Orang yang Ibaratnya Ingin Berguna

2. Orang yang Ibaratnya Ingin Berguna

Mitwelt Rasa keberartian sense of significance dan kehilangan keberartian loss of significance mendapatkan perhatian pokok dalam uraian ini. Kedua rasa tersebut, dalam hal ini, berada dalam horizon rasa tidak tergabungnya dalam kolektivitas. Karena tidak tergabung dalam kolektivitas, Yusuf mengalami kehilangan keberartian. Seperti digambarkan olehnya bahwa dia ―orang yang ibaratnya ingin berguna‖. Keinginan untuk berguna ini secara otomatis menggambarkan keadaan merasa tidak berguna. Keadaan merasa tidak berguna ini merupakan impak dari ketidak- kafah-an. Ketidak-kafah-an ini merupakan kegagalan untuk patuh terhadap dogma. Kegagalan untuk patuh terhadap dogma berarti tidak kafah. Dalam dogma memeluk Islam secara kafah sendiri hanya ada dua kemungkinan; ―kafah‖ atau ―tidak kafah‖. Untuk mencapai dasein maka diperlukan status Ada atau dengan kata lain ―kafah‖. ―Tidak kafah‖ atau tidak sesuai dogma mengantar kepada status nonbeing sehingga Ada tidak tercapai. Status nonbeing ini sendiri akan menciptakan kehilangan keberartian. Karena tidak terlibat penuh dalam Islam terutama dalam masalah konflik, Yusuf memandang dirinya tidak kafah. Dalam dunia Yusuf, Nietzche 1954 benar bahwa; ― One man goes to his neighbor because he seeks himself; another because he would lose himself. ‖ Lewat menerjunkan diri dan perjumpaan dengan masyarakat, Yusuf mencari dirinya. Perjumpaan dengan masyarakat ini memiliki sebuah misi untuk menjadi orang yang berguna. Alasan inilah yang mendasari Yusuf untuk menggambarkan dirinya seperti ―orang yang ibaratnya ingin berguna‖. Yusuf memahami berguna dalam arti menyumbangsih untuk kelompok besar. Yusuf menginginkan hidupnya lebih bermakna. Lewat kerangka untuk menjadi berguna ini, pemahaman mengenai dunia Yusuf akan semakin mungkin dimengerti. Menjadi orang berguna dalam konteks ini sudah berbatas pada ―kembali ke nabi‖. Oleh karena itu yang ingin ditemukan Yusuf adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana aku bisa ―kembali ke nabi‖ sekaligus berguna bagi orang lain. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka pemahaman atas makna rasa berguna akan dielaborasi. Menurut Yusuf, untuk mencapai posisi sebagai seorang yang berguna, maka dia harus ―berbuat‖. Dorongan untuk ikut ―berbondong- bondong‖ drive for togetherness menjadi bagian dari penyesuaian terhadap keadaan. Yusuf merasa tidak berarti ketika dia tidak tergabung dalam kelompok. Namun, dalam hal ini, Yusuf memaknai lingkungan sekitarnya dalam ranah Umwelt . Penyesuaian terhadap keadaan di sekitar membuktikan ba hwa Yusuf memahami ―berbuat‖ dalam ranah Umwelt . Namun, pemahaman mengenai makna ―berbuat‖ ini terkonversi dari mode Umwelt ke dalam mode Mitwelt . Konversi ini ditunjukkan dengan adanya perubahan dari sekadar ―berbondong-bondong‖ menjadi rasa solidaritas dan merasa menjadi bagian dari Islam secara luas kosmopolitan. Rasa solidaritas dan kosmopolitanisme ini kemudian yang menggerakan Yusuf untuk ―berbuat‖. Rasa solidaritas yang berubah wujud dan meluas menjadi kosmopolitanisme inilah yang menjadi fundamen dalam Mitwelt . Rasa solidaritas sendiri berakar dari, meminjam istilah Heidegger, sorge . Sorge dipahami sebagai kepedulian. Kepedulian ini berupa keprihatinan terhadap kondisi dasein yang tidak eksis. Dapat dipahami bahwa kepedulian ini bersifat membuka diri terhadap Mitdasein maupun Mitsein . Keterbukaan ini menempatkan eksistensi untuk mengalami perjumpaan dengan Ada lain sehingga ada keniscayaan terjadinya perjumpaan yang merubah. Oleh karena itu pemaknaan dunia dalam mode Mitwelt akan cenderung lebih menonjol. Bukan berarti kemudian mode Umwelt tersisihkan. Kedua mode dunia ini berkelindan satu sama lain. Dengan tidak ―berbuat‖ atau diam saja melihat konflik, Yusuf adalah orang yang apatis terhadap permasalahan muslim. Apatisme berarti ketidakpedulian, dan ketidakpedulian berarti ketidaktercapaian menuju laku ―kembali ke nabi‖ Umwelt . Yusuf membandingkannya dengan apa yang termaktub dalam Qur‘an; ― Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu itu ke dalam Islam secara keseluruhan. ‖—secara kafah. Words of God ini merupakan tantangan tersendiri bagi Yusuf karena statusnya yang sebagai kebenaran tanpa cela innerant truth . Terciptalah sebuah ketegangan moral dalam dirinya. Ketegangan moral ini memegang asumsi bahwa khitah agama adalah sebagai tuntunan kehidupan. Ketegangan moral ini dengan sendirinya berada dalam ranah ketegangan eksistensial karena pada akhirnya akan dihadapkan pada pemilihan. Dan dalam ketegangan ini yang harus dipilih adalah menjadi berguna atau tidak berguna. Tapi Yusuf telah memilih untuk menjadi berguna. Dari sekian banyak kontingensi yang mungkin, berpartisipasi dalam kelompok mujahidin merupakan hal yang akan mengantar dirinya menuju kebergunaan sekaligus ke-kafah-an. Kelompok ini direduksi menjadi semata-mata sebuah cara untuk mencapai sesuatu. Nishitani 1961 mengklaim bahwa ketika memandang agama dari perspektif ini hanya akan menunjukkan degenerasi dari agama. Memandang agama dari kacamata utilitaris hanya akan membawa kita ke sumber elementer kehidupan yang melihat hidup sebagai sesuatu yang tidak berguna. Di atas semua itu, yang penting dicatat dalam hal ini bahwa fundamentalisme Yusuf didasari dengan intensionalitas agar menjadi orang yang berguna. Intensi ini juga ditunjukkan lewat keinginan Yusuf untuk menjadi panutan bagi juniornya. Bagi Yusuf, panutan bukanlah sebuah hal yang sepele. Menjadi panutan adalah sebuah cita-cita. Oleh karena itu keinginan Yusuf untuk mengenyam bangku perkuliahan hanya sekadar menjadi sarana untuk mencapai tujuan menjadi senior adalah hal yang masuk akal. Bagi Yusuf, ―pemahaman di kampus kan senior, pinter, nanti bisa jadi follower adik-adik, diikuti adik-adik. Nanti aku bisa mendidik adik-adik untuk mengerti Islam. A rahnya ke sana.‖ Menjadi penganut dan panutan merupakan tradisi yang bersifat turun-temurun sosio-genetik. Sebelum menjadi panutan, Yusuf lebih dahulu telah menjadi penganut para senior. Tradisi penganut-panutan, yang sifatnya sosio-genetik ini, merupakan wujud mode Umwelt. Sedangkan keadaan sebagai penganut atau panutan ini dialami Yusuf dalam mode Mitwelt . Ketidakterpisahan antar mode dunia ini mengantarkan kita dalam pemahaman bahwa Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt bukanlah sebuah tahapan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila untuk menjadi orang berguna Yusuf memanifestasikannya dalam mode Umwelt . Hal ini menekankan pada kita bahwa kita memiliki kebebasan yang secara teoritis absolut, namun secara praktis terbatas. Atau seperti kata Frankl 1988 bahwa kita bebas namun tidak bisa menggunakan kebebasan itu secara arbitrer, bahwa kita harus menggunakannya secara bertanggungjawab. Sebagai pemaknaan atas mode dunia Umwelt , yang lagi-lagi dibatasi dalam dunia ―kembali ke nabi‖ dan implementasinya dalam kehidupan sosial bernegara, maka akan diuraikan mengenai akibat wajar dari keinginan untuk kembali ke nabi yang berkelindan dengan keinginan untuk menjadi berguna; yakni anarkisme.

3. Anarkisme