41
BAB III DESAIN PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Fenomenologi Eksistensial
Berrelasi dengan manusia berarti berrelasi dalam bahasa makna; termasuk juga makna yang digunakan untuk membangun dan menyusun
dunianya. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mencapai kejelasan dunia yang dihidupi
dasein.
Lewat penggalian dinamika mode dunia
Umwelt
,
Mitwelt
, dan
Eigenwelt
disertai pemahaman
Mitsein
dan
Mitdasein
, dunia yang dikonstruksi oleh Yusuf sebagai fundamentalis agama akan dapat diketahui. Melalui deskripsi yang
dikembangkan, akan diperoleh kejernihan informasi mengenai bagaimana para fundamentalis memaknai dan menyusun dunia mental-eksistensialnya.
Riccoeur 1967 mengklaim bahwa dunia yang dipahami ini bersifat eksistensial karena menjadi horizon yang kita hayati. Dunia sebagai horizon
ini mendahului setiap objek. Untuk dapat memahami dinamika dunia, maka digunakan metode kualitatif fenomenologi eksistensial. Metode fenomenologi
eksistensial adalah metode bagi dan diarahkan pada problematik pokok, yakni problematik eksistensial Riccoeur, 1967. Dengan metode ini, pemahaman
akan dunia eksistensial akan tercapai. Menurut Moustakas 1994, diri
self
dan dunia
world
adalah komponen makna yang tidak dapat dipisahkan. Dasar berpikir bahwa manusia
dan dunia tidak terpisahkan dengan otomatis menciptakan prinsip ke-
salingmenciptakan
co-constitutionality
—manusia dan dunia saling menciptakan Valle King, 1978. Dengan pondasi seperti itu, maka
dinamika mode dunia
Umwelt
,
Mitwelt
, dan
Eigenwelt
dapat dipahami secara objektif sekaligus subjektif.
Pemahaman secara objektif sekaligus subjektif ini menegaskan bahwa inti diri seseorang tidak pernah dapat diketahui lewat diagnosis, analisis, dan
evaluasi; metode ini menghancurkan keseluruhan
wholeness
dan menyisakan parsialitas diri. Sebagaimana slogan dari para fenomenolog,
zu den sachen selbst
terarah kepada benda itu sendiri, maka cara untuk menghargai seseorang sebagai manusia adalah melihatnya dengan caranya melihat dirinya.
Untuk melihat manusia dengan caranya melihat dirinya, Moustakas 1994 membentangkan proses bertingkat dalam penelitian fenomenologis, yakni;
Epoche, Phenomenological Reduction, Imaginative Variation,
dan
Synthesis
. Sebagaimana slogan fenomenologi, peniadaan interpretasi empiris dan
peneguhan eksistensial dilakukan dalam proses penelitian fenomenologis. Kemurnian data dipahami sebagai kebebasan data dari presuposisi. Oleh
karena itu, sikap apriori harus dihindari selama proses penelitian berlangsung; kita harus mengambil sikap abstain. Dengan cara seperti itu, maka kita akan
melihat apa yang benar-benar ada. Proses ini disebut sebagai
Epoche
. Moustakas 1994 menyatakan bahwa, lewat purifikasi
consciousness
, peneliti diajak untuk melakukan invalidasi, inhibisi, dan pendiskualifikasian
pengetahuan maupun pengalaman sebelumnya. Peningkatan
consciousness
akan berimpak pada apa yang kita lihat, pikirkan, imajinasikan, dan rasakan;
menjadi cenderung sesuai dengan apa yang ada. Tujuan dari semua itu adalah pembuangan prasangka dari peneliti agar dicapai kebaruan dalam mengalami
sesuatu dan lebih jauh lagi; suatu kemurnian data dari pengalaman partisipan. Proses inti selanjutnya adalah
Phenomenological Reduction
. Proses ini dilakukan dengan penggambaran lewat susunan bahasa
textural language
mengenai apa yang terlihat. Pendeskripsian, yang dilakukan dalam tahap ini, sarat akan kegiatan internal dari kesadaran, pengalaman sebagaimana adanya,
irama dan hubungan antara
phenomenon
dengan diri. Ada dua proses yang secara kronologis harus dilakukan; pertama adalah
bracketing
, dan kedua adalah
horizonalizing
.
Bracketing
dilakukan dengan cara menempatkan segala hal di luar bahasan penelitian sehingga didapat yang semata-mata dalam ranah
topik dan pertanyaan penelitian. Dalam
horizonalizing,
setiap pernyataan awalnya diperlakukan memiliki nilai yang setara. Kemudian pernyataan yang
tidak relevan, repetitif, atau melebihi batasan dari topik dan pertanyaaan dihapus. Dengan demikian, akan tersisa makna tekstural dan unsur pokok
phenomenon
yang tidak menyimpang dari topik dan pertanyaan atau disebut juga
horizons
. Setelah
horizons
diperoleh, pengelompokan
horizons
dalam tema dilakukan dan disusul dengan pengorganisasian
horizons
dan tema ke dalam sebuah deskripsi tekstural yang memiliki koherensi satu sama lain.
Secara gradual, tahap
Phenomenological Reduction
ditempuh dengan cara pre-refleksi, refleksi, kemudian reduksi
—untuk mencapai esensi alami dari
phenomenon
. Kita dituntut untuk memperoleh suatu alternatif baru dari
phenomenon
yang menjadi fokus kita, oleh karenanya kita melakukan
hubungan intersubjektif dengan orang lain berkaitan dengan makna pengalaman. Proses
recheck
dalam perspektif orang lain ini oleh Husserl disebut
communalization
. Walhasil, akurasi
phenomenon
dan kompleksitas makna akan meningkat dengan cara ini.
Proses inti ketiga adalah
Imaginative Variation
. Tujuan dilakukannya
Imaginative Variation
adalah mencari berbagai kemungkinan makna melalui penggunaan imajinasi, mengutak-atik
frames of reference
, mendekati
phenomenon
dari perspektif berlainan. Tujuan dari semua itu adalah pencapaian deskripsi struktural dari pengalaman. Faktor yang mendasari
pengalaman dieksplorasi dalam proses ini. Langkah-langkah dalam
Imaginative Variation
adalah; 1 Secara sistematis melakukan utak-atik terhadap berbagai kemungkinan makna struktural yang mendasari makna
tekstural. Kemudian 2 mengenal tema-tema yang mendasari atau konteks yang menceritakan kemunculan
phenomenon
. Selanjutnya adalah 3 mempertimbangkan struktur universal yang menimbulkan perasaan dan
pemikiran berdasarkan
phenomenon
; seperti struktur waktu, ruang, perhatian jasmani, materialitas, kausalitas, hubungan dengan diri, atau relasi dengan
orang lain. Dan terakhir adalah 4 mencari contoh yang secara jelas mengilustrasikan tema struktural yang saling berkaitan dan memudahkan
pegembangan deskripsi struktural dari
phenomenon
. Proses inti terakhir adalah
Synthesis. Synthesis
di sini merujuk pada sintesis makna dan esensi. Proses ini ditempuh dengan cara intuitif yang
membaurkan makna menjadi satu kesatuan yang utuh dari dasar tekstural dan
deskripsi struktural ke dalam pernyataan yang terunifikasi oleh esensi pengalaman saecara menyeluruh. Hasil sintesis menghadirkan esensi pada
waktu dan tempat tertentu lewat imajinasi dan refleksi peneliti secara mendalam dari
phenomenon
.
B. Fokus Penelitian