Hak-hak ini tidak pernah diperoleh pada masa kolonial. Pada masa penjajahan, kehidupan rakyat merasa tertekan karena dipaksa untuk berkerja dengan upah
yang kecil. Kemerdekaan yang diusung Lekra ialah memperjuangkan kehidupan rakyat secara layak melalui seni dan kebudayaan-kebudayaan nasional.
Lembaga Kebudayaan Rakyat merupakan laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari
amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, dan musik ngak-ngik-ngok.
9
Menurut Lekra, budaya ini tidaklah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
berkebudayaan timur. Oleh sebab itu, kebudayaan yang diusung oleh Lekra haruslah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah mulai tergusur oleh
kebudayaan asing. Kebudayaan asing akan diambil dan diterima dengan sikap yang lebih kristis serta disaring atas kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia
sendiri. Tidak hanya Lekra, lembaga kebudayaan lainnya ialah Manifes Kebudayaan
yang didirikan oleh para penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963. Dalam perkembangannya, kedua lembaga kebudayaan ini terlibat dalam berbagai
perselisihan. Perselisihan ini merupakan dampak dari kondisi pergolakan politik di Indonesia pada masa itu.
Pada masa itu, seni dan politik selalu beriringan serta saling melengkapi satu sama lain. Seni menjadi pendukung jalan politik dan begitu pula sebaliknya.
Seiring perkembangannya, Lekra menjadi sangat dekat dengan salah satu partai
9
Ibid.., hlm.486.
besar saat itu yaitu PKI Partai Komunis Indonesia. Kedekatan ini dikarenakan sebagian dari para pendiri Lekra merupakan petinggi-petinggi PKI, seperti Njoto
dan D.N. Aidit.Selain itu, banyaknya kesamaan prinsip dan paham membuat keduanya saling membutuhkan. Lembaga kebudayaan ini memiliki banyak
anggota dengan berbagai kegiatan merakyat sehingga mendapat simpati dari rakyat-rakyat kecil. Kedekatan antara Lekra dan PKI akhirnya memberi dampak
buruk bagi Lekra, terlebih pasca meletusnya Peristiwa 65. Seiring dengan tumbangnya ideologi Komunis di Indonesia dan bergantinya
penguasa politik, akhirnya Lekra dibubarkan berdasarkan Tap MPRS Nomor XXVMPRS tahun 1966 tentang pelaranggan Komunisme, Leninisme, dan
pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.
10
Para seniman Lekra kemudian ikut diburu dan ditangkap oleh pemerintah pada masa itu dan Lekra
dinyatakan sebagai lembaga terlarang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi berjudul Lekra dalam Perkembangan Politik di
Indonesia 1950-1965 ini. Rumusan permasalahan tersebut sebagai berikut:
1. Apakah latar belakang berdirinya Lekra ?
2. Bagaimana proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan ?
3. Apa dampak perkembangan Lekra di bidang politik dan sosial ?
10
Tempo,op.cit., hlm.71.
C. Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan dari skripsi ini yang ingin dicapai antara lain adalah:
1. Untuk menjelaskan latar belakang berdirinya Lekra.
2. Untuk mendeskripsikan proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan.
3. Untuk menjelaskan dampak perkembangan Lekra di bidang politik dan
sosial.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dapat menambah ilmu, pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam memahami
sumbangan Lembaga Kebudayaan Rakyat untuk Bangsa Indonesia. Penelitian skripsi ini juga memberi pengalaman tersendiri bagi penulis. Skripsi ini pun dapat
digunakan sebagai kajian lebih lanjut bagi institusi atau lembaga terkait, mahasiswa, dan pihak lain yang membutuhkan.
E. Kajian Pustaka
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai permasalahan tersebut di atas, maka penulis berusaha mencari sumber-sumber yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan tersebut di atas. Sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam menyusun skripsi ini antara lain buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan
Muhidin M Dahlan berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian rakyat 1950-1965 diterbitkan oleh Merakesumba pada tahun
2008. Buku ini memberikan gambaran tentang perjuangan Lekra dalam membangkitkan kembali kebudayaan-kebudayaan daerah dan semangat revolusi
dalam melenyapkan kebudayaan kolonialis dan imperialis. Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lembaga Kebudayaan Rakyat menjadikan
dirinya sebagai generator bangkitnya kebudayaan rakyat sekaligus memfasilitasi tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi kebudayaan yang sudah hidup dalam
masyarakat.
11
Gerakan kebudayaan ini menjadi salah satu aksi nyata dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari amukan budaya luar yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa. Buku lainnya adalah buku yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada
tahun 2003, berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini membahas paham realisme-sosialis yang disebut-sebut
sebagai ideologi dari Lembaga Kebudayaan Rakyat dalam menjalankan program- program kebudayaannya. Menurut Pramoedya Ananta Toer, realisme merupakan
istilah dalam kesenian dan kesusasteraan yang berbeda dari istilah yang dikenal oleh dunia Barat selama ini.
Lekra menggunakan paham realisme-sosialis hanyalah sebagai penamaan satu metode di bidang sastra dan hubungan filsafat dalam metode penggarapan
dengan estetiknya sendiri. Istilah Realisme-sosialis mencakup persoalan taktik dan strategi mengembangkan sastra seperti dalam mengemukakan plot, gaya
11
Rhoma Dwi Aria Yulianti, op.cit., hlm. 337.
bahasa, perbendaharaan kata, pilihan kata, metode penyampaian, kontras, dan sebagainya yang sifatnya sama sekali telah akademik.
12
Paham realisme sosialis juga diceritakan pada buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra: Harian Rakyat 1950-1965, karya Muhidin M
Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri yang diterbitkan oleh Merakesumba. Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh para seniman Lekra dalam
koran Harian Rakyat pada tahun 1961, menghimpun 97 cerpen dari 111 penyair Lekra dalam menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa itu. Tulisan para
eksponen Lekra merupakan contoh gaya realisme sosialis yang ditemukan, di dalam dan dipraktikkan di lapangan kesustraan Indonesia.
13
Buku berikutnya berjudul Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa- Lekra 1950-1965, karya Antariksa yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Cerneti
pada tahun 2005. Buku ini menceritakan hubungan sosial politik Lekra dengan seni rupa. Antariksa memaparkan kemunculan sanggar-sanggar kesenian pada era
1950-1960an yang termotivasi akan kesadaran rakyat tentang kebudayaan asli Indonesia pada saat itu. Keprihatinan Lekra terhadap budaya Barat yang
berkembang dan merusak citra serta budaya asli. Lekra berkerja dengan menggarap ladang-ladang kebudayaan yang berasal dari kehidupan rakyat sehari-
hari. Kehidupan rakyat yang diekspresikan oleh para seniman Lekra tidak lepas dari seni rupa, tari, drama, lundruk, puisi dan sebagainya.
12
Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003, hlm. 18-22.
13
Realisme sosialis merupakan realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme adalah militansi sebagai ciri yang tidak kenal kompromi terhadap lawan. Realisme sosialisme
terbuka akan hal yang baru namun dengan sikap yang progresif dan revolusioner.
Dalam mengembangkan lembaga kebudayaannya, Lekra mengadakan Kongres I di Solo pada tahun 1959 yang diceritakan pada buku Laporan
Kebudayaan Rakyat. Buku yangditerbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat pada tahun 1959 ini, berisi tentang hasil kongres nasional ke-I yang dilaksanakan
di Solo pada tanggal 22-28 Januari 1959. Kongres ini merupakan kongres terpenting bagi Lekra karena membahas langkah-langkah Lekra ke depannya.
Segala hal yang berkaitan dengan Lekra disusun dan diperbaharui kembali sehingga dapat menjadi suatu pegangan dalam melaksanakan program-program
kerja. Kongresini juga dihadari oleh para undangan dari luar negeri. Kongres I ini, selain membahas langkah-langkah Lekra ke depan, juga
membicarakan sumbangan Lekra pada jalannya revolusi. Revolusi Agustus selain memberi kebebasan politik bagi Indonesia dari penjajahan dan feodalisme juga
memberikan dasar baru bagi perkembangan kebudayaan. Menurut Lekra, Revolusi Agustus telah membebaskan kesenian dan ilmu dari belenggu yang
mengikat selama penjajahan Belanda dan pendudukan tentara Jepang.
14
Gerakan kebudayaan juga diceritakan dalam buku yang berjudul Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra, karya M. Agus Burhan yang diterbitkan
oleh UNS PRESS pada tahun 2013, menggambarkan keberadaan seni lukis yang menyuarakan penderitaan kehidupan rakyat. Melalui buku ini, M. Agus Burhan
mencoba membahas pengaruh paradigma kerakyatan dalam perkembangan seni lukis, yang telah muncul pada masa kolonial Belanda. Situasi sosial ekonomi yang
merosot pada masa itu ikut memberikan dorongan bagi timbulnya pemikiran
14
Kongres Nasional Umum Pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat, Penerbit Lembaga Kebudayaan Rakyat, 1959, hlm. 14.