persatuan bangsa. Keyakinan ini disadari oleh Soekarno yang sudah memberi lajur bahwa generasi-genarasi muda adalah sokoguru revolusi di kemudian hari.
196
Bidang seni rupa pula menjadi perhatian dalam rangka membina anak-anak di sekolah, seperti taman kanak-kanan, SR, SLP, SLA, dan sampai ke Perguruan
Tinggi. Dalam rangka pendidikan kesenian di sekolah-sekolah, para guru dilibatkan secara aktif dalam membimbing para siswa. Pentingnya pendidikan
kesenian di sekolah-sekolah, karena mereka merupakan tunas-tunas yang akan mendukung dan mengembangkan seni Indonesia.
197
Usaha Lekra memupuk kesadaran akan pentingnya kesenian di bidang pendidikan perlahan-lahan membuahkan hasil. Pada tanggal 9 Maret 1959, dalam
rangka perayaan Dies Natalis ke IX Dewan Mahasiswa Universitas mengadakan malam Multatuli. Malam Multatuli ini dimaksudkan mengapresiasi para penulis
Belanda yang telah membela masyakat Indonesia dari penderitaan dan penindasan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Hal serupa juga dilakukan oleh Badan Kerja Sama Kesenian Mahasiswa Indonesia di Jakarta. Acara yang berkenaan dengan ulang tahun BKSKMI ini
berlangsung pada tanggal 16-23 April 1959. Pada Pentas Seni Mahasiswa ini, digelar pameran lukisan seniman-seniman mahasiswa dari Bandung, Yogyakarta,
dan Jakarta. Selain itu, diadakan simposiun sastra yang diisi pula oleh Joebar Ajoeb membahas politik dan kesusasteraan dan Wiratmo Sukito membahas
Manusia, Sastra, dan Politik. Dalam acara ini, hadir Pramoedya Ananta Toer,
196
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit., hlm. 456.
197
Budaya, Yogyakarta, diterbitkan Djawatan Kebudayaan Pusat Departemen P.D.K. Urusan Kesenian Jogyakarta, 1962, hlm. 126-127.
Bujung Saleh, F.L. Risakotta, Nugroro Notosusanto, dan Drs. Slamet Muljono turut memberikan pandangan-pandangannya tentang sastra.
198
Dalam usaha menjaga moralitas bangsa, Lekra yang berada di Yogyakarta membuat program melakukan sweeping atas pemakaian baju-baju norak nekolim
atau you-can-see. Sikap keras Lekra ini berkaitan dengan semangat anti neokolonialisme dalam bentuk budaya asing, seperti Inggris dan Amerika. Bagi
Lekra, PKI, dan pemerintah, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see, bikini, film cabul, sastra cabul, dan majalah cabul ialah bagian yang harus dilenyapkan.
Pada tanggal 7 Januari 1965, puncak penertiban semua produk yang dianggap merusak mental bangsa adalah pembakaran buku-buku USIS yang menjadi simbol
dari kekuatan asing.
199
Pembakaran buku-buku USIS merupakan langkah dalam melenyapkan produk-produk asing. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak
buruk bagi perkembangan anak-anak yang masih dalam masa perkembangan. Dampak buruk dari kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia harus disadari oleh semua rakyat. Lekra berusaha menjunjung tinggi budaya Timur yang menjadi moralitas bangsa.
Realitas yang ada dalam kehidupan rakyat menjadi tema dalam puisi para sastrawan Lekra. Secara fungsional, puisi menjadi sarana respon yang tanggap
atas kenyataan masyarakat. Para penyair Lekra yang terkemuka antara lain Agam Wispi, S Anantaguna, Sobron Aidit, Amarzan Ismail Hamid, Hadi S, S Rukiah,
Sisakotta, Kusni Sulang, Setiawan Hs, Putu Oka, dan Toga Tambunan. Mereka
198
Ibid., hlm. 217.
199
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit., hlm. 475-476.
melahirkan banyak karya.
200
Dalam proses penggarapan puisi, para sastrawan melibatkan perasaan yang mendalam, pemikiran, dan menampung aspirasi-
aspirasi kalangan bawah. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan karya yang memiliki nilai dalam menggugah semangat semua kalangan.
Para seniman Lekra membawa sastra menjelajahi kampung dan pabrik- pabrik. Masyarakat dan anak-anak muda diajari menulis puisi, cerpen, dan
sebagainya. Selain itu, Lekra intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, dan
pameran lukisan. Lagu-lagu dan tarian daerah juga tidak luput dari perhatian Lekra. Para seniman Lekra dengan semangat mengumpulkan dan mendata lagu-
lagu dan tarian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Lekra, semua ini merupakan pondasi kebudayaan Indonesia sehingga dapat
menyelamatkan budaya asli dari amukan budaya Asing.
201
Dalam usaha melestarikan budaya daerah, para seniman Lekra menjadikan turba sebagai agenda yang terprogram. Hal serupa diikuti oleh beberapa sanggar
lainnya, seperti Pelukis Rakyat, Gempa Langit di Jawa Tengah, Bumi Tarung di Yogyakarta, Maris di Jawa Barat, dan Mawar Merah di Sumatra. Sanggar-sanggar
ini yang menjadikan turba sebagai usaha mencari ide berkesenian.
202
Untuk mendapatkan ide pembuatan karya seni, Lekra harus terjun langsung ke desa-desa
dan merasakan sendiri kehidupan rakyat.
200
Ibid., hlm. 8.
201
Ibid., hlm. 489-490.
202
Ibid., hlm. 40.
87
BAB V KESIMPULAN
Setelah meneliti Lahirnya Lekra Dalam Perkembangan Politik di Indonesia pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis menarik beberapa
kesimpulan menyangkut Lekra. Kehidupan pada sekitar tahun 1950-1960an merupakan masa yang
menegangkan. Tidak hanya semangat revolusi yang kembali disuarakan, tetapi juga banyaknya organisasi atau lembaga yang secara serempak bangkit
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu lembaga kebudayaan yang ikut mendukung revolusi adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, yang
bergerak di bidang kesenian dan ilmu pengetahuan. Kehadirannya menjadi wadah bagi para seniman dalam menuangkan ide-ide kreatifnya dalam berbagai karya
seni. Melalui karya seni, Lekra menyuarakan aspirasi kaum kecil yang tertindas oleh tuan-tuan dan penguasa yang tidak perduli pada kehidupan mereka.
Lembaga Kebudayaan Rakyat membuka lembaran baru dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia. Lekra menentang kebudayaan Barat yang berusaha
meracuni pikiran anak bangsa dan melemahkan ketahanan nasional. Dipundak para pekerja seni terdapat beban berat yang harus dipikul. Kemajuan bangsa harus
menjadi perhatian bersama dalam membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan feodalisme yang mengikat. Kemerdekaan dalam seluruh aspek kehidupan
tidak didapatkan dengan begitu mudah. Oleh karena itu, para seniman Lekra
berusaha mendukung jalannya revolusi dengan mengaktifkan kembali kebudayaan daerah yang akan menjadi kebudayaan nasional.
Sebagai lembaga kebudayaan yang perduli pada nasib rakyat kecil, Lekra menghimpun para seniman dari berbagai kalangan. Sikap Lekra yang terbuka
dengan siapa saja yang ingin bergabung demi memperjuangkan kehidupan rakyat membuatnya berkembang begitu pesat. Lekra membangun lembaga-lembaga
kreatif, seperti Lesrupa, LFI, Lestra, LSDI, LMI, dan Lembaga Seni Tari Indonesia. Lembaga-lembaga kreatif ini tersebar sampai ke desa-desa untuk
menampung aspirasi dan menjadi penggerak para pekerja seni dalam mempelajari realitas kehidupan rakyat. Lekra merupakan salah satu lembaga yang secara tegas
berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam menjalankan program-program kerjanya, Lekra berpedoman pada
Mukadimah Lekra dan berasaskan politik sebagai panglima, realisme sosialis, seni untuk rakyat dan yang semuanya terangkum dalam Turba. Turba dilakukan untuk
mencari ide-ide dari realitas kehidupan rakyat di lapangan. Para seniman terjun mencari dan menggali sendiri peristiwa yang terjadi. Karya yang dihasilkan bukan
berasal dari membaca buku dan ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah. Selama lima belas tahun berdiri, banyak sumbangan Lekra bagi negeri ini
baik dalam bidang politik maupun sosial. Dalam bidang politik, Lekra menjadi lembaga kebudayaan yang memiliki banyak massa pendukung. Pergerakannya
bersama dengan Partai Komunis Indonesia membuat Lekra berkarya tidak hanya terbatas di bidang seni, tetapi juga mampu memperjuangkan nasib rakyat melalui
karya. Pemikiran kebudayaannya yang memuat nasionalisme, patriotisme, dan berkepribadian nasional telah menjadi watak dalam menghadapi imperialisme,
kolonialisme, dan feodalisme. Sikap Lekra yang tidak mengenal kompromi kepada mereka dianggap sebagai musuh dari revolusi. Sesuai dengan prinsipnya,
Politik sebagai Panglima, kehadiran Lekra dalam mendukung jalannya revolusi banyak dimanfaatkan berbagai pihak baik dalam menjalin kerja sama maupun
menjadi lawannya. Sesuai dengan garis perjuangannya yang memperhatikan rakyat kecil, para
pekerja kebudayaan Lekra dilatih untuk peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Fokus perhatian tidak hanya pada budaya
daerah, tetapi juga pada moral bangsa. Lekra berusaha menghadang budaya Barat yang mulai meracuni pikiran anak bangsa. Hal ini tentu sangat berbahaya untuk
perkembangan generasi muda yang merupakan penerus bangsa.
90
DAFTAR PUSTAKA Sumber buku:
Ajib Rosidi. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
_________. 2015. Lekra Bagian dari PKI. Bandung:PT Dunia Pustaka Jaya. Ali Moertopo. 1978.Strategi Kebudayaan.Jakarta: Center For Strategic And
Internasional Studies. Antariksa. 2005.Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra 1950-
1965.Yogyakarta: Yayasan Seni Cerneti. Anton Haryono. 2011. Sejarah Sosial Ekonomi: Teori Metodologi Penelitian
dan Narasi Kehidupan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Asnawi
Murani, Dkk.
1984. Kapita
Selekta Manifestasi
Budaya Indonesia.Bandung: Alumni.
Agus Burhan, M. 2013.Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra. Surakarta: UNS PRESS.
Elly M. Setiadi.2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakata: Kencana. Hadji Schmad Notosoetardjo. 1962. Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia.
Penerbitan Bersama
Endang-Pemuda Lembaga
Penggalian dan
Perhimpunan Sedjarah Revolusi Indonesia. Hamzirwan, dkk. 2011. 50 Tahun Bumi Tarung. Jakarta:dicetak oleh Mahameru
Offset Printing. Hikmah Diniah. 2007.Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar
di Indonesia.Yogyakarta: Caraswati Books.
Jones, Tod. 2015.Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Reformasi. Jakarta:Yayasan Pusat Obor
Indonesia. Junus Melalatoa, M. 1997.Sistem Budaya Indonesia.Jakarta: PT. Pamator.
Koentjaraningrat, 1974.Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kongres Nasional Umum Pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat. 1959.Penerbit Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Kasenda, Peter. 2014.Bung Karno Panglima Revolusi. Yogyakarta: Galang Pustakan.
_________. 2014.Soekarno Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Buku,
Kuntowijoyo, 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. Magis-Suseno, Franz. 1992.Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran
Kritis. Jakarta: Gramedia. Marwati Djoened Poesponegoro. 1984.Sejarah Nasional Indonesia VI.edisi ke-
4.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maswadi Rauf. 2001.Konsensus dan konflik politik. Diktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi. Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku. Yogyakarta: Merakesumba. _________.2008. Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra:
Harian Rakyat 1950-1965.Yogyakarta: Merakesumba. Moeljanto, Taufiq Ismail. 1995.Prahara Budaya:Kilas-Balik Ofensif LekraPKI
DDK Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah. Bandung: Mizan.