C. Analisis Data dan Hasil Penelitian
Fungsi wawancara sebagai metode koleksi data mengangkat tema-tema makna yang dikonstruksi Yusuf muncul ke permukaan. Tema-tema ini
dikelompokkan berdasarkan dunia luar material dan dunia mental- eksistensial. Dunia material dalam hal ini dilabeli dengan
Mitsein
dan
Mitdasein
. Sedangkan dunia mental-eksistensial dipahami dalam tiga mode;
Umwelt
,
Mitwelt
, dan
Eigenwelt
. Wawancara dimulai dengan menanyakan bagaimana kehidupan Yusuf sebelum menjadi seorang pejuang dan selama
menjadi seorang pejuang. Pertanyaan ini terus dikembangkan lewat penggalian fakta-fakta sosial maupun psikologis seputar kehidupan Yusuf dan
konteks sosial sepanjang perjalanan Yusuf menjadi seorang pejuang keagamaan. Data kualitatif yang diperoleh merupakan hasil dari dinamika
Yusuf dengan dunia material. Interelasi ini ditunjukkan dengan adanya keakraban, keterlibatan, keterikatan, dan komitmen Yusuf di dalamnya.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh, analisis fenomenologis dilakukan dengan memetakan data ke dalam dunia. Dimulai dengan reduksi
dan eliminasi terhadap data yang kurang relevan, pengolahan data dilanjutkan dengan tematisasi konstituen invarian sesuai
Mitsein-Mitdasein
,
Umwelt
,
Mitwelt
, dan
Eigenwelt
. Peta pengalaman yang diperoleh kemudian dirangkai dalam bentuk gambaran tematik
thematic portrayal
, dan secara berurutan dilanjutkan dengan pengkonstruksian deskripsi tekstural individual, deskripsi
struktural individual, dan sintesis tekstural-struktural atas esensi yang ada dalam pengalaman Yusuf.
1.
Mitsein-Mitdasein
Manusia hidup berhadapan dengan fakta-fakta sosial. Fakta sosial ini dapat dipahami sebagai sebuah tatanan
human society
yang berbasis persaudaraan dan keramahtamahan atau disebut
Mitsein
. Sedangkan jika berupa manusia lain maka disebut
Mitdasein.
Ketika berhadapan dengan fakta-fakta dan orang lain ini, muncul tegangan dan
timbullah kecemasan. Waktu ketika manusia berhadapan dengan fakta- fakta ini disebut dengan perjumpaan
encounter
. Perjumpaan dengan
being
di luar dirinya akan menimbulkan suatu perubahan tertentu. Berikut ini merupakan rangkaian fakta yang membentuk
Mitsein- Mitdasein
.
a. Efek lingkungan dan perubahannya
Lingkungan dalam konteks ini menggambarkan keadaan
circumtances
yang kaya akan asupan informasi mengenai kehidupan muslim internasional. Yusuf mendapatkan suplai
informasi mengenai pergerakan sejak masa SMA. Yusuf menganggap bahwa berbagai asupan informasi mengenai kehidupan
muslim ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap diri Yusuf.
Mereka [Al-Irsyad] punya visi untuk membersihkan ajaran Islam. Makna membersihkan ajaran Islam tu
berkenaan dengan cara ibadat. Contoh orang meinggal di 3 hari, 7 hari, 10 hari. Itukan Hindu.
Konsep Hindu. Kemudian diislamkan oleh Wali Songo, cuma oleh orang-orang al-Irsyad itu nggak
mau dilanjutkan sekarang. Itu tradisi sudah dulu. Sekarang harus kita tinggalkan. Itu konsep
Wahhabi. Muhammadiyah juga begitu. Hampir mirip. Muhammadiyah kan Ahmad Dahlan Jogja.
Itu juga kuat. Dia bisa masuk ke Jawa Timur, itu juga
benturan-benturan. Termasuk
saya memahaminya. Saya tertarik. Ketika saya SMA tu
kok ada perbedaan ya antara orang tahlilan dan ndak. Runut dan tidak. Maka saya, permasalahan,
dari mana sih kok iso beda. Saya runut gitu lho. Dari orang NU saya sebenarnya mulai tertarik
dengan orang-orang Muhammadiyah. Caranya. Nah, ada buku-buku literatur dari al-Mukmin. Iya
to, termasuk Ponorogo. Wah ketoke kita harus berdiri di atas semua kelompok. Oo, fiqih-nya
begini-begini-begini. Oya. 987-1010
Meskipun demikian, Yusuf belum memahami mengenai pergerakan muslim internasional. Dia hanya mengetahui tentang
istilah-istilah dalam dunia pergerakan muslim seperti
Ikhwanul Muslimin
. Yusuf mendapatkan asupan informasi ini dari kakak senior di remaja masjid. Selain mendapatkan informasi ini, Yusuf
juga dimotivasi untuk lebih memperbanyak intensitas belajar agama.
Cuma kakak kelas ini sudah mulai variasi Mas. Contoh ada yang sudah mulai ngojok-
ngojok‟i, “Kamu itu sekolah, belajar agama 2 jam, kuran
g Harus belajar agama, harus ngaji. Kalau perlu
mendatangkan kyai. Mereka mau kaderisasi.
Direkrut. “Kamu kalau ngaji, nanti tak datengkan
gurunya, tapi harus nyari teman 1-2-3, minimal orang 5.
Nyari ya”, gitulah. Nanti terus diajak ke
rumahnya dia. Ya
intinya juga dijelaskan, “Saya ini
dulu kelas 1 gini, tukang gelut, tapi ada Remaja
Masjid saya sudah menghindari gelut.”, contohnya
seperti itulah. Saya sudah mulai seneng membaca
Qur‟an. “Bacalah”, ajakan
-ajakan gitulah, kita
kan jadi termotivasi.“Jadi,
pergolakan Islam di
Mesir..”, sambil cerita gini, “itu mempengaruhi
dunia kampus. Jadi kalau kita generasi muda terus ikut perubahan-perubahan yang membawa kebaikan
mahasiswa. Contohnya revolusi di Iran”, misalnya,
dia itu Cuma memberikan gambaran-gambaran
kayak gitu, “Ada Ikhwanul Muslimin memimpin
gerakan di Mesir sampai munculnya Ikhwanul
Muslimin yang menjalar ke seluruh dunia.”,
contohnya seperti itu. Itu hanya orasi. Saya ndengerin, tapi waktu itu belum ngeh kok saya harus
jadi fungsionaris PKS, PK Partai Keadilan, waktu itu belum ada PKS. 1805-1832
Informasi yang didapat tidak hanya sekadar lewat komunikasi
langsung, namun juga lewat media digital. Adanya konflik muslim di dunia internasional menjadi insiden yang biasa dilihat Yusuf lewat
video. Menurut Yusuf, konflik ini bukan menjadi inspirasi baginya, namun terus terngiang di dalam kepala Yusuf.
Lha saya melihatnya karena itu konflik di Eropa, saya katakan sejak awal bule itu tidak selamanya
non-Islam. Bule Islam. Lho itu juga diusir, itu juga dibom, bom kuat sekali untuk tentara Beruang
Merah. Tapi saat itu belum ada Beruang Merah...apa gitu. Saya sempat, jadi waktu itu saya
baca majalah, majalah PKS, PK Sabili di situ waktu itu ada Sabili ya kalau sampeyan lihat. Jadi majalah
Sabili itu bahasanya kalau dikatakan jenengan, keras jug wong di situ ada gambarnya mbawa
senjata, terus bendera tulisannya La‟ilah La‟illawah, seperti itu. Jadi memotivasi, ternyata
perlawanan itu tidak di Irak aja, di Bosnia juga ada. Lha itu ya, kemudian progresnya saya katakan
bukan inspirasi tapi kan saya ingat betul Bosnia tu seperti ini. 2002-2018
Dari video-video itu pula Yusuf melihat bahwa negara superior seperti Rusia dapat ditaklukan lewat perjuangan bersama.
Peristiwa seperti ini menimbulkan impresi tersendiri bagi Yusuf. Karena rasa kagum atas berbagai peristiwa itu, Yusuf mulai mencari
tahu lewat berbagai media seperti majalah islami, buku-buku, maupun buku putih dari berbagai tokoh seperti Azahari dan Abu
Bakar Ba ’asyir. Bahkan rasa terkesannya itu terus berlangsung
hingga dia mengikuti pelatihan militer.
Saya datang ke Al-Islam Lamongan. Pondoknya Amrozy itu lho. Pondok Al-Mukmin itu udah pecah.
Mana pecahannya? Lamongan. Ah Lamongan deket, naik bis. Main ke sana kenalan sama ee pondoknya.
Wis, pokoknya kenalanlah sama… Pulang lagi.
Besok dateng lagi bulan depan. Pulang lagi. Kenal santrinya, tak ajak ke tempat saya. Ngobrol, kurang
lebih begitu lah. Nah, dari situ terus ada buku-buku jihad itu. Itu saya mulai mengenal. Buku-buku jihad
Afghanistan. Kalau jihad secara umum tadi sudah
lihat. “Itu lho, alumni Afghanistan. Disegani.”, kok iso disegani alumni Afghanistan. “Itu lho
ustad
”,
Ustad Mukhlas. 2572-2586
b. Kekecewaan kolektif terhadap lingkungan
Setelah lulus SMA, Yusuf melanjutkan ke pondok. Di pondok, Yusuf mendapatkan informasi yang semakin kompleks.
Kekayaan informasi ini meningkatkan daya kritis terhadap sekitar yang tidak sesuai pandangan kelompok. Dari pondok jugalah Yusuf
memperoleh kajian kritis Islam. Dari sana, Yusuf mendapatkan pemahaman bahwa Islam harus bangkit.
Nah, dari kajian-kajian kritis itu kan kita bisa melihat bahwa umat Islam itu mestinya harus
bangkit. Cuma kan bangkitnya harus di mana, kapan, bagaimana nggak tahu. Bangkit tu ya punya
posisi kunci. Ya dari bupati, bupatinya membimbing secara
Islam. Mengayomi
secara Islam.
Menunjukkan bahwa
Islam itu
begini-begini diterapkan dalam Perda. Seperti Aceh lah kurang
lebih, kalau muslim Perda-nya begini-begini. Itu yang diharapkan. Kalau saya melihat begini
pemahamannya. 2465-2475
Kekecewaan terhadap pemerintah ini mendorong orang-orang yang tidak setuju dengan pemerintah karena praktek hukum maupun
demokrasi yang buruk, termasuk Yusuf, terus menyoroti pemerintahan yang tidak sarat akan keadilan. Mereka yang tidak
setuju dengan pemerintah kemudian menggabungkan diri dengan ormas-ormas tertentu yang memiliki kemiripan dengan pandangan
personal mereka. Termasuk Yusuf dalam hal ini mulai bersentuhan dengan Hidayatullah.
c. Masuknya ideologi jihad Afghanistan dan munculnya anarkisme
Pada saat yang hampir bersamaan, rezim Soeharto lengser setelah melalui perjalanan yang menorehkan noda bangsa. Selain
memberi kebebasan dalam media, lengsernya Pak Harto mendorong munculnya tokoh pergerakan agama. Tokoh-tokoh ini sebenarnya
sudah ada ketika rezim Soeharto, hanya karena
state of control
yang melemah, kemudian muncul ke permukaan.
Lengsernya Pak Harto itu terus terang di Indonesia semakin bebas. Termasuk peredaran VCD, video,
contoh seperti itu. Kemudian dakwah, kalau dikatakan
ekstrim dulu,
subversif ditangkap.
Sekarang sudah
bebas. Seruan-seruan
yang mengajak. Termasuk saya ini melihat atau
mendengar atau menimang-nimang seruan ini ndak salah. 177-184
Unsur jihad Afghanistan sendiri sudah masuk secara gradual sebelum Pak Harto lengser. Hal ini memiliki dasar historis, bahwa
sejak awal sejarah Indonesia telah memiliki konsep Nasionalis dan Islam. Mereka yang memegang konsep Islam merasa kecewa dengan
praktek hukum yang menyimpang dari kaum Nasionalis.
Chaos
negara ini memudahkan masuknya unsur-unsur dari luar yang bertentangan dengan nasionalisme. Pada waktu itu pula, tahun 1999,
konflik Ambon-Poso juga membuka peluang untuk menjadi lahan berjihad.
Nha, termasuk idealisme jihad dari Afghanistan. Itu diusung, kalau dari ikhwanul muslimin dibentukkan
di Indonesia berupa parlemen kan. Itu tidak mutlak, karena ikhwanul muslimin suatu roh, sementara
PKS itu hanya partai. Itu ada perbedaan, secara parlemen ataupun secara roh. Roh pergerakan.
Kemudian dari unsur jihad, jihad dari Afghanistan itu banyak alumni-alumni dari Indonesia yang
belajar ke sana. Makna belajar itu karena ketidakmampuan
mujahidin Indonesia
untuk mendapatkan ilmu-ilmu militer. Mungkin seperti itu.
Jadi terbatas. Bisa mendapatkan ilmu-ilmu militer tapi harus lewat formal negara. Akmil misalnya,
atau apa. Atau secara sembunyi mungkin seperti Aceh itu. Atau mungkin sendiri seperti Poso dan
Ambon, jadi secara sembunyi. Tapi idealisme jihad sendiri sudah diusung ke Indonesia. Makna
komunitas itu bisa berarti orang-orangnya. Bisa berarti ajarannya. Termasuk buku panduan itu ya.
433-454 Jadi seolah-olah Ambon dan Poso itu adalah solusi
bagi mereka untuk berjihad. Dekat, terjangkau, gampang, selebihnya kalau saya melihat, saya
secara pribadi melihat konflik Bosnia di Eropa. Itu terinspirasi bahwa negara Eropa-pun ada konflik
Islam. 572-578
Pihak tertentu yang mengalami kekecewaan dengan pemerintah cenderung memunculkan sifat permusuhan terhadap
pemerintah yang mengarah ke anarkisme. Anarkisme ini mendapatkan justifikasinya dengan hukum Islam yang menurut
pihak ini adalah lebih baik. Dengan hukum Islam, diskriminasi dan keadilan bisa dicapai.
2.
Umwelt
Dalam mode dunia
Umwelt
, manusia berada dalam suatu dunia yang membuatnya harus tunduk dan menghalangi tercapainya
otentisitas dari Ada
exsistenz
. Menurut Karl Jaspers 2005,
exsistenz
merupakan pengalaman dari kebebasan yang subyektif dalam lingkup situasi yang pasti ekuivalen dengan
être-pour-soi
para Sartrean.
Umwelt
sendiri berupa dunia internal maupun eksternal yang membentuk lingkungan fisiologis dan fisik. Kondisi ini mewujud dalam
insting, kebutuhan, dorongan, maupun hereditas sosial seperti tradisi. Karena informasi biologis yang ada dalam data kurang adekuat, maka
data yang diolah adalah kondisi kultural yang menuntut tercapainya harapan tertentu hereditas sosial. Kondisi kultural ini memaksa Yusuf
untuk tunduk terhadapnya sehingga pilihan bebas, sebagai syarat utama
existenz
, dalam kondisi ini sangatlah minim.
a. Keadaan global dan efeknya
Menurut Yusuf, arus global menimpa dan dirasakan semua orang; termasuk Yusuf. Arus global ini merupakan kekuatan
lingkungan yang besar dan mampu merubah siapa saja. Bagi Yusuf, pengalaman arus global ini merupakan pengalaman kolektif.
He‟em, yang bersama yang global gitu
lho. Jadi, arus global itu ndak hanya menimpa saya
sebenarnya. Banyak
yang hampir
mirip [pengalaman] . 313-315
Selama Yusuf merasakan efek arus global yang sayangnya tidak diuraikan secara rinci,
Mitsein
dalam rupa konflik mendorong Yusuf untuk mengangkat konsep memeluk Islam secara kafah.
Konsepsi ini diperkuat oleh keadaan yang cenderung memiliki karakteristik yang sama. Menjalankan Islam secara kafah berarti
kembali ke segala aturan dengan patokan Al- Qur‘an, Rasuna, Hadis,
dan nabi. Segala patokan tersebut menjadi otoritas eksternal yang mengatur eksistensi Yusuf.
….ketika kita melihat A
l-
Qur‟an misalnya, contoh;
ya saya tidak menjelaskan secara detail, tapi kan dari ayat-ayat-ayat-ayat itu kita bisa memahami
bahwa konflik ini akan terus bergulir di dunia ini. Tidak mesti di Irak, tidak mesti di Amerika tapi
termasuk di Indonesia. 589-594 Patokan menjalani agama Islan] Ya sama, Al-
Qur‟
an dan Rasuna ya. Adapun perkataan Amien Rais, perkataan Gus Dur, itu kan perkataan
manusiawi. Selebihnya saya lebih khusus mengkaji kepada kitab. Jadi Al-
Qur‟an, Hadis, sama
tunjangan-tunjangan kitab yang terpercaya. Makna kitab yang terpercaya tetap bersumber pada itu.
Bukan kepada personal. 1255-1262 Khusus, saya memang selalu memperhatikan ayat-
ayat jihad. Misalnya Qut‟ba, Al
-Mukital, dalam Al-
Qur‟an diwajibkan berperang. Padahal perang itu
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi sesuatu yang kamu benci tu baik buat kamu [Al-Baqarah 216] .
2439-2445
Dalam menyikapi arus global ini, sebagai sumber nilai dalam konteks yang baru, Al-
Qur‘an, Rasuna, Hadis, dan nabi menjadi pegangan. Al-
Qur‘an
Mitsein
merupakan objek eksternal di luar
Yusuf. Dengan demikian, ada unsur ketertundukan terhadap objek- objek tersebut. Dengan tunduk terhadap objek-objek eksternal
tersebut, Yusuf merasa dapat menghadapi arus global yang menggilas kehidupan.
b. Kepatuhan terhadap orang sekitar dan dogma
Arus global yang penuh ketidakpastian disertai penyegaran sekaligus penguatan konsep-konsep secara terus menerus, membuat
Yusuf terikat dalam konsepsi. Konsepsi dalam hal ini adalah dalam wujud harakah pergerakan dalam Islam disertai dengan ideologi
jihad. Ayat-ayat jihad yang diperhatikan secara khusus oleh Yusuf menjadi solusi teoritis terhadap kewajiban untuk menjalankan Islam
secara kafah. Keharusan untuk menjalankan secara kafah ini, secara pragmatis dilakukan lewat penegakan konsep
amar ma
‘
ruf nahi munkar
dalam rupa yang berbeda sesuai konteks. Hal ini dilakukan karena untuk bisa berjihad secara fisik maka harus bisa menegakkan
Islam.
Ya dikatakan pergolakan itu ya kamu harus amar
ma„ruf nahi munkar. Terus mi
salnya, walaupun wujudnya beda-beda. Misalnya FPI, sweeping
misalnya, sweeping-nya miras, terus tempat-tempat gelap. Lha itu kan sudah realisasi dari FPI. Tapi itu
salah satu gitu lho maksud saya. Nah, baru setelah dia kembali dari men-sweeping, dia kembali ke jihad
besar. Jihad naf, ya itu menang, itu sok opo, gropyok sana, datang ke monas, datang ke mana. Itu
prestasi kamu. Tapi setelah pulang, kamu jangan bangga dulu. Wong itu, diskotik tak tutup mbek
pasukanku. Seneng. Tapi kamu setelah pulang jangan bangga dulu, lha makna bangga pulang
lebih besar dari peristiwa itu. Tapi proses
penutupan itu sudah dilakukan. Nah, bagi orang- orang yang punya idealisme jihad syaratnya harus
bisa menegakkan Islam. Makna menegakkan Islam seperti tadi. Ketika Poso meminta bantuan, ya harus
datang. Ketika Ambon mengalami, harus datang. 856-876
Kewajiban berarti memuat keharusan. Konsep harakah,
amar ma
‘
ruf nahi munkar
, serta jihad memuat unsur dogmatis dalam pelaksanaanya. Dogmatis sediri memiliki implikasi tanpa kritik.
Ketika daya kritik melemah, maka sensibilitas terhadap nilai baru melemah dan menciptakan keadaan
self-closure
yang cenderung
close-mindedness
. Dalam kondisi ini, kepatuhan menjadi tema besar. Baik
kewajiban, keharusan, serta dogma merupakan wujud dari kepatuhan. Kepatuhan berarti kehilangan kebebasan. Kehilangan
kebebasan ini juga terjadi dalam kepatuhan Yusuf untuk bersabar dalam mengikuti
guide Mitdasein
. Kehilangan kebebasan ini menciptakan keadaan yang membuat Yusuf tidak mampu secara
eksistensial untuk menentukan hidupnya.
Lha ternyata kelompok ini di Poso itu ndak disambut. Karena nggak bisa apa-apa. Gitu lho.
Karena saya sudah niat dari rumah percaya sama guide, percaya sama Mujahidin yang di Kalimantan.
264-268 Dan ndilalah ketika sampai di Poso itu saya
percaya, “Lho kamu jangan masuk Poso”, “Oke siap, saya tidak masuk Poso.” Terus ke mana? Ikut
guide, diajak lagi, perjalanan jauh, sampai di perbatasan Malaysia. Muncul pertanyaan, katanya
kita mau jihad? Kok malah ke Nunukan. Tiga hari perjalanan. 677-684
Saya yakin kini hidup di luar negeri. Karena saya tidak punya paspor gitu kan. Karena dengan paspor
itu menunjukkan, saya ini solider dengan muslim Poso, tapi kenapa saya dibawa ke sini, Malaysia.
Saya manut. Saya mau bersabarlah, bahasanya itu bersabar. Apa sih rahasia dibalik perjalanan ini?
697-703
Kepatuhan terhadap
Mitsein
maupun
Mitdasein
ini semakin mereduksi Yusuf sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas
untuk melakukan determinasi diri
self-determination
. Kehendak bebas yang terenggut ini membuat Yusuf berada dalam situasi yang
minim akan kebebasan eksistensial.
3.
Mitwelt
Sekadar untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya, orang lain diperlukan.
“All real life is encounter”, kata Buber dalam Solomon, 2005. Maka dalam mode dunia
Mitwelt
, Yusuf membangun relasi dengan dunia sosialnya. Relasi yang dimaksud merupakan
hubungan antar manusia, Yusuf dengan manusia lain. Esensi dari hubungan ini adalah perjumpaan yang merubah antara dua orang yang
berjumpa.
a. Solidaritas dan kosmopolitanisme muslim
Solidaritas merupakan hal yang sangat umum dalam mode dunia
Mitwelt
. Ketika kita berbicara mengenai solidaritas, maka kita berbicara mengenai solidaritas dengan intensionalitas terhadap orang
lain. Kosmopolitanisme di sini merujuk pada solidaritas sosial. Kosmopolitanisme merupakan sebuah paham yang berupa rasa
setuju dengan yang dicita-citakan dan nilai-nilai dalam suatu grup; merasakan bahwa kita memperoleh dukungan orang berpengaruh di
sekitar kita
significant being
. Apa yang dialami Yusuf adalah bahwa rasa solidaritas
menciptakan munculnya kosmopolitanisme muslim internasional. Di lain pihak, Yusuf merasa prihatin dengan apatisme muslim.
Apatisme sendiri dipahami sebagai wujud pertentangan dengan solidaritas.
Betapa muslim yang belajar Al-
Qur‟an
, belajar ilmu kitab-
kitab itu yang menjadikan…hanya buku dan
buku. Lalu ketika dia melihat misalnya ada pondok pesantren 13 desa muslim hilang, dia cuek-cuek
saja. Dan versi saya saat itu, solidaritasnya kurang.
“Waa, itu kan
muslim di mana, di Sulawesi, kita muslim d
i Jawa. Nggak ada hubungannya.”
Itu kan yang salah. 228-236
Ya sebenarnya kalau bentuk solidaritas itu kan sudah lama ya Mas ya. Sebelum Ambon dan Poso
pun tahun 92. Perang Teluk itu kan Irak, George Bush sama Saddam Hussein waktu itu ya. Itu sudah
memunculkan empati muslim Indonesia. Yo wis mulai
dari menggambar
Saddam Hussein,
menggambar Osama bin Laden. Itu juga nilai- nilainya tu terpompa. Terpacu sebenarnya. Wah,
saya kalau pakai kausnya Osama bin Laden bangga. Karena melawan Amerika. Irak aja dikeroyok orang
banyak. Itu kuat. Itu negeri muslim. Terpisah dari kita melihat siapa Irak. Tapi kenyataannya negeri
Muslim gitu. Nah, dari situ juga orang terinpirasi
“Saya harus solidaritas ke sana.” 556
-570 Berangkat ke Poso kan. Begitu kelompok Surabaya
berangkat ke Poso, melihat bahwa saat ini ada
pergolakan. “Mas,” ee contoh, “kamu mau ngapain ke sini?”, “Saya mau jihad ini, membantu kaum
muslimin, mau solidaritas.”
655-660
Solidaritas dan kosmopolitanisme mengantar Yusuf untuk hidup dalam dunia baru yang sebelumnya tidak pernah dia jajaki.
Kehidupan baru berarti melekat persoalan baru. Dan persoalan ini nantinya juga akan memuat tanggung jawab baru.
b. Permusuhan dan
otherness
Meskipun unsur kosmopolitanisme melekat dalam diri Yusuf, namun pertentangan dengan paham lain dalam satu agama tidak bisa
dihindari. Salah satunya adalah dengan Imam meskipun sama-sama muslim. Selain itu, Yusuf juga menyatakan bahwa ada diskrepansi
konsep pandangan agamanya secara personal dengan pandangan kaum Salafi meskipun sama-sama Islam. Dalam kasus ini muncul
tendensi
otherness
.
Otherness
dipahami sebagai sebuah kategori fundamental dari pikiran manusia sebagai ekspresi dualitas De
Beauvoir, dalam Solomon 2005.
Otherness
muncul akibat tegangan yang terjadi akibat pemahaman antara
self
dan
other
adalah berbeda.
Setelah konsep berbeda, saya mulai bertanya ni. Secara ilmiah, kamu [Muhammadiyah] kenapa kok
berbeda dengan orang NU? Dijelaskan. Kami berbeda dengan orang NU karena konsep-
konsepnya Jawa. Konsep Indonesia. Konsep Hindu. Sementara kami menggunakan konsepya nabi.
Konsep Arab Kurang lebih seperti itulah, sehingga cara-cara yang ditempuh oleh NU tu terlalu ribet.
Identik dekat dengan, ya campurlah dengan Hindu.
Hampir sama. Lhoh, Islam kok slametan, roh‟e itu 3
hari masih di rumah. 40 hari menjauh dikit. 1000 hari baru jauh. Kok bisa konsep seperti itu
darimana? Karena dalam konsep Islam meninggal ya meninggal, terputus. Kecuali tiga; amalnya,
sodaqohnya jariah, sama ilmunya yang bermanfaat. 1011-1027
Kalau Salafi sebenarnya saya tidak cocok dari, dari cara penyampaian. Jadi mereka betul, metodenya
menghindari
fitnah misalnya.
Tapi metode
penghindarannya kadang terlalu, terlalu berat di hadapan umat. Sehingga kalau disuruh bergabung
dengan Salafi saya nggak bisa. Kemudian Salafi cara mengkajinya tentang jihad itu juga sudah beda.
Karena sudah ada unsur politik. Menurut saya. Karena Salafi itu melihat kalau jihadnya itu Ambon
dan Poso kemudian dilakukan secara berjamaah, itu ndak boleh. Jadi gini, orang jihad, itu tidak usah
pake baiat. Padahal makna jihad bersama-sama kan ada janji. Saya mengangkat si fulan kan sebagai
ketua. Dalam posisi jihad ini. Tapi dalam Salafi ndak ada. 1061-1088
Ya saya katakan menantang saya. Contoh misalnya berjamaah, PKS berpartai itu sesat. Ikut partai saja
sesat. Lha teman-teman yang saya yang PK kan sesat buat dia. Sama.Terus majalah kalau ada
fotonya Osama bin Laden, gambar-gambar siapa itu
bid‟ah. Nggak bo
leh majalah ada gambarnya itu. Gambarnya siapa; Osama bin Laden, Pak Harto,
gambarnya siapa nggak boleh. Majalahnya dia itu gini, tulisan tok. TV itu sesat. Macem-macem di situ.
Rumah itu nggak boleh ada TV-nya. Itu ketua kelas saya, eh, ketua Remaja Masjid saya. Pak Imam.
Nuturi anak buahnya. Karena kebetulan saya yang dituturi, ya Pak Imam punya pemahaman, tidak bisa
dipaksakan kepada saya dong. Itu sudah mulai
berselisih. Betul, sudah mulai berselisih. “Kamu
tidak boleh mengaji dengan ustad itu, ustad ini
nggak boleh, ustad ini nggak boleh…..sesuai dengan salaf”.2086
-2104
Tendensi
otherness
ini termanifestasikan dari
consciousness
ketika dihadapkan dengan dunia nyata. Namun, karena
otherness
sifatnya inheren dalam diri manusia, maka perbedaan paham menjadi sebuah fakta empiris dan cenderung menimbulkan kecemasan ketika
self
dan
other
mengalami perjumpaan. Kecemasan ini kemudian
menimbulkan tegangan. Jika tegangan tidak bisa diatasi secara konstruktif maka akan berujung konflik. Konflik yang dibawa ke
tataran interpersonal akan cenderung memunculkan permusuhan
hostility
.
c. Kehendak untuk menganut dan dianut
Menurut Yusuf, senior adalah panutan. Sebagai orang yang pernah menjadi junior, Yusuf telah mengalami dirinya menjadi
seorang penganut. Dan dalam masa selanjutnya dia yang akan menjadi panutan bagi juniornya. Dalam panutan dan penganut
melekat arti untuk mengasimilasikan diri satu sama lain. Pengaruh lingkungan yang kuat membuat logika sosial ini menjadi tradisi,
meskipun pada dasarnya Yusuf bebas memilih apakah dia akan menganut atau tidak.
Ya kalau apa ya, 2 SMA sendiri kan tidak lepas dari senior. Senior tu kakak kelas. Itu jadi tradisi
menganggap senior itu panutan itu sudah lumrah. Atau kita di luar misalnya, di Masjid misalnya,
sholat. Sholat, duduk, ada sekelompok pengajian. Karena kita merasa tidak bisa dan menganggap
orang-orang yang duduk itu lebih dulu belajar, kita pun datang orang yang manut gitu. Ya sama dengan
apa ya, pengaruh lingkungan, pengajian mana? Yo. Pengajian mana? Yo. Itu contohnya seperti itu.
Pengajian ini kok doa melulu, nggak punya solusi kepada umat. Misalnya begitu. 2192-2204
Sampai sini saya belajar, di saat-saat belajar ini kita ultimatum
ni “Saya harus masuk kampus ITS,
saya harus masuk kampus Unair, saya harus masuk
kampus Unibraw, negeri.”
Lha dari sana saya punya cita-cita kalau apa ya, kalau pemahaman di
kampus kan senior, pinter, nanti bisa jadi follower adik-adik, diikuti adik-adik. Nanti aku bisa mendidik
adik-adik untuk mengerti Islam. Arahnya ke sana. 2263-2271
Dalam menganut dan dianut melekat kehendak dipengaruhi
dan mempengaruhi orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada relasi yang sifatnya resiprokal antar manusia
—antara Yusuf dengan dunia. Dan dalam relasi yang sifatnya resiprokal perjumpaan ini,
perubahan pemahaman akan dunia niscaya terus berubah. Selain pemahaman akan dunia yang resiprokal dengan Ada
yang lain, relasi di sini juga memuat mode
Umwelt
. Berkaitan dengan kepatuhan pada bagian
Umwelt
, pada bagian kehendak untuk menjadi penganut dan dianut merupakan paduan antara dua mode
dunia;
Umwelt
dan
Mitwelt
.
Umwelt
ketika relasi ini terjadi sebagai relasi subyek-obyek, dan
Mitwelt
ketika relasi ini terjadi sebagai relasi subyek-subyek.
d.
Sorge
Sorge
terminologi yang digunakan Heidegger dipahami sebagai sebuah kepedulian
caring
yang memunculkan tanggung jawab
taking care
. Rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi ini memunculkan sikap dan kehendak untuk mengatasi keberadaan
Yusuf di antara
Mitdasein
. Rasa tanggung jawab ini diarahkan terhadap umat Islam di Poso. Yusuf merasa prihatin dengan dirinya
yang hanya santai-santai saja melihat konflik Poso, padahal teman- temannya melakukan amaliah.
Itu mereka itu menganggap amaliah tu perang tu belum selesai. Ng, anu, amaliah itu artinya ya.
Amaliah itu bahasanya orang ya ee, sedang berbuat. Jadi sedang berbuat ini ya. Wah, saya ini di Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat kok santai-santai saja diem-diem saja. 10-16
Kesantaian dan ketidakikutannya dalam amaliah tersebut
membuat Yusuf merasa tidak tergabung dalam Islam secara kolektif. Karenanya, identitas sosialnya sebagai seorang muslim merasa
tertantang. Menyadari identitasnya sebagai muslim tidak terpenuhi, terciptalah keinginan untuk turut serta ke Poso karena teman-
temannya turut berbondong-bondong.
Nah, waktu itu saya hanya berpikiran begini; kelompok-kelompok yang berangkat ke Ambon dan
Poso, itu kok berbondong-bondong, sementara saya kok tidak. 192-195
Kita juga nggak tahu. Itu ada unsur di balik itu saya nggak
tahu. Tahu-tahu
berbondong-bondong. Berbondong-bondongnya temen-temen ini membuat
saya pengen ikut. 219-223
Keinginan untuk tergabung dan berbondong-bondong ini dipahami dalam mode
Umwelt
. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan Yusuf berubah menjadi tidak sekadar berbondong-
bondong, melainkan menjadi berguna. Penjelasan menjadi berguna akan dijelaskan dalam ―kehendak untuk menjadi signifikan‖.
Agar tergabung dalam kolektivitas, Yusuf menggabungkan diri dalam suatu kelompok mujahidin. Ketika sudah masuk, dia
menyadari bahwa kelompoknya berbeda dengan kelompok lain.
Begitu ustad Abu menjadi tokoh di Jogja dengan kongres MMI-nya, ada versinya Erfan Esnawas, ada
versinya M. Tholib. Kita sudah berbeda, nah, walaupun nanti pecah lagi ya MMI jadi JAT karena
ada konflik intern. 20-24
Ternyata perbedaan antar kelompok mujahidin bukan maslah yang besar bagi Yusuf. Di atas perbedaan itu, justru Yusuf lebih
prihatin melihat kaum muslim yang apatis terhadap konflik di Indonesia Timur. Rendahnya rasa solidaritas terhadap muslim
merupakan kesalahan yang fatal.
Betapa muslim yang belajar Al-
Qur‟an
, belajar ilmu kita-
kitab itu yang menjadikan…hanya buku dan
buku. Lalu ketika dia melihat misalnya ada pondok pesantren 13 desa muslim hilang, dia cuek-cuek
saja. Dan versi saya saat itu, solidaritasnya kurang.
“Waa, itu kan
muslim di mana, di Sulawesi, kita m
uslim di Jawa. Nggak ada hubungannya.” Itu kan
yang salah. 228-236
Dalam keadaan
sorge
, Yusuf menunjukkan adanya perluasan rasa peduli dari dirinya sendiri ke arah luar diri yang terwujud dalam
solidaritas terhadap muslim. Selain itu, Yusuf juga mampu menerima perbedaan paham antar penganut Islam. Penerimaan
perbedaan ini merupakan implikasi dari penempatan muslim ke dalam konteks yang lebih luas
—universal.
e. Rasa tanggung jawab
Bagi Yusuf, keluarga merupakan tempat di mana dia mulai pergi dan akan pulang. Setelah mengikuti pelatihan militer di Moro
selama dua tahun, kerinduan kepada keluarga mengantarnya pulang
ke Indonesia. Baginya, keluarga merupakan hal yang sangat berarti. Keluarga adalah bagian dari hidup Yusuf.
Di Filipina itu sudah mentok, pelabuhan akhir bahasanya, tujuan. Soalnya di sana ya sudah apa -
apa didapatkan.
Yo wis
namanya manusia
meninggalkan keluarga mesti kelingan yo. Wah,
saya ni sudah lama….bahasanya tu kalau kangen ya
kangen wong jenenge keluarga udah 2 tahun nggak pernah tegur sapa terus mereka bagaimana sih saat
ini? Kepada saya. Akhirnya saya menganggap keluarga juga bagian dari hidup saya. Saya datang
dengan banyak visi dan misi kepada mereka. Ada juga yang memaklumi kondisi saya. Dan sampai
sekarang ini. 2624-2637
Setelah berpulang dari Moro, Yusuf tinggal selama 5 bulan bersama keluarganya. Akhirnya, petualangannya ke Moro terungkap
setelah Yusuf tertangkap dalam kasus terorisme. Pada awal penangkapan Yusuf, muncul antipati dan prasangka dari pihak
keluarga.
[Muncul negative thinking terhadap penerimaan diri di keluarga] Iya, sempat. Karena mereka bisa
antipati kan. Di antara saudara-saudara kan juga,
“Walah….diurusi.”, misale. Kalau apa ya, kalau
prasangka iya, ada. Cuma kan ada yang nampak, ada yang tidak. Ada yang, ya biasa -biasa aja, ya
mereka kan mau nggak mau juga keluarga. Terus kalau sudah di dalem apa yang dilakukan, kan
nggak juga neko-neko gitu lho. 1437-1447
Antipati dan prasangka ini muncul karena keluarga tidak mengetahui apapun yang terjadi mengenai Yusuf. Seperti telah kita
ketahui bahwa demi memperjuangkan apa yang diyakininya, Yusuf rela untuk tidak jujur terhadap keluarga. Ketika apa yang dilakukan
Yusuf selama ini terungkap, muncullah rasa bersalah karena telah berbohong dengan keluarga.
Ya kita kan ijin ke keluarga nggak jujur. Kita kan kerja ke Malaysia. Saya mau merantau, gitu aja.
Jangan harapkan saya. Paling sama mbakyu,
“Mbakyu, pamitan mbakyu, saya mau ke luar Jawa. Ya, kebetulan saya kemarin ada bekal.” Kan waktu
itu saya bekerja terus njual motor juga to. “Nih tak
k
asih 500 untuk keponakan saya.”
Macem- macemlah. Kita artinya baik gitu lho. Saya tak kerja,
nanti tak cari uang banyak ya nanti tak bantulah sekolahan ponakan-ponakan. 351-361
Ya satu, merasa bersalah ya. Karena kita sudah memberikan
kebohongan kepada
keluarga. Bersalah, terus kita saat ini, waktu itu ya. Jadi
sudah berpisah 2 tahun di Filipina, sekarang berhadapan dengan hukum. Iya kan. Kita ndak tahu
berapa waktu itu. Kalau berapa waktu itu selama 5 tahun berarti selama 5 tahun kita menjadi hilang
dari keluarga. Plus 2 tahun yang lalu. 1409-1417
Rasa bersalah Yusuf berakar pada kegagalannya memenuhi
harapan keluarga. Apa yang dibutuhkan keluarga ternyata berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yusuf. Hal ini membuat Yusuf
merasa memiliki hubungan yang renggang dengan keluarga. Selain karena rasa bersalah yang ditanggung Yusuf, rasa tanggung jawab
terhadap hubungannya dengan keluarga juga menjadi alasan Yusuf untuk terus membangun komunikasi yang baik dengan keluarga.
Bentuk komunikasi ini dilakukan Yusuf saat di penjara.
Nah, di saat kita hilang selama di penjara itu, kita membangun
komunikasi yang
bagus dengan
keluarga. Kirim surat misalnya, itu kita lakukan itu. Karena mereka mau tak mau itu tadi, jadi tanggung
jawab. Nasehat. Surat, “Aku hari ini….”, misalnya
aku berada satu blok dengan orang Cina, Muslim
misalnya. Kasunya senjata api di temanggung, misalnya. Atau kasusnya narkoba misalnya. Itu
diceritakan. Artinya ada image yang dibangun oleh keluarga tu ketika di penjara tu kenal para penjahat.
“Wo, jangan
-jangan kamu di dala
m disiksa terus?”, “Ndak, saya bergaul dengan temen
-temen dengan
bagus, mereka juga suka kalau ada pengajian.”,
misalnya. Dari sana orang di keluarga ketika kita tinggalkan 5 tahun merasa besar hati. Bahwa ketika
saya menjalani di penjara nggak ada masalah. Tidak
menambah masalah.
Terus bentuk
pertanggungjawaban kepada keluarga selesai. 1417-1436
Setelah terbebas dari penjara, kontrol keluarga terhadap
Yusuf semakin meningkat. Kekhawatiran keluarga terhadap Yusuf meningkat. Tapi, dalam hal ini Yusuf justru tidak menjauhi keluarga.
Yusuf berusaha meyakinkan keluarga bahwa kini ia sedang melakukan penataan ulang hidupnya, oleh karena itu dia melakukan
silaturahmi dengan keluarga; selain karena kehilangan waktu bersama keluarga. Keluarga menerima status Yusuf sebagai tahanan
teroris.
Tapi ini karena kita punya latar belakang di rumah.
Contoh peristiwa Aceh. Der Rumah telepon, “Mas,
kowe nengdi posisimu? Kowe ojo melu-melu neng
Aceh.”
Itu kan bentuk responsif dari rumah. Duer Tembak mati di Solo. Ke Dapoer Bistik misalnya.
Temen-temen, eh, Keluarga di Jawa Timur sana,
“Weh, telpon Solo.”
Telepon lagi. 1401-1408 Ya kan kekhawatiran mereka dengan khayalan akan
menghilangkan keluarga, menjauhi keluarga, itu nggak terjadi gitu lho. Terus nanti kamu terlibat
dengan jaringan ini, jaringan Noordin, jaringan mana, jaringan Cilacap, muncul-muncul itu lho
Mas. Ndak, kekhawatiran kita tepis dengan seperti ini. Contoh; saya keluar ya, saya bekerja. Ibu
Bapak, eh Ibu, Bulek, Mbakyu, Adik saya ajak ke
sini. Ini lho saya. Menunjukkan jiwa dia itu yakin, Masku sekarang ini, anakku sekarang ini sedang
memberikan penataan ulang, dengan keluarga, istri diajak ke sana. Ini lho. Itu juga bagian dari PR
tersendiri. Kegiatan tersendiri buat saya. Satu sebagai mantan, kedua dalam kasus hal yang sama.
1449-1465 Terus kemudian beban-beban keluarga saat ini
meyakinkan keluarga bahwa saya tidak akan terlibat lagi dengan kasus-kasus. Maksud nggak Mas. Aceh,
del Oo, Yusuf nggak terlibat. Polres Cirebon, Yusuf nggak terlibat. Jadi semakin yakin bahwa Yusuf ini
anu gitu lho. Ho‟o, kembali lagi gitu lho, kembali ke
yang lurus. 1696-1704
Selain dari sisi komunikasi yang terus dibangun secara konstruktif, menurut Yusuf, tidak ada permasalahan perbedaan ritual
dengan keluarga.
Meskipun ada
perbedaan, Yusuf
tetap membicarakannya secara dialogis. Yusuf menguraikan kepada ibu
mengenai ritual keagamaan yang dipegang Yusuf berbeda dengan ibunya. Perbedaan ini tidak menjadi masalah yang berarti untuk terus
berusaha meyakinkan keluarga bahwa Yusuf telah kembali ke jalan yang lurus.
[Cara pandang dan keluarga] Belum sempat saya utarakan. Saya nggak pernah membicarakan hal-hal
itu. Mas, adikku, ponakanku sekolah jihad yo Ndak, sama sekali. Ada nilai-nilai yang unsurnya begitu
mendekat ke keluarga saya untuk apa ya, untuk ya itu tadi. Untuk masa-masa hilang. 2 tahun hilang itu
kan blas lho Mas gak ono kabar. Jadi seolah-olah bahkan hadirnya saya bagi temen-temen itu seolah-
olah sesuatu yang nggak disangka gitu lho. Padahal kita sudah menyangka, kita sudah mati. Gitu lho.
Udah 2 tahun nggak ada kabar coba. Piye jal? Nek sampeyan ngilang, keluarga rak nggoleki. Woo,
saiki neng Jo..neng Semarang, 3 dino. Yo mending. Iso ngabari. Neng kono blas. [Ritual agama yang
berbeda dengan keluarga] Ya saya tetep monggo ya, silakan kalau kamu berbeda dengan saya monggo.
Karena saya
juga mendiamkan
to.
“Jangan..jangan” Ndak. Kan kebetulan adik itu
kan pandai agama ya. Cuma ala NU ya. Cuma dialog
. “Wis, kalau caramu seperti itu ya monggo, itu cara kamu…”
1571-1594 Jadi mereka menerima apa adanya. Untuk masalah
ritualnya, itu sudah masalah orang tua, yo piye meneh. Kecuali kita sampaikan. Contoh kejawen,
budaya kejawen itu kan kalau lahirnya kembar dibuang, wetone podo, terus adik nglangkahi Mas,
eh Mbakyu, adik nglangkahi Mbakyu nikah itu lho. Hampir sama seperti itu. Lha itu, tak jelaskan.
Kalau kejawen seperti ini ajarannya, lha itu yang dianut oleh Ibu. Kalau saya itu sudah nggak
berlaku. Itu nggak boleh dalam Islam. Jadi tidak memaksakan, tapi menyampaikan. Jadi Ibuk tu,
maunya saya dengan uraian ini mau berpikir ulang. 1620-1634
Selain membangun komunikasi dengan keluarga, Yusuf juga membangun komunikasi yang bagus dengan dunia luar. Yusuf
mencoba menjaga silaturahmi dengan teman-teman mantan teroris didasarkan oleh rasa kemanusiaan. Yusuf menggunakan kenaikan
prestise sebagai mantan tahanan Nusakambangan untuk fungsi muamalah. Dia juga melakukan sosialisasi lagi dengan masyarakat.
Kemudian untuk masalah kacamata jihad, memang untuk hari ini, hari ini kan temen-temen sebagian
besar masih dipenjara. Misalnya sekarang dia
dalam proses mengurus surat pembebasan, “Mas, tolong sampeyan ke kejaksaan”, misalnya, “Tolong
ambilkan surat pengantar dari kejaksaan bahwa saya benar-
benar tidak punya kasus lagi.”…
Surat ini juga penting, aku dengan dia, sama-sama di
dalem karena merasakan bagaimana susahnya. Kalau njenengan bingung, nemui siapa. Kalau saya
udah pengalaman. Itu contoh. Jadi aku dengan mereka itu hampir sama, kemudian, itu sisi-sisi
persamaan dalam hal mempermudah surat... Saya sering berkunjung. Saya makna berkunjung itu kan
satu; Nusa Kambangan itu kan bagian dari sejarah hidup saya Mas ya. Kedua; saya tidak tahu kasus
kamu dengan negara itu apa, itu urusan kamu. Tapi dari satu sisi kemanusiaan, artinya paseduluran, ...
1294-1270 Kepala desa, kebetulan kepala desa itu kemarin
kasus juga. Jadi let setaun bar bebas, kena kasus sertifikat, dia dipenjara di J
ombang. Saya njenguk… “Cuma nanti Pak Lurah kau diganggu…ini
pemnbelaan juga sih, nanti kalau ada preman- preman itu nganggu, bentuk fisik kepada Pak Lurah,
nanti bilangin aja. Siapa orangnya, orang mana, nanti biar saya yang mukul, kalau perlu KPLP, apa
k
epala lapasnya saya yang mukul…
Nah, itu berkenaan dengan muamalah. Jadi dengan Pak
Lurah tetep hormat saya. Beliau sebagai orang yang dulu ngurus PB, mempermudah bahwa saya
diterima di masyarakat. 1654-1696
Dalam tema ini, rasa tanggung jawab Yusuf dicurahkan terhadap dunia sosialnya
Mitwelt
. Bagi Yusuf, membangun komunikasi yang bagus dengan orang lain merupakan wujud rasa
tanggung jawab. Dunia sosial bagi Yusuf memiliki signifikansi tersendiri bagi kehidupannya. Yusuf merasa bahwa orang-orang di
sekitarnya membantu dia selama hidupnya. Tidak heran apabila kemudian Yusuf menjadikan dunia sosial sebagai curahan rasa
tanggung jawab.
f. Kehendak untuk menjadi signifikan
Yusuf memahami bahwa pemerintah adalah posisi yang netral dan oportunis. Bagi Yusuf, posisi netral sama dengan tidak
punya pendirian. Muncul pikiran yang dualistis dalam memandang
pemerintah. Selain itu, oportunis merujuk pada kecurigaaan tersendiri bahwa ada oknum pemerintah tertentu yang memanfaatkan
konflik demi mencapai
vested interest
-nya.
Kalau saya berada di kubunya mujahidin berarti saya ikut jihad. Kalau saya netral di tempatnya
pemerintah, berarti saya orang tidak punya pendirian. Dari sisi itu, berarti pemerintah selama
ini cuma penengah atau pihak ketiga. [Oknum
berkepentingan]….tapi fungsi jihad karena orang
tahu bahwa ketika kaum muslim ini dibakar semangatnya pasti akan cepat terbakar. Sehingga
orang-
orang pihak ketiga tu menilai “Wah, ini bisa dimanfaatkan.” 510
-520
Yusuf tidak setuju dengan hal tersebut, menurut Yusuf, kalau ada muslim yang konflik, ―saya harus membela‖. Baginya ini adalah
sebuah keniscayaan. Ini menunjukkan bahwa netralitas tidak ditolerir dalam kasus ini.
Yang jelas ketika saya melihat konsep itu ternyata di negara bule, negara Kristen sana aja umat
Islam juga konflik. Tidak selamanya orang bule itu non-Islam. Kadang-kadang ada Islamnya juga. Itu
suatu image yang tergambar pada benak saya mereka itu kalau bule, kalau Muslim, kalau ada
konflik ya kita harus datang ke sana membela. 580-587
Menjadi berguna atau menjadi signifikan bagi pihak di luar dirinya adalah kehendak Yusuf. Kehendak untuk menjadi berguna
merupakan akar dari seluruh tema yang muncul dalam
Mitwelt
. Karena berkehendak untuk berguna maka Yusuf belum mencapai
level yang menurutnya dia adalah ―orang yang signifikan‖ atau
dengan kata lain; dia merupakan orang yang sepele dan kehilangan signifikansinya
loss of significance
.
Ya saya memandangnya begini, saya orang yang ibaratnya ingin berguna. Dalam arti menyumbangsih gitu lho untuk
kelompok besar. 362-365
4.
Eigenwelt
Mode dunia dalam
Eigenwelt
mensyaratkan
self-awareness
,
self- relatedness
yang secara unik hadir dalam
human being
. Dalam mode ini, kita memahami bahwa kita adalah pusat dari eksistensi kita serta
mengenal potensi-potensi khusus kita. Potensi-potensi yang dimaksud adalah seperti kapasitas menilai, memilih, dan nilai-nilai. Ketika kita
menggunakan potensi kita, maka peneguhan terhadap eksistensi diri akan dicapai. Lebih jauh lagi, mode ini menjadi jelas ketika kita menilai
dengan akurat apa yang kita suka atau tidak suka, apa yang kita butuhkan atau tidak butuhkan, yang secara personal mengevaluasi
pengalaman. Adalah sesuatu yang jelas bahwa apa yang menjadi pilihan
own-choices
Yusuf merupakan contoh jelas dari mode dunia ini.
a. Ketertarikan dengan tokoh di sekitarnya
Pada masa SMP, Yusuf tertarik dengan guru agama karena kepandaian guru agama dalam membaca Al-
Qur‘an dan mengaji. Keahlian agama yang dimiliki guru agama menjadi pondasi Yusuf
untuk merasa tertarik dengan guru agama. Namun, selain kehlian agama yang dimiliki guru agama, Yusuf juga menyukai sisi disiplin
yang terarah pada kebersihan yang diterapkan oleh guru agama.
Lha mulai SMP itu sudah mulai berpikir. Ada guru agama, kebetulan saya suka sama guru agama. Nek
guru agama tu cincinnya diletakkan di meja tu kita takut, padahal gurunya nggak ada di situ. Ujian
misalnya. Wah, kita ujian. “Siapa yang ngepek?”
tik, terus dia pergi, guru. Pada nggak mau, takut ngepek. Ada cincinnya. Jangan-jangan cincinnya itu
tau. Itu jenis-jenis itu kepercayaan kan Mas. [alasan
suka] Ya mungkin baca Qur‟a
nnya, ngajinya, mungkin ngglidik kalau kukunya panjang digebuki.
Ternyata harus dibersihkan. Ho‟o, enak. Enjoy. Tapi
kan dari sisi disiplin mengenai kuku, rambut gondrong dikit dipotong, nggak boleh. Macem-
macem yang sifatnya itu kebersihan itu bagus gitu lho menurut saya. 1749-1766
Seperti dikatakan di atas bahwa keahlian agama menjadi pondasi Yusuf untuk merasa tertarik dengan guru agama, Yusuf juga
tertarik dengan sosok lain yang serupa. Yusuf tertarik dengan Pak Abdul Kholib, guru matematika, yang menyukai lagu-lagu yang
arahnya ketuhanan dan pintar mengaji. Dapat ditemukan di sini bahwa ada kesamaan karakter pada
significant being
yang disukai Yusuf. Keduanya sama-sama pandai dalam hal agama. Pola ini
mendapat pengulangan sekaligus penguatannya dalam kehidupan Yusuf selanjutnya.
Pak Abdul Kholib saya datang ke rumahnya. Ternyata yang disetel lagu-lagunya Ebiet G. Ade. Itu
kan berkenaan dengan hamba dengan Tuhan, iya to,
tafakur bencana alam. “
Wuh, lagunya kok bagus
ya?” Terus lain kali misalnya Bimbo. Wujudnya ke
arah sana. Arahnya kepada Tuhan. Dari seperti itu saya mulai tertarik kepribadian guru matematika
tapi kok senengannya Bimbo. Terus ketika puasa kok malah
memimpin, kalau
dulu ada
pondok Ramadhan, jadi nginep di sekolahan. Nginep di
sekolahan. “Kae kok ketoke guru matematika pinter ngaji yo yo‟an? Ojo
-
ojo Pak Kyai.”
1777-1789
b. Ketertarikan dengan konsep “kembali ke nabi”
Yusuf tertarik dengan konsep dalam Muhammadiyah karena ―kembali ke nabi‖. Dalam jalannya kembali ke nabi, Yusuf memilih
untuk tidak terikat aliran dalam agama Islam dengan tujuan untuk kembali ke Islam. Bagi Yusuf, Islam adalah Islam, bukan Islam yang
dibatasi oleh parsialitas aliran
Eigenwelt
. Lhoh, Islam kok slametan, roh‟e itu 3 hari masih di
rumah. 40 hari menjauh dikit. 1000 hari baru jauh. Kok bisa konsep seperti itu darimana? Karena
dalam konsep Islam meninggal ya meninggal, terputus. Kecuali tiga; amalnya, sodaqohnya jariah,
sama ilmunya yang bermanfaat. Itu yang terus mengalir dan tidak putus-putus... Jadi konsep-
konsep seperti itu yang dipaparkan Muhammadiyah, saya tertarik. Oiya, besok saya tinggalkan deh
tradisi itu. Saya ngomong ke keluarga saya seperti itu...
Konsep seperti
itu digagas
oleh Muhammadiyah dan bagus. Terus Muhammadiyah
menawarkan pendidikan.
Ada SMP
SMA Muhammadiyah. Ada kampus. Justru ini lebih
mendekati keperluan umat daripada tadi. Bancakan, terus ngumpul bareng satu lapangan, istiqosah, kaul
misalnya atau apa. Padahal menurut saya kalau itu memang dilakukan oleh nabi, nabi melakukan hal
itu. Nabi kan ndak. O, ini kyai sing melakukan. 1011-1060
Sebenarnya kalau saya dulu, konsep-konsep jihad atau konsep-konsep pemahaman NU, kemudian
meningkat bertambah jadi Muhammadiyah-lah. Bahasa garis besarnya seperti itu. Kemudian kita
sudah mulai sinkron dengan tidak terikat kepada
organisasi… Kita hanya mencontoh sikap
-sikap Muhammadiyah,
tapi saya
bukan orang
Muhammadiyah. Begitu maksudnya. Misalnya orang Muhammadiyah tidak ta hlilan. Kan saya juga tidak
tahlilan. Tidak kunut subuh juga tidak kunut subuh, tapi saya bukan orang Muhammadiyah. Saya ingin
kembali sebagaimana Islam. Jadi Islam itu apa yang diajarkan
ya Islam.
Nanti kalau
saya ke
Muhammadiyah orang NU mesti benci kepa da orang
Muhammadiyah. Saya
kalau NU,
Muhammadiyah benci sama orang NU. Timbal- balik. Tapi kalau saya posisinya saya bukan NU
bukan Muhammadiyah saya Islam, Islam, Islam tok gitu lho ndak ada Islam NU Islam Muhammadiyah.
1232-1254
Bagi Yusuf, menganut Islam secara kafah berarti menjalankan aturan agama yang didasarkan atas segala apa yg
dinukilkan dari nabi; baik perbuatan, perkataan, sikap, maupun kebiasaan. Apa yang dinukilkan nabi memiliki terjemahan apa yang
tertulis di kitab suci. Yusuf mempraktekan purifikasi terhadap ajaran nabi yang telah banyak ditambah-tambahi. Namun ketika terjadi
rigiditas terhadap praktek agama, kepatuhan terhadap dogma tidak dapat dihindari. Hal ini berhubungan erat dengan tema yang ada
dalam mode
Umwelt
, yakni kepatuhan. Ketika hidup dalam mode ini; maka apa yang tertulis di kitab suci adalah apa yang harus
dilakoni. Bukan lagi karena aku yang ―kembali ke nabi‖
Eigenwelt
. c.
Komunitas menjadi jembatan munculnya keberanian dan daya kritis
Pada masa SMA, Yusuf menggabungkan diri dalam komunitas remaja masjid. Komunitas ini memiliki impresi akan
kebanggan tersendiri dalam diri Yusuf. Kebanggaan tersendiri menjadi remaja masjid memunculkan kesiapan untuk berkarya dalam
remaja masjid. Kesiapan berkarya ini juga membuka diri Yusuf untuk semakin melibatkan diri dalam komunitas ini. Tentu saja
dengan keterlibatan dalam komunitas ini Yusuf mendapat banyak kenalan maupun asupan informasi selama tergabung dalam remaja
masjid.
Cuma dari sisi saya ketika menjadi remaja masjid itu bangga, kenapa? Di saat orang lain itu nggak
mau ngurusi hal ini, cerdas cermat agama Islam se- kabupaten Jombang, itu kan suatu kebanggan
tersendiri. Dan undangan itu menyebar di 30 SD, MI di seluruh Jombang. Terus saya kenal sa ma
orang Departemen Agama; Pak Salim, termasuk macem-macem guru-guru agama, guru-guru agama
ya. 1915-1924
Keterlibatannya dalam remaja masjid juga mengantar Yusuf untuk
mengenal mengenai pergolakan Islam internasional. Pergolakan yang menurut Yusuf berkesan adalah perang Bosnia. Ketika itu
Yusuf menonton film Perang Bosnia yang oleh pemerintah dianggap subversif. Baginya,
Srebrenica massacre
ini terngiang-ngiang terus di pikirannya. Bayangan mengenai pembantaian ini menjadi
imajinasi tersendiri bagi Yusuf.
Perang Bosnia itu video, cuma oleh sospol, sospol tu waktu itu Pak Harto ya. Pak Harto itu punya sospol
tu di DPRD ya, berarti Pemda. Ada namanya sospol untuk
mengamati gerakan-gerakan
subversif. Termasuk nyetel video Bosnia itu dianggap
subversif... Saya belum pernah lihat film Bosnia, maka saya nglobi Pak S
alim. “Pak, saya kasih pinjem.” Itu ada video. “Ya nanti habis nyetel
kembalikan saya.”, “Ya.” Disetel. Tak lihat tu
konflik. Tak kembalikan selesai. 1974-1997
Selain film Perang Bosnia yang berkesan itu, Yusuf juga memiliki impresi khas ketika bakti sosial di Madura. Yusuf benar-
benar turun langsung ke masyarakat dan melihat langsung masalah
umat Islam. Dari situ muncul keprihatinan akibat muslim di Madura yang kurang memperhatikan ibadah. Keprihatinannya memunculkan
kepedulian terhadap Islam di sekitarnya
sorge
. Keadaan yang tidak mendukung dijalankannya Islam secara kafah terjadi di Madura.
Dari sana saya mulai terketuk juga, ternyata seprimitif-primitifnya sini tu walaupun dia orang
Madura katanya Islamnya banyak toh kenyataan seperti ini keleleran, macem-macem. Di tengah
hutan, terbengkalai, nggak tahu sholat, terus kemudian minum langsung dari sungai, mandi juga
langsung dari sungai. Itu Mas, aku kaget ya melihat gaya....Islam kok seperti ini. Ya, apa ya, melihat dari
fakta kemudian saya melihat dari konsep ajaran. Misalnya disuruh sholat 5 waktu, lha wong iki we
adus pisan neng njero kali lanang-wedok campur, misalnya. Lha terus piye? 2046-2066
Selain daya kritis, Yusuf juga menunjukkan bahwa dia berani berkonflik dengan pihak yang tidak adil. Dalam hal ini adalah
sekolahnya yang membuat aturan irasional. Pada waktu itu sekolah melarang penggunaan jilbab dalam foto ijasah dan ini tidak sesuai
dengan tuntunan muslimah. Untuk mencapai kebenaran bersama, Yusuf menganggap aturan irasional ini pantas untuk diperdebatkan.
Jadi orang yang menyetorkan foto ijasah pakai jilbab, itu harus dibuka jilbabnya. Atau potret
sekolahan....
“Ee, Pak, saya mau nanya Pak. Kita
sekolah kan SMA 2 Pak. Kalau kita menghargai kebebasan Pak, kebebasan berekspresi. Okelah
kalau Bapak melihat orang kayak orang Pramuka, orang OSIS, sementara kami Remaja Masjid punya
citra tersendiri. Kemudian kami punya jilbab ini ya. Mbak-mbak putri itu ya. Itu kalau sudah sepakat
mau nyetorkan foto pakai jilbab apa salahnya Pak? Satu. Dua, undang-undang yang mengatur itu mana
Pak? Kalau langsung dari Menteri, tunjukkan
Menterinya.”, ya saya sampai seperti itu, “Kalau
dari Depag, apa bunyinya? Sekarang apa bedanya kita sebagai pelajar, kemudian Bapak-bapak
sebagai guru pengajar kemudian Bapak-bapak
melihat madrasah aliyah di depan kita.”, saya tunjuk itu. “Madrasah Aliyah, dulu kita sho
lat Jumat di sana. Lha itu saja ijazahnya saya tahu betul,
mereka juga pakai jilbab. Langsung di bawah Departemen Agama. Kenapa boleh? Sementara kita
kok nggak boleh.... Terus setelah persidangan itu selesai, besoknya perwakilan ke Departemen
Agama, minta SK. SK dari kementerian bahwa ijasah tu boleh pakai jilbab. Saya fotokopi. Saya
tunjukkan Kepala Sekolah, langsung diem Kepala Seko
lah. Iya betul itu. “Pak, SK dari menteri agama.
Silakan diperiksa keaslian. Kalau ini palsu, bisa dituntut, Departemen Agama
.” Bingung dia, karena
ya mungkin sentimen. Karena ada beberapa melihat gelagat. 2105-2179
Pola membela kebenaran di atas terus mendapatkan penguatannya di dalam remaja masjid. Di komunitas inilah muncul
heroisme dalam memperjuangkan apa yang dianggap benar baginya. Identitas kelompok yang cenderung kuat meningkatkan kebangaan
serta keberaniannya untuk memperjuangkan yang menjadi kebenarannya.
Setelah itu setelah juara 1 tadi kita mendapat ya
mungkin ada unsur “Kita ini juara 1, masak hanya
berhadapan dengan keputusan Kepala Seolah kok
kita mundur gitu lho.” Hampir seperti itu, ada nilai
opo ya, heroisme dalam diri-diri kami. Kami tu sungguh-sungguh gitu lho memakmurkan Masjid di
sekolahan. Terus begitu saya kelas 3, kader kelas 1, kelas 2 sudah siap. Jadi makna pengkaderan itu
pengajian keputrian banyak, keputraan juga banyak, terus kemudian pengajian bersama banyak. 2180-
2191
Terjadinya penguatan kelompok membuat Yusuf memiliki dinamisme keberanian ketika menghadapi apa yang berada di luar
kebenarannya. Wujud dari penguatan sendiri tampil dalam rasa bangga yang membuatnya terlibat aktif dalam komunitas.
d. Keberpihakan terhadap hukum Islam
Proses membandingkan antara dua hal yang berbeda disertai dengan penilaiannya sendiri merupakan wujud mode
Eigenwelt
. Yusuf melihat ketumpulan praktek UU di Indonesia. Hal ini
mendatangkan konklusi bahwa hukum hanya sekadar nilai kosong. Dikatakan nilai kosong karena aturan hukum hanya sekadar kata-
kata belaka tanpa ada penerapan yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa praktek hukum Indonesia sangat kontras
dengan praktek hukum Islam. Kontrasnya penerapan hukum ini, di mana hukum Islam
dipandang lebih baik, mendatangkan apatisme terhadap praktek hukum negara. Proses komparasi antara kedua hukum ini menjadi
sebuah implikasi dari
otherness
yang termanifestasikan dalam permusuhan. Permusuhan dalam arti adanya unsur untuk menentang
atau melawan. Di samping praktek hukum yang buruk, bagi Yusuf ketentuan demokrasi juga menyimpang jika dilihat dari perjalanan
historis bangsa.
Ya berkenaan dengan undang-undang lah. Undang- undang kan, misalnya kita pasal 28 ya, ya
kemerdekaan berserikat berkumpul mengeluarkan bebas mengeluarkan pendapat secara lisan maupun
tulisan. Itu aja sudah ada pembatasan ketika kita menulis dilarang, dibredel misale, itu kan sudah
ndak
sesuai undang-undang
lagi. Lha
kita menghafalkan itu sudah bosan gitu lho. Hafal cuma
nilai-nilai kosong. Halah GBHN nggak perlu, undang-undang nggak perlu dan asas tunggal nggak
ada. 2213-2234 Misalnya Pak Harto. Pak Harto itu 95 sudah
menjabat presiden itu tahun…20 tahun ya, eh 25 ya.
Sekitar 28 tahun ya. Pelita 1 Pelita 2 Pelita 3 tu. Kita juga sebagai orang Islam melihat memang
orang Islam itu memang kalau amir ketua jamaah itu diangkat sampai mati. Betul. Tapi itu kan
ketentuannya Islam, bukan ketentuan demokrasi. Tapi kalau ketentuan demokrasi kan jadi presiden,
jadi presiden, kan nggak ada tuntunannya. Kan gitu, gak ada aturannya. Lha itu juga sudah mulai ada
perbedaan. Mestinya Pak Harto sudah lengser. Terus sejarah juga dengan Pak Karno, dengan
DITII itu juga diutarakan. Perbandingan sejarah. 2312-2326
Diskrepansi terhadap
praktek hukum
Indonesia ini
memunculkan kekecewaan, baik secara sosial maupun personal Yusuf. Di sisi lain, Yusuf melihat keapikan penerapan hukum Islam.
Yusuf sering mengadakan dialog dengan teman-temannya untuk menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia adalah untuk berjihad
maka seharusnya diberi kemudahan untuk mengisinya dengan ajaran Islam.
Hal-hal yang aneh tentang undang-undang apa sih, apalagi
dalam ayat
Al-
Qur‟an misalnya “Barangsiapa yang berhukum selain hukum Islam,
dia orang ya
ng dzolim.” misalnya. Nah, itu kan
tekstual ayat ketika melihat kita bersama dengan DPR-MPR. Ya kan kita GBHN komplit, ada MPR
ada DPR, legislatif, yudikatif, kan dipelajari semua. Lha dari situ saya sudah mulai jenuh gitu lho
melihat eee di satu sisi saya jurusan biologi kemudian satu sisi, PMP misalnya Pendidikan
Moral Pancasila waktu itu ya. Itu tidak pernah saya gagas, saya her dapat 5 ndak ada masalah. Karena
tidak ada beban, untuk kelas 2 kelas 3 sudah mulai
tertanam keberanian meninggalkan itu. Tapi walaupun itu sifatnya itu masih idealisme. Oo, aku
ini ini gitu lho. Tapi belum ada action gitu lho. Kalau jaman sekarang kan ada action-action teroris
itu kan sudah action. Bukan hanya ndak setuju, kalau perlu mberontak. 2234-2254
Daya kritis sekaligus rasa kecewa ini berkelindan dalam sebuah sikap anti. Anti memiliki konotasi ketidaksetujuan dan
memusuhi. Dengan demikian sarat akan unsur melawan. Yusuf mengindentikkan
sikap anti
ini dengan
keinginan untuk
memberontak.
e. Rasa ingin tahu terhadap jihad meningkat
Asupan informasi mengenai jihad yang didapat dari orang sekitar, buku, majalh, maupun video sejak SMA terus meningkat
ketika dia belajar di pondok. Rasa ingin tahu yang meningkat ini juga kadang kala ditunjukkan Yusuf secara berani dan terbuka.
Yusuf menyatakan keinginan maupun pendapat kepada orang di sekitarnya mengenai pemahaman dirinya Dan menurutnya,
pertanyaan yang dia tanyakan cenderung tidak ditanyakan oleh teman-teman di pondok.
Kadang ada sempet pertanyaan sama dosen. “
Pak,
eee kalau kita mendirikan negara Islam apa salah?”
Sempat nanya begitu saya. Di antara temen-temen
yang lain nggak berani. Tapi saya terbuka. “Kita
jujur saja, Pak. IAIN di seluruh Indonesia melahirkan sarjana agama. Lha kebetulan saya ini
fakultas syariah, Pak. Kita kalau bicara syariah ya syariah Islam. Kalau bicara syariah dalam hukum,
fakultas hukum UGM sudah ngajarkan.” Saya bilang gitu. “Fakultas Unibraw, Unair sudah
mengajarkan semua.” Saya bilang gitu. Kenapa
kita, terus kemudian fakultas syariah kemudian mau berprinsip pengantar ilmu hukum umum atau
bagaimana. Kurang anu kan, kurang fair, kita kan fakultas syariah, mestinya mengkaji hukum-hukum
syariah. 237-253
Rasa ingin tahu yang besar mengenai jihad membuat Yusuf tidak menemukan kesesuaian pandangan dalam kelompok di
pondoknya. Menurutnya cara berpikir Yusuf berbeda dengan para penghuni. Hal ini kemudian mendorongnya keluar dari pondok.
Untuk mendapatkan asupan informasi mengenai jihad, Yusuf lalu mempelajarinya lewat dialog dan buku.
Selama saya berbisnis itu sudah mulai banyak rasa ingin tahu. Saya datang ke pondok Al-Mukmin. Tapi
bermain tok, dolan. Saya lewat mana saat itu, pokoknya Solo-lah. Saya lewat waktu itu, oo ini lho
pondok Al-Mukmin. Saya datang ke Al-Islam Lamongan. Pondoknya Amrozy itu lho. Pondok Al-
Mukmin itu udah pecah. Mana pecahannya? Lamongan. Ah Lamongan deket, naik bis. Main ke
sana kenalan sama ee pondoknya. Wis, pokoknya
kenalanlah sama… Pulang lagi. Besok dateng lagi
bulan depan. Pulang lagi. Kenal santrinya, tak ajak ke tempat saya. Ngobrol, kurang lebih begitu lah.
Nah, dari situ terus ada buku-buku jihad itu. Itu saya mulai mengenal. Buku-buku jihad Afghanistan.
Kalau jiha
d secara umum tadi sudah lihat…
Pulang mbawa buku mbawa batik, kenal sama itu tadi, Al-
Islam Al-Mukmin, terus dari Sahadah Boyolali. Sudah mulai kenal. Terus saya pernah mengajar di
sekolah Muhammadiyah selama 6 bulan. Lumayan. Ya ke pondok, ngaji, terus ke kota Malang,
silaturahmi ke Surabaya, ke Al-Falah. Ya pokoknya
kaya keliling gitu aja…. 25
68-2609
Rasa ingin tahu ini juga berbasis pada keyakinannya mengenai Islam di Indonesia. Menurut Yusuf, Islam sudah punya
warna sendiri sehingga negara tidak perlu ada. Warna yang
dimaksud Yusuf adalah identitas Islam. Karena identitas yang telah kuat ini, negara tidak berhak membatasi pergerakan umat Islam.
Orang yang secara jelas-jelas, okelah atas nama tugas negara tapi kok disalahgunakan dengan
peristiwa yang sangat besar itu. Contoh lagi ada hal-hal yang lain. Yang sifatnya itu ya mungkin
komji. Komando jihad, musro, laskar jihad terus berangkat ke Ambon dan Poso itu sudah ada
runtutan-
runtutan tersendiri. Kita yang nglihat “Oh, ternyata negara ini tidak perlulah…” Dalam arti
membatasi pergerakan yang ada di kubu umat Islam. Karena umat Islam sendiri sudah punya
warna sendiri gitu lho Mas.
498-509
f.
Concern
terhadap konflik
Jika sebelumnya jihad hanya sebatas pandangan, maka pada kali ini Yusuf ingin merealisasikan pandangannya. Keinginannya
untuk terlibat langsung lewat jihad mulai muncul. Muncullah ketertarikan untuk tergabung dalam ormas, tapi bukan sekadar
menjadi anggota. Yusuf memilih untuk melibatkan diri bukan atas dasar kepentingan kelompok, melainkan karena kehendak yang dia
ingini.
Jadi tertarik di sini saya, tertarik bukan mau jadi anggota gitu ndak. Saya bukan tipe seperti itu. Saya
tertarik ingin termasuk di dalamnya. Dalam arti pribadi. Jadinya hanya anggota. Kalau anggota,
“Pak, saya anggotanya JAT, saya anggota MMI, saya anggota perwakilan Pemuda Muhammadiyah”
ndak. Itu hanya formalitas. Ini terlibat langsung ini. 254-261
Ketertarikannya untuk berjihad didasari oleh pemahamannya
akan jihad. Menurutnya untuk berjihad melawan diri sendiri maka sebagai syaratnya harus berjihad secara fisik seperti para mujahidin.
Pada saat itu, Poso adalah lahan berjihad terdekat dari pulau Jawa. Oleh karena itu daripada harus ke Afghanistan, dia memilih untuk
menuntaskan jihadnya di Poso. Muncullah dorongan dari dalam hati untuk mengetahui konflik Poso dengan melihatnya sendiri. Selain
untuk menuntaskan jihadnya dan terlibat langsung, dorongan ini berjalin kuat dengan rasa senangnya pada perang.
....dari kaum muslimin sendiri, intern, bahwa orang- orang yang tertarik dengan dunia konflik itu tidak
hanya satu. Tapi banyak. Kenapa? Ketika mereka menerima ideologi jihad dari buku-buku, dari
literatur, dari pemahaman dia mau pergi ke Afghanistan jauh tapi dia melihat konsep yang
dekat, ya Ambon dan Poso itu. “Wah ini lho betul
-
betul jihad” Ndak usah jauh
-jauh ke Afghanistan, ke Irak, atau ke Amerika. Realisasi itu yang
menyebabkan perbedaan. Termasuk saya pribadi melihat konflik itu konflik jihad betul. 521-532
Tapi ingin melihat konflik itu langsung, ada apa sih? Lhah, berkenaan dengan ini, dengan seneng perang
ya. 224-226
g. Kesiapan untuk berjihad
Kekecewaan,
sorge
, solidaritas, serta ketertarikannya secara pribadi untuk terlibat langsung dalam konflik mendorong Yusuf
untuk merealisasikan jihad secara fisik. Dengan demikian, muncullah kesiapan untuk berjihad. Kesiapannya untuk berjihad juga
terwujudkan lewat penggabungan dirinya dalam laskar jihad. Bersama laskar jihadnya, Yusuf kemudian berangkat ke Poso.
Namun, sesampainya di Poso Yusuf mengalami penolakan karena pengalaman yang minim.
Meskipun mengalami penolakan, demi mencapai tujuan awal, Yusuf memutuskan untuk mengikuti dan mempercayakan dirinya
pada
guide
Lihat pada bagian
Umwelt
: Kepatuhan . Mengikuti dan mempercayakan dirinya pada
guide
menandakan bahwa Yusuf bersedia mengatasi ketidakmampuan dengan bersedia dididik. Oleh
karena itu, bukan masalah besar jika dia harus mengikuti pelatihan. Asalkan, nantinya dia akan bisa ikut berjihad di Poso. Yusuf yakin
bahwa konflik agama di Ambon dan Poso sangat dahsyat, makanya dia harus terlibat. Demi mencapai hal tersebut, Yusuf memutuskan
untuk mengikuti pelatihan militer. Dari situ tadi, ketika di Filipin tadi “Kamu ngapain
belajar perang? Lhoh, kan ada konflik Ambon dan
Poso. Itu perang Indonesia Timur.” Gedhe. Dan itu
lebih dahsyat dari Filipin kan mestinya. 104-108
Dorongan untuk mengikuti pelatihan tergolong dalam mode
Mitwelt
karena dipahami Yusuf sebagai fungsi solidaritas dan manifestasi kosmopolitanisme di Indonesia. Sedangkan kepatuhan
terhadap
guide
merupakan wujud
Umwelt
seperti telah diuraikan sebelumnya. Namun, keinginan untuk belajar perang merupakan
percampuran antara
Mitwelt
dan
Eigenwelt
, antara solidaritas dan keinginan atas dasar ketertarikan. Ketika semuanya ini dikembalikan
ke Yusuf dan dia memaknai jihad sebagai sebuah cara untuk mempraktekkan teori, maka Yusuf memahaminya dalam mode
Eigenwelt
. Bagian pemahaman praktek ini akan dijelaskan oleh bagian di bawah ini.
h. Praktek ideologi
Ideologi dalam hal ini merupakan paduan atau penyesuaian antara apa yang ada dalam diri Yusuf dan pandangan yang
diperolehnya. Pada dasarnya, Yusuf merupakan orang yang senang perang dan memiliki ketertarikan terhadap masalah konflik umat
Islam
Eigenwelt
. Di lain pihak, untuk menjadi kafah, maka dia harus membela umat Islam yang sedang berkonflik lewat jihad. Jika
tidak, maka dapat dikatakan bahwa dia memeluk Islam secara tidak kafah
Umwelt
. Untuk mencapai sintesis antara kedua mode dunia tersebut, maka Yusuf belajar ilmu perang secara militer. Yusuf
mengatakan bahwa kehendak untuk berjihad sudah bulat sehingga dia berani untuk belajar ilmu sekaligus praktek militer.
Dengan tidak diterimanya [Poso] . Ya ibaratnya kuliah dulu lah. Iya to, biar tahu ilmunya. Kalau
modal uwong tok, perang nggo pedang ki ngapain. Kan gitu, nggak efektif. Kalau dengan ilmu bom
tahu kan enak. 119-123
Selain karena keinginan personalnya dan kesenangan terhadap perang, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap Islam juga
memicu Yusuf membangun suatu dinamisme kebencian. Kebencian ini membuat Yusuf berkesimpulan bahwa perang bisa menjadi
solusi. Oleh karena itu, Yusuf memandang latihan militer, secara nilai Islam yang diniatkan sebagai
i‟daad, adalah sah. Karena latihan ini adalah sebentuk solusi. Baginya, latihan dianggap sah sejauh
berbenturan dengan kepentingan. Yusuf memahami ―kepentingan‖
sebagai keberadaan konflik yang melibatkan Islam.
Cuma saya secara prinsip ya, secara prinsip melihat latihan militer itu sebenarnya versi saya sah-sah
saja. Sepanjang itu secara nilai Islam itu diniatkan
sebagai i‟daad, persiapan.
Kalau mau latihan bagi saya ya monggo. Seperti kemarin saya menjalani di
Moro tu latihan. Tetapi dalam kondisi tertentu, kondisi tertentu karena terpaksa, berbenturan
dengan kepentingan, ya kayak kepentingan Ambon- Poso. Itu kan kepentingan Mas. Itu baru diterapkan.
1171-1192
Selama latihan perang itu berlangsung, ada banyak pengalaman baru yang menarik. Menurut Yusuf, praktek sebagai
mujahidin seolah-olah meresap ke dalam jiwa, jika cuma teori terasa hambar. Yusuf memahami bahwa apa yang diperoleh dari agama
adalah apa yang harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan praktek, kepuasan secara batin akan meningkat dan tentu, seperti
telah dikatakannya, bersifat meresap ke dalam jiwa.
Ya tentu kalau kita antara teori itu seolah-olah apa ya, hambar ya. Tapi kalau praktek, yang dipegang
itu seolah-olah meresap ke seluruh jiwa. 804-807
Pengalaman barunya ini membuat Yusuf merasa tidak
percaya dengan apa yang dialaminya. Dia tidak percaya bahwa kali ini dia akan mempraktekkan teori tentang berjihad fisik telah dia
peroleh dari berbagai sumber. Praktek teori ini tidak seperti yang dia inginkan. Awalnya, dia menginginkan untuk praktek di Poso, namun
kini dia justru di Filipina. Yusuf justru bingung kenapa dia harus ke Filipina. Namun, setelah melihat keadaan di Filipina, mulai tertanam
keyakinan bahwa dia sedang berada di negeri muslim yang gagah. Dia mulai menyerap informasi mengenai keadaan di Filipina. Yusuf
kemudian mencintai negeri tersebut meskipun dia merasa tidak percaya dengan keberadaannya di medan perang karena yang
diimpikannya kini menjadi kenyataan.
Masuk ke jantungnya, namanya camp-nya MILF itu besar. Satu kecamatan. Itu ada gedung-gedung. Itu
gedung apa Pak? Gedung militer. Kok ada militernya. Saya mulai tertarik. Itu apa itu? Bengkel
pembuatan bom. Itu bengkel pembuatan roket. Itu pasar. Tak delok pasarnya juga gedhe. Lha dari situ
sudah mulai tertarik. Berarti kota kecil tadi tu pintunya. Dari situ sudah mulai tertanam. Saya di
negeri muslim yang gagah, gitu. Dari situ sudah mulai tertarik bahwa saya cinta negeri itu. 744-
755 Yaaa, ya ambillah antara sesuatu yang nonsens,
sesuatu yang mimpi dengan nyata. Jadi seolah-olah tu anu. Seolah-olah malah nggak percaya. Ternyata
kemarin baru baca sekarang sudah jadi kenyataan. Ya kita mbaca tu tahun 98 ya. Tahun 2000, dua
tahun kemudian, dua tahun setengah baru terbukti. 808-814
i. Adanya diversitas perjuangan
Bagian ini berhubungan dengan pemahaman dunia dalam mode
Umwelt
. Pada bagian kepatuhan telah disampaikan bahwa sensibilitas seorang fundamentalis terhadap nilai baru melemah dan
menciptakan keadaan
self-closure
yang cenderung
close-mindedness
terhadap dunia luar selam hal tersebut menentang isi kitab suci. Dalam hal ini akan diuraikan bahwa hal tersebut benar, namun ketika
dunia dipahami dalam mode
Eigenwelt
maka hal tersebut
sepenuhnya salah. Tidak semua perjuangan yang mengatasnamakan Islam dapat dianggap benar.
Untuk dapat berjuang membela umat Islam, Yusuf melanjutkan hidupnya dengan latihan militer di Filipina. Namun,
bukan berarti tujuan awal Yusuf berubah. Yusuf tetap ingin berjuang di Poso setelah belajar perang di Filipina. Ketika Yusuf kembali dari
Filipina dan ingin berjuang di Poso ternyata Poso sudah tidak membutuhkan ruang perang lagi. Baginya, konflik di Poso ini
berbasis pada kepentingan kesejahteraan umat Islam sehingga Yusuf ingin melibatkan diri di dalamnya.
Ketika saya tahun 2002 pulang, mau masuk Poso, sudah bisa perang ya di sana, Poso sudah tidak
membutuhkan ruang perang lagi karena sudah ada Malino 1 Malino 2. Ndak ke sanalah saya. Jadi
walaupun ada keinginan, karena pembimbingan, pembinaan, pelatihan yang ada di Filipina itu sudah
komplit. Jadi sejak perlawanan, menata senjata, bagaimana perang, bagaimana gerilya, bagaimana
logistik semuanya sudah dipraktekkan semua. 59- 69
Meskipun dia ikut berjuang, namun di sisi lain, Yusuf tidak
setuju dengan aksi yang bersifat parsial karena cenderung menghidupkan konflik. Aksi bersifat parsial ini menurut Yusuf tidak
berbasis pada kepentingan umat Islam. Berbeda dengan konflik Poso yang punya misi dan kepentingan tersendiri bagi kesejahteraan umat
Islam. Jadi, meskipun Yusuf memiliki perhatian terhadap konflik, namun bukan semata-mata konflik yang tanpa kepentingan.
Melebarnya konflik yang tanpa kepentingan, menurutnya, bukan hal yang sesuai dengan dirinya.
Adapun cara pandang saya, detik ini, detik ini ya, ee misalnya nyerbu pos polisi. Menurut Pak Yusuf
bagaimana sih? Bagi saya termasuk gereja Jebres ya di Solo, sekarang ini temen-temen ini melakukan
perlawanan karena, apa ya istilahnya, parsial artinya dewe-dewe. Isone iki neng Poso pos polisi
Solo
, eh pos Poso. Iki kok isone, ho‟o, neng gereja
Jebres gereja. Neng Mapolres Cirebon tak sikate misale. Hampir sama. Kemiripan antar Cirebon
dengan Solo itu sudah ndak ada hubungan. Mereka kalau ada yang sama, pos polisi targetnya. Tapi kok
polisi, satu orang lagi, nembak lagi. Lha ini pos, kantor polisi bom. Karena sudah dewe-dewe. Sudah
ndak ada koordinasi. Ini layak ndak, ini bagaimana, ndak ada pertimbangan. Menyikapi yang seperti itu,
saya termasuk dengan yang tidak setuju, tidak sependapat dengan action-action seperti itu. 1192-
1211
j. Hukum Indonesia benar-benar bobrok dalam prakteknya
Bagian ini menguraikan dunia Yusuf di dalam penjara yang menjadi jawaban nyata atas poin membandingkan praktek hukum di
Indonesia dengan hukum Islam. Secara kronologis, bagian selama di penjara ini terjadi setelah Yusuf berjuang di Filipina. Pengalaman
atas hukum di penjara dapat diidentifikasikan sebagai pengalaman Yusuf sebagai seorang fundamentalis karena adanya similaritas pada
kebencian terhadap hukum, kebencian terhadap pemerintah, dan pembelaan atas muslim.
Komparasi atas praktek hukum di Indonesia yang buruk dengan hukum Islam yang baik mengalami penguatan ketika berada
di penjara. Yusuf semakin meyakini bahwa praktek hukum di
Indonesia banyak celanya. Fasilitas ibadah di penjara yang sangat minim menujukkan tidak disalurkannya dana yang seharusnya
digunakan bagi kesejahteraan tahanan. Kesejahteraan yang diabaikan ini menunjukkan bahwa negara berusaha mengucilkan Yusuf dan
teman-teman teroris lainnya agar mentalnya jatuh. Rasa benci terhadap pemerintah meningkat disertai dengan adanya prasangka.
Karenanya, level permusuhan dan anti-pemerintah semakin meningkat.
Kemudian proses, proses kubi, proses remisi, dari
sana kita bisa melihat cara pandang negara terhadap kami. Gimana sih kami diperlakukan oleh
negara. Negara saat itu menganggap kami extra ordinary, kejahatan luar biasa ya. Tapi negara tidak
mengimbangi, makna tidak mengimbangi mungkin ya fasilita
s, mungkin ya berupa perlakuan…
Dari situ kita melihat negara sebagai negara yang ingin
mengucilkan kami sebagai tahanan teroris itu agar mental kami jatuh, agar kami tidak diberi
kesempatan, dipisahkan dari narapidana lain. Padahal narapidana lain itu kan juga muslim gitu
lho. Ada kewajiban, misalnya pesantren. Ramadhan. Mestinya dicampur, ada diskriminasi. Ndak boleh
khotbah misalnya. Banyak hal yang lain, yang sifatnya itu perbedaan negara dengan kami.
Sehingga perlawanan dari sisi ideologi, “Oo ternyata negara tu negara yang bejat.”, klaim dari
kami para teroris dari sisi seperti itu. 1109-1142
Pengabaian kesejahteraan tahanan ini dipahami sebagai apatisme pemerintah terhadap kehidupan rohani para tahanan. Selain
apatis, sekali lagi Yusuf menekankan bahwa hukum Indonesia benar- benar bobrok, kontras dengan hukum Islam. Ketimpangan hukum ini
memperkuat pandangan bahwa hukum Indonesia tidak layak diterapkan dan keyakinan bahwa hukum Islam wajib diterapkan.
Jadi mereka tu haus agama. Saya katakan haus agama kan itu tadi, dipenjara dipakani tok. Tapi
nggak dibimbing rohaninya. 1506-1509 Bentuk daripada negara ini memperlakukan yang
tidak tepat dzolim-lah. Mereka balas dendam misalnya. Ya mungkin berkaitan dengan tembak
mati, ya kan misalnya. Eksekusi Amrozy. Belum waktunya sudah dieksekusi. Baru 6 tahun. Macem-
macemlah. Jadi cara pandang saya dengan negara, adapun hukum, misalnya maling ayam dihukum 2
tahun. Koruptor 2 tahun. Koruptor 2 milyar 2 tahun. Maling ayam, bunga, waktu itu bunga gelombang
cinta. Nyuri itu aja hukumannya 2 tahun. Contoh. Berarti betul-betul tidak adil. Berarti hukum
Indonesia tidak layak diterapkan. Sementara hukum Islam wajib diterapkan. Contoh seperti itu.
Perbandingan ideologi maksud saya. Betul-betul bobrok hukum Indonesia, betul-betul bagusnya
hukum Islam. Dari keyakinan. 1152-1170
Kehidupan rohani yang terabaikan menghambat seseorang untuk memeluk Islam secara kafah. Hal ini membuat Yusuf prihatin
sekaligus tidak menyukai sistem di penjara yang sangat tidak sesuai dengan harapannya. Ditambah lagi dengan fakta yang dia peroleh
bahwa hukum di Indonesia tidak adil. Implikasinya adalah bahwa rasa permusuhan yang semakin sengit tidak bisa dihindari.
k. Keyakinan bahwa Allah Maha Penolong, maka kita harus
berpasrah kepada-Nya
Bagi Yusuf, perang jihad merupakan pengalaman spiritual dengan Allah lewat berkorban dan menyerahkan diri ke Allah.
Dengan pengorbanan dan penyerahan diri, Yusuf yakin bahwa Allah
memberikan pertolongan terhadap pihak yang menderita. Keyakinan ini yang kemudian membuat Yusuf yakin bahwa dia akan mampu
bertahan selama perang. Dan dalam waktu mendatang masih bisa bertemu kembali dengan keluarga.
Saat ini kan saya hidup, dua tahun ya, dua tahun saat saya hidup di luar sana. Berada di tengah-
tengah muslim yang jelas-jelas menderita. Ketika Allah
memberikan pertolongan,
ya Allah
memberikan pertolongan dengan cara Allah gitu lho. 330-335
Jadi kalau pengalaman spiritual dengan Allah ya saya yakin kalau nanti memang aku meninggal di
sini, di Filipin ini, bumi Filipin; menerima anu gitu lho, ya pengorbananku lah bumi Islam di Filipin.
Hanya sebatas itu, kemudian selebihnya ya saya serahkan sama Allah. 336-342
Saya punya keluarga, selama dua tahun saya tinggal ya saya yakin suatu saat Allah akan mempertemukan
aku dengan keluarga. Kalau saya tidak syahid gitu lho. Karena keyakinannya itu tertanam banget gitu
lho. 342-346
Dengan berada di jalan Allah dan membela mereka yang
jelas-jelas menderita, Yusuf yakin bahwa dia berada di tempat yang benar dan berada pada pihak yang lemah. Keyakinan ini memberikan
kekuatan bagi Yusuf sehingga dia berani untuk menyerahkan jiwa maupun raga kepada Allah.
Saya juga tidak berdiri di tempat yang salah. Saya yakin tidak di tempat yang salah, wong saya berada
di tengah-tengah orang yang lemah kok. 347-350
Penyerahan diri ini muncul begitu kuat ketika sedang berada
di medan perang. Selama berperang, dia tawakal kepada Allah saat
nyawa terancam sehingga muncul harapan hidup. Tawakal kepada Allah bukan berarti lalu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Selain menyerahkan diri, dia juga berusaha dengan kekuatannya. Meskipun demikian, dia masih sangsi akan apa yang terjadi.
Menurutnya, secara manusiawi, dia akan mati karena peluru musuh. Namun, karena tawakal kepada Allah dia bisa selamat.
Ya mungkin yang jelas-jelas saat yang menentukan mungkin saat hidup mati, saat-saat bombardir
misalnya. Yang, jadi kita berada di killing zone, pesawat itu kan, pokoknya dibombardir lah. Di
tengah-tengah itu muncul harapan hidup, maksud nggak? Jadi menurut logika, bomnya itu ratusan.
Kita kan mati itu. Tapi ternyata juga masih hidup. Lha itu pertama, saat-saat yang indah... Karena, ya
itu mungkin tawakal ya, Allah, kalau memang Engkau bisa menyelamatkan ya diselamatkan
kenyataannya. Iya kan. Ratusan lho Mas anu, peluru itu. 1519-1539
[Peluru dijatuhkan] Ya ndredeg to. Secara manusiawi ndredeg nek keno, ndredeg nek mati gitu
lho. Tapi karena usaha manusiawi, begitu ada pesawat ngeeenng lerrr, kita langsung tidur, di
selokan. Masuk ke dalam, kan banyak bukit-bukit
itu, kan bisa masuk ke…
untuk keamanan. Kalau jatuhnya di lapangan, deerrr Mungkin kita kena.
Mbok tidur‟o mungkin kena ya. Tapi kalau bergelombang kan…lherr Goyangannya iya, kayak
gempa. 1540-1549
D. Pembahasan