Latar Belakang Menolak wisata, menjadi warga dunia analisis identitas backpacker sebagai subjek wisata alternatif

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ultimately, travel is all about connections – connections outside us and connections inside us. Don George 1 “Perjalanan itu seperti candu”, kata seorang kawan yang sudah beberapa kali mengunjungi Vietnam dan masih berencana untuk kembali lagi. Apa kiranya yang tertinggal dari perjalanan, yang membuat kita ingin terus kembali? Bagi saya, makna perjalanan itu seperti ingatan, selalu dinamis. Ada banyak hal tertinggal yang biasanya mengajak kita untuk kembali lagi, diantaranya ialah cerita. Cerita tentang keakraban dengan yang datang dan pergi, tentang keintiman dengan perjumpaan dan perpisahan, tentang meninggalkan dan ditinggalkan, serta tentang kedekatan dengan berbagai kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan. Tak jarang kita akan menjumpai banyak hal di dalam diri karena berinteraksi dengan beberapa hal yang kita anggap baru. Karena pada dasarnya perjalanan merupakan penghubungan. Menghubungkan diri dengan apa pun dalam diri, sekaligus dengan yang berada di sekitar. Yang tertinggal dari perjalanan terkadang berupa hal-hal sederhana, seperti alunan musik akordeon dari pengamen jalanan yang sempat menempel beberapa lama dan sering saya mainkan di kepala, atau aroma apple strudel yang baru saja keluar dari oven di kafe kecil yang terletak di sudut kota. Kadang juga berupa antusiasme terhadap sesuatu yang terbagikan dengan orang yang bahkan tidak kita ingat namanya. Secara 1 Dalam Lonely Planet’s Guide to Travel Writing, 2009, hlm. 22. tidak sengaja, pernah saya bertemu dengan beberapa orang, terlibat dalam pembicaraan yang tidak ringan, hingga di akhir pertemuan baru bertukar nama dan lupa. Barangkali perjalanan sangatlah rumit hingga menyisakan banyak perkara di kepala, atau sebaliknya, perjalanan itu biasa saja. Perjalanan memang menyadarkan saya, bahwa banyak hal saling memiliki keterkaitan satu sama lain di dunia. Yang tidak kalah penting ialah bahwa perjalanan mampu menghubungkan saya dengan dunia dan diri, meski penghubungan ini tak jarang dibatasi oleh banyak persoalan. Membincangkan kritik terhadap wisata, jika ditelusuri jauh ke belakang, sudah banyak dilakukan. Bahkan, secara garis besar, penelitian wisata bisa dibagi ke dalam dua kelompok, yang mendukung dan kritis terhadapnya. Kelompok pertama yang mendukung praktik wisata menggunakan pendekatan bisnis, manajemen, ekonomi dan geografi sejauh mendukung industri serta mendeskripsikan tujuan atau objek wisata. Sementara kelompok kedua ialah yang mengambil sikap kritis terhadap praktik wisata, yang sebagian besar datang dari kelompok pendekatan budaya dan pendekatan kontemporer lain yang lebih multidisiplin. Kelompok kedua ini lebih menekankan kritiknya pada fenomena wisata massal yang berorientasi pada bisnis dan sering abai terhadap persoalan lingkungan dan manusia yang diakibatkannya. Praktik wisata massal dalam konteks masyarakat industri, seperti yang saya sebut di atas, sudah tentu banyak menuai kritik. Seiring dengan berkembangnya kritik, konsep wisata pun berkembang menjadi beraneka ragam. Mereka muncul sebagai alternatif dari wisata massal yang sudah banyak menjadi sasaran kritik. Konsep wisata yang lebih ramah lingkungan dan memiliki tanggung jawab budaya serta berupaya mengurangi kerusakan bisa dikategorikan dalam wisata alternatif. Konsep wisata seperti ecotourism 2 , sustainable tourism 3 , voluntary tourism 4 kemudian ditawarkan oleh beberapa agen perjalanan dan wisata untuk mengurangi dampak buruk wisata massal. Meski demikian, sejalan dengan berkembangnya teknologi dan informasi, praktik wisata dan perjalanan kian berkembang dan beragam. Dilihat dari pengalaman individu yang berwisata dan melakukan perjalanan, maka akan muncul berbagai istilah seperti turis, wisatawan, traveler, ekskursionis, backpacker, lifestyle traveller, bahkan nomad, wanderer, dweller dan lain sebagainya. Berbagai definisi wisata dan wisatawan telah dihasilkan. Kebanyakan dihasilkan dari konteks industri wisata, untuk keperluan statistik. Tak hanya itu, berbagai model wisata dan wisatawan pun dibagi berdasarkan motivasi para pejalannya. Akan tetapi, membagi jenis wisata maupun wisatawan berdasarkan motivasinya tidak banyak membantu dalam penelitian ini, karena motivasi manusia dalam melakukan perjalanan bisa saja tumpang tindih satu sama lain, sehingga aktivitas perjalanan maupun perpindahan yang dilakukan individu maupun kelompok individu bisa saja dicurigai sebagai aktivitas wisata, sejauh wisata dimaknai sebagai aktivitas yang melibatkan pencarian kesenangan. Untuk itu diperlukan suatu definisi yang lebih konseptual dalam melihat fenomena wisata ini secara lebih menyeluruh. Sosiologi saat ini ditempatkan sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial yang berkembang di Indonesia. Dari pendekatan sosiologi kita bisa mengatakan bahwa terdapat dua model wisata. Yang pertama ialah 2 Konsep wisata yang sadar lingkungan, hadir sebagai respon dari wisata massal yang merusak. Selain mempertimbangkan aspek lingkungan, konsep wisata ini juga mengedepankan pemberdayaan komunitas dan ekonomi lokal. 3 Sustainable tourism merupakan konsep wisata yang sejalan dengan program global sustainable development, yang selain sadar alam, juga sadar budaya. 4 Konsep wisata yang menawarkan turis untuk tinggal atau menyinggahi tempat seperti panti asuhan, dll, untuk terlibat dalam komunitas yang dikunjungi sebagai relawan. wisata yang ditujukan untuk ‘melarikan diri’ dari rutinitas atau keseharian, sementara yang kedua ialah wisata yang dimaksudkan untuk pembelajaran, penggalian diri serta pendewasaan. Akan tetapi pembagian ini pun masih cukup luas, meski bisa dijadikan pijakan untuk menaruh kecurigaan pada setiap aktivitas yang melibatkan perpindahan dan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain, sebagai aktivitas wisata, dan individu yang melakukannya sebagai turis atau wisatawan. Sekali lagi, pengalaman yang dijadikan fokus dalam penelitian ini jelas bukan pengalaman dari para individu yang berwisata dan melakukan perjalanan dengan niat sekedar liburan, menghabiskan waktu luang di tengah rutinitas. Praktik wisata yang lebih sering diwadahi dalam bentuk wisata massal tersebut sudah jelas menuai kritik dari banyak penelitian yang sudah ada. Yang saya permasalahkan dalam penelitian saya ini lebih bisa diwakili oleh apa yang sering disebut dengan backpacker, para pengelana yang menjadikan wisata sebagai bagian dari hidupnya, yang mengaku tidak sekadar bersenang-senang, namun lebih melibatkan pemaknaan dengan diri. Selain itu, kadang mereka juga mempermasalahkan istilah turis jika dilekatkan pada identitas mereka. Secara sosial, mereka juga sering dianggap lebih sensitif terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya, sehingga pola berwisatanya menjauhi praktik wisata arus utama. Namun apakah pola interaksi dan komunikasi yang dihasilkan cukup berbeda dari gaya berpindah lain seperti turis? Inilah yang menjadi salah satu pertanyaan yang mendorong penelitian ini. Fenomena ini ada di sekitar kita. Saya sering bertemu dengan beberapa di Jogja, di daerah sekitar Prawirotaman, Nitiprayan, Sosrowijayan. Beberapa terlibat dalam komunitas seni, gerakan sosial dan kelompok akademis. Sementara yang lainnya ada yang bekerja dan ada yang tidak. Ada yang sudah tinggal bertahun-tahun dan bahkan menjalin kedekatan dengan orang setempat. Secara fisik kebanyakan terlihat dari ras Kaukasoid. Dalam beberapa hal, perjalanan memang membuka kemungkinan untuk mempertemukan kita dengan banyak peristiwa. Akan tetapi ia juga dekat dengan ketidakmungkinan yang membuat perjalanan sangat mudah bagi beberapa orang, namun tidak untuk yang lainnya. Harus diakui, meski perjalanan dan wisata sudah menjadi fenomena yang mendunia, seolah batas antar negara sudah tidak menjadi halangan, kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang membatasi keterhubungan kita dengan dunia, mulai dari hal-hal yang sifatnya administratif dan ekonomis, sampai hal-hal yang tidak begitu kentara namun terasa. Banyak cara dan pendekatan yang bisa diambil untuk meneliti dan mengurai fenomena perjalanan, wisata beserta berbagai perkaranya, secara lebih khusus menyangkut gaya bepergian yang dirasa lebih etis ini. Meski terlihat lumrah, mendunia dan sudah banyak dilakukan orang, bepergian dengan gaya ini masih menyisakan masalah. Secara umum bisa kita katakan bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama atas informasi, dalam hal ini informasi untuk bepergian dengan cara murah dan mudah. Tidak semua orang memiliki kemudahan sama ketika menghadapi persoalan administrasi menyangkut perpindahan dan perjalanan. Serta tidak semua orang mendapatkan perlakuan ataupun keramahan yang serupa satu sama lain. Jika gaya bepergian ala backpacker ini secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa borderless tourism is possible for everyone, penelitian ini bersikap skeptis terhadapnya. Untuk mengurai bagaimana ketimpangan yang ada ini mengambil bentuknya dalam fenomena perjalanan dan wisata, penelitian ini mengambil proses pembentukan identitas para backpacker sebagai pintu masuk. Karena dalam proses pembentukan identitas ini terdapat motivasi manusia yang tidak pernah sederhana. Penelitian yang membahas motivasi para turis untuk melakukan perjalanan sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya ialah yang dilakukan oleh Cohen berjudul The Search for Self for Lifestyle Traveller. 5 Dalam disertasinya ini ia meneliti proses pencarian diri para pengelana yang ia sebut sebagai lifestyle traveller. Istilah lifestyle traveller sengaja ia pilih untuk menghindari istilah lain seperti turis, drifter dan wanderer. Asumsi bercorak postrukturalis ia jadikan dasar dalam mengurai argumentasinya di seputar pembentukan diri ini. Sambil mengkritisi paradigma sosiologis ia mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa ‘true self’ merupakan hasil konstruksi. Proses konstruksi diri inilah yang ia jabarkan untuk memperoleh deskripsi atas beragamnya motivasi para traveller. Penelitiannya dilakukan di India Utara dan Thailand Selatan. Ia meneliti 25 orang yang ia sebut sebagai lifestyle traveller, yang mendefinisikan diri mereka berdasarkan kombinasi cair atas kedirian mereka, yang menempatkan perjalanan sebagai gaya hidup dan yang berjalan dalam rangkaian perjalanan sekitar enam bulan atau lebih. Dari penelitian lapangan yang ia lakukan ini, ia menyimpulkan bahwa ternyata masih banyak yang berpandangan romantis, bahwa jati diri dapat ditemukan bukan dibentuk. Selain itu ia menemukan motivasi lain seperti eskapisme, kebebasan dan proses pembelajaran melalui tantangan. Menurut Cohen, penelitiannya ini sudah memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan karena mampu 5 Scott Allen Cohen 2009, The search for ‘self’ for lifestyle travellers, disertasi yang tidak diterbitkan, Universitas Otago, Selandia Baru. melakukan konseptualisasi atas kedirian para lifestyle traveller dengan berbasiskan penelitian empiris. Penelitian ini ia lakukan karena penelitian-penelitian sebelumnya di seputar wisata, gaya hidup dan diri, tidak cukup informatif meski sudah banyak pendekatan yang bisa dipakai secara multidisiplin. Secara ringkas, penelitian Cohen ini mencoba melihat fenomena wisata atau perjalanan masa kini dengan asumsi dasar postrukturalis. Fokus penelitiannya ia tempatkan pada pengalaman para lifestyle traveller. Dengan menggunakan beberapa pendekatan filsafat kontemporer atau postrukturalisme secara bersamaan, ia justru menemukan kebalikannya di lapangan. Berbagai paradigma postrukturalis canggih yang dipakai Cohen dalam melihat fenomena wisata ternyata tidak ditemukan dalam diri para traveller yang menganggap perjalanan sebagai gaya hidup. Justru banyak yang masih menganggap perjalanan sebagai proses pencarian jati diri, perburuan kebebasan, proses belajar dan menghindari kenyataan. Meski penelitian yang sudah dilakukan Cohen mampu menjabarkan beragam teori kontemporer yang bisa ditempatkan dalam penelitian wisata yang berkaitan dengan konteks konstruksi diri dan mendeskripsikan beragam motivasi serta kedirian para traveller, penelitian di seputar diri para pengelana ini masih perlu saya lakukan. Jika dibandingkan dengan penelitian Cohen, tema yang saya pilih lebih sempit. Untuk menggali motivasi manusia dalam melakukan perjalanan, saya menempatkan fokus penelitian pada proses identifikasi diri para backpacker dengan melakukan perjalanan atau memilih gaya hidup tersebut. Pendekatan yang saya pakai pun tidak sebanyak Cohen, yang menggabungkan berbagai paradigma seputar diri hingga disertasinya tersebut menjadi ramai dengan kutipan. Penelitian identitas budaya backpacker ini akan dilakukan dengan metode etnografis. Etnografi juga diposisikan sebagai pendekatan dalam menyajikan data, lebih spesifiknya ialah imajinasi etnografis yang ditulis oleh Paul Willis. Sementara untuk keperluan analisis persoalan dalam menjawab pertanyaan yang disarikan dalam rumusan masalah, tesis ini menggunakan beberapa konsep, seperti identitas Deleuzoguattarian dan teori produksi ruang Lefebvre. Selain penelitian Cohen di atas ada juga penelitian yang mengangkat tema seputar backpacker dengan perspektif poskolonial, berjudul Backpacking Tourism: Morally Sound Travel or Neocolonial Conquest. 6 Ia mempertanyakan klaim-klaim moral yang sering diasosiasikan dengan backpacker. Baginya para backpacker bukannya menjadi jawaban dari persoalan wisata selama ini, akan tetapi justru melanggengkan kolonialisme. Kini, dengan menjadi backpacker sekalipun masih melanggengkan neokolonialisme, menurutnya. Pendekatan yang dipakainya ialah pendekatan poskolonialisme yang sudah bersikap anti wisata. Pendekatan poskolonialisme menganggap bahwa wisata merupakan kelanjutan dari kolonialisme, terutama pada tataran mental. Akan tetapi Gula hanya berhenti disitu, yakni dengan menunjukkan bahwa backpacking tourism pun masih bermasalah karena masih berada dalam paradigma dan kerangka pikir kolonialis, menemukan kesenangan dengan melihat yang lain. Dengan kata lain, kesenangan dalam berwisata didapat melalui eksotisasi. Satu hal yang saya ambil dari penelitian Gula tersebut ialah skeptisismenya. Dari tesis Gula tersebut, saya ingin mengurai dan mengeksplisitkan persoalan yang bagi saya sangat mengganjal dalam perjalanan atau praktik wisata, yakni hubungan sosial dalam praktik wisata jaman sekarang. Saya setuju dengan pendapat Gula bahwa wisata adalah 6 Lauren Gula 2006, Backpacking Tourism: Morally Sound Travel or Neocolonial Conquest, tesis yang tidak diterbitkan, Universitas Dalhousie. lanjutan dari paradigma kolonialisme. Meski demikian, ada yang belum terjelaskan bagi saya, yakni mengenai relasi sosial yang terjadi dalam praktik wisata tersebut. Melalui pengalaman dari para pelakunya, saya ingin menggali, sejauh mana hubungan sosial dalam praktik wisata tersebut menunjukkan kedewasaan manusia sebagai warga dunia. Selain mengajukan kritik seperti yang telah dilakukan Gula, dalam penelitian ini saya ingin menunjukkan potensi transformasi dan emansipasi yang ada dalam identitas backpacker, sehingga menghindari kritik yang membabi-buta.

B. Rumusan Masalah