51
BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN,
LIFE-HISTORY
, ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Dalam sebuah tulisannya, Rollo May mengurai pendek mengenai perjumpaan
encounter
. Menurut May, ―
It [encounter] has the power to grasp and move one deeply
. ‖ Jika dipahami tanpa simplifikasi, akan
ditemukan makna kata-kata tersebut tanpa harus mereduksinya. Perjumpaan bukan sekadar kontak fisik. Perjumpaan adalah juga kontak psikis. Dalam
perjumpaan, manusia akan berhadapan dengan afeksi-afeksi seperti senang, bosan, gelisah, cemas, maupun merasa terharu. Hal ini serupa dengan proses
perjumpaan yang dilakukan sebelum pengambilan data, ketika pengambilan data, maupun setelah pengambilan data.
Perjumpaan dengan Yusuf dilakukan pertama kali pada tanggal 5 Mei 2012. Ketika itu perjumpaan terjadi di warung kuliner yang menjadi usaha
Yusuf sampai saat ini. Dalam diskusi sebuah komunitas para
ex-combatant
dari berbagai macam agama, Yusuf menjadi salah satu dari peserta diskusi. Bagi penulis, perjumpaan ini berhasil meruntuhkan prasangka bahwa orang
yang pernah dilabeli garis keras akan sulit untuk menjadi manusia dengan pandangan kebanyakan. Ternyata Yusuf adalah orang yang terbuka dan
menghargai pandangan keagamaan yang berbeda.
Awalnya, penulis tidak mampu memahami apa yang membuat orang- orang tertentu meniadakan manusia yang lain. Pada dasarnya penulis
membenci peperangan. Namun, penulis yakin bahwa yang bisa dibenci dari manusia adalah sikapnya, bukan manusianya itu sendiri. Dalam hal ini, penulis
mulai berdinamika dengan
inner world-
nya. Adalah sulit untuk memahami orang yang dibenci. Perubahan perspektif untuk memandang Yusuf sekadar
sebagai objek penelitian terjadi di sini. Dengan demikian, tradisi positivistik sebisa mungkin direduksi selama proses penelitian ini.
Pada langkah selanjutnya sebelum pelaksanaan pengambilan data, penulis berusaha membangun interaksi dengan Yusuf seoptimal mungkin. Hal
ini diharapkan dapat membangun efektivitas interaksi sehingga akan muncul rasa percaya Yusuf terhadap penulis. Dengan meningkatnya level rasa
percaya, maka penyingkapan diri yang diuraikan oleh Yusuf akan semakin tereksplorasi. Dengan penyingkapan diri yang kompleks ini, kredibilitas
penelitian dapat dicapai. Berbasis pendekatan eksistensial, Yusuf diperlakukan layaknya
the existing person
. Penulis memandang Yusuf berpusat pada dirinya. Sebagai manusia, Yusuf merupakan
exsistenz
yang sadar akan keberadaannya. Oleh karena itu, apa yang muncul dalam setiap perkataannya adalah apa yang ada
dalam level kesadarannya. Pada tanggal 2 Desember 2011,
interview
tahap awal dilaksanakan di salah satu lokasi kerja Yusuf Kusumawardhani.
Interview
ini dilakukan dalam ruang terpisah dengan karyawan lain. Ada sekitar 4 karyawan yang
berada di warung makan tersebut. Selama proses
interview
, ada beberapa karyawan yang keluar masuk dan terpaksa menjadi distraktor selama dinamika
interview
. Yusuf terkesan dalam keadaan terburu-buru. Dia harus ke
warungnya yang lain Tembalang dan mengambil motor di bengkel. Sebelum
interview
, Yusuf sempat bertanya bagaimana jika
interview
dilakukan di warung yang satunya Tembalang. Namun karena pertimbangan waktu dan
lokasi yang cukup jauh dari posisi saat itu,
interview
tetap dilakukan di tempat awal.
Selama
interview
dilakukan, banyak kalimat penegasan yang dimunculkan. Yusuf terlihat sangat atraktif dalam berkomunikasi. Dia
menggunakan tangan dan gerakan non-verbal lain untuk membuat cerita yang benar-benar meyakinkan. Sesekali, Yusuf mencoba melakukan
recall
terhadap
memory
masa lalunya. Namun berdasarkan kedalaman uraian dan capaian,
interview
masih perlu dilakukan, keseluruhan data yang didapat belum menggambarkan personalitas Yusuf. Data yang muncul masih bersifat
superfisial. Data yang diperoleh masih berupa pengalaman yang bersifat material. Penggalian data belum menyentuh personalitas Yusuf. Untuk
keperluan kedalaman data, dilakukan
interview
lebih lanjut.
Interview II
dilakukan pada tanggal 15 Januari 2013 pukul 16.40-17.30 di lokasi kerja Yusuf yang berada di Tembalang. Kondisi lingkungan kerja,
berupa warung dan tempat yang cenderung ramai, membuat mudahnya distraksi terjadi. Misalnya ketika ada konsumen yang duduk di dekat proses
interview
. Meskipun demikian, keterbukaan Yusuf dalam menyampaikan pendapatnya dengan cara yang berapi-api sangat membantu proses
interview
.
Interview III
masih dilakukan pada tanggal yang sama dengan
Interview II
. Setelah Yusuf melakukan ibadah sholat Maghrib dan Isya, pada pukul 18.52-19.35
interview
dilanjutkan. Sedangkan
interview IV
dilakukan pada tanggal 16 Januari 2013 pada pukul 13.35-14.58 di rumah teman Yusuf.
Lokasi sangat kondusif. Suasana tenang, jauh dari ramai kendaraan, dan cuaca cerah. Suasana sangat mendukung dan rasa santai tercipta selama
interview
. Distraktor juga semakin berkurang dibandingkan
interview
lainnya. Pada tanggal 17 Januari 2013 pukul 16.20-17.04 dilakukan
interview V
. Interview dilakukan di tempat yang sama dengan
interview II dan III
.
Interview V
dilakukan dalam kondisi Yusuf yang sedang kurang fit akibat kurang tidur, tapi hal ini tidak menjadi masalah berarti.
Sama seperti
interview
I, gerakan non-verbal banyak dimunculkan pada
interview
II, III, IV, dan V. Kalimat pengulangan juga banyak dilontarkan. Ciri khas Yusuf dalam memberikan contoh adalah dengan
menciptakan sosok imajiner dari masa lalu sehingga kesan pembicaraan yang dia lakukan sangat dialogis. Wajahnya penuh ketegasan dalam menyampaikan
segala informasi mengenai dirinya, meskipun informasi yang dia berikan lebih seperti informasi kolektif, bukan individual. Ada kesan difusi tanggung jawab
dalam informasi yang disampaikan penggunaan kata ―
kita
‖. Yusuf mencoba memberikan pemahaman bahwa secara kolektif, orang-orang di sekitarnya
juga berada dalam dunia yang serupa dengan dirinya. Yusuf lebih banyak
berbicara wacana; yang berarti melekat makna kolektif dalam setiap kata. Namun, ketika diberikan dengan pertanyaan tertutup, Yusuf cenderung lebih
mampu untuk menyatakan makna personalnya meskipun Yusuf tetap mengarahkan ke kondisi sesuai keumuman. Misalnya dalam:
I :
Berarti artinya yang konsep amar ma‟ruf nahi munkar itu
memang kontekstual sekali, artinya setiap daerah berbeda? P
1
: Iya, berbeda.
Betul. Karena
ada permasalahan-
permasalahan yang dihadapi orang Semarang dengan orang Poso dengan orang Filipin berbeda. Begitu.
Proses
interview
banyak diwarnai dengan cerita-cerita yang nampaknya dangkal tapi bila ditelusuri lebih dalam mampu memancing Yusuf
untuk mengungkap dunianya. Kemampuan
interviewee
sangat dibutuhkan di sini, sayang sekali
interviewee
kurang asertif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dilontarkan. Misalnya mengenai transisi dari ritual NU yang
sarat budaya menuju ke mendekati ritual yang berdasarkan Al- Qur‘an.
Dalam hal ini data yang diperoleh masih sangat minim. Selain itu, dalam
interview
naratif 16-17 Januari 2013 belum diperoleh data yang kaya makna. Kesan
interview
masih seperti penelusuran jurnalistik. Namun, hal ini tidak berarti data yang diperoleh tidak memiliki signifikansi.
B.
Life-History
Yusuf adalah seorang pria cerdas, berusia 37 tahun, dan memiliki latar belakang agama Islam. Yusuf terkesan sebagai pribadi yang berapi-api dan
atraktif dalam berkomunikasi serta tegas. Dia juga pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sifatnya ini membuat Yusuf cenderung terbuka dan
mengenal banyak orang. Saat ini Yusuf dikenal sebagai seorang wirausahawan kuliner di Jawa Tengah. Dia dikenal ulet dan ambisius dalam menghidupi
usahanya. Dia menyukai bentuk bisnis makanan karena bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai profesi dan karakter.
Data kronologis yang diberikan Yusuf pertama kali adalah pada usia 3 tahun. Pada usia tersebut, Yusuf dikirim ke orang tua angkat dengan
pertimbangan biaya hidup. Di daerah kelahiran Yusuf, ada sebuah tradisi unik. Keluarga bisa menitipkan anaknya ke keluarga lain yang menyediakan diri
untuk merawat anak. Kebetulan, keluarga angkat ini adalah mereka yang menikah namun tidak mendapatkan keturunan. Yusuf yang anak kelima
kemudian dikirim ke keluarga angkatnya. Selain alasan jumlah keluarga, alasan kepercayaan lokal juga berdampak pada pengiriman Yusuf ke keluarga
angkatnya. Yusuf memiliki weton yang sama dengan ayahnya, yakni Jumat Pon. Dalam kepercayaan Jawa, jika dalam keluarga ada yang
nunggal weton
memiliki weton yang sama akan berdampak
ala
buruk serta
punggel
salah satu akan mati. Berdasarkan dua alasan tersebut, Yusuf kemudian dikirim
kepada keluarga angkatnya. Dalam keluarga angkat ini, Yusuf bersama kesebelas lainnya yang juga
merupakan anak angkat dari orang tua angkatnya. Masa kecil Yusuf sama seperti anak-anak desa pada umumnya; mandi di sungai, bermain, sekolah,
membantu orang tua, dan belajar mengaji. Yusuf lahir dan tinggal di pusat agama Islam di Jawa Timur. Tidak heran jika belajar mengaji dan nuansa
agama sangat kental dalam kehidupannya.
Dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SD, Yusuf tidak mendapatkan
ranking
di kelas. Mulai kelas 4 SD, dengan bantuan belajar dari saudaranya yang juga guru, Yusuf memiliki waktu belajar yang lebih ketat. Hasilnya adalah bahwa
Yusuf mendapatkan
ranking
di kelasnya. Yusuf juga mendapatkan kepercayaan gurunya untuk menjadi ketua kelas. Mulai kelas 5 SD, Yusuf
diikutkan pembinaan-pembinaan belajar oleh SD-nya dengan tujuan untuk diikutsertakan dalam lomba antar pelajar.
Mulai memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP, Yusuf merasa ada perbedaan yang cukup signifikan daripada kehidupan
sebelumnya. Selain jarak SMP yang semakin jauh, Yusuf tertarik dengan guru agama di sekolahnya. Alasan yang membuatnya tertarik dengan guru
agamanya adalah pelajaran membaca Al- Qur‘an, mengaji, dan memiliki
disiplin yang tinggi. Yusuf menyukai metode cerita yang digunakan gurunya untuk mengajar. Selain tertarik dengan guru agama, Yusuf juga mengidolakan
guru matematikanya. Sebab-musabab ketertarikannya adalah karena pribadi guru matematika, yang selain menyukai lagu yang berbau ketuhanan juga
pintar mengaji. Jarak yang ditempuh Yusuf selama perjalanan ke SMP, sekitar 12
kilometer, membuatnya merasa lelah sebelum masuk kelas. Yusuf lebih memilih untuk duduk di bangku tengah. Bukan karena rasa lelah dan ngantuk
akibat perjalanan selama ke sekolah, namun lebih karena ketidakmampuan mental. Yusuf merasa tidak percaya diri untuk duduk di depan. Duduk di
depan berarti harus siap untuk ditanyai oleh guru.
Pada tahun 1992, Yusuf lulus dari SMP dan mendaftarkan diri di sebuah SMA Negeri favorit di Jombang. Di SMA, Yusuf melihat
ketidakadilan sistem. Maksud Yusuf adalah bahwa ada beberapa temannya yang terdaftar di SMA lewat jalur belakang. Di masa SMA pula, Yusuf mulai
lebih aktif dalam keanggotaan suatu komunitas. Komunitas pertama yang diikuti Yusuf adalah teater dan kedua adalah Pramuka.
Ketika itu, mulai muncul dorongan provokatif dari kakak kelas yang menyatakan bahwa dia harus belajar mengaji dan belajar agama. Porsi
pelajaran agama di sekolah sangatlah kurang. Kaderisasi remaja masjid di sekolahnya
ini menciptakan
motivasi untuk
belajar agama
dan menggabungkan diri dalam komunitas remaja masjid di sekolahnya.
Di remaja masjid inilah petualangannya menjadi semakin seru. Dia merasa menemukan komunitas yang selama ini diharapkannya. Yusuf
mendapatkan cerita dari kakak kelasnya mengenai perjuangan ikhwanul muslimin di belahan bumi yang berbeda. Yusuf mulai mengenal berbagai
pergerakan kaum muslim seperti Hizbut Tahrir. Meskipun demikian, di sela kesibukannya dalam komunitas remaja masjid, dia tetap bisa membagi
waktunya dengan kegiatan kepramukaan. Yusuf merasa bangga dengan komunitas remaja masjid. Meskipun para
anggotanya mendapatkan stigma dari anggota ekstrakurikuler lain bahwa remaja masjid adalah kumpulan orang bodoh, namun mereka dapat
membuktikan bahwa kaum berprestasi sebagian besar adalah dari remaja masjid. Hal ini semakin memacu semangat Yusuf dalam mengabdikan diri
dalam remaja masjid. Dia semakin ketinggalan dalam pelajaran, namun dia merasa bangga dengan apa yang dilakukannya.
Pernah suatu saat, Yusuf bersama teman-temannya mengadakan acara nonton bareng film mengenai Perang Bosnia. Acara itu dihentikan oleh Sospol
Jombang; yang notabene ketika itu acara tersebut dituduh sebagai tindakan subversif oleh rezim Soeharto. Hal tersebut membuat Yusuf semakin tertarik
untuk melihat video tersebut. Diam-diam dia lalu meminjam langsung ke empunya video. Alhasil, video itu berdampak luas terhadap cara pandang
Yusuf. Yusuf termotivasi dengan Perang Bosnia selain Perang Irak. Bayangan mengenai Bosnia menjadi imajinasi tersendiri bagi Yusuf.
Muncullah solidaritas terhadap muslim dalam taraf internasional. Suatu kali bersama teman-teman remaja masjid, dia melakukan bakti
sosial di daerah Madura. Yusuf keheranan dengan muslim di Madura yang menurutnya sangat primitif dan mengalami keleleran dalam hidupnya. Yusuf
kaget; bagaimana bisa gaya hidup Islam di Madura begitu terbengkalai. Hidup yang terbengkalai dalam artian Yusuf adalah muslim tapi tidak sadar sholat
dan tidak sadar kebersihan. Muncullah keprihatinan, kali ini terhadap muslim di Madura.
Ada satu konflik yang mendatangkan impresi herois bagi Yusuf. Ketika itu Yusuf kelas 3 SMA. Sekolahnya melarang penggunaan jilbab dalam
foto ijazah dengan alasan kesukaran untuk diterima di dunia kerja. Yusuf dan teman-temannya, yang melihat irasionalitas aturan ini, mengumpulkan tanda
tangan mendukung kebebasan berekspresi; dalam hal ini foto ijazah
menggunakan jilbab. Memakai jilbab adalah tuntunan muslimah, maka itu tidak salah. Yusuf menjadi eksponen penting ketika itu. Dia menjadi juru
bicara dalam demo kecil-kecilan itu. Yusuf sampai datang ke Departemen Agama dan meminta surat keterangan diperbolehkannya penggunaan jilbab
dalam foto ijazah. Yusuf membuktikan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah kebenaran. Tidak ada aturan yang bisa membatasi ekspresi
mereka. Daya kritis yang mulai muncul sejak kelas 2 SMA ini terus tumbuh
lewat jalur buku dan kakak kelas di remaja masjid. Tradisi menganggap senior sebagai panutan merupakan hal yang lumrah pada saat itu. Muncullah
anggapan mengenai upacara yang menjadi peninggalan rezim Soeharto, pengajian yang layaknya doa tanpa solusi, dan kasus pro-kontra foto ijazah di
atas. Meningkatnya kepekaan Yusuf terhadap lingkungan sekitar diikuti
dengan daya kritis dalam gelora mudanya. Melihat kenyataan lingkungan hukum yang memprihatinkan, pandangan yang dipegang Yusuf semakin
mengarah ke anarkisme. Dia semakin kontra dengan pemerintahan. Menurutnya, di negara ini tidak ada asas tunggal, GBHN dan UU hanya
sekedar formalitas belaka. Sebagai contoh misalnya pasal 28 UUD 1945 yang hanya tinggal hukum tanpa praktek. Dalam hal ini, Yusuf mencapai
kesimpulan bahwa peraturan-peraturan tersebut kaya akan nilai-nilai kosong. Sebagai penegas kekosongan ini, sekaligus patokan hidupnya, Al-
Qur‘an muncul untuk mengatasi segala macam prahara di sekitarnya. Menurut Al-
Qur‘an, ―
Barangsiapa yang berhukum selain hukum Islam, dia orang yang zalim
‖, dan Yusuf yakin akan hal itu. Namun, sampai tataran ini, daya berontak Yusuf masih dalam taraf idealisme. Dia belum sampai ke
action
. Di kelas 3 itu pula Yusuf memiliki cita-cita yang sudah mulai realistis.
Dia ingin kuliah di universitas negeri kemudian jika lulus nanti bisa mendidik mereka yang lebih muda agar lebih memahami Islam. Namun, hal ini kandas
dengan tidak diterimanya dia di UMPTN. Kemudian dia memutuskan untuk tidak kuliah. Dia memilih mondok selama satu tahun, dari 1995-1996. Belajar
di pondok pesantren menjadi kompensasi bagi cita-citanya. Dia mendapatkan ilmu agama lebih banyak, membaca Hadis, Al-
Qur‘an, dan belajar bahasa Arab lebih mendalam. Lewat sekolah di pondok, dia mendapatkan bentangan
historis Islam di Indonesia. Dengan demikian, sensibilitas Yusuf terhadap pemerintahan di Indonesia semakin naik, khususnya dengan aturan yang tidak
sesuai ketika dibenturkan pandangannya. Secara khusus, Yusuf juga mulai memperhatikan ayat-ayat tertentu
dalam Al- Qur‘an, misalnya Al-Baqarah 216:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui
. Ayat-ayat serupa ini kemudian dikaji secara kritis. Pengkajian ini membawa pemahaman bahwa Islam harus bangkit,
dalam arti memegang posisi kunci. Contohnya dengan diberlakukannya peraturan daerah berdasarkan pada syariat seperti di Aceh.
Yusuf juga mengharapkan kaum muslim untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan kafah. Hal ini ditafsirkan bahwa semua yang menjadi
pegangan hidupnya adalah Islam yang murni. Islam yang berdasarkan Al- Qur‘an dan Hadis. Masuk Islam haruslah memeluknya secara totalitas.
Di saat yang sama, sumber arus bacaan dari Solo dan Lamongan semakin deras. Bacaan mengenai jihad di Afghanistan juga mulai masuk.
Kunjungan dan diskusi berkaitan dengan keberadaan muslim juga semakin kencang. Kala itu, dia memutuskan untuk keluar dari pondok dan memulai
bekerja dengan membuka bengkel, distributor batik, lalu jasa fotokopi. Syahdan, Yusuf memutuskan untuk mendaftarkan diri untuk berjihad
di Poso. Dia ditolak karena tidak memiliki
skill
yang memadai untuk turut serta dalam jihad. Penolakan ini justru menjadi awal dari perjalanan jihad
panjang Yusuf. Yusuf dibawa
guide
menuju Filipina secara ilegal. Di Filipina inilah muncul kembali kosmpolitanisme muslim yang tadinya hanya terbatas
dalam dunia abstrak Yusuf. Kini dia menghadapi apa yang benar-benar nyata. Dia hidup di dunia nyata. Dia melihat kampung mujahidin. Dia melihat remaja
menenteng M-16, dan ini bukan sekadar foto maupun film saja. Ini nyata. Kemudian selama 2 tahun itu Yusuf berjihad atas nama
Moro Islamic Liberation Front
MILF melawan pemerintahan Filipina. Di Indonesia-lah, kemudian, dia ditahan sebagai tersangka terorisme.
Veteran perang MILF ini ditangkap polisi pada tahun 2002 dikarenakan terbukti menyimpan amunisi di rumah kontrakannya bersama Mustofa dan
ketiga temannya. Yusuf divonis sepuluh tahun penjara. Namun, sekitar lima
tahun kemudian, Yusuf dibebaskan karena berkelakuan baik. Dia mengaku jera terlibat aksi terorisme karena hukuman penjara. Lebih jauh lagi Yusuf
menyebutkan bahwa keterpisahan, antipati, serta prasangka yang muncul dari pihak keluarga maupun lingkungan sosialnya menjadi masalah sekaligus
tanggungjawabnya yang baru. Tidak heran jika kemudian Yusuf mengaku bahwa dia akan berpikir dua kali jika ada pihak tertentu yang mengajaknya
terlibat kembali tindak kekerasan atas nama agama. Lewat perenungan internal, Yusuf memantapkan bahwa Yusuf yang
sekarang bukan lagi seorang fundamentalis. ―
Di Filipina itu sudah mentok
‖, ungkap Yusuf
, ―
pelabuhan akhir bahasanya, tujuan. Soalnya di sana ya sudah apa-apa didapatkan
‖. Selain kepentingan untuk berjihadnya telah usai, kerinduan terhadap keluarganya menuntun Yusuf untuk pulang ke Indonesia.
―
Akhirnya
‖, ungkap Yusuf, ―
saya menganggap keluarga juga bagian dari hidup saya. Saya datang dengan banyak visi dan misi kepada mereka. Ada
juga yang memaklumi kondisi saya. Dan sampai sekarang ini
. ‖
Di Indonesia, Yusuf melihat kenyataan di penjara yang acuh tak acuh dengan kebutuhan rohani para tahanan. Di Indonesia pula Yusuf menemukan
cita-citanya kembali untuk menjadi panutan, kali ini bagi para mantan teroris yang mendapat stigma dari masyarakat. Dia ingin membuktikan bahwa dia
telah kembali ke jalannya dulu; jalan yang lurus. Namun, satu hal yang masih tidak diterima Yusuf hingga kini; label
sebagai mantan teroris. Ia mengaku tidak pernah beraksi sebagai teroris meski dipidana dalam kasus tersebut.
C. Analisis Data dan Hasil Penelitian