IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN BUKU ERA REFORMASI DI INDONESIA Studi atas Pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965.

(1)

Oleh:

Efendi Ari Wibowo NIM. 09401241034

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk praktik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bentuk perlawanan atau advokasi warga negara terhadap kebijakan pelarangan buku tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah penulis buku yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Staf Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I. Yogyakarta yaitu Arif Raharjo, S.H., dan pengamat perbukuan yaitu Eko Prasetyo. Subjek penelitian ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta dan Perpusatakaan Indonesia Boekoe, Yogyakarta. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam, dan dokumentasi. Data dianalisis secara induktif. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik cross chek.

Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa: (1) bentuk praktik kebijakan pelarangan buku berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hal tersebut dilakukan melalui alur kerja sebagai berikut: pengumpulan informasi, rapat clearing house, pengeluaran surat keputusan pelarangan oleh Jaksa Agung, kemudian penyitaan dan pemusnahan buku. Buku tersebut dilarang melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 pada tanggal 22 Desember 2009 dengan kriteria penilaian bahwa sampul buku bagian depan bergambar palu arit, mencantumkan istilah “G30S” tanpa diikuti istilah PKI, dan mendiskreditkan pemerintah khususnya Angkatan Bersenjata; (2) perlawanan atau advokasi yang dilakukan oleh penulis sebagai warga negara adalah perlawanan non litigasi dan perlawanan litigasi. Perlawanan non litigasi menggunakan metode diskusi, seminar dan pameran buku terlarang di Jakarta dan Surabaya selain itu juga memanfaatkan jejaring sosial. Perlawanan litigasi melalui uji materi (judicial review) UU No.4/PNPS/1963 dan UU No.16 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi. Hasil dari uji materi tersebut adalah UU No.4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sedangkan UU No.16 tahun 2004 tetap berlaku.


(2)

Pelarangan buku adalah antitesa bagi kemerdekaan hak politik warga negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi. Kebijakan pelarangan ini merupakan bentuk kesewenang-wenangan untuk membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat di era reformasi. Pembredelan buku menandakan ketakutan rezim penguasa terhadap kritik kondisi masyarakat terkini. Hasil pemikiran manusia berbentuk buku yang pada dasarnya berperan sebagai media penyampai informasi dan pengetahuan bagi masyarakat ditafsir musuh negara. Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya saluran informasi dan pengetahuan. Masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi pemaknaan tunggal terhadap pengetahuan yang sejatinya mempunyai beragam sudut pandang.

Buku yang juga merupakan manifestasi tujuan nasional dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan represif diberangus oleh rezim penguasa melalui aparat-aparat negara. Selain itu, buku merupakan simbol hak politik warga negara yang dilindungi dan diamanatkan kostitusi. Hal tersebut didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”. Oleh karena


(3)

itu maka jaminan terhadap freedom of expression, freedom of speech, dan fredom of the press warga negara telah diatur dan dijamin oleh negara.

Kemerdekaan berekspresi juga dipertegas di dalam UU Pers No. 44 tahun 1999 yang berisi: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, menghormati kebhinekaan; 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 3).

Pelarangan buku yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Menurut Iwan Awaludin Yusuf (2010: 4), sejarah mencatat, pada awal terbentuknya Orde Baru, pelarangan sejumlah buku pernah dilakukan secara membabi buta, terutama setelah peristiwa G-30 S. Tiga bulan setelah peristiwa kelabu tersebut, yaitu pada 30 November 1965, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku. Pelarangan ini kemudian disusul dengan pelarangan terhadap semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran Kiri. Jadi, saat itu dan bahkan hingga kini, pelarangan buku bukan sekedar karena isinya, melainkan karena “alasan politis”yang ditujukan kepada penulis, penerbit, dan bahkan editornya.


(4)

Praktik kebijakan pelarangan buku di dalam era Orde Baru tersebut melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas/Orpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27). Berkat Instruksi ini menurut Jaringan Kerja Budaya dalam waktu yang singkat angka buku yang dilarang terus bertambah, sehingga diperkirakan mencapai 2000 judul. Ini adalah pelarangan buku massal yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.

Di tahun 1998 akhirnya rezim Orde Baru tumbang oleh gerakan massa. Era ini kemudian disebut sebagi era reformasi dimana diharapkan adanya iklim yang lebih demokratis dalam berbagai bidang di Indonesia. Reformasi juga mendorong adanya perubahan konstitusional yang memperkuat supremasi hukum terhadap jaminan hak asasi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya ratifikasi dua kovenan internasional utama hak asasi manusia, yakni kovenan hak sipil dan politik dan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya pada tahun 2005 melalui UU No. 11 dan 12 tahun 2005 (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 53).


(5)

Namun, keberlangsungan praktik pelarangan buku oleh intitusi negara tidak pernah hilang bahkan di era reformasi. Pemerintah dengan berbagai dalih melakukan tindak pelarangan buku yang dianggap menggangu ketertiban. Tercatat, di penghujung tahun 2009, terjadi pelarangan lima buku di tanah air. Kelima buku yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), itu adalah (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 1) (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Rosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Salah satu buku yang di larang sepihak di era reformasi adalah buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Penulis buku tersebut tidak mendapatkan surat pemberitahuan dan alasan yang jelas dari Kejagung mengapa bukunya dilarang untuk beredar di masyarakat. Padahal buku ini mengetengahkan situasi nasional Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) melalui sudut pandang Harian Rakyat.


(6)

Salah satu alasan pelarangan buku oleh pemerintah di era reformasi seperti yang diberitakan oleh laman Tempointeraktif.com berikut ini:

Kasus pelarangan yang berujung pembakaran buku tersebut berawal dari pengaduan Yusuf Hasyim, Taufik Ismail dan Fadli Zon ke Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran sejarah untuk siswa SMP dan SMA yang tidak mencantumkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa Madiun 1948 dan pembunuhan petinggi TNI AD tahun 1965. Dari laporan tersebut DPR kemudian memanggil Mendiknas Bambang Sudibyo dan melakukan rapat koordinasi. Selepas rapat, Mendiknas meminta Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk membentuk tim khusus. Tim yang terbentuk terdiri dari Professor Djoko Suryo (Sejarawan/Guru Besar UGM), Hamid Hasan (Pakar Pendidikan UPI Bandung), Professor Susanto Zuhdi (Sejarawan/Guru Besar FIB UI), Wasino (Sejarawan Universitas Negeri Semarang) dan W. Soetomo (Semarang). Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim ini adalah perlunya dicantumkan kata “PKI” setelah “Peristiwa G30S 1965” dan “Peristiwa Madiun 1948”. Dalam uji publik kurikulum yang diselengarakan 1 Desember 2005, Asvi Marwan Adam mengatakan bahwa mereka yang terlibat pada peritiwa 1965 menyebut dirinya sebagai “Gerakan 30 September”, sehingga semestinya istilah yang lebih obyektif ini digunakan, karena memang ada berbagai versi tentang dalang peristiwa itu (Analisis Mingguan, No.21/2007).

Menurut Iwan Awaludin Yusuf (2010: vi) pelarangan buku terjadi dengan alasan demi menjaga stabilitas nasional, ketertiban umum, atau untuk meluruskan tafsir sejarah yang keliru lembaga-lembaga tertentu bisa sewenang-wenang melarang kebebasan berpendapat. Bentuk-bentuk pelarangan dan pembatasan semacam ini merupakan perwujudan ideologi politik khas kolonial dan otoritarian yang terus dilanggengkan. Pelarangan buku juga mencerminkan ketakutan penguasa dengan mengekang hak politik warga negaranya, tidak mengakui adanya keanekaragaman perspektif dan sudut pandang.


(7)

Pertanyaannya yang kemudian muncul, kepentingan apa yang berada dibalik kebijakan pelarangan buku tersebut? Pertanyaan ini berusaha keluar dan mendedah lebih dalam penjelasan yuridis dalam produk hukum kebijakan pelarangan buku. Dimana kebijakan tersebut menyatakan bahwa pelarangan buku dibentuk untuk melindungi kepentingan umum atau demi menjaga stabilitas nasional.

Dengan adanya permasalahan seperti di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian tentang Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi kasus atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Hal tersebut dengan harapan agar dapat ditangkap konteks atas perlindungan hak politik warga negara pascatumbangnya rezim Orde Baru.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Pelarangan buku di Indonesia dilakukan oleh rezim penguasa melalui institusi negara yang seharusnya melaksanakan dan menjaga konstitusi yang melindungi hak politik warga negara.

2. Kebijakan pelarangan buku bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, UU Pers No. 44/1999, dan kovenan hak sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.


(8)

3. Pelarangan buku secara massal terjadi di era Orde Baru melaui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 yang di tandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo dimana menyebabkan dalam waktu yang singkat angka buku yang dilarang terus bertambah, sehingga diperkirakan mencapai 2000 judul.

4. Kebijakan Pelarangan buku di Indonesia sering bukan sekedar karena isinya akan tetapi karena alasan politis yang ditujukan kepada penulis, penerbit, dan bahkan editornya.

5. Pelarangan terhadap beberapa buku di era reformasi juga menggunakan dalil lama menggangu stabilitas dan ketertiban umum. 6. Penulis buku sebagai warga negara tidak mendapatkan surat

pemberitahuan resmi dan alasan mengenai pelarangan buku yang mereka tulis.

C. Batasan Masalah

Melihat banyaknya permasalahan yang kompleks dalam penerapan kebijakan pelarangan buku di Indonesia khususnya era reformasi maka peneliti perlu melakukan pembatasan masalah. Hal tersebut diperlukan untuk memperjelas fokus penelitian. Berdasarkan identifikasi masalah maka peneliti selanjutnya membatasi kajian penelitian menjadi dua permasalahan pokok, yaitu:.


(9)

1. Praktik kebijakan pelarangan buku di Indonesia era reformasi atas pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965.

2. Bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap kebijakan pelarangan buku atas Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965.

D. Rumusan Masalah

Sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang, fenomena pelarangan buku masih marak terjadi di era reformasi. Dalam situasi yang demikian, menarik mengungkap praktik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia. Berdasarkan hal itu ada beberapa pokok persoalan yang penulis dapat rumuskan yaitu:

1. Bagaimana praktik kebijakan pelarangan buku di Indonesia era reformasi atas pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965?

2. Bagaimana bentuk perlawanan terhadap pelarangan buku di Indonesia atas pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui praktik kebijakan pelarangan buku di Indonesia era reformasi yaitu pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965.


(10)

2. Mengetahui bentuk perlawanan warga negara terhadap pelarangan buku di Indonesia atas pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini ditinjau secara teoritis maupun praktis diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah kontribusi pemikiran mengenai jaminan terhadap hak politik warga negara. Tema penelitian ini dapat melengkapi khasanah keilmuan terkait dengan mata kuliah Pendidikan Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Publik yang merupakan bagian dari kurikulum di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan berguna dalam diskursus ilmiah di dunia pendidikan tinggi khususnya Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum. Hal ini dapat menjadi bekal calon guru pendidikan kewarganegaran untuk memberikan pemahaman pengetahuan yang mendalam kepada peserta didik.


(11)

1. Definisi Politik

Politik merupakan usaha untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut Peter Merkl:”Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for agood order and justice)” –betapa samar-samar pun –tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan poitik. Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan (Miriam Budiarjo, 2008: 15)

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) menurut Miriam Budiarjo (2008: 15) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegitan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem politik itu dan


(12)

hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu.

Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai (baik yang materiil maupun yang mental) yang dikejar biasanya langka sifatnya. Di pihak lain, di negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karena kehidupan nmanusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsensus (consensus) (Miriam Budiarjo, 2008: 15).

Menurut Ramlan Surbakti terdapat lima pandangan mengenai arti politik (1992: 1-8). Pertama, pandangan klasik, Aristoteles melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut kebaikan bersama selutuh anggota masyarakat. Pada pandangan klasik, dasar moral tertinggi terdapat pada urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama daripada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan swasta.

Kedua, Pandangan Institusional atau kelembagaan melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan politik sebagai persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan atau persaiangan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antarkelompok di dalam suatu negara.


(13)

Ketiga, Pandangan kekuasaan melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Pandangan ini biasanya dipersepsikan sebagai sesuatu yang kotor. Hal tersebut karena di dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan digunakan juga tindakan yang ilegal dan amoral.

Keempat, pandangan fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksankan kebijakan umum. David Easton merumuskannya sebagai the authoritative allocation of values for a society, atau alokasi nilai-nilai otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat. Easton kemudian menggolongkan perilaku politik berupa kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sedangkan Harorld Laswell memandang proses politik sebagi masalah who gets what, when, how, atau masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Mendapat apa artinya mendapat nilai-nilai. Kapan berati ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang kaan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. Bagaimana berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud adalah hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Secara singkat, nilai-nilai tersebut ada yang bersifat ideal sepiritual maupun material jasmaniah.


(14)

Kelima, pandangan konflik memandang politik sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai. Perebutan dalam upaya mendapatkan dan/mempertahankan nilai-nilai disebut konflik. Maka dari itu politik pada dasarnya adalah konflik. Pandangan ini mendasarkan bahwa konflik adalah gejala yang serba- hadir dan gejala yang melekat dalam setiap proses politik.

Ramlan Surbakti menambahkan satu pandangan lagi yaitu pandangan analisis wacana politik (Cholisin, 2007: 6) . Menurut pandangan ini, bahwa politik adalah kegiatan mendiskusikan atau mendefinisikan situasi dari suatu fenomena politik. Politik merupakan kompetisi definisi situasi. Definisi yang mampu menjadi opini publik dan menjadi isu politik yang akhirnya menjadi pembahasan pembuat keputusan (decision maker) dan menjadi keputusan politik merupakan pemenang. Dari berbagai pengertian tentang politik di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa politik merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa terhadap warga negara yang ditujukan untuk mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) suatu kebijakan negara/publik.

2. Definisi Kebijakan Negara/Publik

Kebijakan (Policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.


(15)

Berikut ini ada beberapa definisi mengenai kebijkan publik (Miriam Budiarjo, 2008: 21): Hoogerwerf menyebutkan bahwa objek dari ilmu politik adalah kebijakan pemerintah proses terbentuknya serta akibat-akibatnya. Yang dimaksud dengan kebijakan umum (public policy) di sini menurut Hogewerft ialah, membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middel van machtsuitoefening).

Sedangkan Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan secara tegas anatara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada (Suharno, 2010: 13).

Menurut Harorld Laswell dan Abraham Kaplan, kebijakan sebagai “a projected of goals, values, and practices (suatu program pencapaian tujuan, nilai, dan praktik yang terarah). Sedangkan Carl J. Frederick (dalam Islamy, 2000) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Fauzan, 2002: 24-25).


(16)

Thomas R. Dye (dalam Islamy, 2000) mendefinisikan kebijakan negara sebagai whatever government choose to or not to do (apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Fauzan, 2000: 25). Dye menyatakan bahwa ketika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu harus ada tujuannya. Kebijakan negara harus meliputi semua tindakan pemerintah sehingga bukan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah. Suatu hal yang tidak dilakukan oleh pemerintah juga mereupakan kebijakan negara. Hal tersebut karena sesuatu yang dilakukan ataupun tidak oleh negara menghasilkan akibat yang sama besarnya.

Sementara James E. Anderson (dalam Islamy, 2000) mengemukakan kebijakan negara adalah those policies developed by governmental bodies and officials (kebikan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Demikian juga David Easton (dalam Islamy, 2000) mengartikan kebijakan negara sebagai the autoritative allocation of values for the whole society (alokasi nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat). Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah adalah perangkat insttitusi yang secara sah dapat berbuat sesuatu kepada masyarakat. Easton menyebut pemerintah sebagai authorities in a political system, yaitu para penguasa dalam sistem politik (Fauzan, 2000: 26).

Kebijakan negara/publik tidak dapat terlepas dari proses pengambilan keputusan oleh para elit politik dalam pemerintahan. Keputusan (decision)


(17)

adalah hasil dari membuat pilihan di antara beberapa alternatif, sedangkan istilah pengambilan keputusan (decision making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Joyce Mitchell, dalam bukunya Political Analysis and Public Policy mengatakan: “politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pengambilan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. (politics is collective decision making otr the making of public policies for an entire society). Tokoh lain, Karl W. berpendapat: politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum (politics is the making of decision by public means) (Miriam Budiarjo, 2008: 20).

Dikatakan selanjutnya oleh Miriam (2008: 20) bahwa keputusan semacam ini berbeda dengan pengambilan keputusan pribadi oleh seseorang dan bahwa keseluruhan dari keputusan semacam itu merupakan sektor umum atau sektor publik (public sector) dari suatu negara. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai suatu tindakan umum atau nilai-nilai (public goods), yaitu mengenai apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa. Dalam arti ini politik terutama menyangkut kegiatan pemerintah. Oleh Deutch dan kawan-kawan negara dianggap sebagai kapal, sedangkan pemerintah bertindakl sebagai nakhodanya. Pendekatan ini berdasarkan cybernetika (cybernetics), yaitu ilmu komunikasi dan pengendalian (control).


(18)

3. Ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan, yang oleh David Easton disebut, orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para monarki, dan lain sebagainya.

Penjelasan tersbut di atas menurut Suharno (2010: 23) membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan publik yang sekaligus merupakan ciri-ciri dari kebijakan publik, yaitu:

a) Pertama, kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam sistem politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

b) Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri kebijakan tidak cukup mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya.


(19)

c) Ketiga, kebijakan bersangkut pautdengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi ataupun menggalakkkan program perumahan rakyat bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tersebut. d) Keempat kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin

pula negatif. Dalam bentuknya yang positif, mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-maslah di mana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

4. Jenis Kebijakan Publik

Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya msing-masing. James Anderson (Suharno, 2010: 25), misalnya menyampaikan kategori tentang kebijakan publik sebagai berikut:

a) Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan, kebijkan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut akan dijalankan.


(20)

b) Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif. Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan redistributif merupakan kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

c) Kebijakan material versus kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkret pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.

d) Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.


(21)

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Publik

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan (dalam Islamy, 2000) itu adalah sebagai berikut:

a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.

Administrator sebagi pembuat keputusan harus mempertimbangkan berbagai alternatif yang kan dipilih hanya berdasarkan penilaian rasional, namun proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dunia nyata.

b) Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme).

Para administrator biasanya cenderung mengikuti kebiasaan lama sekalipun keputusan-keputusan yang berkenaan dengan itu telah dikritik sebagi suatu kesalahan dan perlu diubah.

c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.

Berbgai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya.

d) Adanya pengaruh dari kelompok luar.

Pembuatan keputusan seringkali dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman orang lain yang sebelumnya berada diluar bidang pemerintahan.

e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu.

Pengalamn latihan dan pengalaman (sejarah) yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan (Fauzan, 2000: 28-29).


(22)

Sedangkan menurut James E. Anderson (dalam Islamy, 2000) menemukan beberapa nilai yang melandasi tingkah laku para pembuat keputusan, yaitu:

a) Nilai-nilai politik, dalam arti keputusan tersebut dibuat berdasarkan kepentingan politik dari partai politik atau kelom pok kepentingan tertentu.

b) Nilai-nilai organisasi, dalam arti keputusan tersebut dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dianut organisasi.

c) Nilai-nilai pribadi, dalam arti keputusan tersebut dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, dan reputasi, kekayaan.

d) Nilai-nilai kebijakan, dalam arti keputusan tersebut dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatn kebijakan yang secra moral dapat dipertanggungjawabkan.

e) Nilai-nilai ideologis, dalam arti keputusan tersebut didasarkan pada nilai ideologi, misalnya nasionalisme dapat menjadi alasan pembuatan kebijakan dalam dan luar negeri ((Fauzan, 2000: 29). Dari berbagai uraian tentang politik dan kebijakan negara/publik di atas terdapat keterkaitan yang saling memengaruhi. Sebuah kebijakan negara/publik tidak lahir dari ruang yang steril, sehingga kebijakan publik


(23)

lahir dari kepentingan politik dibaliknya. Hal tersebut memperjelas bahwa proses analisa kebijakan pada dasarnya merupakan proses kognitif, sementara pembuatan kebijakan merupakan proses politik (William N Dunn, 1995: 62). Jadi kebijakan publik adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang mempunyai efek langsung kepada warga negara.

Oleh karena itu, penulis dapat simpulkan bahwa yang dimaksud dengan politik kebijakan adalah keputusan atau tindakan yang diambil pemerintah yang berkenaan dengan masalah atau kepentingan tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Olehkarena itu, penulis mengambil hipotesis bahwa politik kebijakan pelarangan buku merupakan manifestasi budaya otoriter dari rezim yang berkuasa untuk memberangus nalar dan sikap kritis masyarakat.

B.Tinjauan Pelarangan Buku di Indonesia

Dokumentasi pelarangan buku di Indonesia terlacak sejak masa kolonial. Terdapat berbagai bentuk imlementasi kebijakan pelarangan buku terhadap penulis karena hasil karaya tulisnya berlawanan pandangan politik dan kebijakan dengan pemerintah yang berkuasa.

1. Masa Kolonial

Pada masa kolonial belum dibentuk peraturan khusus yang bertujuan melakukan pelarangan buku. Para penulis diasingkan atau di penjara oleh pemerintah kolonial dengan alasan karya yang dibuat berlawanan atau bertentangan dengan pandangan politik dan kebijakan pemerintah kolonial. Pelarangan brosur karya Soewardi


(24)

Soerjaningrat bertajuk Seandainya saya Warga Belanda (Als ik eens Nerderlander was).

Brosur itu berisi tentang ironi masyarakat jajahan yang harus membiayai pesta kemerdekaan penjajah. Tulisan itu bertepatan dengan perayaan 100 tahun lepasnya Belanda dari penjajahan Prancis tahun 1913 yang di rayakan di Hindia Belanda. Brosur itu dimuat di Harian De Express sebagai sebuah artikel. Pemerintah kolonial dengan alasan rust en orde (keamanan dan ketertiban) menyita dan melarang brosur itu beredar (Fauzan, 2003: 96-97).

Politik perbukuan zaman Belanda secara formal dibentuk pada tanggal 14 September 1908 (dalam Tim ISSI dan ELSAM). Pemerintah kolonial mendirikan Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) dan dipimpin oleh G.A.J. Hazeu, Doktor Bidang Bahasa dan Sastra Nusantara dari Universitas Leiden dan Penasehat Gubernur Jenderal Urusan Bumi Putera. Pada tahun 1917, pemerintah kolonial menata ulang Komisi Bacaan Rakyat. D.A. Rinkes diberi wewenang untuk mengembangkan komisi itu menjadi sebuah lembaga otonom (Kantoor Voor de Volkslectuur). Tugas lembaga ini adalah mengatur secara khusus pengumpulan naskah, pencetakan, penerbitan, dan peredaran buku-buku yang dianggap pemerintah bermutu. Lembaga ini kemudian dikenal sebagai Balai Poestaka (Iwan Awaludin, 2010: 41-42).


(25)

Buku-buku yang diterbitkan Balai Poestaka memiliki ciri yang seragam, yakni tidak berani memuat masalah politik berupa kritik terhadap pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial memanfaatkan lembaga tersebut untuk menjalankan kontrol yang ketat terhadap barang cetakan sejak pemilihan dan penyuntingan naskah sampai pada penjualan.

Berganti pemerintahan penjajahan di bawah Pemerintahan Militer Jepang, sensor diganti dengan kontrol total. Hampir semua jenis media digunakan demi kepentingan propaganda. Implikasinya, semua alternatif pemikiran dan pendapat diseragamkan dengan berbagai cara persuasif maupun kekerasan (Fauzan, 2003: 97).

2. Masa Orde Lama

Praktik pelarangan buku di era Orde Lama dimulai tanggal 14 September 1956 dengan adanya pengumuman dari KSAD Mayjen A.H. Nasution mengenai Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (AD) selaku penguasa militer mengeluarkan peraturan No. PKM/001/9/1956 yang memberikan kewenangan untuk mengontrol kebebasan berekspresi, terutama pemberitaan pers (Fauzan, 2003: 116).

Angkatan Darat dengan landasan peraturan tersebut dapat melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung “ketzaman-ketzaman”, persangkaan (insinuaties), bahkan “penghinaan” terhadap pejabat negara, memuat atau


(26)

mengandung “pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan” terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan “keonaran”. Batasan-batasan tersebut sepenuhnya ditentukan subjektif oleh Angkatan Darat (Iwan Awaludin yusuf, 2003: 47).

Menurut Iwan Awaludin Yusuf (2003: 47), ada tiga buku kumpulan puisi yang dilarang beredar di masa itu. Salah satu kumpulan puisi adalah karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanah Air Tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (dalam LEKRA, 1961).

Pada tahun 1959, buku karya Pramodya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, dinyatakan terlarang dan menyebabkan pengarangnya ditahan selama satu tahun. Setahun kemudian, Brosur Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta, pasca pengunduran dirinya dari jabatan wakil presiden juga dilarang. Brosur itu adalah tanda dukungan Hatta terhadap Liga Demokrasi yang dibentuk beberapa saat sebelumnya. Brosur itu berisi kritikan tajam terhadap pribadi Presiden Soekarno. Brosur tersebut langsung dinyatakan terlarang. Hamka pimpinan Majalah Pandji Masyarakat yang pertama kali memuat brosur tersebut ditangkap, sementara majalahnya dilarang (Fauzan, 2003: 119).

3. Masa Orde Baru

Periode Orde Baru adalah pemerintahan yang represif. Kehidupan masyarakat mengalami berbagai bentuk pengekangan. Banyak aktivis


(27)

yang ditahan dengan alasan menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Pada tahun 1989 dalam Media Kerja Budaya edisi 04 tahun 2000, diberitakan tiga orang aktivis dari Yogyakarta, Bonar Tigor Naispospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun karena mengedarkan buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam proses persidangan jaksa mendakwa mereka melakukan kejahatan besar, antara lain menyimpan dan mendiskusikan diktat kuliah tentang Marxisme-Leninisme yang disusun oleh Frans Magnis Suseno (Fauzan, 2003: 1).

Nasib serupa juga menimpa Rachmad Buchori alias Buyung RB, seorang sekretaris Subadrio Sastoatomo pengarang Brosur Era Baru Pemimpin Baru yang dilarang melalui Surat Keputusan No. Kep-020/JA/3/1997 (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 40). Rachmad Buchori sejak 9 April 1997 ditahan. Dia dituduh telah mengedarkan selebaran gelap kepada masyarakat dan menggangu ketertiban umum.

Praktik kebijakan pelarangan buku di dalam era Orde Baru secara resmi bekerja setelah dibentuk Clearing House melalui SK No. Kep-114/JA/10/1989. Clearing House secra resmi bekerja dibawah Jaksa Agung dan terdiri atas 19 anggota dari JAM Intel dan subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, Bakin, Bais, ABRI, (kemudian menjadi BIA), Departemen Penerangan, Departemen


(28)

Pendididkan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama (Iwan awaludin Yusus, 2010: 51).

Kebijakan pelarangan buku juga dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dimulai pada tanggal 30 November 1965. Hal ini dilakukan melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 yang di tandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas/Orpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27).

Berkat Instruksi ini menurut Jaringan Kerja Budaya dalam waktu yang singkat angka buku yang dilarang terus bertambah, sehingga diperkirakan mencapai 2000 judul. Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya (dalam TIM ISSI dan ELSAM), antara lain buku-buku karya Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T Sontani, Rivai Apin, Rukiyah, Panitia Penyusunan Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan. Lampiran kedua berisi 52 karya penulis-penulis LEKRA yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/A.S. Dharta, Hr.


(29)

Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikno, F.L Risakota, Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Utuy Tatang S, Pramoedya Ananta Toer, Agam wispi, dan Zubir A.A (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 51).

Beberapa buku yang tercatat menjadi korban praktik kebijakan pelarangan di era Orde Baru menurut data Jaringan Kerja Budaya (1999: 34) diantaranya:

a) September 1968 terjadi pelarangan buku Ensiklopedi Funk and Wagnalls berdasarkan surat dari Pengurus Besar Front Muballigh Islam di Medan kepada Kejaksaan Agung. Alasannya karena eksiklopedi tersebut memuat gambar Nabi Muhammad dan memberikan informasi yang salah mengenai agama Islam.

b) Juni 1982 terjadi pelarangan buku Kunci Mencari Rizki karya KH Zahwan Anwar berdasarkan surat Departemen Agama Tegal dan Brebes kepada Kanwil Departemen Agama Jawa Tengah tanpa menunggu keputusan Jaksa Agung. Alasannya karena dianggap bisa menimbulkan dampak negatif bagi akidah Islam.

c) Juni 1986 terjadi pelarangan buku Militer dan Politik karya Harold Crouch berdasarkan dengar pendapat komisi I DPR dengan Bakin. Alasannya karena akan menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap Presiden.

d) September 1995 terjadi pelarangan buku Memoar Oet Tjoe Tat yang disunting Pramoedya Anata Toer dan Stanley Adi Prasetyo


(30)

berdasarkan gugatan Forum Studi dan Komunikasi 66 ke Kejaksaan Agung. Alasannya dianggap memuat hal yang dapat membahayakan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu contoh kasus yang paling kontroversial menurut Fauzan ((2003: 2) adalah pelarangan buku Primadosa karya Wimanjaya K. Liotohe pada tahun 1994 yang diterbitkan oleh Yayasan Eka Fakta. Surat keputusan pelarangan turun tanggal 24 Januari 1994 dan disampaikan kepada pers bersama press release sehari berikutnya. Menurut hasil penelitian kejaksaan, buku tersebut disusun karena didorong alasan-alasan subjektif yang bersangkutan terhadap kehidupan nasional melaui sudut pandang sendiri yang sangat sempit. Buku ini menggugat pemerintahan Presiden Soeharto sebagai dalang dari peristiwa G30S/PKI dan dianggap memutarbalikkan sejarah.

4. Masa Reformasi

Pada masa reformasi yang digulirkan pada 1998 mendorong lahirnya reformasi konstitusional yang memperkuat jaminan hukum positif perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. hal itu diikuti dengan ratifikasi dua kovenan internasional utama, yaitu kovenan hak sipil dan politik dan kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ratifikasi tersebut dilakukan tahun 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005.

Langkah pemerintah Indonesia ini menegaskan jaminan normatif perlindungan HAM pada masa transisi kekuasaan. Namun, paraktik


(31)

pelarangan buku oleh institusi negara tidak pernah hilang sekalipun di era refotmasi. Hal tersebut dilakuakn melalui implementasi berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Jika dipetakan lebih lanjut, politik kebijakan pelarangan buku di era reformasi berlangsung sejak 2002-2010 (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 54). Pada tahun 2002, Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning. Sejak diterbitkan pada 1 Oktober 2002, tim kejagung sudah intensif melakukan penelitian. Sepanjang penelitian, tim yang bertugas tidak berusaha meminta keterangan dari penulisnya langsung. Tim yang dipimpin JAM Intel, Basrief Arief memeberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung, M.A. Rachman, yang meminta supaya buku tersebut dinyatakan dilarang atau disita dan ditarik dfari peredaran. Tim tersebut berargumen, buku tersebut berpotensi menyebarkan kembali paham dan ajaran komunisme di tanah air. Padahal menurut penulis buku tersebut berisi dialog dia dengan bapaknya, yang memuat riwayat kehidupan dan pengalaman pribadinya (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6968/penulis-aku-bangga-jadi-anak-pki-tak-pernah-diminta-klarifikasi diakses pada tanggal 12 Agustus 2013, Jam 16.00 WIB).

Tahun 2003, Kejaksaan Negeri Jayapura melakuakn pelarangan buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny


(32)

Giay. Giay adalah Ketua Program Pascasarjana dan dosen Teologi Kontekstual Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura. Buku berisi penjelasan tentang peristiwa sebelum, saat kejadian, dan setelah kematian Ketua Presidium dewan Papua, Theys, yang dibunuh oleh Kopassus, Pasukan elit khusus Tentara Nasional Indonesia, 10 November 2011. Buku ini terbit november 2003 dan di terbitkan ulang oleh penerbit Galang Press (http://tablodjubi.com/index,php?option=com_content&view=article&id-5153:penyitaan-buku-papua&catid=88:lembar-olah-raga&itemid=97 diakses pada tanggal 21 Agusrus 2013, Jam 21.00 WIB).

Pada tahun 2005 (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 56), Kejagung melakukan pemeriksaan atau pengkajian dua buku yang dianggap memuat ajaran islam yang sesat yaitu buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samoedra dan buku Menembus Gelap Menuju Terang karya Muhammad Ardi Husein serta buku Soekarno File karya Antonie C.A. Dake. Vonis Pasal penodaan agama membuat Ardi Muhammad Husein mendapat vonis 5 tahun penjara di akhir tahun 2005.

Sedangkan di tahun 2006 menurut Iwan awaludin Yusuf, Kejagung kembali melakukan pelarangn dua buku yaitu, buku Atlas yang memuat bendera Papua Merdeka (Bintang Kejora) dan buku Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al-Quran karya Maksud Simanungkalit. Maksud Simanungkait telah divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Batam. Satu tahun kemudian, pada 2007, terdapat dua pelarangan buku. Pertama, Jaksa agung Hendarwan Supandji pada 27 November 2007


(33)

mengistruksikan aparatnya untuk menyita buku Tenggelamnya Rumpun Melanisia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat Karya Sendius Wonda. Buku ini kemudian ditarik dari peredaran di toko buku pada April 2008. Kedua, Kejagung menerbitkan surat keputusan melarang 13 buku diantara 22 buku teks sejarah untuk SLTP dan SLTA yang dikajinya. Kejagung menyatakan 13 buku itu memutarbalikkan sejarah. Buku tersebut tidak mencantumkanakronim “PKI” di belakang “G 30 S” dan tidak mencantumkan pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 (2010: 58-59).

Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung kembali melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Dasar hukum yang digunakan untuk melarang peredaran buku adalah Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Peredaran Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Menggangu Ketertiban Umum. Ini adalah


(34)

Undang_undang yang keluar apada keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin (Sudaedi, 2012: 5).

C. Tinjauan Era Reformasi

Demonstrasi gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, setelah Pemerintah Orde Baru mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus seluruh Indonesia ini berlangsung hampir satu tahun. Akhirnya usaha mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.

1. Latar Belakang Gerakan Reformasi

Menurut Amien Rais, ada lima argumen mengapa suksesi harus berlangsung pada tahun 1998, diantaranya yaitu:

a) Pimpinan nasional yang berlangsung telah memerintah sejak tahun 1967, sehingga pada waktu tahun 1998 berarti telah berusia 31 tahun. Berhubung telah lama berkuasa segenap unsur pemimpin nasional kiranya cukup arif untuk memahami aksioma dari Lord Acton, yaitu power tends to curropt and absolute power tends to corropts absolutely. Kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korup secara mutlak pula. Aksioma politik ini berlaku secara universal, baik di timur maupun di barat.

b) Pemimpin nasional atau elite yang terlalu lama berkuasa dapat melahirkan penyakit kultus individu (the cult of individual). Dulu


(35)

sebagai bangsa kita pernah melakukan kultus individu terhadap Bung Karno, sampai MPRS mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Sudah tentu kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama sebagai akibat tidak berani memilih figur lain sebagai pimpinan nasional yang baru. Hormat dan cinta kita kepada pimpinan nasional tidak boleh berlebihan sehingga dapat mematikan akal sehat.

c) Suksesi, rotasi atau regenerasi elite adalah sebuah keharusan dalam sistem demokrasi. Berbeda dengan sistem kerajaan atau monarki yang tidak mengenal pergantian pemimpin kecuali bila pemimpin itu mati. Maka demokrasi mengatur rotasi elite itu, dalam sistem demokrasi masa jabatan kepala negara biasanya dibatasi, apakah untuk satu atau dua periode. Tanpa adanya pembatasan masa jabatan kepala negara, proses politik dapat berjalan semakin jauh dari demokrasi dan dapat memperkokoh versted intersts lapisan elite secara irrasional.

d) Kelompok elite yang terlalu lama memegang kekuasaan atau pemerintahan cenderung mengalami penumpulan visi dan kreatifitas. Hal ini mudah dipahami mengingat pimpinan nasional yang sudah terjebak dalam rutinisme akan menjadi kurang peka terhadap dinamika perubahan yang terjadi di sekeliling. Keputusan-keputusan yang diambil oleh kepemimpinan nasional menjadi out of touch dari realitas, sehingga menjadi keputusan


(36)

yang anakronistik, keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak.

e) Sebuah lapisan elite yang sudah lama kelewat memegang kekuasaan atau pemerintahan, secara perlahan akan meyakini bahwa dirinya adalah personifikasi stabilitas dan eksistensi negara. Dan ini membahayakan demokrasi. Apalagi bila sindrom Louis XIV dari prancis mengatakan L’etat c’est moi sampai menghinggapi seorang pemimpin, amak setiap kritik yang diarahkan kepadanya dianggap sebagi kritik terhadap negara sebagai lembaga, atau bahkan lebih gawat lagi, dianggap kritik terhadap ideologi negara.

Argumen umum tersebut dapat menjelaskan mengapa suksesi kepemimpinan nasional harus berjalan pada tahun 1998. Proses suksesi adalah proses sunatullah, proses yang serasi dengan hukum alam, sejalan dengan rasionalitas, dan seiring dengan realitas (1996: 129-131).

Proses jatuhnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto sebenarnya telah tampak ketika Indonesia mengalami dampak langsung krisis moneter yang melanda negara-negara asia, seperti Thailand dan Korea Selatan. Ketika krisis itu merembet ke Indonesia dengan jatuhnya nilai rupiah secara drastis, dampaknya segera menjalar ke berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Hanya dalam waktu kurang dari setahun yakni sejak terjadinya krisis moneter dunia pada pertengahan 1997 sampai Mei 1998 Orde Baru akhirnya bertekuk lutut. Tampaklah dalam


(37)

situasi yang multikompleks ini krisis moneter membuka aspirasi ke arah terwujudnya kehidupan demokratis yang sehat, yang selama ini terbendung oleh sistem kekuasaan yang serba menguasai. Sejak itu pula Indonesia mulai memasuki era yang sampai sekarang masih disebut reformasi (Susanto Zuhdi, 2005: 641).

Reformasi yang berarti perubahan secara drastis untuk melakukan perbaikan dalam tatanan masyarakat atau negara terjadi pada masa pasca Orde Baru runtuh. Namun sebenarnya, proses menuju arah “era reformasi” menurut Susanto Zuhdi, telah dimulai ketika wacana yang bersifat penentangan politik yang terbuka kepada Orde Baru mulai diperlihatkan. Bagi mahasiswa, cendekiawan, dan masyarakat awam penentang Orde Baru, cita-cita reformasi berarti terbukanya kesempatan bagi pelaksanaan proses demokratisasi yang sehat, terbebasnya bangsa dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme (tiga kejahatan politik yang dianggap dipelihara Orde Baru), terwujudnya rule of law, terciptanya good governence, dan berfungsinya clean government (2005:641).

Menurut A. Sudiarja S.J., belum cukup kalau pemerintah Orde Baru hanya diganti dengan suatu pemerintah lainnya. Dalam hal ini kita perlu merombak mentalitas feodal dalam pemerintahan, dan mentalitas tribal atau komunal dalam masyarakat dengan bias-bias fanatisme primordialnya (SARA) (2005: 50).

Kevin O’Rourke, melihat reformasi sebagai suatu episode dan sebuah momentum ketika hasrat perubahan telah mulai menggerogoti


(38)

kekuasaan autokrasi Orde Baru. Ia pun mengatakan bahwa reformasi adalah serangkaian peristiwa politik yang bergulir dari tahun 1996 hingga 2001. Inilah sebuah episode sejarah yang ditandai oleh huru-hara, intrik, tragedi, dan misteri. Menurut O’Rourke, reformasi diawali oleh insiden penyerbuan ke kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta pada 27 Juli 1996. Adapun masa akhir reformasi terjadi pada tahun 2001. Akan tetapi jika hasrat politik bangsa yang dijadikan sebagai landasan berpikir, maka sesungguhnya era reformasi masih berjalan sampai sekarang dan belum diketahui waktu berakhirnya (Susanto Zuhdi, 2005: 642).

2. Tuntutan Gerakan Reformasi

Reformasi tahun 1998 menghasilkan sejumlah agenda untuk perbaikan Indonesia yang lebih baik. Reformasi mengamanatkan pengusutan kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan pengikutnya. Kasus lain yang diamanatkan untuk diselesaikan adalah pengusutan kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan Mei 1998. Di bidang politik, terdapat agenda pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Agenda lain yang penting adalah pemisahan polisi dari TNI dan penghapusan fungsi politik TNI (dwi fungsi). Reformasi juga mengamanatkan hubungan yang lebih baik antara pusat dan daerah lewat perimbangan keuangan daerah yang lebih adil dan perluasan otonomi daerah. Di bidang hukum, agenda reformasi yang penting adalah


(39)

penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu, pengadilan bagi pelanggar hak asasi manusia, pengusutan kasus korupsi dan pembentukan lembaga independen untuk memberantas korupsi. Di bidang ekonomi dan sosial, agenda reformasi adalah perekonomian yang lebih berpihak kepada industri kecil menengah dan alokasi anggaran pendidikan minimal sebanyak 20% (Eriyanto, 2010: 175-176).

Kemudian, terjadinya pergantian Presiden Soeharto oleh BJ Habibie yang semula menjabat wakil presiden juga merupakan realisasi awal reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dalam unjuk rasa (P.J. Suwarno, 2005: 6). Salah satu bentuk keberhasilan Pemerintahan BJ Habibie adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang memutar kembali waktu ke tahun 1950-an ketika Indonesia menikmati kebebasan pers dan menerapkan pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yakni kebebasan warga untuk mengungkapkan pendapatnya (Susanto Zuhdi, 2005: 655).

Berdasarkan tuntutan reformasi 1998 ada beberapa hal yang telah terealisasi pada pemerintahan selanjutnya pasca runtuhnya Orde Baru seperti; pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung, pembentukan lembaga independen untuk pemberantasan korupsi (KPK), penghapusan dwifungsi ABRI, dan pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda). Akan tetapi dalam hal penegakan supremasi hukum terhadap Soeharto dan pengikutnya serta kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum terealisasi.


(40)

Hal tersebut menurut penulis disebabkan oleh kekutan politik yang masih dimiliki oleh para pelaku. Kekuatan politik inilah yang digunakan mereka untuk melindungi kepentingannya lewat berbagai kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Alhasil, semua aspirasi dan tuntutan rakyat dalam berbagai bentuk (lisan dan tertulis) tidak mampu mendorong penindakan hukum lebih lanjut. Ironisnya, aspirasi dan tuntutan rakyat tersebut seringkali dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu ketertiban dan stabilitas negara dengan legitimasi melalui produk kebijakan negara/publik yang mampu mereka kendalikan.

Disamping itu pada era pasca 1998 (era reformasi), menurut Amien Rais (1996: 131-141) paling tidak ada lima besar persoalan bangsa yang akan dihadapi, yaitu:

a) Demokratisasi

Sejak kemerdekaan, kita pernah mepraktekkan tiga jenis demokrasi, yakni demomkrasi parlementer atau demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Sekalipun terdapat perbedaan dalam setiap era demokrasi tersebut, kita tidak boleh lupa esensi demokrasi adalah empat macam kebebasan yang sangat asasi yang harus dimiliki oleh rakyat, kebebasan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom fromfear), dan kebebasan untuk sejahtera (freedom from want). Esensi demokrasi juga mencakup partisipasi rakyat untuk


(41)

menentukan nasibnya sendiri, berjalannya mekanisme chek and balances dan tegaknya rule of law.

b) Pemerintah yang bersih

Sudah menjadi rahasia umum pemerintah yang bersih (clean goverment) masih merupakan cita-cita. Korupsi dalam arti luas masih merajalela. Sejak awal 1970-an sudah ada usaha pemerintah untuk memberantas korupsi, namun hasilnya belum nampak sampai sekarang. Ada tiga jenis korupsi yang merajalela di Indonesia, yakni korupsi ekstortif (sogokan), korupsi manipulatif (manipulasi kebijakan), dan korupsi nepotistik (perlakuan istimewa kepada kerabat).

c) Penegakan keadilan sosial

Sila terakhir pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia belum dapat terselenggara dengan baik. Kesenjangan sosial dalam masyarakat antara kaum berpunya dan kaum papa cukup lebar. Fenomena konglomerasi yang berkonotasi negatif dan destruktif sudah terbangun sejak pemerintahan rejim Orde Baru.

d) Pembangunan Sumber Daya Manusia

Salah satu titik lemah dalam pembangunan nasional adalah lemahnya SDM. Kemauan dan tekad kita untuk dapat memiliki kemampuan kompetitif dengan negara-negara lain dalam percaturan ekonomi


(42)

regional agaknya kan terhambat pada faktor SDM Indonesia yang masih ringkih dari segi kualitas.

e) Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Maslah persatuan dan kesatuan bangsa harus kita jadikan agenda nasional yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan di dunia sedang muncul politik etnis yang mengancam keutuhan bangsa dan negara. Salah satu ironi pasca perang dingin adalah munculnya gejala-gejala kuat konflik etnis dan agama yang bersifat sentrifugal dan disintegratif.


(43)

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil objek kasus pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Sedangkan lokasi yang menjadi fokus penelitian adalah perpustakaan Indonesia Boekoe yang menyediakan literatur mengenai kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia sekaligus tempat penulis bekerja dan Kejaksaan Tinggi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dengan harapan agar dapat ditangkap konteks atas perlindungan hak politik warga negara pasca tumbangnya rezim orde baru atau era reformasi. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 sampai dengan Februari 2014. B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Kirk dan Miller dalam Lexy J. Moleong (2006: 4), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi kualitatif yang berkaitan dengan Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat


(44)

deskripsi-analisis yang diteliti dan penuh makna, yang juga tidak menolak informasi kuantitatif dalam bentuk angka maupun jumlah.

C. Penentuan Subjek Penelitian

Informan atau subjek penelitian adalah orang dalam pada latar penelitian (Moleong, 2006: 132). Dengan kata lain, subjek penelitian juga orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang adanya politik kebijakan pelarangan buku. Dalam hal penentuan subjek penelitian, peneliti tidak boleh sembarang pilih. Informan tersebut harus jujur, dapat dipercaya, memiliki pandangan tertentu tentang peristiwa yang terjadi. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian kualitatif ini yakni mendeskripsikan fenomena sosial yaitu fenomena yang terjadi pada saat adanya politik kebijakan pelarangan buku tersebut. Sehingga dari buku yang dilarang peredarannya di era Reformasi diantaranya sebagai berikut:

1. Buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning.

2. Buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay.

3. Buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samoedra.

4. Buku Menembus Gelap Menuju Terang karya Muhammad Ardi Husein.

5. Buku Soekarno File karya Antonie C.A. Dake.


(45)

Simanungkalit.

8. Buku Tenggelamnya Rumpun Melanisia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat Karya Sendius Wonda.

9. Buku Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Rosa.

10. Buku Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman.

11. Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan.

12. Buku Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan.

13. Buku Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan salah satu buku yang dilarang di era Reformasi tersebut sebagai subjek penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengambilan sampel ini dimaksudkan agar memudahkan dalam menentukan narasumber dalam penelitian.

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan perimbangan tertentu, seperti orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan dalam penelitian (Sugiyono, 2010: 53). Dalam


(46)

peneliti memberikan kriteria sebagai berikut:

1. Staf Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta yang mempunyai tugas dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum khususnya dalam hal melakukan pengawasan peredaran barang cetakan.

2. Penulis buku yang mengetahui bagaimana mekanisme pelarangan buku karyanya dan bagaimana proses perlawanan terhadap pelarangan buku tersebut.

3. Pengamat buku yang mengetahui bagaimana kebijakan perbukuan di Indonesia.

Dengan berlandasakan kriteria tersebut peneliti menentukan subjek yang akan diteliti, yaitu:

1. Arif Raharjo, S.H selaku staf Asisten Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta bagian Sosial-Politik (Kasi II) yang mengurusi pengawasan barang cetakan.

2. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965.

3. Eko Prasetyo selaku pengamat perbukuan, penulis buku, dan Direktur penerbit Resistbook).


(47)

Penelitian kualitatif dilandasi strategi pikir fenomenologis yang selalu bersifat lentur dan terbuka. Dalam penelitian ini menekankan analisis yang meletakkan data penelitian bukan sebagai alat dasar pembuktian tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, maka proses pengumpulan data merupakan kegiatan yang lebih dinamis (Sutopo, 1996: 47). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara mendalam

Menurut Lexy J. Moleong (2006: 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak yakni pewawancara(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.

Keuntungan mencari data dengan wawancara(Soehartono, 2002: 68); pertama, dapat digunakan pada responden yang tidak bisa membaca dan menulis; kedua, jika ada pertanyaan yang belum dipahami, pewawancara dapat segera menjelaskannya; ketiga, wawancara dapat mengecek kebenaran jawaban responden dengan menggunakan pertanyaan pembanding, atau dengan melihat wajah atau gerak-gerik responden.

Wawancara yang akan digunakan nantinya adalah wawancara mendalam. Menurut penggolongannya wawancara dibagi menjadi dua, yakni wawancara terstruktur (wawancara baku) dan wawancara tak terstruktur. Wawancara mendalam sendiri bagian dari wawancara tak


(48)

dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. Tidak seperti wawancara baku yang harus terstruktur dan pertanyaannya sudah ditetapkan dengan pilihan jawaban yang telah disediakan.

Keuntungan menggunakan wawancara mendalam, seperti diungkapkan Denzin dalam Dedy Mulyana (2006:181) antara lain sebagai berikut:

a) Wawancara terbuka memungkinkan responden menggunakan cara-cara untuk mendefinisikan dunia.

b) Wawancara terbuka mengasumsikan bahan tidak ada urutan tetap pertanyaan yang sesuai untuk semua responden.

c) Wawancara terbuka memungkinkan responden membicarakan isu-isu penting yang tidak terjadwal.

Dengan wawancara mendalam pewawancara juga dapat memberikan keleluasaan informan dalam memberikan penjelasan secara aman, tidak merasa ditekan, maka perlu diciptakan suasana “kekeluargaan”. Kelonggaran ini akan mengorek kejujuran informasi, terutama yang berhubungan dengan sikap, pandangan, dan perasaan informan sehingga pencari data tidak merasa asing dan dicurigai.

Proses wawancara mendalam meliputi menanyakan pertanyaan dengan format terbuka, mendengarkan dan merekamnya kemudian menidaklanjuti dengan pertanyaan tambahan yang terkait (Patton,


(49)

waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, maka masalah pelaksanaan wawancara perlu dipilih “waktu yang tepat”, maksudnya para informan diwawancarai pada saat yang tidak sibuk dan dalam kondisi yang “santai” sehingga keterangan yang diberikan memang benar-benar adanya. Kemudian, jika memang waktu yang diberikan oleh informan terbatas, peneliti melakukan wawancara tambahan pada waktu yang disepakati. 2. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan hasil penelitian (Moleong, 2002:161).

Dokumen dapat berupa catatan pribadi, buku harian, laporan kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman video, foto dan lain sebagainya. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yang berkaitan dengan Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan yang berupa database. Dari database yang dapat diketahui mengenai data praktik kebijakan pelarangan buku di Indonesia era reformasi atas pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara


(50)

Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dan bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap kebijakan pelarangan buku atas Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.

E. Validitas Data

Validitas data atau teknik pemeriksaan keabsahan data sangat penting dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan pada saat penelitian dilakukan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk menjamin validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti mengggunakan teknik cross check. Penggunaan teknik cross check data dilakukan dengan membandingkan atau mengecek data hasil dokumentasi dan wawancara (Bungin, 2001:2005).

Selain teknik cross check, validitas data juga dilakukan dengan diskusi dengan ahli. Teknik ini dilakukan dalam bentuk konsultasi dengan tujuan agar kekurangan dari penelitian ini dapat segera diungkapkan atau diketahui. Ahli yang dimaksud di sini adalah dosen pembimbing.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit (Sugiyono, 2010: 335). Menurut Nasution (dalam Usman dan


(51)

ditafsiran. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola atau tema. Penelitian ini menggunakan analisis data induktif. Dalam model analisis ini ada empat komponen analisis yaitu reduksi data, unitisasi dan kategorisasi data,penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus hingga membentuk sebuah siklus.

Berikut langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian yang dilakukan:

1. Reduksi data

Miles dan Huberman (2009: 16) mengemukakan, reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan.

Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung. Dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan pilihan-pilihan terhadap data yang hendak dikode, mana yang dibuang, mana yang merupakan ringkasan, cerita-cerita yang sedang berkembang (Suparyogo & Tobroni, 2001: 194).

Dengan demikian reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang


(52)

hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Dalam penelitian ini data yang telah terkumpul, dipilih, dan dikelompokan dalam bentuk database (kumpulan data) berdasarkan kriteria data yang sesuai dengan Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia yang mengambil studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Dari database tersebut dapat diketahui mengenai fakta-fakta praktik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap praktik kebijakan pelarangan buku Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan tersebut.

Unitisasi dan kategorisasi data yang relevan dan telah disederhanakan kemudian disusun secara sistematis ke dalam unit-unit yang masing-masing unit memiliki kesamaan dalam bidang tertentu sehingga dapat mempermudah dan memberikan gambaran yang jelas untuk peneliti mengenai Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi atas atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.


(53)

Penyajian data adalah menyajikan sekumulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Suparyogo & Tobrono, 2001: 194). Penyajian yang dilakukan dalam bentuk teks naratif dengan dilengkapi berbagai jenis diagram, tabel. Data yang disajikan dalam bentuk narasi maupun diagram dan tabel merupakan informasi mengenai Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.

3. Kesimpulan atau verifikasi

Verifikasi dilakukan untuk mencari atau memahami makna, keteraturan pola penjelasan, alur sebab-akibat. Kesimpulan yang ditarik segera diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali sambil melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang lebih tepat atau dengan cara mendiskusikannya.

Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan cara berpikir induktif, yaitu dari hal-hal yang khusus diarahkan kepada hal-hal yang umum untuk mengetahui jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini. Dalam melakukan penarikan kesimpulan ini, dilakukan semenjak mendapatkan data awal, hal ini bertujuan untuk mencari pola, tema, hubungan persamaan hal-hal yang timbul dan lain sebagainya dengan


(54)

mendasar dan mendalam. Jadi kesimpulan senantiasa dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung.


(55)

Dalam pembahasan BAB IV penulis akan memaparkan beberapa poin terkait dengan rumusan masalah penelitian ini. Namun demikian penulis perlu terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 diantaranya waktu penerbitan, nama penerbit, penulis, desainer sampul, jumlah halaman, jenis buku, nomor ISBN, dan isi buku. Hal tersebut akan penting untuk memberikan gambaran isi buku terlarang yang menjadi objek penelitian.

Buku tersebut dicetak pertama kali pada bulan September 2008 dan diterbitkan oleh Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku yang beralamatkan di Pugeran, Maguwoharjo, Yogyakarta. Buku ini disusun oleh dua orang penulis, yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Pada bagian desain sampul buku dibuat oleh Eddy Susanto dan desain isi oleh Kalam Jauhari. Buku yang bergenre esai dengan tebal 584 halaman ini berukuran 15 x 24 cm dan didaftarkan dengan nomor ISBN, yaitu 978-979-18475-0-6.

Sedangkan untuk isi, buku dibagi menjadi sepuluh bagian dengan tambahan tulisan tentang catatan penulis, singkatan dan akronim, lampiran, indeks, dan tentang penulis. Pada bagian satu sebagai pembuka diberi judul bab Mukaddimah. Bagian Mukaddimah berisi tujuh tulisan yang masing-masing sebagai berikut:


(56)

(1) Politik Panglima Kebudayaan di halaman 15; (2) Lekra: Kelahiran dan Peran di halaman 21;

(3) Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1 di halaman 25; (4) Lekra: Organisasi dan Keanggotaan di halaman 33;

(5) Dari Konfernasi ke Konferensi, dari Pleno ke Pleno di halaman 41;

(6) Zaman Baru: Bulanan Seni-Sastra Lekra di halaman 47; (7) KSSR: Jalan Sungsang “Pemerahan Total” Lekra di halaman 52.

Bagian satu yang berisi Mukaddimah yang dimulai dari halaman 15-52 menjelaskan diantaranya bahwa Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengesahkan Mukaddimah dan Peraturan Dasar pada 27 Januari 1959 pukul

20.00 WIB di Solo. Di sini arah dan sikap lembaga dirumuskan, distrukturisasikan dan kemudian diturunkan menjadi aksi-aksi nyata di lapangan kebudayaan di seluruh indonesia. Garis umum sikap kebudayaan diabdikan ditentukan, yaitu


(57)

“seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” di seluruh bidang kehidupan bangsa.

Selain itu dijelaskan juga bahwa Lekra dibentuk atas inisiatif antara lain D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto pada 17 agustus 1950. Anggota-anggota awal adalah pengurusnya itu sendiri terdiri atas A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan garis revolusi. Tugas ini mereka yakini tidak hanya dibebankan kepada politisi tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional.

Di Bab satu buku ini juga dijelaskan mengenai gerakan 1-5-1. Ini adalah gerakan yang menempatkan politik sebagai panglima sebagai asas dan basis dari lima kombinasi kerja. Kombinasi itu adalah, (1) Meluas dan meninggi; (2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; (3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner; (4) Kreativitas individual dan kearifan massa; (5) Realisme sosial dan romantik revolusioner. Di dalam melakukan kelima hal itu metode yang dilakukan adalah turun ke bawah atau turba.

Selanjutnya pada bagian dua diberi judul bab Riwayat Harian Rakyat. Bab ini dibagi menjadi empat buah tulisan, yaitu (1) 14 Tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat di halaman 73; (2) Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakyat; (3) Lekra dan Harian Rakjat di halaman 95; (4) Berkali-kali Dibreidel Akhirnya Mati juga di halaman 98. Di dalam bab ini dijelaskan mengenai sejarah Harian Rakjat. Pertama kali terbit pada tanggal 31 januari 1951 harian ini bernama Suara Rakjat.


(58)

Jargon yang diusung adalah Untuk Rakjat hanja Ada Satu Harian “Harian Rakjat”. Harian ini beralamatkan di Pintu Besar Selatan No. 93 dengan Dewan Redaksi oleh Njoto dan Direksi/Penangung Jawab/Redaksi oleh Mula Naibaho.

Dijelaskan juga garis politik redaksi Harian Rakyat adalah konfrontasi, sehingga terjadi polemik dengan redaksi Harian Merdeka milik B.M. Diah. Hal yang diperdebatkan adalah persoalan politik dalam negeri, partai tunggal, watak-watak pendukung Sukarnoisme, politik agraria dan Manipol Usdek. Akibat polemik yang terus terjadi, Jaksa Agung meminta kedua surat kabar tersebut untuk berhenti karena dapat membahayakan persatuan tenaga revolusioner dan mengganggu keamanan politik.

Pada bagian tiga diberi judul bab Sastra yang terdiri dari sepuluh tulisan. Tulisan-tulisan dalam bab Sastra ini diantaranya, yaitu (1) Realisme Sosialis dan Politik Manipol di halaman 107; (2) Sejarah Sastra Indonesia: Patriotik dan Revolusioner di halaman 109; (3) Pengajaran Sastra dan Politik Neokolonialisme di halaman 126; (4) Memecah Kolonialisme Bahasa di halaman 136; (5) Konferensi Sastrawan Asia Afrika: Merawat Semangat Perlawanan Bersama di halaman 139 (6) Lekra dan Warga Sastra Dunia di halaman 149; (7) Lumpuhkan Bibit Tenaga Reaksioner dalam Negeri! di halaman 151; (8) Sastra Daerah: Titik Bakar untuk Penciptaan di halaman 157; (9) Puisi dan Prosa: Diantara Keindahan dan Keadilan di halaman 174; (10) Sastra Anak: Minggir Nyingkir Pimpinan yang Curang di halaman 192. Bab ini khusus menjelaskan pandangan Lekra mengenai sastra daerah dan sastra nasional serta bagaimana metode untuk mengembangkannya.


(59)

Kemudian dilanjutkan pada bagian empat yang diberi judul bab Film. Di bagian ini menjelaskan pandangan Lekra mengenai perfilman di Indonesia. bagaimana film nasional dapat melawan gempuran dari film-film asing. Hal tersebut tercermin dari beberapa tulisan yang terdapat dalam bab ini. pandangan mengenai perfilman ini dimulai dengan tulisan (1) Jalan Ideologi Film Indonesia di halaman 201; kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh tulisan (2) Dewan Film: Pandangan Pemerintah di halaman 206; (3) Panitia Sensor dan Film Antiagama di halaman 209; (4) LFI dan Film Indonesia: Pandangan Lekra di halaman 214; (5) Film Berbasis Sosialis, Soal Apa? di halaman 225; (6) Menjadi Tamu Di Rumah Sendiri di halaman 237 (7) Festival Film Asia Afrika: Komunike Kesetiakawanan di halaman 241; (8) Ampai, Kaum Dagang, dan Imperialisme Budaya di halaman 248; (9) Boikot, Boikot, Boikot! di halaman 254; (10) Ayo, Keroyok Ampai dan Agen-Agenen Film Asing sampai Mampus di halaman 261; (11) Robohnya Gedung Ampai di halaman 271.

Bagian lima mengenai bab Senirupa, dalam bab ini dipaparkan mengenai jalan Lekra dibidang senirupa yang dijelaskan dalam lima tulisan. Hal ini tentang ketegasan dibidang politik senirupa dan pembentukan galeri-galeri pameran. Beberapa tulisan tersebut, yaitu (1) Politik Senirupa Lekra di halaman 283; (2) Taman Seni Lekra: dari Galeri ke Galeri di halaman 298; (3) Turba dan Organisasi Senirupa Indonesia di halaman 312; (4) Garis Seni Lesrupa di halaman 319; (5) Lesrupa dan Merahnya Merah di halaman 322.

Masuk di bagian enam mengenai bab Seni Pertunjukan yang di mulai dengan tulisan pertama yang berjudul Kebangkitan Kesenian Rakyat di halaman


(1)

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan hasil penelitian (Moleong, 2002:161).

5. Validitas Data

Validitas data atau teknik pemeriksaan keabsahan data sangat penting dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan pada saat penelitian dilakukan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk menjamin validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti mengggunakan teknik cross check. Penggunaan teknik cross check data dilakukan dengan membandingkan atau mengecek data hasil dokumentasi dan wawancara (Bungin, 2001:2005).

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data induktif. Dalam model analisis ini ada empat komponen analisis yaitu reduksi data, unitisasi dan kategorisasi data,penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus hingga membentuk sebuah siklus.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Buku tersebut dicetak pertama kali pada bulan September 2008 dan diterbitkan oleh Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku yang beralamatkan di Pugeran, Maguwoharjo, Yogyakarta. Buku ini disusun oleh dua orang penulis, yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Pada bagian desain sampul buku dibuat oleh Eddy Susanto dan desain isi oleh Kalam Jauhari. Buku yang bergenre esai dengan tebal 584 halaman ini berukuran 15 x 24 cm dan didaftarkan dengan nomor ISBN, yaitu 978-979-18475-0-6. Sedangkan untuk isi, buku dibagi menjadi


(2)

sepuluh bagian dengan tambahan tulisan tentang catatan penulis, singkatan dan akronim, lampiran, indeks, dan tentang penulis. Pada bagian satu sebagai pembuka diberi judul bab Mukaddimah.

Berdasarkan keterangan Arif Raharjo, S.H selaku staf Asisten Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta bagian Sosial-Politik (Kasi II) yang mengurusi pengawasan barang cetakan. Dia menjelaskan bahwa pengawasan buku oleh kejaksaan menggunakan landasan hukum UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan. Peraturan perundangan tersebut juga diperkuat dengan produk hukum berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Jaksa Agung JUKLAK-001/A/J.A.3.2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Pengertian Ketertiban Umum dan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-190/A/J.A/3/2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Clearing House Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Perlawanan secara non litigasi melalui pengubahan design sampul buku, kedua penulis melakukan beberapa tindakan untuk memperjuangkan agar buku yang mereka tulis tetap dapat beredar di masyarakat. Beberapa diantara usaha perlawanan tersebut adalah dengan mengadakan diskusi bedah buku dan pameran buku-buku terlarang di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk mengkampanyekan dan meminta dukungan masyarakat dalam menolak kebijakan pelarangan buku. Tindakan perlawanan secara kultural ini membuahkan hasil dengan munculnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang prodemokrasi.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 selain menempuh jalur perlawan kultural juga melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Dua penulis buku ini mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan RI. Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan berbagai pertimbangan, maka permohonan Para Pemohon Nomor 13/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUUVIII/ 2010 dikabulkan untuk


(3)

sebagian. Keputusan hasil uji materi tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Oktober 2010. Waktu pengajuan uji materi sampai mendapatkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi menurutkedua penulis memakan waktu sampai 1 tahun. Di dalam Amar Putusan Mahkamah Kostitusi dalam perkara uji materi tersebut terdapat 1 hakim yang dissenting opinion (berbeda pendapat) yaitu Hamdan Zoelva.

V. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan terhadap politik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktik kebijakan pelarangan buku yang dilakukan pemerintah berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 dan UU No.16 Tahun 2004

Kebijakan pelarangan buku di era reformasi tersebut menggunakan landasan yuridis UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Alur kerja pelarangan buku di mulai dari pengumpulan informasi yang merupakan inisiatif dari kejaksaan dilanjutkan pengkajian dalam rapat clearing house yang menghasilkan temuan sebagai kriteria penilaian dalam pelarangan buku sebagai berikut:

a) Sampul buku bagian depannya memuat gambar Palu Arit yang cukup besar berwama putih (sama dengan warna sampul buku); b) Mencantumkan istilah "G 30 S" atau "Gerakan 30 September"

atau "Gerakan 30 September 1965" tanpa diikuti sebutan "PKI";


(4)

c) Mendiskreditkan Pemerintah, khususnya Angkatan Bersenjata dengan tuduhan telah melakukan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran, penggorokan leher, dan penembakan-penembakan sistematik, serta mengatur aksi massa yang sangat brutal terhadap para budayawan.

Berdasarkan rekomendasi penilaian dari kajian clearing house tersebut, maka dilanjutkan dengan penerbitan Surat Keputusan pelarangan buku oleh Jaksa Agung melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 pada tanggal 22 Desember 2009. Keputusan Jaksa Agung ini kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah penyitaan dan pemusnahan buku oleh aparat kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.

2. Proses perlawanan atau advokasi yang dilakukan oleh penulis sebagai warga negara terhadap kebijakan pelarangan buku berupa advokasi non litigasi dan litigasi

Proses perlawanan yang dilakukan oleh penulis buku tersebut ditempuh melalui dua bentuk, advokasi non litigasi dan advokasi litigasi. Pertama, perlawanan non formal atau advokasi non litigasi yang dilakukan penulis dengan mengubah design sampul buku yang bergambar palu arit menjadi seolah-olah ditutup. Kemudian penulis buku bersama aktifis prodemokrasi melakukan diskusi, seminar dan pameran buku terlarang di kota Jakarta dan Surabaya. Selain langkah tersebut mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk meminta dukungan masyarakat dan mengkampanyekan penolakan kebijakan pelarangan buku.

Kedua, perlawanan secara formal atau advokasi litigasi yang dilakukan penulis buku tersebut dengan mengajukan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi.


(5)

Saran

1. Pemerintah di dalam pengawasan buku pada proses pengkajian sebuah barang cetakan oleh tim clearing house harus mendatangkan ahli dari berbagai bidang yang berhubungan dengan isi buku, perwakilan masyarakat dari berbagai kalangan, dan pejabat pemerintah. Selain itu, penulis buku harus diberi hak jawab terhadap penilaian buku yang ditulis dan pengambilan kebijakan pelarangan sebuah buku harus dilakukan dengan pembuktian di pengadilan terlebih dahulu.

2. Semua penulis buku selain memahami tata cara penulisan buku yang baik. Mereka juga harus dibekali pengetahuan tentang produk hukum yang berhubungan dengan barang cetakan dan metode advokasi litigasi dan non litigasi yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif-Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Fauzan. (2002). Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Iwan Awaludin Yusuf,dkk. (2010). Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah Paradoks Demokrasi dan kebebasan Berekspresi. Jogjakarta: pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).

Jaringan Kerja Budaya. (1999). Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Lexy J. Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Miriam Budiardjo.(2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. (2008). Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba Lukamu Sakitku.


(6)

Sudaedi. (2012). Ketika Baris Kata Begitu Menakutkan. Yogyakarta: Marhaen Institut

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharno. (2010). Dasar-Dasar Kebijakan Publik:Kajian Proses dan Analisis Kebijakan. Yogyakarta: UNY Press.

Peraturan Perundang-undangan:

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.6-13-20/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materi Undang-Undang No.4/PNPS/1963 dan Undang-Undang No.16 Tahun 2004.

Undang-Undang No.44 Tahun 1999 Tentang Pers.

Undang-Undang No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.