105 105
kemudahan ijin tinggal serta pendapatan tiap bulan. Yang juga nampak dari pembahasan ini ialah bahwa kepergian orang-orang meninggalkan tanah asalnya bukan berdasar
keterpaksaan, namun karena pilihan.
2. Hitchhiking sebagai Respon atas Industri Transportasi
Untuk dapat menempuh perjalanan panjang dan dalam rentang waktu yang tidak singkat, diperlukan stamina. Stamina para backpacker ini berupa modal material dan
sosial, seperti yang sudah dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya. Modal sosial dan material ini kemudian ditopang dengan cara bepergian yang hemat, meski penuh resiko
dan tantangan. Hitchhiking merupakan salah satu cara yang menopang stamina backpacker dalam memperpanjang durasi perjalanan. Para hitchhiker biasanya dikenal
dengan simbol jempol, karena begitulah cara mereka mencari tumpangan di jalan. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, hitchhiking hampir serupa dengan menumpang.
Yang ditumpanginya bisa berupa kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Untuk menumpang kendaraan umum, seperti kereta atau bus umum, para hitchhiker umumnya
tidak perlu mengacungkan jempol seperti ketika mereka mencari tumpangan pada kendaraan pribadi. Untuk menumpang bus atau kereta umum, mereka tinggal masuk
tanpa membeli atau membayar tiket. Meski kadang mereka harus berurusan dengan petugas, cara ini cukup populer ditempuh sebagian besar anak muda untuk menghemat
pengeluaran. Sebagian dari partisipan dalam penelitian ini pun cukup akrab dengan cara
bepergian ini. David Kammerer, Koen Dekeyser, Olga Kusmina, Claudia, Emilia dan James Morgan mengaku cukup sering hitchhike. Namun tak satu pun yang menempuh
perjalanan dengan cara ini seratus persen. Seperti James Morgan misalnya. Dari semua
106 106
partisipan, James Morgan lah yang paling banyak memiliki pengalaman dalam perjalanan. Barangkali terkait dengan usianya yang sudah hampir menginjak 40 tahun.
Ia mengaku sudah sering hitchhike, baik di Eropa maupun Asia. Akan tetapi, ia tetap masih menggunakan jasa penerbangan. Dari Eropa ke Asia, ia biasanya menempuh
jalan udara, dengan pesawat terbang, baru setelah tiba di Asia, ia melanjutkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain dengan
hitchhiking. Selain James Morgan, Koen Dekeyser juga mengaku sering hitchhiking. Ia
melakukannya sejak menginjak remaja bersama dengan teman-temannya yang juga aktif dalam kegiatan semacam pramuka. Namun lambat laun ia berani melakukannya
seorang diri dan itu sangat sering ia lakukan ketika di Eropa. Sewaktu menjalani program pertukaran pelajar di Turki pun ia juga sempat hitchhike menuju Slovakia.
Menariknya, ia mempunyai alasan yang cukup mendalam untuk menjadi hitchhiker. Baginya, dengan menjadi hitchhiker, ia akan lebih menghargai proses perjalanan itu
sendiri. Ia tidak sekedar menjadikan perjalanan sebagai sarana menuju tempat tujuan. Baginya perjalanan itu sudah menjadi sesuatu yang menarik dan sangat penting untuk
dinikmati. Dengan mengeluarkan biaya perjalanan, orang cenderung akan pasif dan ingin cepat sampai tujuan. Dengan tidak membayar, orang akan lebih peka dan lebih
sadar akan apa yang terjadi di sekitar selama dalam perjalanan. Dengan tidak mengeluarkan biaya, orang akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan kendaraan
atau tumpangan. Sehingga ketika telah mendapatkan tumpangan, tiap detik dalam perjalanan akan terasa nikmat. Ituah yang ia cari dalam hitchhiking.
“Aku hitchhike, karena hitchhiking adalah
cara bepergian
yang mmm,.inilah bepergian dan bukan liburan. Jika aku pergi ke Slovakia
dengan pesawat terbang, maka itu liburan, bukan perjalanan. Karena
107 107
kamu hanya akan mencapai tempat tersebut atau pergi lagi. Sementara ketika kamu hitchhiking, kamu perlu melakukan upaya yang sungguh-
sungguh untuk bisa tiba atau pergi ke suatu tempat. Kamu harus benar- benar bisa berhasil untuk sampai ke tempat tujuan. Itulah alasannya, kamu
harus benar-benar bisa menumpang di mobil. Jika biasanya kamu naik bus, ketika di dalam bus kamu hanya duduk dan mengistirahatkan otakmu,
sambil berharap untuk segera tiba di tempat tujuan. Lain ketika kita hitchhiking, ketika aku berada di sebuah truk aku berada di kendaraan
yang melaju 8 km per jam, aku bisa merasa sangat bahagia dalam setiap meter yang ditempuh. Ada yang berbeda pada cara melihat perjalanan,
karena kamu harus dengan serius mengupayakan untuk bisa mendapat tumpangan atau kamu bisa saja bertemu dengan orang yang menarik
ketika di jalan. Hal ini lebih menantang dan satu hal lagi bahwa hitchhiking ini memakan lebih banyak waktu dan kadang kamu akan
menjumpai pengalaman yang aneh dan bahkan berbahaya. Ya, banyak pengalaman berbahaya yang kujumpai, karena aku banyak melakukan
hitchhike.” Koen Dekeyser, wawancara, 21 Januari 2014
Selain di Eropa, ia juga sempat hitchhike sewaktu di Sulawesi. Menurut ceritanya, ia juga melihat orang setempat melakukan hal yang sama, hanya saja dengan
cara yang berbeda. Jika Koen mencari tumpangan dengan mengacungkan jempolnya di pinggir jalan, berbeda dengan orang Sulawesi yang melambaikan tangan. Ia pun
mendapatkan tumpangan dengan cukup mudah di sana. Karena seringnya ia hitchhike, pengalaman yang telah dijumpainya pun
beragam. Mulai dari pengalaman menyenangkan hingga pengalaman yang aneh dan tidak menyenangkan. Satu diantara pengalaman yang ia ceritakan, yang ia anggap
paling aneh sekaligus berbahaya, ialah ketika ia melakukan perjalanan di Jerman. Saat itu ia berhasil menumpang mobil pribadi. Setelah beberapa saat, tiba-tiba si pemilik
mobil yang juga mengendarai mobil tersebut menghentikan mobilnya dan menurunkan Koen di tengah-tengah jalan bebas hambatan. Padahal di jalan bebas hambatan tersebut,
kendaraan apapun bisa melaju sekencang-kencangnya, dan hampir semua kendaraan yang ia lihat melaju sangat kencang. Dalam keadaan seperti itu, ia berpikir bahwa ia
tidak akan dapat kendaraan untuk ditumpangi, karena dengan kecepatan tinggi, tak ada
108 108
kendaraan yang menyadari keberadaannya. Setelah beberapa saat berjalan kaki, tak disangka, sebuah mobil van yang dikendarai lelaki India berhenti dan menawarinya
tumpangan. Ia cukup merasa heran sekaligus senang, karena ada yang memberinya tumpangan. Meski heran, tanpa pikir panjang, ia pun mengiyakan tawaran tersebut.
Partisipan lain yang juga sering hitchhike ialah David Kammerer dan Olga Kusmina. David Kammerer mengaku sering hitchhike di Eropa. Tak hanya hitchhike, ia
pun banyak berjalan kaki. “Aku mulai benar-benar menempuh perjalanan ketika aku berumur 15 tahun. Aku bepergian keliling Eropa dengan kereta api. Kemudian aku
lebih banyak hitchhike dan berjalan kaki. Indonesia adalah negara pertama yang kusinggahi dan aku langsung jatuh cinta dengannnya.” David Kammerer, wawancara,
11 Agustus 2013 Selain David, Claudia juga mengaku sering hitchhike ketika masih berada di
Roma. Ia sering melakukan ini dengan temannya yang ia anggap cukup ‘gila’. Namun ia tak pernah melakukannya seorang diri, karena ia merasa itu sangat beresiko. Menurut
ceritanya, tidak semua kota atau negara ramah terhadap hitchhiker. Hal itu tak hanya beresiko bagi orang yang menumpang, namun juga pengendara yang ditumpangi,
karena bisa saja bukan hitchhiker yang menumpang di tengah jalan, tetapi orang yang berniat jahat.
Dari sini kita bisa mengatakan bahwa hitchhiking merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam memanfaatkan celah yang ada pada sistem transportasi dan
kepemilikan pribadi. Dan dari beberapa partisipan, ada yang memaknai hitchhike ini secara cukup mendalam karena melibatkan tubuhnya dalam memaknai caranya
menempuh perjalanan. Koen Dekeyser, seorang partisipan yang sering melakukan hal
109 109
ini, bisa menikmati dan menghayati apa yang ia lakukan. Ia juga banyak mendapat keuntungan dengan melakukan hal itu. Selain keuntungan material ekonomi, Koen juga
banyak mendapat pengalaman, dan itulah yang ia nikmati. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Willis dengan sensuous meaning.
“Manusia memanfaatkan objek dan artefak tidak semata-mata untuk menarik pemaknaan atau informasi dalam suatu kode yang dialamatkan ke
orang lain, namun juga memanfaatkannya sebagai media secara tidak langsung untuk mendapat kepuasan dan pemenuhan kebutuhan ragawi,
sehingga yang bermakna merupakan yang paling menyenangkan dan paling memuaskan dalam memproduksi pemakaian secara langsung
dengan kebutuhan manusia dan mengakibatkan perluasan kapasitas manusia dan rasa dalam proses pembentukan identitas budaya. Tentu saja
penggunaan ragawi di sini terjadi di tengah dunia sosial yang komunikatif, sehingga proses pemaknaan tidak bisa diabaikan sebagai prakondisi,
media sekaligus hasil.” Willis, 2000: 19-20.
3. Berbaju Batik, Berbahasa Inggris