Bidang Politik Dampak Perkembangan Lekra di Bidang Politik dan Sosial

Komunis Indonesia merupakan salah satu partai besar dan paling dekat dengan Presiden Soekarno. Hal ini tentu menguntungkan bagi Lekra untuk menghadapi seterunya. Sementara itu, PKI membutuhkan Lekra untuk menjaga hubungan baiknya dengan massa. PKI sadar bahwa kebudayaan dan kesenian merupakan langkah yang efektif untuk menarik perhatian rakyat. 153 Prinsip Lekra yang serupa dengan PKI ialah adanya larangan selingkuh dan poligami. Hal ini terjadi pada November 1958, Dharta dipecat dari jabatan sebagai sekretaris umum dan anggota Lekra karena diketahui berselingkuh. Pemecatannya diumumkan di Harian Rakyat dan Dharta sempat ditahan di pencaran Kebonwaru, Bandung, dan dibebaskan pada tahun 1978. 154 Lekra sebagai lembaga yang memiliki banyak massa membutuhkan sarana untuk memberitakan berbagai kegiatannya, yaitu koran. Koran-koran yang memuat lembaran Lekra tiap minggunya adalah Zaman Baru, Republik, Sunday Courier, Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Harian Rakyat. Beberapa Koran yang pro-Lekra dan PKI ialah Pendorong, Sin PO edisi bahasa Cina dan bahasa Indonesia, dan Terompet Masyarakat yang menjelang tahun 1965 lebih condong ke Lekra. 155 Harian Rakyat pertama kali terbit pada tanggal 31 Januari 1951. Kantor Harian Rakyat terletak di Pintu Besar Selatan No. 93 dengan Dewan Redaksi ialah Njoto dan reksipenanggung jawab adalah Naibabo serta dibantu Supeno. 156 Jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakyat adalah jurnalisme konfrontasi 153 Rhoma Dwi Aria Yulianti, op.cit, hlm. 64. 154 Tempo, op.cit., hlm. 22-23. 155 Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, Jakarta, Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan,1988, hlm. 45. 156 Rhoma Dwi Aria Yulianti, op.cit., hlm. 77. dengan bahasa yang meledak, tembak langsung, jambak, sikat, dan pukul di tempat. Garis politik redaksi Harian Rakyat yang keras tidak jarang membuatnya mendapatkan protes dari surat kabar lain, salah satunya ialah Harian Merdeka milik BM Diah. Polemik yang terjadi diantara keduanya yakni memperdebatkan soal politik dalam negeri, partai tunggal, watak-watak pendukung Soekarnoisme, politik agraria, dan Manipol-Usdek. Kedua koran di atas memiliki prinsip yang saling bertolak belakang. Harian Merdeka yang merupakan Badan Pendukung soekarnoisme dan menentang PKI, sedangkan Harian Rakyat yang berkoalisi dengan Harian Bintang Timur milik Amuanto menuntut pembubaran BPS. Konflik yang terjadi pada tanggal 2-9 Juni 1964 ini berhenti dengan keputusan Jaksa Agung karena dapat membahayakan persatuan para masyarakat yang revolusioner dan mengganggu keamanan politik. 157 Harian Rakyat tidak hanya memberitakan isu-isu politik, tetapi juga menampung berita kebudayaan seperti seni musik, patung, lukis, film, seni pertunjukan ketoprak, tari, wudruk, karikatur, dan lainnya. Misalnya, dalam pemberitaan Harian Rakyat terdapat karikatur yang menceritakan peristiwa politik sehari-hari dengan gaya bahasa yang lucu, cerdas, inspiratif, unik, dan menusuk langsung ke sasaran. 158 Menggunakan bahasa yang tidak berbelit-belit, membuatnya mudah dipahami oleh semua kalangan. Harian Rakyatmulai berkembang dengan mengeluarkan rubrikasi kepala karangan yang lain seperti HR Muda, HR Sport, dan Film. HR Muda yang 157 Ibid., hlm. 78. 158 Idem. dipegang oleh Kak Embun dengan tujuan memberi dorongan langsung bagi pertumbuhan bakat dan kemauan anak-anak. Begitu pula dengan HR Sport dan Film yang dipegang oleh Soejono dan Joebar Ajoeb bertujuan untuk memberi sumbangan kepada usaha pembinaan olehraga dan film nasioanal karena kemajuan olahraga dan film nasional juga kemajuan bagi kebudayaan. 159 Harian Rakyat memiliki prinsip, yaitu tidak akan mencetak lembaran yang bertentangan dengan semangat revolusi. Koran yang dikendalikan baik oleh orang-orang Lekra maupun PKI ini berpihak kepada sosialisme, demokrasi terpimpin, anti imperialisme, dan feodalisme. Hal ini terlihat dari pemberitaannya dalam konflik Kashmir di India. Pemberitaan yang dimuat justru membela Pakistan dan menyudutkan India yang memiliki hubungan dengan Inggris sebagai negara imperialis. 160 Kedekatan Lekra dengan PKI menjadinya lembaga kebudayaan yang cukup diperhitungkan baik oleh para lembaga kebudayaan lainnya maupun dengan partai-partai politik. Dalam usaha mengimbangi perkembangan Lekra yang begitu pesat, lahirlah Manifes Kebudayaan dengan aliran humanisme universal. Aliran humanisme universal merupakanpemikiran yang berfokuspada solusi umum atas masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.Manifes dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1963 dengan ditandatangani 20 seniman yaitu 16 penulis, 3 pelukis, dan seorang komponis. 161 Pada tahun 1960an, para budayawan, penulis, intelektual, dan seniman dengan paham lain memainkan peranan penting dalam menciptakan pondasi 159 Ibid., hlm. 79. 160 Ibid., hlm. 78-79 161 Tempo, op.cit., hlm. 100. wacana anti komunis. Para intelektual pro-Barat yang berideologi liberal dan humanisme universal berusaha melawan kaum paham dan komunis di Indonesia. Perdebatan pada masa ini menjadi manifestasi perang dingin di bidang kebudayaan antara ideologi kiri Lekra dan para pendukung ideologi Manikebu. Dengan dukungan sayap kanan, seperti partai-partai politik anti komunis, militer, dan intitusi-institusi kebudayaan menggunakan paham manikebu untuk menyingkirkan komunis berserta aktivitas kebudayaannya. Dalam konteks inilah, para pendukung humanisme universal mendirikan Manifes Kebudayaan. 162 Pada tahun 1960an, salah satu pengurus Manifes Kebudayaan Goenawan Mohamad mengatakan bahwa tujuan dibentuknya Manifes Kebudayaan ialah sebuah ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri dan independen dari desakan politik serta berbagai tata cara revolusioner. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Presiden Soekarno terhadap Slogan Manipol Usdek, Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang menjadi rambu bagi proses penciptaan karya seni. Para seniman pula ikut serta dalam menjalankan kebijakan tersebut sehingga suasana berkesenian pada masa itu tidak begitu baik untuk seniman yang enggan berpolitik. 163 Lekra menolak paham humanisme universal yang dianggap abstrak dan tidak memihak pada rakyat, buruh, dan tani.Lekra berpendapat bahwa manikebu adalah kelompok yang dapat melemahkan dan terus-menerus merongrong 162 Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti- Komunisme Melalui Sastra dan Film, 2013, Tangerang Selatan, CV Marjin Kiri, hlm. 7-8. 163 Tempo, op.cit., hlm. 101-102. revolusi. 164 Hal ini tentu berbahaya bagi semangat dan jalannya revolusi. Pemahaman yang berbeda pada keduanya, dimana Lekra berpegang teguh dengan prinsip “seni untuk rakyat” dan paham “realisme sosialis”, sedangkan Manikebu dengan “seni untuk seni” dan “humanisme universal”. Lembaga Kebudayaan Rakyat menolak pemisahan seni dari masyarakat. Bagi Lekra, seni harus berpihak, bertendensi, dan menerima metode Realisme Sosialis dengan pegangan politik sebagai panglima serta mengabdi kepada rakyat pekerja. 165 Prinsip inilah yang ditolak oleh Manikebu. Bagi Manikebu, politik tidak boleh menjadi panglima yang menguasai segala bidang kehidupan. Manikebu membela nilai-nilai kemanusiaan universal yang diinjak-injak oleh kaum totaliter. Para pendiri Manikebu berpendapat bahwa prinsip dan sikap kebudayaan yang baik saat itu adalah non-commitment dari pengaruh politik maupun militer. 166 Seni yang tidak memihak, bersifat universal, kosmopolitan, dan tanpa kelas. Realisme sosialis dan humanisme universal sebenarnya merupakan dua segi tuntunan dari suatu subyek yang sama, yaitu manusia. Kedua lembaga kebudayaan ini sama-sama menerima revolusi Indonesia, Manipol sebagai haluan, dan Pancasila sebagai dasar negara. Cara pandang yang berbeda-beda membuat keduanya merasa lebih revolusioner, Manipolis, dan Pancasilais dengan berpegang pada paham serta prinsip masing-masing. Realisme sosialis 164 D.S. Moeljanto, Prahara Budaya: Kilas-Balik LekraPKI DKK Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah, 1995, Bandung, Mizan, hlm. 39. 165 Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, 2000, Jakarta, Wacana Sosialis, hlm. 30. 166 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai G30SPKI dan Apa Peran Bung Karno, Jakarta, Soegiarso Soerojo, 1988, hlm. 134. menampilkan aspirasi-aspirasi sosial secara realistik, sementara humanisme universal menampilkan sisi kemanusiaan yang menyeruh tanpa batas. 167 Manifes Kebudayaan mendapat dukungan dari berbagai organisasi kebudayaan lain seperti Lesbumi, Ikatan Sarjana Pancasila, Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia, Badan Pembina Teater Nasional Indonesia Sumatra Selatan, dan Teater Muslimin Wilayah Palembang. Menurut Arif Budiman seorang anggota Manifes mengatakan terus bertambahnya pendukung Manifes membuat Lekra dan Presiden Soekarno gerah. Oleh karena itu, mulailah terjadi intimidasi terhadap para pendukung Manifes. 168 Selain itu juga, beberapa media cetak ikut mendukung Manifes Kebudayaan seperti Harian Republik, Majalah Sastera, Semesta, Duta Masyarakat, Glora, Pos Minggu, Mingguan Surakarta, Majalah Basis, Waspada Teruna, dan Indonesia Baru. 169 Peristiwa sastra yang tidak kalah penting terjadi diantara Lekra dengan Manifes Kebudayaan ialah persoalan novel Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel ini dianggap plagiat dari karya pengarang Arab, yaitu Manfaluthi. Pramoedya Ananta Toer dari Lekra lewat majalah Lentera mulai bersitegang dengan Jassin pimpinan majalah Sastra yang membela Hamka. 170 Dalam majalah Lentera dimuat tulisan Abdullah S.P atau Said Patmadji berjudul “Aku Mendakwa Hamka, Plagiat” ini semakin membuat persoalan ini kian panas. 171 167 Alexander Supartono, op.cit., hlm. 21. 168 Tempo, op.cit., hlm. 103. 169 Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, op.cit., hlm. 50. 170 Tempo, op.cit., hlm. 109. 171 D.S. Moeljanto, op.cit., hlm. 49. Hebohnya peristiwa tunduhan plagiat atas buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Hamka ini menimbulkan polemik berkepanjangan. Orang-orang PKI dengan paham realisme sosialis menjuluki pengikut Manifes Kebudayaan dengan Menikebuis. Aksi saling serang diantara kedua lembaga kebudayaan ini semakin meramaikan dunia perpolitikan. Hebohnya perseteruan diantara Lekra dan Manikebu berujung dengan dilarangnya Manikebu pada tanggal 8 Mei 1964. 172 Pergerakan Lekra bersama PKI semakin membuat cemas bagi mereka yang tidak sepaham. Hal ini ditambah dengan D.N. Aidit yang dianugrahi Bintang Mahaputra kelas III oleh Bung Karno atas contoh kepahlawanan dan tauladan dalam political leader pada tanggal 13 September 1965. Melihat hal ini, para pegawai perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pemerintah mendirikan perserikatan dengan tujuan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Perserikatan ini bernama Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia Soksi, yang di dalamnya para perwira Angkatan Darat banyak pula aktif bergabung. 173 Sebagai organisasi politik non partai, Soksi memiliki ormas-ormas bawahan seperti P3I, Konkarbu, Gerwasi, Gertasi, Kartasi, Perkapen, Lekri, Pelmasi, Pelpasi, dan PBKA. Tujuan didirikannya berbagai ormas ini ialah untuk mengimbangi pergerakan Lekra dan PKI. Namun, hal ini mendapat sambutan dari PKI dengan dibentuknya PanitiaRetooling Aparatur Negara Paran. Retooling atau pembersihan ini bernuansa politik untuk menyingkirkan birokrat yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah republik. Paran sendiri dipimpin langsung 172 Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, op.cit., hlm. 50. 173 Ibid., hlm. 70. oleh Soekarno. Pada perkembangan selanjutnya, PKI menuntut untuk membubarkan Soksi yang dianggap sebagai ancaman. 174 Pada tanggal 30 Juli 1959, Lekra terlibat dalam pembentukan Dewan Pertimbangan Agung yang kebanyakan tokoh-tokoh kiri diikutsertakan, antara lain D.N Aidit, Njoto, Siau Giok Tjan, Sujono Atmo dan diimbangi orang-orang Murba seperti Adam malik, Iwa Kusumasumantri, Moh. Padang, Ny. Rasuna Said, dan lainnya. Selain itu juga dibentuk Depernas yang meliputi wakil-wakil berbagai organisasi, salah satunya Lekra. 175 Pertarungan politik yang masuk ke dalam ranah kebudayaan membuat permasalahan kian kompleks. Masalah-masalah yang terjadi seperti sikap kebudayaan dan kesenian terhadap kondisi politik nasional pada saat itu. Dominasi Lekra dalam perjalanan kebudayaan Indonesia setelah merdeka mendapatkan perlawanan politik dari militer, khususnya Angkatan Darat melalui kelompok Manifes Kebudayaan. 176 Politik AD yang berusaha membendung dominasi PKI dalam politik nasional dengan mendukung gerakan Manifes Kebudayaan. Gerakan politik PKI mendapatkan dukungan penuh dengan aksi-aksi kebudayaan Lekra. Perkembangan politik Indonesia awal tahun 1965, perubahan terjadi dalam dunia pergerakan nasional. Hampir semua organisasi massa pada saat itu memiliki kepentingan dan kedekatan politik dengan salah satu partai. Mereka mendekatkan diri pada partai-partai besar yang berjalan di atas kebijakan paham Naskom, tetapi 174 Idem. 175 Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 134. 176 Alexander Supartono, op.cit., hlm. 40-41. ada juga ormas yang memilih berada di golongan netral. 177 Tiga kekuatan politik besar pada masa itu, antara Soekarno, Militer, dan PKI ikut berubah setelah front nasional nasakom berhasil terbentuk dengan meninggalkan militer sendirian. Kesendirian ini mendorong militer untuk bergabung dengan kelompok seniman dan budayawan yang tidak mempunyai afiliasi atau kedekatan dengan kekuatan politik dominan. 178 Dalam lingkaran politik, setiap individu maupun kelompok memiliki ataupun dekat lembaga kecil dibawah naungannya. Hal ini pula terjadi pada Presiden Soekarno dan PNI memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional, PKI yang dekat dengan Lekra, dan Militer memiliki kelompok Manikebu. Pada tahun 1960- an, tiga kekuatan politik dominan saling tarik menarik antara Soekarno, AD, dan PKI. Dengan terbentuknya Front Nasional, lewat Nasakom Nasionalis, Agama, dan Komunis, Soekarno berhasil menyatukan kekuatan partai-partai politik. 179 Soekarno sebagai presiden mampu membentuk jaringan sistem kelembagaan imaginer, memiliki gagasan-gagasan hebat, dan sebagai ideolog mampu merumuskan good society yang ingin dicapai serta cara mewujudkannya. 180 Soekarno terlibat sangat intens dalam berbagai konflik dan koalisi dengan kekuatan politik. Kedekatannya dengan Partai komunis Indonesia tidak kalah sengitnya. Pada posisi yang berusaha meredam dua kekuatan politik antara Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat, Soekarno sebagai presiden yang dikenal 177 Hikmah Diniah, op.cit., hlm. 162. 178 Alexander Suparnoto, op.cit., hlm. 96. 179 Alexander Supartono, op.cit., hlm. 87-88. 180 Peter Kasenda, Soekarno Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri Dan Revolusi Indonesia, 2014, Depok, Komunitas Bambu, hlm. 57. garang terhadap negara kolonial akhirnya diam tidak berdaya. Pada malam 30 September 1965, sekelompok tentara yang sebagian besar anggota pasukan pengawal presiden Cakrabirawa pimpinan Kolonel Untung melancarkan operasi militer untuk menculik tujuh pemimpin senior Angkatan Darat. Para Jenderal yang menjadi target penculikan tersebut antara lain Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan, dan S. Parman. 181 Pada pagi 1 Oktober 1965, Jendral Soeharto membuat pernyataan bahwa PKI di bawah pimpinan D.N. Aidit berada di belakang operasi Untung. Dengan tuduhan ini, Soeharto segera mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Keesokan harinya, Soeharto memimpin AD melancarkan kampanye kekerasan yang dilakukan PKI dan para pengikutnya. 182 Hal ini ditambah dengan ditetapkannya Tap. MPRS No. XXVMPRS1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia. Ketetapan ini menjadikan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan paham atau ajaran KomunismeMarxismeLeninisme. 183 Sikap kontra revolusi yang dilancarkan oleh Soeharto pada Oktober 1965 merupakan penindasan massal terhadap organisasi-organisasi kiri dan revolusi sosial. Teror, penangkapan, dan pembunuhan dalam skala besar merupakan tahap pertama untuk mengakhiri politik mobilisasi terbuka. Terjadi pemusnahan secara fisik dan penghancuran psikologi gerakan tersebut hingga ke akar-akarnya. Kekerasan ini juga ditujukan pada kelas bawah. Pabrik-pabrik dengan reputasi militan tinggi hampir seluruh buruhnya dibabat habis. Kekerasan dilakukan 181 Wijaya Herlambang, op.cit., hlm. 1-2. 182 Ibid., hlm. 2. 183 UUD 1945: P-4 GBHN Kewaspadaan Nasional, hlm. 362. dengan membabat habis para aktivis, meneror jutaan simpatisan PKI, termasuk Lekra, dan sayap kiri PNI, dan semua organisasi massa yang berafiiasi atau mereka yang merupakan pro-Soekarno. 184

B. Bidang Sosial

Selama lima belas tahun berdiri, Lekra memberikan sumbangan yang cukup besar bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Pada tahun 1950-an, Lekra bersama dengan PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan BTI atau Barisan Tani Indonesia berusaha memperhatikan kehidupan rakyat kecil, seperti para petani kecil yang tidak memiliki tanah garapannya sendiri. Untuk mengetahui keadaan para petani di desa-desa, Lekra mengadakan Turba dengan tinggal, makan, dan berkerja bersama dengan para petani. 185 Usaha ini dilakukan untuk membebaskan rakyat dari tuan tanah, tengkulak, penguasa setempat, bandit desa, kapitalis birokrat yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Lekra berusaha melawan para penguasa yang tidak memperhatikan kesejahteraan petani. Petani hanya dijadikan ladang upeti dan pajak tinggi tanpa diiringi dengan upah yang cukup. Usaha Lekra ini didukung dengan dikeluarkannya undang-undang baru, yakni Undang-undang Pokok Agraria UUPA dan Undang-undang Bagi Hasil UUBH. 186 Di samping itu, Lekra juga menampilkan kesenian di desa-desa seperti ketoprak, wayang kulit, wayang orang, ludruk, kuda lumping, reong Ponorogo, dan sebagainya. 187 Hal ini 184 Peter Kasenda, op.cit., hlm. 134-135. 185 Marwati Djoened Poeponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1984, Jakarta, PN Balai Pustaka, hlm. 336-337. 186 Ibid., hlm. 367-368. 187 Ibid., hlm. 368. dimaksudkan untuk memberikan kesadaran tentang pentingnya kebudayaan daerah yang terus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat. Bagi para seniman Lekra, prinsip politik sebagai panglima memberikan semangat dalam menghasilkan karya-karya perjuangan. Ide-ide pembuatan karya tidak muncul begitu saja atau diperoleh dari bangku sekolah, melainkan dari realitas kehidupan masyarakat. Dari pengalaman-pengalaman turba, para seniman dapat menuangkannya ke dalam karya-karyanya yang nantinya dapat dipentaskan kepada masyarakat luas. Karya-karya tersebut dapat ditampilkan pada acara 17 Agustusan, sekatenan, ketoprak keliling, maupun pameran seni rupa. 188 Hal serupa juga dilakukan oleh para seniman Sanggar Bumi Tarung, yang kerap melakukan diskusi tentang seni bertemakan buruh tani. Peran Lekra melalui Sanggar Bumi Tarung terwujud dengan sikapnya yang perduli dan membela ketertindasan rakyat dari imperialisme dan kapitalisme Barat berserta kompradornya. 189 Tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung, yaitu Amrus Natalsya banyak menyorot isu buruh dan tani. Pameran perdana Sanggar Bumi Tarung pada 1962, Amrus memajang lukisan Tangan-tangan yang Agung berceritakan kapitalis yang membuat buruh seperti robot. Dalam lukisan-lukisannya yang lain, seperti Peristiwa Jengkol, Melapaskan Dahaga di Mata Air yang Bening, dan Mereka yang terusir dari Tanahnya. Amrus menggambarkan petani-petani yang menjadi korban sistem feodal. 190 Lekra juga selektif dalam menampilkan cerita-cerita rakyat, terutama yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang memiliki istri lebih dari satu. Isi cerita rakyat 188 Tempo, op.cit., hlm. 34. 189 M. Agus Burhan, op.cit., hlm. 63. 190 Tempo, op.cit., hlm. 76. yang dianggap tidak sesuai dengan garis perjuangan Lekra dihapus, seperti lakon Suminten Edan berujung dengan poligami diubah ceritanya. Hal ini terjadi pula dalam cerita Bandung Bondowoso yang bercerita tentang pembuatan seribu candi. Dari cerita pembuatan seribu candi ini, Lekra lebih menekankan kerja paksa yang menindas rakyat. Kemudian cerita keluarga ne layan yang ditindas oleh “tuan ikan”. Para suami yang berpergian menangkap ikan di tengah laut, sementara istri dipaksa untuk melayani nafsu dari tuan-tuan ikan. 191 Sepanjang 1965, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berkembang pesat. Lakon-lakon yang provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten dan Malaikat Kimpoi sering kali dipentaskan. Dalam perayaan Paskah, yaitu penyaliban Yesus yang diganti judulnya menjadi Patine Gusti Allah yang berujung pada isu Lekra anti-Tuhan. 192 Ludruk, ketoprak, dan wayang menjadi tontonan yang banyak digemari masyarakat bawah. Tema pentas tidak jarang menghadirkan kritik sosial yang menggungah rasa ingin tahu masyarakat. Lekra juga berperan besar dalam mengembangkan puisi sebagai pendukung revolusi. Puisi-puisi yang dihasilkan termuat dalam lembaran halaman Harian Rakyat edisi Minggu. Puisi menyumbangkan semangat dalam mendongkel imperialisme dan membabat akar-akar feodalisme. Para aktivis Lekra dan PKI melihat puisi sebagai senjata kebudayaan yang efektif dan di tengah front derajatnya sama tinggi dengan gerakan kebudayaan lain, seperti seni rupa, seni pertunjukan, film, dan sebagainya. 193 191 Ibid., hlm. 34. 192 Ibid., hlm. 86-87. 193 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit., hlm. 6. Menurut Lekra, puisi harus berpihak dan memperjuangkan sastra demi kepentingan rakyat. Puisi merupakan salah satu jenis kesusasteraan yang sudah akrab dalam kehidupan rakyat. Lekra menyadari pentingnya menghormati tradisi yang telah berlangsung sejak lama dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai usaha dalam melenyapkan kepentingan-kepentingan borjuois lokal yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Bagi sastrawan Lekra, puisi tidak boleh berkhianat pada rakyat yang telah melahirkannya. 194 Sekitar tahun 1955, Pramoedya Ananta Tour memprotes pengajaran sastra di sekolah-sekolah yang dirasakan tidak efektif. Sebagai seorang sastrawan, Pram merasa tidak puas dengan pengajaran yang dilakukan oleh para guru. 195 Lekra memandang peredaran buku-buku perpustakaan dan buku yang menjadi bahan belajar anak-anak di kelas hanyalah sebagai persiapan untuk ujian. Pengajaran sastra lepas dari fungsi yang sebenarnya mendidik anak-anak dalam kesadaran sastra. Hal ini telah disadari oleh para sastrawan dan guru-guru sastra, namun keterbatasan sumber dalam mengajar membuat guru-guru menggunakan buku- buku yang ada. Pendidikan merupakan hal yang tidak kalah penting dalam mendidik generasi muda. Bagi Lekra, persoalan buku pelajaran juga persoalan politik. Pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir anak-anak ke depannya. Oleh sebab itu, baik Lekra maupun PKI berusaha sekuat tenaga mengendalikan dan melindungi buku-buku dari pengaruh manikebuis atau para pialang-pialang intelektual nekolim yang menawarkan kebebasan semu dan melemahkan poros 194 Idem. 195 Ajib Rosidi, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1973, hlm. 61. persatuan bangsa. Keyakinan ini disadari oleh Soekarno yang sudah memberi lajur bahwa generasi-genarasi muda adalah sokoguru revolusi di kemudian hari. 196 Bidang seni rupa pula menjadi perhatian dalam rangka membina anak-anak di sekolah, seperti taman kanak-kanan, SR, SLP, SLA, dan sampai ke Perguruan Tinggi. Dalam rangka pendidikan kesenian di sekolah-sekolah, para guru dilibatkan secara aktif dalam membimbing para siswa. Pentingnya pendidikan kesenian di sekolah-sekolah, karena mereka merupakan tunas-tunas yang akan mendukung dan mengembangkan seni Indonesia. 197 Usaha Lekra memupuk kesadaran akan pentingnya kesenian di bidang pendidikan perlahan-lahan membuahkan hasil. Pada tanggal 9 Maret 1959, dalam rangka perayaan Dies Natalis ke IX Dewan Mahasiswa Universitas mengadakan malam Multatuli. Malam Multatuli ini dimaksudkan mengapresiasi para penulis Belanda yang telah membela masyakat Indonesia dari penderitaan dan penindasan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Hal serupa juga dilakukan oleh Badan Kerja Sama Kesenian Mahasiswa Indonesia di Jakarta. Acara yang berkenaan dengan ulang tahun BKSKMI ini berlangsung pada tanggal 16-23 April 1959. Pada Pentas Seni Mahasiswa ini, digelar pameran lukisan seniman-seniman mahasiswa dari Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Selain itu, diadakan simposiun sastra yang diisi pula oleh Joebar Ajoeb membahas politik dan kesusasteraan dan Wiratmo Sukito membahas Manusia, Sastra, dan Politik. Dalam acara ini, hadir Pramoedya Ananta Toer, 196 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit., hlm. 456. 197 Budaya, Yogyakarta, diterbitkan Djawatan Kebudayaan Pusat Departemen P.D.K. Urusan Kesenian Jogyakarta, 1962, hlm. 126-127.