekspor-impor pada era perdagangan bebas akan lebih mudah. Indonesia harus memperhatikan hal ini karena sebagian besar bahan baku pakan ternak masih dipenuhi dari impor. Adanya bebas biaya tarif untuk impor harus diperhatikan karena dapat membuat produsen bahan baku pakan lokal kalah bersaing (Poultry Indonesia, 2007).
(41)
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Bantaran Sungai (DBS) yaitu Kecamatan Suka Makmur dan luar Daerah Bantaran Sungai (DBS) yaitu Kecamatan Darussalam Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan karena Kabupaten Aceh Besar merupakan sentra penggemukan sapi di Propinsi Aceh. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai September 2012.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (crosssection). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari tiap responden yaitu peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong, dengan bantuan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan.
Data yang dikumpulkan dari peternak meliputi penggunaan input, harga input dan output serta karakteristik peternak. Data input meliputi : (1) investasi usaha yang terdiri dari kandang dan peralatan, (2) jumlah penggunaan dan harga input, yaitu sapi bakalan (meliputi bobot badan saat dibeli dan bobot akhir saat penjualan), pakan berupa hijauan dan konsentrat, vaksin, obat-obatan dan vitamin, tanaga kerja, umur ekonomis kandang dan peralatan, transportasi serta biaya tak terduga lainnya. Data lainnya sebagai pendukung dalam penelitian ini adalah data tentang karakteristik peternakan (menyangkut identitas peternak) dan teknis pemeliharaan (curahan tenaga kerja, umur jual sapi, periode pemeliharaan per tahun). Data sekunder bersumber dari berbagai instansi terkait seperti Dinas Peternakan, Badan Pusat Statistik, Ditjen Peternakan, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan instansi terkait lainnya.
Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong di Baerah Bantaran Sungai dan luar Daerah Bantaran
(42)
Sungai. Penentuan daerah penelitian ini dilakukan secara sengaja “Purposive Sampling” sedangkan Desa sampel dilakukan dengan sistem “Simple Random Sampling”. Berdasarkan dua daerah tersebut di atas yang diambil masing-masing dua Desa berdasarkan kriteria yang telah diuraikan. Dari setiap Desa di pilih 30 persen petani dari jumlah populasi usaha penggemukan sapi di Daerah Bantaran Sungai dan luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Jumlah sampel ditetapkan secara kuota, mengacu pada pengambilan
sampel dengan asumsi populasi menyebar normal, dimana menurut Cooper dan Emory (1996) untuk ukuran sampel yang cukup besar (n > 30)
rata-rata sampel akan terdistribusi di sekitar rata-rata-rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal. Penetapan peternak yang akan dijadikan sampel dilakukan dengan cara undian dengan batuan sampling frame yang berisi nama-nama peternak penggemukan sapi potong yang ada di lokasi yang sudah ditetapkan sebagai lokasi penelitian.
Metode Analisis Data
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Sapi Potong
Faktor-faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap produktivitas sapi potong dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model regresi linier berganda. Penggunaan model ini ditujukan untuk menjelaskan hubungan dua peubah atau lebih serta menelusuri pengaruh nyata peubah satu terhadap peubah lainnya. Faktor–faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah jumlah konsentrat, hijauan, tenaga kerja, dan harga bakalan. Sampel yang digunakan sebanyak 30 persen petani dari jumlah populasi usaha penggemukan sapi di Daerah Bantaran Sungai dan luar Daerah Bantaran Sungai Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Secara umum persamaan matematik dari fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = a + X1b1+X2b2+X3b3+X4b4+eu
Y merupakan peubah respon atau variabel dependent dan X merupakan peubah bebas atau variabel independent. Untuk memudahkan pendugaan terhadap
(43)
model regresi tersebut, maka dapat ditransformasikan ke dalam bentuk linier logaritmik sehingga model regresi untuk produktivitas sapi potong dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ln Y = a + b1 LnX1 + b2 LnX2 + b3 LnX3 + b4 LnX4 + u
Keterangan :
Y = Produktivitas sapi potong (kg/hari) a = Konstanta
b1-b4 = Koefisien atau parameter variabel X1 = Hijauan (kg/hari)
X2 = Batang pisang (kg/hari) X3 = Upah tenaga kerja (Rp/hari) X4 = Bobot awal bakalan (Kg)
u = Unsur galat atau error term sebagai sisaan model atau nilai-nilai dari variabel lain yang tidak diperhitungkan/dimasukkan.
Data-data tersebut akan dianalisis mengunakan SPSS 16 for windows.
Analisis Finansial
Menurut Firdaus (2008) beberapa metode yang dapat diterapkan untuk analisis finansial yakni sebagai berikut :
1. Net Present Value (NPV)
NPV =
(
Bt Ct)
i t Ko nt
− + −
∑
=
) 1 /( 1
Keterangan :
(Bt-Ct)/(1+i)t = NPV untuk tahun-tahun yang bersangkutan B = Benefit (Manfaat)
C = Cost (Biaya) Ko = Project Cost Kriteria:
NPV > 0 (nol) → usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan NPV < 0 (nol) → usaha/proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan NPV = 0 (nol) → usaha/proyek berada dalam keadaan BEP dimana
(44)
2. Internal Rate of Return (IRR) IRR=
(
)
/(1 ) 01 = + −
∑
= t n t i Ct BtJika IRR > SOCC maka proyek dikatakan layak IRR = SOCC berarti proyek pada BEP
IRR < SOCC dikatakan bahwa proyek tidak layak. 3. Benefit Cost Ratio (NBCR)
Net B C =
∑
∑
= = + − + − n t n t l Bt Ct l Ct Bt 0 0 )' 1 /( ) ( )' 1 /( ) (Jika: Net B/C > 1 (satu) berarti proyek (usaha) layak dikerjakan .Net B/C < 1 (satu) berarti proyek tidak layak dikerjakan
Net B/C = 1 (satu) berarti cash in flows = cash out flows (BEP)
Analisis Strategi Pengembangan Sapi Kereman di Kabupaten Aceh Besar Tahap Perencanaan Strategis
Proses penyusunan strategis dilakukan dengan melalui tiga tahapan analisis, yaitu tahap masukan, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Pada proses penyusunan strategis ini, juga dilakukan pertemuan bersama dengan para pejabat dari Dinas Pertanian dan Peternakan, Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Aceh Besar serta pihak yang terkait lainnya.
Untuk jelasnya, proses penyusunan perencanaan strategis dapat dilihat pada kerangka formulasi strategis seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 berikut ini :
1. TAHAP MASUKAN
Matriks Evaluasi Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Faktor Internal ( EFAS ) ( IFAS )
2. TAHAP ANALISIS
MATRIK MATRIK SWOT Grand Strategi
3. TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN Gambar 1. Kerangka Penyusunan formula Strategi.
(45)
1. Tahap Masukan
Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal.
a.Matrik Faktor Strategi Eksternal
Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, perlu diketahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal (EFAS). Berikut adalah cara-cara penentuan EFAS (external factors analysis summary) :
Menentukan faktor – faktor yang menjadi peluang dan ancaman dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman).
Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting).
Menghitung rating (dalam kolom 3 ) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (Outstanding). Sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi kelompok peternak yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang sangat besar diberi rating +4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating + 1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya.
Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4, hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi kelompok peternak bersangkutan.
b. Matrik Faktor Strategi Internal.
Setelah faktor-faktor strategi internal suatu kelompok peternak di identifikasikan kemudian disusun tabel IFAS (Internal Factors Analysis Summary) untuk merumuskan faktor-faktor strategi internal tersebut dalam kerangka Strength and Weakness kelompok peternak, tahapannya adalah :
Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan kelompok peternak dalam kolom 1.
(46)
Memberi bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting).
Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi kelompok peternak yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang termasuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik), sedangkan variabel negatif adalah kebaikannya.
Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4 hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,00 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi kelompok peternak yang bersangkutan.
2. Tahap Analisis a. Matriks SWOT
Analisis matrik SWOT yang merupakan model analisis dengan pendekatan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan ternak (Rangkuti, 2000).
Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.
Faktor Internal Faktor Eksternal Strengths (S) (Kekuatan) Weakness (W) (Kelemahan) Opportunities (O) (Peluang) Strategi (SO) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
Strategi (WO)
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Threats (T) (Ancaman) Strategi (ST) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman.
Strategi (WT)
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman Gambar 2. Matrik SWOT.
(47)
Strengths (kekuatan)
Merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Weakness (kelemahan)
Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Opportunities(peluang)
Merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
Threats (ancaman)
Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Strategi SO
Strategi ini dilakukan dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
Strategi ST
Strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada.
Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
(48)
b. Matriks Grand Strategi
Matriks Grand Strategi ini digunakan agar diperoleh koordinat posisi strategi yang akan digunakan. Koordinat ditentukan dari skor faktor strategi internal dan eksternal. Untuk lebih jelas dapat dilihat gambar 3 dibawah ini.
Peluang
2. Turnaround 1. Agresif
Kelemahan Kekuatan
3. Difensif 4. Diversifikasi
Ancaman Gambar 3. Penentuan Matrik Grand Strategi. Keterangan:
Kuadran 1 : Strategi Agresif yaitu strategi memanfaatkan kekuatan untuk ...meraih peluang.
Kuadran 2 : Strategi Turnaround yaitu memanfaatkan peluang dengan cara ...meminimalkan kelemahan yang ada.
Kuadran 3 : Strategi Difensif yaitu strategi berusaha menghindari ancaman ...dan meminimalkan kelemahan.
Kuadran 4 : Strategi Diversifikasi yaitu strategi mengatasi ancaman dengan ...meraih peluang.
c. Tahap Pengambilan Keputusan
Setelah tahapan-tahapan terdahulu dibuat dan dianalisis, maka tahap selanjutnya disusun daftar prioritas yang harus di implementasikan. Pada tahap ini, menkaji ulang dari empat strategi (SO, ST, WO, WT) yang telah dirumuskan dalam tahap analisis. Setelah itu diambil keputusan dalam menentukan strategi
(49)
matrik SWOT dan matrik Grand Strategi dan pada akhirnya dapat disusun suatu rencana strategi yang akan dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan selanjutnya.
(50)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kabupaten Aceh Besar
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah administrasi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada pada posisi geografis 5.2º – 5.8º Lintang Utara dan 95º - 95.8º Bujur Timur dengan batas administrasi ; (a) sebelah Utara dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, (b) sebelah Selatan dengan kabupaten Aceh Jaya, (c) sebelah Timur dengan kabupaten Pidie, dan (d) sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 km2 (5.18% dari luas Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dengan ibukotanya Kota Jantho meliputi 23 kecamatan, 68 kemukiman dan 601 desa.
Letak kabupaten Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan ibukota propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kota Banda Aceh menjadikannya sebagai pintu gerbang utama dan berpeluang tumbuh serta berinteraksi dengan wilayah kabupaten lain. Ketersedian prasarana transportasi darat, udara dan laut yang cukup memadai seperti Jalan Nasional Arteri Primer Banda Aceh – Medan dan Banda Aceh – Meulaboh, Bandara Udara Internasional Iskandar Muda dan Pelabuhan Nasional Malahayati di Kabupaten Aceh Besar menjadikan mobilitas barang dan jasa termasuk hasil produksi pertanian cukup tinggi.
Secara umum topografi Kabupaten Aceh Besar bervariasi, meliputi daerah pesisir, dataran rendah, perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian antara 100 – 500 m dpl (meter diatas permukaan laut) lebih mendominasi luas wilayah (42,64%). Berbagai jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar yaitu ; Latosol, Podsolid merah kuning, Hidromorf kelabu, Regosol, Aluvial, dan Komplek podsolid merah kuning. Sebagian besar (31,55 %) jenis tanah adalah podzolit merah kuning, dengan kedalaman (53,46 %) berkisar 30-60 cm. Tingkat erosi tanah termasuk rendah (3,59 %) dengan luas lahan kritis sebesar 32.888 Ha. Kondisi iklim di Kabupaten Aceh Besar sebagaimana umumnya wilayah Indonesia memiliki dua musim, yakni musim kemarau yang berlangsung dari bulan April sampai dengan Agustus dan musim hujan dari bulan September sampai dengan Februari. Curah hujan berkisar antara 89.8 – 185.4 mm/bulan dengan jumlah rata-rata hari hujan 5 – 24 hari. Temperatur minimum rata-rata
(51)
relatif berkisar antara 75,5-80,9 persen dan kecepatan angin rata-rata 0,7 knot. Keadaan iklim seperti ini sangat cocok untuk pengembangan usaha peternakan sapi, karena temperatur, kelembaban dan kecepatan angin masih berada dalam batas-batas normal untuk ternak sapi daerah tropis. Selain itu sapi lokal juga memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap keadaan iklim diatas (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar, 2011)
Mata pencaharian dan sumber penghidupan penduduk Kabupaten Aceh Besar umumnya adalah di bidang pertanian, yaitu sebagai petani penggarap, buruh tani, petani nelayan/tambak dan petani peternak. Selebihnya berpenghidupan sebagai pegawai negeri, pedagang, tukang dan sebagainya.
Keadaan peternakan di Kabupaten Aceh Besar sama halnya dengan keadaan peternakan daerah-daerah lain di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Peternakan umumnya diusahakan sebagai usaha sambilan disamping usahatani tanaman pangan sebagai usaha pokok.
Gambaran Umum Responden
Penelitian ini berlangsung di 2 (dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Suka Makmur yang mewakili daerah Bantaran Sungai dan Kecamatan Darussalam yang mewakili Luar Daerah Bantara Sungai dengan jumlah responden sebanyak 30 responden dari masing-masing Kecamatan.
Umur Peternak Responden
Data karakteristik responden di lokasi penelitian berdasarkan umur disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Umur Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar Umur
(tahun)
Daerah Bantaran Sungai Luar Daerah Bantaran Sungai
Jumlah (%) Jumlah (%)
25-35 4 13,33 5 16,67
36-45 10 33,33 13 43,33
46-55 13 43,34 11 36,67
56-65 2 6.67 1 3,33
>66 1 3,33 0 0
Jumlah 30 100 30 100
Sumber: lampiran 1 dan 2
Tabel 1 menjelaskan bahwa rata-rata umur peternak sapi di Bantaran Sungai adalah sebesar 46,33 tahun atau berkisar antara 25-66 tahun. Rata-rata
(52)
umur ini lebih besar dari umur peternak di Luar Bantaran Sungai yaitu rata-rata 43,87 tahun atau berkisar antara 30-57 tahun. Mayoritas peternak responden berada pada kisaran umur dibawah 50 tahun. Mayoritas peternak (43,34 persen ) di Daerah Bantaran Sungai berada pada kisaran 46-55 tahun, sedangkan umur peternak di Luar Daerah Bantaran Sungai sebagian besar (43,33 persen) berada pada kisaran 36-45 tahun. Secara umum dapat dinyatakan bahwa sebagian besar peternak di daerah penelitian masih dikategorikan sebagai umur produktif. Hal ini didukung dengan pernataan Bakir dan Manning (1982) yang menyatakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara sedang berkembang umumnya adalah antara 15-55 tahun.
Tingkat Pendidikan Peternak Responden
Menurut Soekartawi (1986) bahwa tingkat pendidikan peternak cederung mempengaruhi cara berpikir dan tingkat penerimaan mereka terhadap inovasi dan teknologi baru. Oleh karena itu pendidikan sedikit banyaknya dapat berpengaruh terhadap pengembangan usaha. Sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Peternak Responden di Kabupaten Aceh Besar Tingkat
pendidikan (tahun)
Daerah Bantaran Sungai Luar Daerah Bantaran Sungai
Jumlah (%) Jumlah (%)
SD 2 6,67 0 0
SMP 8 26,67 7 23,33
SLTA 17 56,66 19 63,33
Sarjana 3 10 4 13,34
Jumlah 30 100 30 100
Sumber: lampiran 1dan 2
Tabel 2 memperlihatkan tingkat pendidikan peternak responden di Kabupaten Aceh Besar relatif sama antara Daerah Bantaran Sungai dan Luar Daerah Bantaran Sungai. Level pendidikan peternak untuk Derah Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai sebagian besar adalah Level Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu sebanyak 56,66 dan 63,33 persen. Selanjutnya adalah level SMP yaitu 26,67 persen di Daerah Bantaran Sungai dan 23,33 persen di Luar Daerah Bantaran Sungai. Tingkat pendidikan terendah di Daerah Bantaran Sungai
(1)
Lampiran 21. Hasil Uji t Tingkat Konsumsi di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai
Paired Samples Statistics
Mean N
Std. Deviation
Std. Error Mean Pair 1 Lokasi
Bantaran Sungai
21.2283 30 5.72357 1.04498
Lokasi Luar Bantaran Sungai
23.5633 30 3.13931 .57316
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 Lokasi Bantaran Sungai &
Lokasi Luar Bantaran Sungai 30 .114 .548
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
99% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper Pair 1 Lokasi
Bantaran Sungai - Lokasi Luar Bantaran Sungai
(2)
Lampiran 22. Hasil Uji t NPV pada DF 18% di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 daerah 1.50000 2 .707107 .500000
hasil 9552450.00 2 1200851.162218 849130.000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 daerah & hasil 2 -1.000 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig.
(2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 daerah -
(3)
Lampiran 23. Hasil Uji t NBCR di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 daerah 1.50000 2 .707107 .500000
hasil 1.49800 2 .060811 .043000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 daerah & hasil 2 -1.000 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 daerah -
(4)
Lampiran 24. Hasil Uji t IRR pada DF 40% di Daerah Bantaran Sungai dan Luar Bantaran Sungai
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 daerah 1.5000 2 .70711 .50000
Df 40% 42.3000 2 3.25269 2.30000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 daerah & Df 40% 2 -1.000 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 daerah -
Df 40%
(5)
Lampiran 25. Kuisioner Penelitian
1. Nama Responden :... 2. Umur :...tahun
3. Pendidikan terakhir : (lingkari jawaban yang sesui) a. Tidak tamat SD
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Perguruan tinggi 4. Pekerjaan utama :...
5. Pengalaman beternak sapi potong :...tahun
6. Apakah ditempat saudara tersedia lahan penggembalaan ternak sapi potong? Sebutkan...
7. Apakah saudara pernah mengikuti pelatihan mengenai peternakan sapi potong? Sebutkan...
8. Apakah saudara melaksanakan pencatatan (recoording) mengenai inseminasi buatan, kebuntingan, kelahiran dan penyapihan anak, status penyakit yang pernah diderita, pencegahan dan pengobatan penyakit dan catatan lainnya? Sebutkan...
9. Apakah saudara memiliki alat dan mesin peternakan? Sebutkan... 10.Berapa jumlah sapi potong yang saudara pelihara? Sebutkan...ekor 11.Jenis bibit ternak sapi potong yang saudara pelihara? Sebutkan... 12.Berapa kali saudara melaksanakan pembersihan (sanitasi) kandang ternak
sapi potong saudara? Sebutkan...
13.Apakah saudara melaksanakan penanganan limbah kotoran ternak saudara? Sebutkan...
14.Apakah saudara memberikan konsentrat pada ternak sapi potong saudara? Sebutkan...
15.Apakah saudara memberikan tambahan pakan lain pada ternak sapi potong saudara? Sebutkan...
16.Apakah ternak sapi saudara diberi vitamin, mineral atau tambahan nutrisi? a. Ada, sebutkan...
(6)
b. Tidak ada
17.Modal ternak sapi saudara berasal dari mana? a. Bantuan pemerintah
b. Bukan dari bantuan pemerintah, sebutkan... 18.Jenis bantuan yang saudara terima? Sebutkan...
19.Berapa orang tenaga kerja dalam mengelola usaha ternak sapi potong saudara?
a. Tenaga kerja dalam keluarga...orang b. Tenaga kerja luar keluarga...orang
20.Berapa total penerimaan yang saudara peroleh dari beternak sapi potong? a. Penjualan ternak : Rp.../tahun b. Penjualan kotoran ternak : Rp.../tahun c. Penerimaan lain-lain : Rp.../tahun Total penerimaan : Rp.../tahun 21.Berapa total biaya yang saudara keluarkan untuk beternak sapi potong?
a. Biaya tetap (bibit, listrik, pajak bumi dan bangunan (PBB), gaji tenaga kerja, transportasi) Rp.../tahun
b. Biaya variabel (peralatan kandang, pakan, obat-obatan, vaksin, IB) Rp.../tahun