Peristiwa penting lainnya pada masa Kabinet Djuanda adalah Operasi Tujuh Belas Agustus untuk menumpas pemberontakan Permesta di Sulawesi.
B. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak saja mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir 10 tahun dalam kegoyangan zaman liberal mendambakan
stabilitas politik yang dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung.
7
Konstituante yang mulai bersidang sejak 10 November 1956 di Bandung, yang diharapkan akan bisa membentuk UUD baru, tetapi sampai akhir tahun 1958
belum menunjukkan tanda-tanda berhasil. Persoalan yang menjadi sebabnya adalah Dasar Negara: Islam tuntutan partai-partai Islam atau Pancasila tuntutan
parta-partai non Islam. Golongan pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada golongan Islam tetapi belum mencapai 23 untuk mengesahkan
suatu keputusan tentang Dasar Negara pasal 137 UUDS 1950. Persoalan lain ialah demokrasi macam apa yang akan diterapkan di Indonesia, lebih-lebih setelah
konsepsi Presiden dan dikemukakannya gagasan Demokrasi Terpimpin. Persoalan baru yang ikut menentukan perkembangan politik di Indonesia
ialah dwifungsi ABRI TNI dan Polri. Sepanjang sejarahnya, ABRI selalu menunjukkan sumbangan dan peranannya yang besar, juga dalam persoalan-
persoalan non-militer. Dalam masa revolusi ABRI telah mengendalikan pemerintahan gerilya. Disamping itu di kalangan perwira-perwira ada yang
memiliki kemampuan atau bakat di bidang non-militer yang bisa disumbangkan demi pembangun, Pimpinan ABRI, terutama Nasution, menyadari prestise yang
7
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Rebuplik Indonesia , Jakarta, Balai Pustaka,2008, hlm. 419.
menanjak, sehingga memandang waktunya untuk mendesak kepada pemerintah agar dalam kegiatan-kegiatan non-militer, para perwira tersebut diberi kesempatan
juga. Dengan kata lain, ABRI menghendaki ikut serta dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga non-militer.
Dalam masa keadaan darurat SOB maksud tersebut memang telah tercapai, karena banyak perwira-perwira ABRI yang ambil bagian dalam
kegiatan-kegiatan pemerintahan, usaha-usaha ekonomi maupun sosial. Tetapi kalau keadaan darurat sudah diakhiri, maka ikut sertanya ABRI dalam kegiatan-
kegiatan non-militer akan kehilangan raisond’etre alasannya. Karena itu suatu
saluran baru yang memungkinkan ABRI tetap bisa ber- dwifungsi harus ditemukan: kembali ke UUD 1945 yang antara lain menetapkan bahwa
keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan wakil-wakil daerah serta golongan-golongan dalam masyarakat atau golongan fungsional pasal 2 UUD
1945. Dalam situasi yang genting itu ABRI berhasil memperjuangkan agar mereka dimasukkan dalam golongan yang dimaksud. Oleh karena itulah jalan
formal yang paling baik, sementara Konstituante tidak menunjukkan kemajuan yang diharapkan, ABRI khususnya KSAD Nasution, mendesak agar UUD 1945
diundangkan lagi. Berbagai partai mula-mula tidak setuju dengan gagasan Nasution terutama
yang mengenai persoalan golongan fungsional. Mereka umumnya segan meminta tuntutan ABRI agar disetujui ikut serta dalam kegiatan-kegiatan non-militer.
Tetapi menentang gagasan itu dikhawatirkan akan berakibat lebih buruk seperti yang terjadi di negara Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nasution
menyadari adanya kekhawatiran itu, karena beberapa kali ia mengadakan konferensi antar Komando Daerah Militer reorganisasi dari divisi dalam tahun
1958. Konferensi itu tampaknya mengisyaratkan untuk menggertak partai-partai dan Nasution seolah-
olah berbisik “menerima UUD 1945 atau coup”. Partai-partai sendiri mau melupakan pertentangan mereka sendiri. Menyadari bahaya itu PKI,
yang didirikan oleh perwira-perwira yang nonaktif karena peristiwa 17 Oktober, memelopori persetujuannya untuk menerima kembali UUD 1945 pada 30 Januari
1959. Partai-partai non-Islam, terutama PNI, menyusul. Presiden Soekarno sendiri mula-mula ragu-ragu, sebab ia bukan administrator meskipun UUD 1945
memberi jalan realisasi demokrasi terpimpin. Dalam bulan Februari 1959 Nasution mengadakan lagi konferensi Komando Daerah Militer dan diputuskan
untuk mendesak, terutama Kabinet Karya, agar menerima kembali gagasan kembali ke UUD 1945. Atas desakan itu Kabinet Karya menerima gagasan
kembali ke UUD 1945 pada 19 Februari 1959. Persoalannya sekarang ialah bagaimana cara atau prosedur kembali ke
UUD 1945. Menurut putusan sidang Kabinet Karya tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikam amanat kepada Konstituante berisi permintaan
supaya kembali ke UUD 1945. Kalau Konstituante dapat menerima permintaan tersebut maka pengundangan kembali UUD 1945 akan dilakukan di Bandung
dengan mengeluarkan suatu piagam yang boleh disebut Piagam Bandung. Jadi yang merupakan persoalan sekarang ialah sikap Konstituante. Menurut UUDS
1950 untuk mengambil keputusan tentang persoalan itu, minimal 23 anggota Konstituante harus menghadiri sidang dan 23 dari mereka itu memberikan suara
setuju. Tetapi sampai 3 kali Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak mau menghadiri sidang-sidang Konstituante lagi.
Hal ini sudah pasti menyebabkan Konstituante tidak berfungsi mengemban tugas dari rakyat. Oleh Karena itu, pihak yang pro bersama pihak militer, mendesak
Presiden untuk mengundangkan kembali UUD 1945 dengan Dekrit. Kegagalan Dewan Konstituante untuk kembali UUD 1945 yang baru justru
mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit. Dikeluarkannya Dekrit Presiden memaksa Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan kekuasaan
pemerintahan kembali ke tangan Presiden. Presiden Soekarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat pada tanggal 5 Juli 1959. Isi pokok dekrit ialah
pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950, dan pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan
dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya, serta dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
8
Dekrit tersebut mendapat sambutan dari seluruh rakyat yang sudah jenuh pada ke-mandek-an nasional, korupsi, dan tertundanya pembangunan. Pimpinan
Angkatan Darat, A.H. Nasution, mengeluarkan perintah harian agar mengamankan dekrit itu. DPR hasil pemilu 1955 secara aklamasi bersedia bekerja
terus dalam rangka UUD 1945. Dan dengan berlakunya kembali UUD 1945, roda demokrasi terpimpin dan dwifungsi ABRI menemukan landasannya untuk mulai
berputar.
8
Kardiyat Wiharyanto, A. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009,2011, USD, Yogyakarta. hlm. 87.
14
BAB III PERAN SOEKARNO DALAM DEMOKRASI TERPIMPIN