Beda Komunikasi dianggap Basa-basi

147 147 pertemuan yang mulus, melainkan berwujud benturan, sehingga tak jarang memunculkan reaksi yang cukup menarik. Dari situlah dinamika didapat. Selain persoalan di atas, masih ada benturan lain yang juga tak kalah menarik.

2. Beda Komunikasi dianggap Basa-basi

Masih seputar persoalan interaksi antar manusia, yang selalu melibatkan bahasa dan komunikasi. Dalam kasus ini, Claudia menjumpai pengalaman yang cukup memantik kejengkelan dan mempengaruhi dirinya, yakni perihal interaksi antar teman. Selama di Jogja, pertemanan yang ia jalin sejauh ini sering didasari dengan ketidakjujuran. Ketidakjujuran yang dimaksud di sini lebih dekat dengan keterbukaan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi. Bagi Claudia, kebanyakan orang yang ditemuinya di Jogja lebih memilih untuk bersikap sopan daripada mengungkapkan kejujuran. Itulah yang sangat ia benci. “Karena jika demikian, berarti aku berada di sekitar orang-orang yang masih mempertahankan jarak atau orang-orang yang hanya berusaha untuk disukai, agar aku menyukainya. Dan mereka juga berkata, ya..ya. seperti ketika kamu menyukai sesuatu dan mereka akan bilang, ya aku juga menyukainya. Mereka menyepakatinya hanya karena teman-teman Darmasiswa ini semua bule. Tetapi bagiku, aku lebih senang jika orang berkata tidak, aku tidak suka dengan hal itu, aku suka yang lain. Terlebih karena aku berasal dari daerah yang cukup jauh, dengan budaya yang juga sangat jauh berbeda, jadi aku ingin datang ke suatu tempat untuk melihat banyak perbedaan. Akan tetapi jika orang hanya menunjukkan kesamaan kita, tak akan ada perbedaan yang bisa kujumpai. Barangkali perlu juga untuk lebih mengerti budaya dan cara kerja budaya tersebut di sini. Sepertinya penampilan luar dari suatu hubungan sosial itu sangat penting. Di Itali, jika kamu memiliki persoalan dengan seseorang, kamu harus mendatanginya dan mengatakannya secara langsung di depan mukanya persis. Jadi bagiku, ketika aku mengatakan sesuatu dengan penuh simpati di Itali, orang akan heran. Dan aku sangat berharap dari pertemanan yang seperti ini.” Claudia Manzella, wawancara, 16 Januari 2014 148 148 Nampaknya persoalan yang disebut dengan basa-basi ini cukup menjadi hal yang serius bagi Claudia, sehingga mempengaruhi kebiasaannya. Pada awalnya, Claudia memiliki imajinasi akan Asia yang damai dan masyarakatnya saling gotong- royong. Setelah beberapa saat tinggal di Indonesia, bukan ketenangan yang ia dapat, justru sebaliknya. Ia pun merasa bahwa kini ia menjadi orang yang lebih sering marah, dibandingkan dengan dulu yang cenderung lebih tenang. “Ya, namun sebenarnya perubahan personalku lebih cenderung memburuk. Yang kumaksud dengan buruk di sini ialah alih-alih mendapatkan filosofi kedamaian dan sebagainya, aku mulai banyak merasa sedih dan marah. Padahal dulu aku orang yang cukup tenang, yang memimpikan Asia, dan ketika di sini aku merasa marah ketika orang banyak membohongiku, aku juga merasa sedih.” Claudia Manzella, wawancara, 16 Januari 2014 Dalam pengalaman serupa, Emilia juga kemudian membuat generalisasi. Ia menganggap bahwa semua orang Asia lebih suka berbasa-basi daripada mengungkapkan kejujuran. Hal ini ia ungkapkan ketika ia mencari perbedaan Eropa dan Asia, “Cara manusia saling berkomunikasi berbeda dengan orang di Eropa. Di Eropa orang lebih langsung dan mengungkapkan apa yang sungguh mereka pikir, meski hal ini kadang tidaklah menyenangkan. Sementara di Asia, orang lebih memilih untuk menjadi lebih sopan daripada mengatakan kebenaran, dan mereka juga tidak suka mengakui kalau sebenarnya mereka tidak mengetahui sesuatu, itu sangat memusingkan dan membuatku terganggu, karena aku harus menebak apakah yang mereka katakan sama dengan yang mereka pikirkan.” Emilia, wawancara, 22 Agustus 2013 Persoalan basa-basi komunikasi ini juga disampaikan Asyouwasnt. Ia pun tidak menyukai dan tidak bisa mengerti akan hal ini. Dari bermacam pengalamannya yang dihasilkan setelah ia berinteraksi dengan banyak orang setempat, ia membuat semacam kesimpulan, 149 149 “Meski ini bukanlah hal yang menyenangkan untuk dikatakan, namun ini juga sempat dikatakan oleh Kartini, bahwa kebanyakan orang di sini secara emosional belumlah dewasa, mereka seperti orang tua yang kekanakan. Mereka akan senyum pada pertemuan pertama, namun tak lama kemudian mereka akan bergosip. Suatu saat seseorang pernah sangat marah dengan orang lain, mereka berusaha untuk bersikap seolah satu sama lain tidak ada di sekitar. Namun banyak juga yang sepertinya mengharap agar orang kebanyakan memiliki bola kristal untuk memahami mereka. Akan tetapi, orang-orang yang menyenangkan memiliki jiwa muda dan memiliki keinginan untuk berhubungan dengan dunia luar.” Asyouwasnt, wawancara, 1 Januari 2014 Dari cerita seputar pengalaman di atas, kita bisa melihat adanya dominasi sikap geram bercampur kesal yang banyak dirasakan oleh para partisipan. Secara umum bisa dilihat bahwa, kedatangan mereka pertama di Jogja mereka sambut dengan semangat belajar dan bertemu dengan banyak hal baru. Awalnya mereka juga sangat antusias dengan hal-hal baru yang mereka jumpai tersebut. Pada mulanya para partisipan ini cukup menikmati dengan perbedaan ritme hidup yang ada. Mereka mengungkapkan bahwa mereka baik-baik saja dengan ritme kota Jogja yang menurut mereka terlalu santai. Akan tetapi apa yang terjadi pada diri dan tubuhnya seperti ingin mengatakan lain hal, bahwa mereka hampir tidak tahan menghadapi budaya “santai saja” tersebut. Ada yang kemudian ingin segera pergi meninggalkan kota, ada yang menjadi lebih pemarah dan tempramental karena menghadapi banyak orang yang santai saja. Tidak hanya itu, mereka juga tidak tahan ketika harus menghadapi pola komunikasi yang berbeda. Kebanyakan dari mereka datang dari kebudayaan yang sangat tegas ketika berbicara tentang waktu, tegas ketika berbicara tentang rencana dan jadwal. Perbedaan pola komunikasi yang muncul di sini juga menghasilkan benturan budaya yang belum selesai dipersoalkan, sehingga banyak hal yang mereka tidak suka dianggap sebagai basa-basi yang sangat basi. 150 150 Semua partisipan dalam penelitian ini sudah dan sedang menempuh perjalanan sekurang-kurangnya enam bulan. Mereka juga merasa sudah berada di Jogja dalam rentang waktu yang tidak singkat. Mereka cukup kecewa ketika masih diperlakukan seperti orang asing. Mereka tidak suka dipanggil dengan sebutan bule, sebutan turis atau mendapat keramahan yang luar biasa. Meski awalnya mereka nikmati, mereka tidak suka dikagumi dan dijadikan tontonan kemudian. Mereka juga membayangkan yang sebaliknya dan mengatakan bahwa jika seorang Asia pergi ke Eropa, maka ia tidak akan mendapat perlakuan yang sama seperti apa yang mereka dapat. Mereka mengatakan bahwa orang Asia tidak akan mendapat perlakuan yang diskriminatif disana. Barangkali ada yang dilupakan di sini, adanya hirarki budaya, yang salah satunya merupakan warisan kolonialisme yang sudah tertanam sejak lama, yang dilupakan oleh para backpacker ini.

3. Dilema Manusia di Ujung Jalan