17
2.2 Latar Belakang Terjadinya Homeless
Masalah homeless bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Seiring dengan sejarah kemiskinan, fenomena homeless sebenarnya telah ada sejak awal
peradaban manusia termasuk di Barat. Saat itu, orang-orang yang tidak memiliki rumah, hidup sebagai budak kaum kelas atas. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena
homeless telah lebih dahulu terjadi di Barat sebelum terjadi di Jepang. Orang-orang miskin yang tinggal dan tidur di jalanan sesungguhnya saudah ada sebelum perang
dunia kedua. Hanya saja jumlah mereka sedikit, sehingga tidak tampak ke permukaan.
2.2.1 Setelah Perang Dunia II
Pada masa setelah perang dunia kedua, kaum homeless pada umumya berasal dari korban-korban perang dunia kedua. Meletusnya perang Korea di tahun 1950
membantu perekonomian Jepang. Pada masa pertumbuhan ekonomi yang pesat itu 1951-1970, jumlah kaum homeless semakin berkurang. Pada saat itu pekerjaan di
Jepang meningkat dan membantu meredakan jumlah kaum homeless. Hal ini menyebabkan kaum homeless pada masa pertumbuhan ekonomi pesat tidak tampak
ke permukaan Hasegawa, 2006: 23-24. Namun, hal ini tidak bertahan lama sampai dengan pertengahan tahun 1960-an. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat
pada tahun 1960-an setelah perang dunia kedua Hasegawa, 2006: 23. Selama akhir dari perkembangan ekonomi yang terjadi dari pertengahan tahun 1960-an, buruh
Universitas Sumatera Utara
18
harian yang merupakan pekerja tidak tetap menjadi kelompok yang rentan terkena masalah homeless. Tapi di akhir tahun 1960-an masalah homeless mulai tidak terlihat.
2.2.2 Homeless dari Kaum Buruh Yoseba
Pada tahun 1970-an, meskipun para kaum homeless tetap ada, kebanyakan keberadaan mereka tidak terlihat dalam masyarakat Jepang karena keberadaan
mereka merupakan fenomena sementara dan singkat serta terbatas hanya pada kaum buruh harian yoseba. Yoseba 寄
場 adalah sebutan untuk tempat jasa bantuan untuk menunggu lowongan pekerjaan dan losmen peristirahatan bagi para buruh
harian Iwata, 2007: 99. Kata yoseba pertama kali muncul pada tahun 1790 selama perang dunia kedua berlangsung dan dipakai untuk menyebut kemah para buruh kasar
yang dibawa dari Korea, dan kemahnya dikelola oleh paara yakuza Gill, 2001: 21- 22. Sejak awal tahun 1970-an, yoseba telah menjadi tempat tinggal para buruh harian
Hasegawa, 2006:33. Para kaum yoseba mayoritas adalah buruh harian laki-laki dan pada umumnya bekerja di bidang konstruksi dan manufaktur, sehingga kesejahteraan
kaum yoseba sangat tergantung pada perkembangan dan kesempatan kerja dalam industri ini. Selain itu, buruh harian di yoseba juga mayoritas orang tua yang rata-rata
berusia 55 tahun. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah homeless di kalangan kaum yoseba meningkat pada tahun 1990-an. Pada masa Jepang mengalami resesi ekonomi,
banyak dari mereka tidak pernah lagi mendapat pekerjaan konstruksi, hingga akhirnya mereka menjadi homeless. Resesi ekonomi ini dipicu oleh krisis minyak
oil shock pertama tahun 1973, oil shock yang kedua terjadi tahun 1979, oil shock yang ketiga terjadi tahun 1990-1991. Pertumbuhan ekonomi Jepang merosot tajam
Universitas Sumatera Utara
19
setelah krisis minyak. Sebelumnya 10 per tahun, sesudah krisis pertama menjadi 5 dan sesudah krisis kedua menjadi 3 Ishinomori dalam Sitorus, 2008:33.
Setelah krisis minyak tersebut, mereka cenderung menjadi homeless musiman, yaitu saat tidak ada pekerjaan mereka akhirnya menjadi homeless. Pekerjaan kaum yoseba
berubah-ubah tergantung pada jadwal pemerintah memberikan proyek. Jadi, masalah homeless berubah-ubah tergantung pada kondisi. Inilah yang dimaksud dengan
homeless musiman.
2.2.3 Homeless dari Pekerja Reguler dan Non Reguler
Pada tahun 1980-an, kaum homeless tidak tampak ke permukaaan karena yang mengalami homeless terbatas hanya di kalangan kaum buruh harian di yoseba yang
tidak mendapatkan pekerjaan homeless musiman. Tapi, memasuki tahun1990-an, para homeless sudah mulai terlihat karena jumlah buruh harian yang mengalami
homeless semakin bertambah. Kemudian, pada akhir tahun 1990-an, jumlah homeless semakin meningkat dengan semakin banyaknya komunitas homeless yang berasal
dari kalangan pekerja regular dan non regular dalam perusahaan Jepang. Munculnya homeless di kalangan pekerja regular dan non regular dipengaruhi
oleh struktur dalam perusahaan Jepang, yaitu sistem tenaga kerja. Besarnya beban perusahaan akibat krisis ekonomi setelah pecahnya bubble economy, memaksa
perusahaan untuk melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah pegawai. Hal ini telah membawa perubahan sistem kerja dalam perusahaan Jepang, yaitu mulai
hilangnya sistem kepegawaian seumur hidup sh dan sistem gaji
Universitas Sumatera Utara
20
berdasarkan senioritas nenkojoretsu Sitorus, 2008: 51. Akibatnya, perusahaan tidak dapat lagi memberikan jaminan bagi para pegawai supaya mereka dapat tetap
bekerja dalam perusahaan dan tidak dapat lagi menikmati gaji yang lebih tinggi. Dalam menghadapi krisis ekonomi, perusahaan menerapkan biaya produksi
rendah dengan lebih banyak mempekerjakan pekerja non regular hiseishain • 非正社
員 karena pekerja ini digaji dengan gaji yang relatif murah, jarang mendapatkan promosi, bantuan jaminan kerja, jaminan kesehatan, jaminan masa dapat diabaikan,
tidak diperlukan kontribusi asuransi sosial kepada pemerintah, dan mudah diberhentikan. Hal inilah yang membuat pekerja non regular rentan mengalami
homeless. Para pekerja regular seishain • 正社員 juga tidak luput dari masalah
homeless. Para pekerja regular yang telah menjadi korban restrukturisasi sehingga kehilangan pekerjaan, sangat susah mendapatkan kembali pekerjaan karena lowongan
pekerjaan yang semakin sedikit. Pada akhirnya, para pekerja regular tersebut banyak yang menjadi buruh lepas atau buruh harian. Dan saat ini jumlah homeless di kota-
kota besar seluruh Jepang mengalami peningkatan.
2.3 Penyebab Terjadinya Homeless