7
BAB II LAHIRNYA DEMOKRASI TERPIMPIN
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan
negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru,
sehingga negara Indonesia tidak memiliki pedoman hukum yang mantap. Berikut latar belakang lahirnya demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.
A. Gagalnya Konstituante
Sebelum lahir Demokrasi Terpimpin, di Indonesia berlangsung sistem demokrasi
perlementer. Era
Demokrasi Parlementer
ditandai dengan
westernisme
4
. Sedangkan munculnya Demokrasi Terpimpin di akhir tahun 1950- an berfungsi pemukul bagi mereka yang menuntut pemisahan kekuasaan,
perlementarisme, dan perluasan hak-hak politik, serta bebas pers.
5
Demokrasi tersebut oleh Soekarno dinyatakan sudah sesuai dengan kepribadian Bangsa
Indonesia. Sesungguhnya sejak RIS, pamerintah sudah mulai mengkonsilidasi dan
menertibkan suatu keresahan revolusioner, mereorganisir tentara dan pamong praja, memperkuat pengawasan dan peraturan dan melangkah maju dengan tugas-
tugas praktis administratif dan ekonomis dalam negeri. Di pihak lain, tidak
4
Westernisme adalah paham kebarat-baratan, disintegrasi nasional, keterbelakangan ekonomi dan ketidakstabilan politik yang kronis.
5
David Bourchier, dkk, Demokrasi di Indonesia Tahun 1950-an dan 1990-an, 1994, Melbuorne: Monash University, hlm 1.
melakukan upaya apapun untuk mempertahankan struktur federalis negara, sehingga pada bulan Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat RIS diubah
menjadi Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia NKRI.
6
Ketika kabinet RIS menjadi kabinet NKRI, kabinet Hatta digantikan oleh kabinet parlementer
pimpinan Perdana Menteri Natsir, seorang pemimpin sebuah partai Islam Masyumi. Hatta sendiri kembali kepada jabatan wakil Presiden. Selanjutnya,
Kabinet Natsir diganti oleh kabinet Masyumi lainnya di bawah Perdana Menteri Sukiman. Dalam bulan April 1951, pemerintah Sukiman ini diganti oleh kabinet
pimpinan tokoh PNI Partai Nasional Indonesia Wilopo dan ketika kabinet ini jatuh dalam bulan Juni 1953, terjadilah krisis kabinet empat kali dalam jangka
waktu kurang dari tiga tahun. Setelah pemilu I tahun 1955, Ali Sastroamidjojo PNI terpilih lagi sebagai
Perdana Menteri dengan dukungan Masyumi dan NU. Karena itu kabinetnya disebut Kabinet Ali II. Kabinet yang mulai bekerja sejak 20 Maret 1956 ini,
mencanangkan beberapa program kerja, misalnya membebaskan Irian Barat, melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom, menyehatkan anggaran
keuangan dan mewujudkan pergantian ekonomi kolonial. Dalam perkembangannya, Kabinet Ali II menghadapi gerakan separatis dan
gerakan anti Cina. Saat itu secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB. Hal ini diikuti dengan usaha untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia. Namun usaha ini tidak mudah, sebab banyak politisi yang tidak setuju dengan kebijakan itu. Sementara itu, para penguasaha Belanda justru
6
Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin, 1995, Pustaka Sinar Harapan, hlm 29.
menjual perusahaannya kepada pengusaha keturunan Cina. Akibatnya timbul gerakan anti Cina di Indonesia.
Kesulitan-kesulitan ekonomi dan gangguan keamanan seperti itulah yang kemudian memaksa Kabinet Ali II yang sekaligus sebagai kabinet keenam masa
demokrasi liberal itu mengundurkan diri pada tanggal 14 Maret 1957 dan digantikan oleh Djuanda.
Djuanda ditunjuk sebagai perdana menteri bukan karena tokoh partai tetapi karena memiliki keahlian. Karena itu kabinet ketujuh masa demokrasi liberal itu
di samping disebut Kabinet Djuanda juga disebut zaken kabinet kabinet ahli atau kabinet karya. Kabinet ini mulai bekerja 8 April 1957 menetapkan lima program
kerja disebut panca karya. Kelima program kerja itu adalah membentuk dewan nasional, normalisasi keadaan Rebuplik, melancarkan pelaksanaan pembatalan
KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan menggiatkan pembangunan. Dalam masa Kabinet Djuanda ini terjadi beberapa peristiwa penting,
misalnya Peristiwa Cikini usaha pembunuhan Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957. Ketika itu Presiden Soekarno menghadiri pesta sekolah di
Cikini, tempat putra-putri beliau bersekolah. Percobaan pembunuhan itu dilakukan dengan menggunakan granat tangan sehingga menimbulkan banyak
korban, terutama anak-anak sekolah yang berada di muka halaman sekolah. Presiden Soekarno sendiri terhindar dan dapat diselamatkan. Para pelaku peristiwa
percobaan pembunuhan tersebut dapat segera ditangkap dan diajukan ke pengadilan pada tanggal 28 April 1958. Para pelaku adalah Jusuf Ismail, Saadon
bin Mohammad, Tasrif, dan Moh. Tasin bin Abubakat dijatuhi hukuman mati.
Peristiwa penting lainnya pada masa Kabinet Djuanda adalah Operasi Tujuh Belas Agustus untuk menumpas pemberontakan Permesta di Sulawesi.
B. Dekrit Presiden 5 Juli 1959