Analisis Data dan Hasil Penelitian

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian

Fungsi wawancara sebagai metode koleksi data mengangkat tema-tema makna yang dikonstruksi Yusuf muncul ke permukaan. Tema-tema ini dikelompokkan berdasarkan dunia luar material dan dunia mental- eksistensial. Dunia material dalam hal ini dilabeli dengan Mitsein dan Mitdasein . Sedangkan dunia mental-eksistensial dipahami dalam tiga mode; Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt . Wawancara dimulai dengan menanyakan bagaimana kehidupan Yusuf sebelum menjadi seorang pejuang dan selama menjadi seorang pejuang. Pertanyaan ini terus dikembangkan lewat penggalian fakta-fakta sosial maupun psikologis seputar kehidupan Yusuf dan konteks sosial sepanjang perjalanan Yusuf menjadi seorang pejuang keagamaan. Data kualitatif yang diperoleh merupakan hasil dari dinamika Yusuf dengan dunia material. Interelasi ini ditunjukkan dengan adanya keakraban, keterlibatan, keterikatan, dan komitmen Yusuf di dalamnya. Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh, analisis fenomenologis dilakukan dengan memetakan data ke dalam dunia. Dimulai dengan reduksi dan eliminasi terhadap data yang kurang relevan, pengolahan data dilanjutkan dengan tematisasi konstituen invarian sesuai Mitsein-Mitdasein , Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt . Peta pengalaman yang diperoleh kemudian dirangkai dalam bentuk gambaran tematik thematic portrayal , dan secara berurutan dilanjutkan dengan pengkonstruksian deskripsi tekstural individual, deskripsi struktural individual, dan sintesis tekstural-struktural atas esensi yang ada dalam pengalaman Yusuf. 1. Mitsein-Mitdasein Manusia hidup berhadapan dengan fakta-fakta sosial. Fakta sosial ini dapat dipahami sebagai sebuah tatanan human society yang berbasis persaudaraan dan keramahtamahan atau disebut Mitsein . Sedangkan jika berupa manusia lain maka disebut Mitdasein. Ketika berhadapan dengan fakta-fakta dan orang lain ini, muncul tegangan dan timbullah kecemasan. Waktu ketika manusia berhadapan dengan fakta- fakta ini disebut dengan perjumpaan encounter . Perjumpaan dengan being di luar dirinya akan menimbulkan suatu perubahan tertentu. Berikut ini merupakan rangkaian fakta yang membentuk Mitsein- Mitdasein .

a. Efek lingkungan dan perubahannya

Lingkungan dalam konteks ini menggambarkan keadaan circumtances yang kaya akan asupan informasi mengenai kehidupan muslim internasional. Yusuf mendapatkan suplai informasi mengenai pergerakan sejak masa SMA. Yusuf menganggap bahwa berbagai asupan informasi mengenai kehidupan muslim ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap diri Yusuf. Mereka [Al-Irsyad] punya visi untuk membersihkan ajaran Islam. Makna membersihkan ajaran Islam tu berkenaan dengan cara ibadat. Contoh orang meinggal di 3 hari, 7 hari, 10 hari. Itukan Hindu. Konsep Hindu. Kemudian diislamkan oleh Wali Songo, cuma oleh orang-orang al-Irsyad itu nggak mau dilanjutkan sekarang. Itu tradisi sudah dulu. Sekarang harus kita tinggalkan. Itu konsep Wahhabi. Muhammadiyah juga begitu. Hampir mirip. Muhammadiyah kan Ahmad Dahlan Jogja. Itu juga kuat. Dia bisa masuk ke Jawa Timur, itu juga benturan-benturan. Termasuk saya memahaminya. Saya tertarik. Ketika saya SMA tu kok ada perbedaan ya antara orang tahlilan dan ndak. Runut dan tidak. Maka saya, permasalahan, dari mana sih kok iso beda. Saya runut gitu lho. Dari orang NU saya sebenarnya mulai tertarik dengan orang-orang Muhammadiyah. Caranya. Nah, ada buku-buku literatur dari al-Mukmin. Iya to, termasuk Ponorogo. Wah ketoke kita harus berdiri di atas semua kelompok. Oo, fiqih-nya begini-begini-begini. Oya. 987-1010 Meskipun demikian, Yusuf belum memahami mengenai pergerakan muslim internasional. Dia hanya mengetahui tentang istilah-istilah dalam dunia pergerakan muslim seperti Ikhwanul Muslimin . Yusuf mendapatkan asupan informasi ini dari kakak senior di remaja masjid. Selain mendapatkan informasi ini, Yusuf juga dimotivasi untuk lebih memperbanyak intensitas belajar agama. Cuma kakak kelas ini sudah mulai variasi Mas. Contoh ada yang sudah mulai ngojok- ngojok‟i, “Kamu itu sekolah, belajar agama 2 jam, kuran g Harus belajar agama, harus ngaji. Kalau perlu mendatangkan kyai. Mereka mau kaderisasi. Direkrut. “Kamu kalau ngaji, nanti tak datengkan gurunya, tapi harus nyari teman 1-2-3, minimal orang 5. Nyari ya”, gitulah. Nanti terus diajak ke rumahnya dia. Ya intinya juga dijelaskan, “Saya ini dulu kelas 1 gini, tukang gelut, tapi ada Remaja Masjid saya sudah menghindari gelut.”, contohnya seperti itulah. Saya sudah mulai seneng membaca Qur‟an. “Bacalah”, ajakan -ajakan gitulah, kita kan jadi termotivasi.“Jadi, pergolakan Islam di Mesir..”, sambil cerita gini, “itu mempengaruhi dunia kampus. Jadi kalau kita generasi muda terus ikut perubahan-perubahan yang membawa kebaikan mahasiswa. Contohnya revolusi di Iran”, misalnya, dia itu Cuma memberikan gambaran-gambaran kayak gitu, “Ada Ikhwanul Muslimin memimpin gerakan di Mesir sampai munculnya Ikhwanul Muslimin yang menjalar ke seluruh dunia.”, contohnya seperti itu. Itu hanya orasi. Saya ndengerin, tapi waktu itu belum ngeh kok saya harus jadi fungsionaris PKS, PK Partai Keadilan, waktu itu belum ada PKS. 1805-1832 Informasi yang didapat tidak hanya sekadar lewat komunikasi langsung, namun juga lewat media digital. Adanya konflik muslim di dunia internasional menjadi insiden yang biasa dilihat Yusuf lewat video. Menurut Yusuf, konflik ini bukan menjadi inspirasi baginya, namun terus terngiang di dalam kepala Yusuf. Lha saya melihatnya karena itu konflik di Eropa, saya katakan sejak awal bule itu tidak selamanya non-Islam. Bule Islam. Lho itu juga diusir, itu juga dibom, bom kuat sekali untuk tentara Beruang Merah. Tapi saat itu belum ada Beruang Merah...apa gitu. Saya sempat, jadi waktu itu saya baca majalah, majalah PKS, PK Sabili di situ waktu itu ada Sabili ya kalau sampeyan lihat. Jadi majalah Sabili itu bahasanya kalau dikatakan jenengan, keras jug wong di situ ada gambarnya mbawa senjata, terus bendera tulisannya La‟ilah La‟illawah, seperti itu. Jadi memotivasi, ternyata perlawanan itu tidak di Irak aja, di Bosnia juga ada. Lha itu ya, kemudian progresnya saya katakan bukan inspirasi tapi kan saya ingat betul Bosnia tu seperti ini. 2002-2018 Dari video-video itu pula Yusuf melihat bahwa negara superior seperti Rusia dapat ditaklukan lewat perjuangan bersama. Peristiwa seperti ini menimbulkan impresi tersendiri bagi Yusuf. Karena rasa kagum atas berbagai peristiwa itu, Yusuf mulai mencari tahu lewat berbagai media seperti majalah islami, buku-buku, maupun buku putih dari berbagai tokoh seperti Azahari dan Abu Bakar Ba ’asyir. Bahkan rasa terkesannya itu terus berlangsung hingga dia mengikuti pelatihan militer. Saya datang ke Al-Islam Lamongan. Pondoknya Amrozy itu lho. Pondok Al-Mukmin itu udah pecah. Mana pecahannya? Lamongan. Ah Lamongan deket, naik bis. Main ke sana kenalan sama ee pondoknya. Wis, pokoknya kenalanlah sama… Pulang lagi. Besok dateng lagi bulan depan. Pulang lagi. Kenal santrinya, tak ajak ke tempat saya. Ngobrol, kurang lebih begitu lah. Nah, dari situ terus ada buku-buku jihad itu. Itu saya mulai mengenal. Buku-buku jihad Afghanistan. Kalau jihad secara umum tadi sudah lihat. “Itu lho, alumni Afghanistan. Disegani.”, kok iso disegani alumni Afghanistan. “Itu lho ustad ”, Ustad Mukhlas. 2572-2586

b. Kekecewaan kolektif terhadap lingkungan

Setelah lulus SMA, Yusuf melanjutkan ke pondok. Di pondok, Yusuf mendapatkan informasi yang semakin kompleks. Kekayaan informasi ini meningkatkan daya kritis terhadap sekitar yang tidak sesuai pandangan kelompok. Dari pondok jugalah Yusuf memperoleh kajian kritis Islam. Dari sana, Yusuf mendapatkan pemahaman bahwa Islam harus bangkit. Nah, dari kajian-kajian kritis itu kan kita bisa melihat bahwa umat Islam itu mestinya harus bangkit. Cuma kan bangkitnya harus di mana, kapan, bagaimana nggak tahu. Bangkit tu ya punya posisi kunci. Ya dari bupati, bupatinya membimbing secara Islam. Mengayomi secara Islam. Menunjukkan bahwa Islam itu begini-begini diterapkan dalam Perda. Seperti Aceh lah kurang lebih, kalau muslim Perda-nya begini-begini. Itu yang diharapkan. Kalau saya melihat begini pemahamannya. 2465-2475 Kekecewaan terhadap pemerintah ini mendorong orang-orang yang tidak setuju dengan pemerintah karena praktek hukum maupun demokrasi yang buruk, termasuk Yusuf, terus menyoroti pemerintahan yang tidak sarat akan keadilan. Mereka yang tidak setuju dengan pemerintah kemudian menggabungkan diri dengan ormas-ormas tertentu yang memiliki kemiripan dengan pandangan personal mereka. Termasuk Yusuf dalam hal ini mulai bersentuhan dengan Hidayatullah.

c. Masuknya ideologi jihad Afghanistan dan munculnya anarkisme

Pada saat yang hampir bersamaan, rezim Soeharto lengser setelah melalui perjalanan yang menorehkan noda bangsa. Selain memberi kebebasan dalam media, lengsernya Pak Harto mendorong munculnya tokoh pergerakan agama. Tokoh-tokoh ini sebenarnya sudah ada ketika rezim Soeharto, hanya karena state of control yang melemah, kemudian muncul ke permukaan. Lengsernya Pak Harto itu terus terang di Indonesia semakin bebas. Termasuk peredaran VCD, video, contoh seperti itu. Kemudian dakwah, kalau dikatakan ekstrim dulu, subversif ditangkap. Sekarang sudah bebas. Seruan-seruan yang mengajak. Termasuk saya ini melihat atau mendengar atau menimang-nimang seruan ini ndak salah. 177-184 Unsur jihad Afghanistan sendiri sudah masuk secara gradual sebelum Pak Harto lengser. Hal ini memiliki dasar historis, bahwa sejak awal sejarah Indonesia telah memiliki konsep Nasionalis dan Islam. Mereka yang memegang konsep Islam merasa kecewa dengan praktek hukum yang menyimpang dari kaum Nasionalis. Chaos negara ini memudahkan masuknya unsur-unsur dari luar yang bertentangan dengan nasionalisme. Pada waktu itu pula, tahun 1999, konflik Ambon-Poso juga membuka peluang untuk menjadi lahan berjihad. Nha, termasuk idealisme jihad dari Afghanistan. Itu diusung, kalau dari ikhwanul muslimin dibentukkan di Indonesia berupa parlemen kan. Itu tidak mutlak, karena ikhwanul muslimin suatu roh, sementara PKS itu hanya partai. Itu ada perbedaan, secara parlemen ataupun secara roh. Roh pergerakan. Kemudian dari unsur jihad, jihad dari Afghanistan itu banyak alumni-alumni dari Indonesia yang belajar ke sana. Makna belajar itu karena ketidakmampuan mujahidin Indonesia untuk mendapatkan ilmu-ilmu militer. Mungkin seperti itu. Jadi terbatas. Bisa mendapatkan ilmu-ilmu militer tapi harus lewat formal negara. Akmil misalnya, atau apa. Atau secara sembunyi mungkin seperti Aceh itu. Atau mungkin sendiri seperti Poso dan Ambon, jadi secara sembunyi. Tapi idealisme jihad sendiri sudah diusung ke Indonesia. Makna komunitas itu bisa berarti orang-orangnya. Bisa berarti ajarannya. Termasuk buku panduan itu ya. 433-454 Jadi seolah-olah Ambon dan Poso itu adalah solusi bagi mereka untuk berjihad. Dekat, terjangkau, gampang, selebihnya kalau saya melihat, saya secara pribadi melihat konflik Bosnia di Eropa. Itu terinspirasi bahwa negara Eropa-pun ada konflik Islam. 572-578 Pihak tertentu yang mengalami kekecewaan dengan pemerintah cenderung memunculkan sifat permusuhan terhadap pemerintah yang mengarah ke anarkisme. Anarkisme ini mendapatkan justifikasinya dengan hukum Islam yang menurut pihak ini adalah lebih baik. Dengan hukum Islam, diskriminasi dan keadilan bisa dicapai. 2. Umwelt Dalam mode dunia Umwelt , manusia berada dalam suatu dunia yang membuatnya harus tunduk dan menghalangi tercapainya otentisitas dari Ada exsistenz . Menurut Karl Jaspers 2005, exsistenz merupakan pengalaman dari kebebasan yang subyektif dalam lingkup situasi yang pasti ekuivalen dengan être-pour-soi para Sartrean. Umwelt sendiri berupa dunia internal maupun eksternal yang membentuk lingkungan fisiologis dan fisik. Kondisi ini mewujud dalam insting, kebutuhan, dorongan, maupun hereditas sosial seperti tradisi. Karena informasi biologis yang ada dalam data kurang adekuat, maka data yang diolah adalah kondisi kultural yang menuntut tercapainya harapan tertentu hereditas sosial. Kondisi kultural ini memaksa Yusuf untuk tunduk terhadapnya sehingga pilihan bebas, sebagai syarat utama existenz , dalam kondisi ini sangatlah minim.

a. Keadaan global dan efeknya

Menurut Yusuf, arus global menimpa dan dirasakan semua orang; termasuk Yusuf. Arus global ini merupakan kekuatan lingkungan yang besar dan mampu merubah siapa saja. Bagi Yusuf, pengalaman arus global ini merupakan pengalaman kolektif. He‟em, yang bersama yang global gitu lho. Jadi, arus global itu ndak hanya menimpa saya sebenarnya. Banyak yang hampir mirip [pengalaman] . 313-315 Selama Yusuf merasakan efek arus global yang sayangnya tidak diuraikan secara rinci, Mitsein dalam rupa konflik mendorong Yusuf untuk mengangkat konsep memeluk Islam secara kafah. Konsepsi ini diperkuat oleh keadaan yang cenderung memiliki karakteristik yang sama. Menjalankan Islam secara kafah berarti kembali ke segala aturan dengan patokan Al- Qur‘an, Rasuna, Hadis, dan nabi. Segala patokan tersebut menjadi otoritas eksternal yang mengatur eksistensi Yusuf. ….ketika kita melihat A l- Qur‟an misalnya, contoh; ya saya tidak menjelaskan secara detail, tapi kan dari ayat-ayat-ayat-ayat itu kita bisa memahami bahwa konflik ini akan terus bergulir di dunia ini. Tidak mesti di Irak, tidak mesti di Amerika tapi termasuk di Indonesia. 589-594 Patokan menjalani agama Islan] Ya sama, Al- Qur‟ an dan Rasuna ya. Adapun perkataan Amien Rais, perkataan Gus Dur, itu kan perkataan manusiawi. Selebihnya saya lebih khusus mengkaji kepada kitab. Jadi Al- Qur‟an, Hadis, sama tunjangan-tunjangan kitab yang terpercaya. Makna kitab yang terpercaya tetap bersumber pada itu. Bukan kepada personal. 1255-1262 Khusus, saya memang selalu memperhatikan ayat- ayat jihad. Misalnya Qut‟ba, Al -Mukital, dalam Al- Qur‟an diwajibkan berperang. Padahal perang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi sesuatu yang kamu benci tu baik buat kamu [Al-Baqarah 216] . 2439-2445 Dalam menyikapi arus global ini, sebagai sumber nilai dalam konteks yang baru, Al- Qur‘an, Rasuna, Hadis, dan nabi menjadi pegangan. Al- Qur‘an Mitsein merupakan objek eksternal di luar Yusuf. Dengan demikian, ada unsur ketertundukan terhadap objek- objek tersebut. Dengan tunduk terhadap objek-objek eksternal tersebut, Yusuf merasa dapat menghadapi arus global yang menggilas kehidupan.

b. Kepatuhan terhadap orang sekitar dan dogma

Arus global yang penuh ketidakpastian disertai penyegaran sekaligus penguatan konsep-konsep secara terus menerus, membuat Yusuf terikat dalam konsepsi. Konsepsi dalam hal ini adalah dalam wujud harakah pergerakan dalam Islam disertai dengan ideologi jihad. Ayat-ayat jihad yang diperhatikan secara khusus oleh Yusuf menjadi solusi teoritis terhadap kewajiban untuk menjalankan Islam secara kafah. Keharusan untuk menjalankan secara kafah ini, secara pragmatis dilakukan lewat penegakan konsep amar ma ‘ ruf nahi munkar dalam rupa yang berbeda sesuai konteks. Hal ini dilakukan karena untuk bisa berjihad secara fisik maka harus bisa menegakkan Islam. Ya dikatakan pergolakan itu ya kamu harus amar ma„ruf nahi munkar. Terus mi salnya, walaupun wujudnya beda-beda. Misalnya FPI, sweeping misalnya, sweeping-nya miras, terus tempat-tempat gelap. Lha itu kan sudah realisasi dari FPI. Tapi itu salah satu gitu lho maksud saya. Nah, baru setelah dia kembali dari men-sweeping, dia kembali ke jihad besar. Jihad naf, ya itu menang, itu sok opo, gropyok sana, datang ke monas, datang ke mana. Itu prestasi kamu. Tapi setelah pulang, kamu jangan bangga dulu. Wong itu, diskotik tak tutup mbek pasukanku. Seneng. Tapi kamu setelah pulang jangan bangga dulu, lha makna bangga pulang lebih besar dari peristiwa itu. Tapi proses penutupan itu sudah dilakukan. Nah, bagi orang- orang yang punya idealisme jihad syaratnya harus bisa menegakkan Islam. Makna menegakkan Islam seperti tadi. Ketika Poso meminta bantuan, ya harus datang. Ketika Ambon mengalami, harus datang. 856-876 Kewajiban berarti memuat keharusan. Konsep harakah, amar ma ‘ ruf nahi munkar , serta jihad memuat unsur dogmatis dalam pelaksanaanya. Dogmatis sediri memiliki implikasi tanpa kritik. Ketika daya kritik melemah, maka sensibilitas terhadap nilai baru melemah dan menciptakan keadaan self-closure yang cenderung close-mindedness . Dalam kondisi ini, kepatuhan menjadi tema besar. Baik kewajiban, keharusan, serta dogma merupakan wujud dari kepatuhan. Kepatuhan berarti kehilangan kebebasan. Kehilangan kebebasan ini juga terjadi dalam kepatuhan Yusuf untuk bersabar dalam mengikuti guide Mitdasein . Kehilangan kebebasan ini menciptakan keadaan yang membuat Yusuf tidak mampu secara eksistensial untuk menentukan hidupnya. Lha ternyata kelompok ini di Poso itu ndak disambut. Karena nggak bisa apa-apa. Gitu lho. Karena saya sudah niat dari rumah percaya sama guide, percaya sama Mujahidin yang di Kalimantan. 264-268 Dan ndilalah ketika sampai di Poso itu saya percaya, “Lho kamu jangan masuk Poso”, “Oke siap, saya tidak masuk Poso.” Terus ke mana? Ikut guide, diajak lagi, perjalanan jauh, sampai di perbatasan Malaysia. Muncul pertanyaan, katanya kita mau jihad? Kok malah ke Nunukan. Tiga hari perjalanan. 677-684 Saya yakin kini hidup di luar negeri. Karena saya tidak punya paspor gitu kan. Karena dengan paspor itu menunjukkan, saya ini solider dengan muslim Poso, tapi kenapa saya dibawa ke sini, Malaysia. Saya manut. Saya mau bersabarlah, bahasanya itu bersabar. Apa sih rahasia dibalik perjalanan ini? 697-703 Kepatuhan terhadap Mitsein maupun Mitdasein ini semakin mereduksi Yusuf sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas untuk melakukan determinasi diri self-determination . Kehendak bebas yang terenggut ini membuat Yusuf berada dalam situasi yang minim akan kebebasan eksistensial. 3. Mitwelt Sekadar untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya, orang lain diperlukan. “All real life is encounter”, kata Buber dalam Solomon, 2005. Maka dalam mode dunia Mitwelt , Yusuf membangun relasi dengan dunia sosialnya. Relasi yang dimaksud merupakan hubungan antar manusia, Yusuf dengan manusia lain. Esensi dari hubungan ini adalah perjumpaan yang merubah antara dua orang yang berjumpa.

a. Solidaritas dan kosmopolitanisme muslim

Solidaritas merupakan hal yang sangat umum dalam mode dunia Mitwelt . Ketika kita berbicara mengenai solidaritas, maka kita berbicara mengenai solidaritas dengan intensionalitas terhadap orang lain. Kosmopolitanisme di sini merujuk pada solidaritas sosial. Kosmopolitanisme merupakan sebuah paham yang berupa rasa setuju dengan yang dicita-citakan dan nilai-nilai dalam suatu grup; merasakan bahwa kita memperoleh dukungan orang berpengaruh di sekitar kita significant being . Apa yang dialami Yusuf adalah bahwa rasa solidaritas menciptakan munculnya kosmopolitanisme muslim internasional. Di lain pihak, Yusuf merasa prihatin dengan apatisme muslim. Apatisme sendiri dipahami sebagai wujud pertentangan dengan solidaritas. Betapa muslim yang belajar Al- Qur‟an , belajar ilmu kitab- kitab itu yang menjadikan…hanya buku dan buku. Lalu ketika dia melihat misalnya ada pondok pesantren 13 desa muslim hilang, dia cuek-cuek saja. Dan versi saya saat itu, solidaritasnya kurang. “Waa, itu kan muslim di mana, di Sulawesi, kita muslim d i Jawa. Nggak ada hubungannya.” Itu kan yang salah. 228-236 Ya sebenarnya kalau bentuk solidaritas itu kan sudah lama ya Mas ya. Sebelum Ambon dan Poso pun tahun 92. Perang Teluk itu kan Irak, George Bush sama Saddam Hussein waktu itu ya. Itu sudah memunculkan empati muslim Indonesia. Yo wis mulai dari menggambar Saddam Hussein, menggambar Osama bin Laden. Itu juga nilai- nilainya tu terpompa. Terpacu sebenarnya. Wah, saya kalau pakai kausnya Osama bin Laden bangga. Karena melawan Amerika. Irak aja dikeroyok orang banyak. Itu kuat. Itu negeri muslim. Terpisah dari kita melihat siapa Irak. Tapi kenyataannya negeri Muslim gitu. Nah, dari situ juga orang terinpirasi “Saya harus solidaritas ke sana.” 556 -570 Berangkat ke Poso kan. Begitu kelompok Surabaya berangkat ke Poso, melihat bahwa saat ini ada pergolakan. “Mas,” ee contoh, “kamu mau ngapain ke sini?”, “Saya mau jihad ini, membantu kaum muslimin, mau solidaritas.” 655-660 Solidaritas dan kosmopolitanisme mengantar Yusuf untuk hidup dalam dunia baru yang sebelumnya tidak pernah dia jajaki. Kehidupan baru berarti melekat persoalan baru. Dan persoalan ini nantinya juga akan memuat tanggung jawab baru.

b. Permusuhan dan

otherness Meskipun unsur kosmopolitanisme melekat dalam diri Yusuf, namun pertentangan dengan paham lain dalam satu agama tidak bisa dihindari. Salah satunya adalah dengan Imam meskipun sama-sama muslim. Selain itu, Yusuf juga menyatakan bahwa ada diskrepansi konsep pandangan agamanya secara personal dengan pandangan kaum Salafi meskipun sama-sama Islam. Dalam kasus ini muncul tendensi otherness . Otherness dipahami sebagai sebuah kategori fundamental dari pikiran manusia sebagai ekspresi dualitas De Beauvoir, dalam Solomon 2005. Otherness muncul akibat tegangan yang terjadi akibat pemahaman antara self dan other adalah berbeda. Setelah konsep berbeda, saya mulai bertanya ni. Secara ilmiah, kamu [Muhammadiyah] kenapa kok berbeda dengan orang NU? Dijelaskan. Kami berbeda dengan orang NU karena konsep- konsepnya Jawa. Konsep Indonesia. Konsep Hindu. Sementara kami menggunakan konsepya nabi. Konsep Arab Kurang lebih seperti itulah, sehingga cara-cara yang ditempuh oleh NU tu terlalu ribet. Identik dekat dengan, ya campurlah dengan Hindu. Hampir sama. Lhoh, Islam kok slametan, roh‟e itu 3 hari masih di rumah. 40 hari menjauh dikit. 1000 hari baru jauh. Kok bisa konsep seperti itu darimana? Karena dalam konsep Islam meninggal ya meninggal, terputus. Kecuali tiga; amalnya, sodaqohnya jariah, sama ilmunya yang bermanfaat. 1011-1027 Kalau Salafi sebenarnya saya tidak cocok dari, dari cara penyampaian. Jadi mereka betul, metodenya menghindari fitnah misalnya. Tapi metode penghindarannya kadang terlalu, terlalu berat di hadapan umat. Sehingga kalau disuruh bergabung dengan Salafi saya nggak bisa. Kemudian Salafi cara mengkajinya tentang jihad itu juga sudah beda. Karena sudah ada unsur politik. Menurut saya. Karena Salafi itu melihat kalau jihadnya itu Ambon dan Poso kemudian dilakukan secara berjamaah, itu ndak boleh. Jadi gini, orang jihad, itu tidak usah pake baiat. Padahal makna jihad bersama-sama kan ada janji. Saya mengangkat si fulan kan sebagai ketua. Dalam posisi jihad ini. Tapi dalam Salafi ndak ada. 1061-1088 Ya saya katakan menantang saya. Contoh misalnya berjamaah, PKS berpartai itu sesat. Ikut partai saja sesat. Lha teman-teman yang saya yang PK kan sesat buat dia. Sama.Terus majalah kalau ada fotonya Osama bin Laden, gambar-gambar siapa itu bid‟ah. Nggak bo leh majalah ada gambarnya itu. Gambarnya siapa; Osama bin Laden, Pak Harto, gambarnya siapa nggak boleh. Majalahnya dia itu gini, tulisan tok. TV itu sesat. Macem-macem di situ. Rumah itu nggak boleh ada TV-nya. Itu ketua kelas saya, eh, ketua Remaja Masjid saya. Pak Imam. Nuturi anak buahnya. Karena kebetulan saya yang dituturi, ya Pak Imam punya pemahaman, tidak bisa dipaksakan kepada saya dong. Itu sudah mulai berselisih. Betul, sudah mulai berselisih. “Kamu tidak boleh mengaji dengan ustad itu, ustad ini nggak boleh, ustad ini nggak boleh…..sesuai dengan salaf”.2086 -2104 Tendensi otherness ini termanifestasikan dari consciousness ketika dihadapkan dengan dunia nyata. Namun, karena otherness sifatnya inheren dalam diri manusia, maka perbedaan paham menjadi sebuah fakta empiris dan cenderung menimbulkan kecemasan ketika self dan other mengalami perjumpaan. Kecemasan ini kemudian menimbulkan tegangan. Jika tegangan tidak bisa diatasi secara konstruktif maka akan berujung konflik. Konflik yang dibawa ke tataran interpersonal akan cenderung memunculkan permusuhan hostility .

c. Kehendak untuk menganut dan dianut

Menurut Yusuf, senior adalah panutan. Sebagai orang yang pernah menjadi junior, Yusuf telah mengalami dirinya menjadi seorang penganut. Dan dalam masa selanjutnya dia yang akan menjadi panutan bagi juniornya. Dalam panutan dan penganut melekat arti untuk mengasimilasikan diri satu sama lain. Pengaruh lingkungan yang kuat membuat logika sosial ini menjadi tradisi, meskipun pada dasarnya Yusuf bebas memilih apakah dia akan menganut atau tidak. Ya kalau apa ya, 2 SMA sendiri kan tidak lepas dari senior. Senior tu kakak kelas. Itu jadi tradisi menganggap senior itu panutan itu sudah lumrah. Atau kita di luar misalnya, di Masjid misalnya, sholat. Sholat, duduk, ada sekelompok pengajian. Karena kita merasa tidak bisa dan menganggap orang-orang yang duduk itu lebih dulu belajar, kita pun datang orang yang manut gitu. Ya sama dengan apa ya, pengaruh lingkungan, pengajian mana? Yo. Pengajian mana? Yo. Itu contohnya seperti itu. Pengajian ini kok doa melulu, nggak punya solusi kepada umat. Misalnya begitu. 2192-2204 Sampai sini saya belajar, di saat-saat belajar ini kita ultimatum ni “Saya harus masuk kampus ITS, saya harus masuk kampus Unair, saya harus masuk kampus Unibraw, negeri.” Lha dari sana saya punya cita-cita kalau apa ya, kalau pemahaman di kampus kan senior, pinter, nanti bisa jadi follower adik-adik, diikuti adik-adik. Nanti aku bisa mendidik adik-adik untuk mengerti Islam. Arahnya ke sana. 2263-2271 Dalam menganut dan dianut melekat kehendak dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada relasi yang sifatnya resiprokal antar manusia —antara Yusuf dengan dunia. Dan dalam relasi yang sifatnya resiprokal perjumpaan ini, perubahan pemahaman akan dunia niscaya terus berubah. Selain pemahaman akan dunia yang resiprokal dengan Ada yang lain, relasi di sini juga memuat mode Umwelt . Berkaitan dengan kepatuhan pada bagian Umwelt , pada bagian kehendak untuk menjadi penganut dan dianut merupakan paduan antara dua mode dunia; Umwelt dan Mitwelt . Umwelt ketika relasi ini terjadi sebagai relasi subyek-obyek, dan Mitwelt ketika relasi ini terjadi sebagai relasi subyek-subyek. d. Sorge Sorge terminologi yang digunakan Heidegger dipahami sebagai sebuah kepedulian caring yang memunculkan tanggung jawab taking care . Rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi ini memunculkan sikap dan kehendak untuk mengatasi keberadaan Yusuf di antara Mitdasein . Rasa tanggung jawab ini diarahkan terhadap umat Islam di Poso. Yusuf merasa prihatin dengan dirinya yang hanya santai-santai saja melihat konflik Poso, padahal teman- temannya melakukan amaliah. Itu mereka itu menganggap amaliah tu perang tu belum selesai. Ng, anu, amaliah itu artinya ya. Amaliah itu bahasanya orang ya ee, sedang berbuat. Jadi sedang berbuat ini ya. Wah, saya ini di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat kok santai-santai saja diem-diem saja. 10-16 Kesantaian dan ketidakikutannya dalam amaliah tersebut membuat Yusuf merasa tidak tergabung dalam Islam secara kolektif. Karenanya, identitas sosialnya sebagai seorang muslim merasa tertantang. Menyadari identitasnya sebagai muslim tidak terpenuhi, terciptalah keinginan untuk turut serta ke Poso karena teman- temannya turut berbondong-bondong. Nah, waktu itu saya hanya berpikiran begini; kelompok-kelompok yang berangkat ke Ambon dan Poso, itu kok berbondong-bondong, sementara saya kok tidak. 192-195 Kita juga nggak tahu. Itu ada unsur di balik itu saya nggak tahu. Tahu-tahu berbondong-bondong. Berbondong-bondongnya temen-temen ini membuat saya pengen ikut. 219-223 Keinginan untuk tergabung dan berbondong-bondong ini dipahami dalam mode Umwelt . Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan Yusuf berubah menjadi tidak sekadar berbondong- bondong, melainkan menjadi berguna. Penjelasan menjadi berguna akan dijelaskan dalam ―kehendak untuk menjadi signifikan‖. Agar tergabung dalam kolektivitas, Yusuf menggabungkan diri dalam suatu kelompok mujahidin. Ketika sudah masuk, dia menyadari bahwa kelompoknya berbeda dengan kelompok lain. Begitu ustad Abu menjadi tokoh di Jogja dengan kongres MMI-nya, ada versinya Erfan Esnawas, ada versinya M. Tholib. Kita sudah berbeda, nah, walaupun nanti pecah lagi ya MMI jadi JAT karena ada konflik intern. 20-24 Ternyata perbedaan antar kelompok mujahidin bukan maslah yang besar bagi Yusuf. Di atas perbedaan itu, justru Yusuf lebih prihatin melihat kaum muslim yang apatis terhadap konflik di Indonesia Timur. Rendahnya rasa solidaritas terhadap muslim merupakan kesalahan yang fatal. Betapa muslim yang belajar Al- Qur‟an , belajar ilmu kita- kitab itu yang menjadikan…hanya buku dan buku. Lalu ketika dia melihat misalnya ada pondok pesantren 13 desa muslim hilang, dia cuek-cuek saja. Dan versi saya saat itu, solidaritasnya kurang. “Waa, itu kan muslim di mana, di Sulawesi, kita m uslim di Jawa. Nggak ada hubungannya.” Itu kan yang salah. 228-236 Dalam keadaan sorge , Yusuf menunjukkan adanya perluasan rasa peduli dari dirinya sendiri ke arah luar diri yang terwujud dalam solidaritas terhadap muslim. Selain itu, Yusuf juga mampu menerima perbedaan paham antar penganut Islam. Penerimaan perbedaan ini merupakan implikasi dari penempatan muslim ke dalam konteks yang lebih luas —universal.

e. Rasa tanggung jawab

Bagi Yusuf, keluarga merupakan tempat di mana dia mulai pergi dan akan pulang. Setelah mengikuti pelatihan militer di Moro selama dua tahun, kerinduan kepada keluarga mengantarnya pulang ke Indonesia. Baginya, keluarga merupakan hal yang sangat berarti. Keluarga adalah bagian dari hidup Yusuf. Di Filipina itu sudah mentok, pelabuhan akhir bahasanya, tujuan. Soalnya di sana ya sudah apa - apa didapatkan. Yo wis namanya manusia meninggalkan keluarga mesti kelingan yo. Wah, saya ni sudah lama….bahasanya tu kalau kangen ya kangen wong jenenge keluarga udah 2 tahun nggak pernah tegur sapa terus mereka bagaimana sih saat ini? Kepada saya. Akhirnya saya menganggap keluarga juga bagian dari hidup saya. Saya datang dengan banyak visi dan misi kepada mereka. Ada juga yang memaklumi kondisi saya. Dan sampai sekarang ini. 2624-2637 Setelah berpulang dari Moro, Yusuf tinggal selama 5 bulan bersama keluarganya. Akhirnya, petualangannya ke Moro terungkap setelah Yusuf tertangkap dalam kasus terorisme. Pada awal penangkapan Yusuf, muncul antipati dan prasangka dari pihak keluarga. [Muncul negative thinking terhadap penerimaan diri di keluarga] Iya, sempat. Karena mereka bisa antipati kan. Di antara saudara-saudara kan juga, “Walah….diurusi.”, misale. Kalau apa ya, kalau prasangka iya, ada. Cuma kan ada yang nampak, ada yang tidak. Ada yang, ya biasa -biasa aja, ya mereka kan mau nggak mau juga keluarga. Terus kalau sudah di dalem apa yang dilakukan, kan nggak juga neko-neko gitu lho. 1437-1447 Antipati dan prasangka ini muncul karena keluarga tidak mengetahui apapun yang terjadi mengenai Yusuf. Seperti telah kita ketahui bahwa demi memperjuangkan apa yang diyakininya, Yusuf rela untuk tidak jujur terhadap keluarga. Ketika apa yang dilakukan Yusuf selama ini terungkap, muncullah rasa bersalah karena telah berbohong dengan keluarga. Ya kita kan ijin ke keluarga nggak jujur. Kita kan kerja ke Malaysia. Saya mau merantau, gitu aja. Jangan harapkan saya. Paling sama mbakyu, “Mbakyu, pamitan mbakyu, saya mau ke luar Jawa. Ya, kebetulan saya kemarin ada bekal.” Kan waktu itu saya bekerja terus njual motor juga to. “Nih tak k asih 500 untuk keponakan saya.” Macem- macemlah. Kita artinya baik gitu lho. Saya tak kerja, nanti tak cari uang banyak ya nanti tak bantulah sekolahan ponakan-ponakan. 351-361 Ya satu, merasa bersalah ya. Karena kita sudah memberikan kebohongan kepada keluarga. Bersalah, terus kita saat ini, waktu itu ya. Jadi sudah berpisah 2 tahun di Filipina, sekarang berhadapan dengan hukum. Iya kan. Kita ndak tahu berapa waktu itu. Kalau berapa waktu itu selama 5 tahun berarti selama 5 tahun kita menjadi hilang dari keluarga. Plus 2 tahun yang lalu. 1409-1417 Rasa bersalah Yusuf berakar pada kegagalannya memenuhi harapan keluarga. Apa yang dibutuhkan keluarga ternyata berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yusuf. Hal ini membuat Yusuf merasa memiliki hubungan yang renggang dengan keluarga. Selain karena rasa bersalah yang ditanggung Yusuf, rasa tanggung jawab terhadap hubungannya dengan keluarga juga menjadi alasan Yusuf untuk terus membangun komunikasi yang baik dengan keluarga. Bentuk komunikasi ini dilakukan Yusuf saat di penjara. Nah, di saat kita hilang selama di penjara itu, kita membangun komunikasi yang bagus dengan keluarga. Kirim surat misalnya, itu kita lakukan itu. Karena mereka mau tak mau itu tadi, jadi tanggung jawab. Nasehat. Surat, “Aku hari ini….”, misalnya aku berada satu blok dengan orang Cina, Muslim misalnya. Kasunya senjata api di temanggung, misalnya. Atau kasusnya narkoba misalnya. Itu diceritakan. Artinya ada image yang dibangun oleh keluarga tu ketika di penjara tu kenal para penjahat. “Wo, jangan -jangan kamu di dala m disiksa terus?”, “Ndak, saya bergaul dengan temen -temen dengan bagus, mereka juga suka kalau ada pengajian.”, misalnya. Dari sana orang di keluarga ketika kita tinggalkan 5 tahun merasa besar hati. Bahwa ketika saya menjalani di penjara nggak ada masalah. Tidak menambah masalah. Terus bentuk pertanggungjawaban kepada keluarga selesai. 1417-1436 Setelah terbebas dari penjara, kontrol keluarga terhadap Yusuf semakin meningkat. Kekhawatiran keluarga terhadap Yusuf meningkat. Tapi, dalam hal ini Yusuf justru tidak menjauhi keluarga. Yusuf berusaha meyakinkan keluarga bahwa kini ia sedang melakukan penataan ulang hidupnya, oleh karena itu dia melakukan silaturahmi dengan keluarga; selain karena kehilangan waktu bersama keluarga. Keluarga menerima status Yusuf sebagai tahanan teroris. Tapi ini karena kita punya latar belakang di rumah. Contoh peristiwa Aceh. Der Rumah telepon, “Mas, kowe nengdi posisimu? Kowe ojo melu-melu neng Aceh.” Itu kan bentuk responsif dari rumah. Duer Tembak mati di Solo. Ke Dapoer Bistik misalnya. Temen-temen, eh, Keluarga di Jawa Timur sana, “Weh, telpon Solo.” Telepon lagi. 1401-1408 Ya kan kekhawatiran mereka dengan khayalan akan menghilangkan keluarga, menjauhi keluarga, itu nggak terjadi gitu lho. Terus nanti kamu terlibat dengan jaringan ini, jaringan Noordin, jaringan mana, jaringan Cilacap, muncul-muncul itu lho Mas. Ndak, kekhawatiran kita tepis dengan seperti ini. Contoh; saya keluar ya, saya bekerja. Ibu Bapak, eh Ibu, Bulek, Mbakyu, Adik saya ajak ke sini. Ini lho saya. Menunjukkan jiwa dia itu yakin, Masku sekarang ini, anakku sekarang ini sedang memberikan penataan ulang, dengan keluarga, istri diajak ke sana. Ini lho. Itu juga bagian dari PR tersendiri. Kegiatan tersendiri buat saya. Satu sebagai mantan, kedua dalam kasus hal yang sama. 1449-1465 Terus kemudian beban-beban keluarga saat ini meyakinkan keluarga bahwa saya tidak akan terlibat lagi dengan kasus-kasus. Maksud nggak Mas. Aceh, del Oo, Yusuf nggak terlibat. Polres Cirebon, Yusuf nggak terlibat. Jadi semakin yakin bahwa Yusuf ini anu gitu lho. Ho‟o, kembali lagi gitu lho, kembali ke yang lurus. 1696-1704 Selain dari sisi komunikasi yang terus dibangun secara konstruktif, menurut Yusuf, tidak ada permasalahan perbedaan ritual dengan keluarga. Meskipun ada perbedaan, Yusuf tetap membicarakannya secara dialogis. Yusuf menguraikan kepada ibu mengenai ritual keagamaan yang dipegang Yusuf berbeda dengan ibunya. Perbedaan ini tidak menjadi masalah yang berarti untuk terus berusaha meyakinkan keluarga bahwa Yusuf telah kembali ke jalan yang lurus. [Cara pandang dan keluarga] Belum sempat saya utarakan. Saya nggak pernah membicarakan hal-hal itu. Mas, adikku, ponakanku sekolah jihad yo Ndak, sama sekali. Ada nilai-nilai yang unsurnya begitu mendekat ke keluarga saya untuk apa ya, untuk ya itu tadi. Untuk masa-masa hilang. 2 tahun hilang itu kan blas lho Mas gak ono kabar. Jadi seolah-olah bahkan hadirnya saya bagi temen-temen itu seolah- olah sesuatu yang nggak disangka gitu lho. Padahal kita sudah menyangka, kita sudah mati. Gitu lho. Udah 2 tahun nggak ada kabar coba. Piye jal? Nek sampeyan ngilang, keluarga rak nggoleki. Woo, saiki neng Jo..neng Semarang, 3 dino. Yo mending. Iso ngabari. Neng kono blas. [Ritual agama yang berbeda dengan keluarga] Ya saya tetep monggo ya, silakan kalau kamu berbeda dengan saya monggo. Karena saya juga mendiamkan to. “Jangan..jangan” Ndak. Kan kebetulan adik itu kan pandai agama ya. Cuma ala NU ya. Cuma dialog . “Wis, kalau caramu seperti itu ya monggo, itu cara kamu…” 1571-1594 Jadi mereka menerima apa adanya. Untuk masalah ritualnya, itu sudah masalah orang tua, yo piye meneh. Kecuali kita sampaikan. Contoh kejawen, budaya kejawen itu kan kalau lahirnya kembar dibuang, wetone podo, terus adik nglangkahi Mas, eh Mbakyu, adik nglangkahi Mbakyu nikah itu lho. Hampir sama seperti itu. Lha itu, tak jelaskan. Kalau kejawen seperti ini ajarannya, lha itu yang dianut oleh Ibu. Kalau saya itu sudah nggak berlaku. Itu nggak boleh dalam Islam. Jadi tidak memaksakan, tapi menyampaikan. Jadi Ibuk tu, maunya saya dengan uraian ini mau berpikir ulang. 1620-1634 Selain membangun komunikasi dengan keluarga, Yusuf juga membangun komunikasi yang bagus dengan dunia luar. Yusuf mencoba menjaga silaturahmi dengan teman-teman mantan teroris didasarkan oleh rasa kemanusiaan. Yusuf menggunakan kenaikan prestise sebagai mantan tahanan Nusakambangan untuk fungsi muamalah. Dia juga melakukan sosialisasi lagi dengan masyarakat. Kemudian untuk masalah kacamata jihad, memang untuk hari ini, hari ini kan temen-temen sebagian besar masih dipenjara. Misalnya sekarang dia dalam proses mengurus surat pembebasan, “Mas, tolong sampeyan ke kejaksaan”, misalnya, “Tolong ambilkan surat pengantar dari kejaksaan bahwa saya benar- benar tidak punya kasus lagi.”… Surat ini juga penting, aku dengan dia, sama-sama di dalem karena merasakan bagaimana susahnya. Kalau njenengan bingung, nemui siapa. Kalau saya udah pengalaman. Itu contoh. Jadi aku dengan mereka itu hampir sama, kemudian, itu sisi-sisi persamaan dalam hal mempermudah surat... Saya sering berkunjung. Saya makna berkunjung itu kan satu; Nusa Kambangan itu kan bagian dari sejarah hidup saya Mas ya. Kedua; saya tidak tahu kasus kamu dengan negara itu apa, itu urusan kamu. Tapi dari satu sisi kemanusiaan, artinya paseduluran, ... 1294-1270 Kepala desa, kebetulan kepala desa itu kemarin kasus juga. Jadi let setaun bar bebas, kena kasus sertifikat, dia dipenjara di J ombang. Saya njenguk… “Cuma nanti Pak Lurah kau diganggu…ini pemnbelaan juga sih, nanti kalau ada preman- preman itu nganggu, bentuk fisik kepada Pak Lurah, nanti bilangin aja. Siapa orangnya, orang mana, nanti biar saya yang mukul, kalau perlu KPLP, apa k epala lapasnya saya yang mukul… Nah, itu berkenaan dengan muamalah. Jadi dengan Pak Lurah tetep hormat saya. Beliau sebagai orang yang dulu ngurus PB, mempermudah bahwa saya diterima di masyarakat. 1654-1696 Dalam tema ini, rasa tanggung jawab Yusuf dicurahkan terhadap dunia sosialnya Mitwelt . Bagi Yusuf, membangun komunikasi yang bagus dengan orang lain merupakan wujud rasa tanggung jawab. Dunia sosial bagi Yusuf memiliki signifikansi tersendiri bagi kehidupannya. Yusuf merasa bahwa orang-orang di sekitarnya membantu dia selama hidupnya. Tidak heran apabila kemudian Yusuf menjadikan dunia sosial sebagai curahan rasa tanggung jawab.

f. Kehendak untuk menjadi signifikan

Yusuf memahami bahwa pemerintah adalah posisi yang netral dan oportunis. Bagi Yusuf, posisi netral sama dengan tidak punya pendirian. Muncul pikiran yang dualistis dalam memandang pemerintah. Selain itu, oportunis merujuk pada kecurigaaan tersendiri bahwa ada oknum pemerintah tertentu yang memanfaatkan konflik demi mencapai vested interest -nya. Kalau saya berada di kubunya mujahidin berarti saya ikut jihad. Kalau saya netral di tempatnya pemerintah, berarti saya orang tidak punya pendirian. Dari sisi itu, berarti pemerintah selama ini cuma penengah atau pihak ketiga. [Oknum berkepentingan]….tapi fungsi jihad karena orang tahu bahwa ketika kaum muslim ini dibakar semangatnya pasti akan cepat terbakar. Sehingga orang- orang pihak ketiga tu menilai “Wah, ini bisa dimanfaatkan.” 510 -520 Yusuf tidak setuju dengan hal tersebut, menurut Yusuf, kalau ada muslim yang konflik, ―saya harus membela‖. Baginya ini adalah sebuah keniscayaan. Ini menunjukkan bahwa netralitas tidak ditolerir dalam kasus ini. Yang jelas ketika saya melihat konsep itu ternyata di negara bule, negara Kristen sana aja umat Islam juga konflik. Tidak selamanya orang bule itu non-Islam. Kadang-kadang ada Islamnya juga. Itu suatu image yang tergambar pada benak saya mereka itu kalau bule, kalau Muslim, kalau ada konflik ya kita harus datang ke sana membela. 580-587 Menjadi berguna atau menjadi signifikan bagi pihak di luar dirinya adalah kehendak Yusuf. Kehendak untuk menjadi berguna merupakan akar dari seluruh tema yang muncul dalam Mitwelt . Karena berkehendak untuk berguna maka Yusuf belum mencapai level yang menurutnya dia adalah ―orang yang signifikan‖ atau dengan kata lain; dia merupakan orang yang sepele dan kehilangan signifikansinya loss of significance . Ya saya memandangnya begini, saya orang yang ibaratnya ingin berguna. Dalam arti menyumbangsih gitu lho untuk kelompok besar. 362-365 4. Eigenwelt Mode dunia dalam Eigenwelt mensyaratkan self-awareness , self- relatedness yang secara unik hadir dalam human being . Dalam mode ini, kita memahami bahwa kita adalah pusat dari eksistensi kita serta mengenal potensi-potensi khusus kita. Potensi-potensi yang dimaksud adalah seperti kapasitas menilai, memilih, dan nilai-nilai. Ketika kita menggunakan potensi kita, maka peneguhan terhadap eksistensi diri akan dicapai. Lebih jauh lagi, mode ini menjadi jelas ketika kita menilai dengan akurat apa yang kita suka atau tidak suka, apa yang kita butuhkan atau tidak butuhkan, yang secara personal mengevaluasi pengalaman. Adalah sesuatu yang jelas bahwa apa yang menjadi pilihan own-choices Yusuf merupakan contoh jelas dari mode dunia ini.

a. Ketertarikan dengan tokoh di sekitarnya

Pada masa SMP, Yusuf tertarik dengan guru agama karena kepandaian guru agama dalam membaca Al- Qur‘an dan mengaji. Keahlian agama yang dimiliki guru agama menjadi pondasi Yusuf untuk merasa tertarik dengan guru agama. Namun, selain kehlian agama yang dimiliki guru agama, Yusuf juga menyukai sisi disiplin yang terarah pada kebersihan yang diterapkan oleh guru agama. Lha mulai SMP itu sudah mulai berpikir. Ada guru agama, kebetulan saya suka sama guru agama. Nek guru agama tu cincinnya diletakkan di meja tu kita takut, padahal gurunya nggak ada di situ. Ujian misalnya. Wah, kita ujian. “Siapa yang ngepek?” tik, terus dia pergi, guru. Pada nggak mau, takut ngepek. Ada cincinnya. Jangan-jangan cincinnya itu tau. Itu jenis-jenis itu kepercayaan kan Mas. [alasan suka] Ya mungkin baca Qur‟a nnya, ngajinya, mungkin ngglidik kalau kukunya panjang digebuki. Ternyata harus dibersihkan. Ho‟o, enak. Enjoy. Tapi kan dari sisi disiplin mengenai kuku, rambut gondrong dikit dipotong, nggak boleh. Macem- macem yang sifatnya itu kebersihan itu bagus gitu lho menurut saya. 1749-1766 Seperti dikatakan di atas bahwa keahlian agama menjadi pondasi Yusuf untuk merasa tertarik dengan guru agama, Yusuf juga tertarik dengan sosok lain yang serupa. Yusuf tertarik dengan Pak Abdul Kholib, guru matematika, yang menyukai lagu-lagu yang arahnya ketuhanan dan pintar mengaji. Dapat ditemukan di sini bahwa ada kesamaan karakter pada significant being yang disukai Yusuf. Keduanya sama-sama pandai dalam hal agama. Pola ini mendapat pengulangan sekaligus penguatannya dalam kehidupan Yusuf selanjutnya. Pak Abdul Kholib saya datang ke rumahnya. Ternyata yang disetel lagu-lagunya Ebiet G. Ade. Itu kan berkenaan dengan hamba dengan Tuhan, iya to, tafakur bencana alam. “ Wuh, lagunya kok bagus ya?” Terus lain kali misalnya Bimbo. Wujudnya ke arah sana. Arahnya kepada Tuhan. Dari seperti itu saya mulai tertarik kepribadian guru matematika tapi kok senengannya Bimbo. Terus ketika puasa kok malah memimpin, kalau dulu ada pondok Ramadhan, jadi nginep di sekolahan. Nginep di sekolahan. “Kae kok ketoke guru matematika pinter ngaji yo yo‟an? Ojo - ojo Pak Kyai.” 1777-1789

b. Ketertarikan dengan konsep “kembali ke nabi”

Yusuf tertarik dengan konsep dalam Muhammadiyah karena ―kembali ke nabi‖. Dalam jalannya kembali ke nabi, Yusuf memilih untuk tidak terikat aliran dalam agama Islam dengan tujuan untuk kembali ke Islam. Bagi Yusuf, Islam adalah Islam, bukan Islam yang dibatasi oleh parsialitas aliran Eigenwelt . Lhoh, Islam kok slametan, roh‟e itu 3 hari masih di rumah. 40 hari menjauh dikit. 1000 hari baru jauh. Kok bisa konsep seperti itu darimana? Karena dalam konsep Islam meninggal ya meninggal, terputus. Kecuali tiga; amalnya, sodaqohnya jariah, sama ilmunya yang bermanfaat. Itu yang terus mengalir dan tidak putus-putus... Jadi konsep- konsep seperti itu yang dipaparkan Muhammadiyah, saya tertarik. Oiya, besok saya tinggalkan deh tradisi itu. Saya ngomong ke keluarga saya seperti itu... Konsep seperti itu digagas oleh Muhammadiyah dan bagus. Terus Muhammadiyah menawarkan pendidikan. Ada SMP SMA Muhammadiyah. Ada kampus. Justru ini lebih mendekati keperluan umat daripada tadi. Bancakan, terus ngumpul bareng satu lapangan, istiqosah, kaul misalnya atau apa. Padahal menurut saya kalau itu memang dilakukan oleh nabi, nabi melakukan hal itu. Nabi kan ndak. O, ini kyai sing melakukan. 1011-1060 Sebenarnya kalau saya dulu, konsep-konsep jihad atau konsep-konsep pemahaman NU, kemudian meningkat bertambah jadi Muhammadiyah-lah. Bahasa garis besarnya seperti itu. Kemudian kita sudah mulai sinkron dengan tidak terikat kepada organisasi… Kita hanya mencontoh sikap -sikap Muhammadiyah, tapi saya bukan orang Muhammadiyah. Begitu maksudnya. Misalnya orang Muhammadiyah tidak ta hlilan. Kan saya juga tidak tahlilan. Tidak kunut subuh juga tidak kunut subuh, tapi saya bukan orang Muhammadiyah. Saya ingin kembali sebagaimana Islam. Jadi Islam itu apa yang diajarkan ya Islam. Nanti kalau saya ke Muhammadiyah orang NU mesti benci kepa da orang Muhammadiyah. Saya kalau NU, Muhammadiyah benci sama orang NU. Timbal- balik. Tapi kalau saya posisinya saya bukan NU bukan Muhammadiyah saya Islam, Islam, Islam tok gitu lho ndak ada Islam NU Islam Muhammadiyah. 1232-1254 Bagi Yusuf, menganut Islam secara kafah berarti menjalankan aturan agama yang didasarkan atas segala apa yg dinukilkan dari nabi; baik perbuatan, perkataan, sikap, maupun kebiasaan. Apa yang dinukilkan nabi memiliki terjemahan apa yang tertulis di kitab suci. Yusuf mempraktekan purifikasi terhadap ajaran nabi yang telah banyak ditambah-tambahi. Namun ketika terjadi rigiditas terhadap praktek agama, kepatuhan terhadap dogma tidak dapat dihindari. Hal ini berhubungan erat dengan tema yang ada dalam mode Umwelt , yakni kepatuhan. Ketika hidup dalam mode ini; maka apa yang tertulis di kitab suci adalah apa yang harus dilakoni. Bukan lagi karena aku yang ―kembali ke nabi‖ Eigenwelt . c. Komunitas menjadi jembatan munculnya keberanian dan daya kritis Pada masa SMA, Yusuf menggabungkan diri dalam komunitas remaja masjid. Komunitas ini memiliki impresi akan kebanggan tersendiri dalam diri Yusuf. Kebanggaan tersendiri menjadi remaja masjid memunculkan kesiapan untuk berkarya dalam remaja masjid. Kesiapan berkarya ini juga membuka diri Yusuf untuk semakin melibatkan diri dalam komunitas ini. Tentu saja dengan keterlibatan dalam komunitas ini Yusuf mendapat banyak kenalan maupun asupan informasi selama tergabung dalam remaja masjid. Cuma dari sisi saya ketika menjadi remaja masjid itu bangga, kenapa? Di saat orang lain itu nggak mau ngurusi hal ini, cerdas cermat agama Islam se- kabupaten Jombang, itu kan suatu kebanggan tersendiri. Dan undangan itu menyebar di 30 SD, MI di seluruh Jombang. Terus saya kenal sa ma orang Departemen Agama; Pak Salim, termasuk macem-macem guru-guru agama, guru-guru agama ya. 1915-1924 Keterlibatannya dalam remaja masjid juga mengantar Yusuf untuk mengenal mengenai pergolakan Islam internasional. Pergolakan yang menurut Yusuf berkesan adalah perang Bosnia. Ketika itu Yusuf menonton film Perang Bosnia yang oleh pemerintah dianggap subversif. Baginya, Srebrenica massacre ini terngiang-ngiang terus di pikirannya. Bayangan mengenai pembantaian ini menjadi imajinasi tersendiri bagi Yusuf. Perang Bosnia itu video, cuma oleh sospol, sospol tu waktu itu Pak Harto ya. Pak Harto itu punya sospol tu di DPRD ya, berarti Pemda. Ada namanya sospol untuk mengamati gerakan-gerakan subversif. Termasuk nyetel video Bosnia itu dianggap subversif... Saya belum pernah lihat film Bosnia, maka saya nglobi Pak S alim. “Pak, saya kasih pinjem.” Itu ada video. “Ya nanti habis nyetel kembalikan saya.”, “Ya.” Disetel. Tak lihat tu konflik. Tak kembalikan selesai. 1974-1997 Selain film Perang Bosnia yang berkesan itu, Yusuf juga memiliki impresi khas ketika bakti sosial di Madura. Yusuf benar- benar turun langsung ke masyarakat dan melihat langsung masalah umat Islam. Dari situ muncul keprihatinan akibat muslim di Madura yang kurang memperhatikan ibadah. Keprihatinannya memunculkan kepedulian terhadap Islam di sekitarnya sorge . Keadaan yang tidak mendukung dijalankannya Islam secara kafah terjadi di Madura. Dari sana saya mulai terketuk juga, ternyata seprimitif-primitifnya sini tu walaupun dia orang Madura katanya Islamnya banyak toh kenyataan seperti ini keleleran, macem-macem. Di tengah hutan, terbengkalai, nggak tahu sholat, terus kemudian minum langsung dari sungai, mandi juga langsung dari sungai. Itu Mas, aku kaget ya melihat gaya....Islam kok seperti ini. Ya, apa ya, melihat dari fakta kemudian saya melihat dari konsep ajaran. Misalnya disuruh sholat 5 waktu, lha wong iki we adus pisan neng njero kali lanang-wedok campur, misalnya. Lha terus piye? 2046-2066 Selain daya kritis, Yusuf juga menunjukkan bahwa dia berani berkonflik dengan pihak yang tidak adil. Dalam hal ini adalah sekolahnya yang membuat aturan irasional. Pada waktu itu sekolah melarang penggunaan jilbab dalam foto ijasah dan ini tidak sesuai dengan tuntunan muslimah. Untuk mencapai kebenaran bersama, Yusuf menganggap aturan irasional ini pantas untuk diperdebatkan. Jadi orang yang menyetorkan foto ijasah pakai jilbab, itu harus dibuka jilbabnya. Atau potret sekolahan.... “Ee, Pak, saya mau nanya Pak. Kita sekolah kan SMA 2 Pak. Kalau kita menghargai kebebasan Pak, kebebasan berekspresi. Okelah kalau Bapak melihat orang kayak orang Pramuka, orang OSIS, sementara kami Remaja Masjid punya citra tersendiri. Kemudian kami punya jilbab ini ya. Mbak-mbak putri itu ya. Itu kalau sudah sepakat mau nyetorkan foto pakai jilbab apa salahnya Pak? Satu. Dua, undang-undang yang mengatur itu mana Pak? Kalau langsung dari Menteri, tunjukkan Menterinya.”, ya saya sampai seperti itu, “Kalau dari Depag, apa bunyinya? Sekarang apa bedanya kita sebagai pelajar, kemudian Bapak-bapak sebagai guru pengajar kemudian Bapak-bapak melihat madrasah aliyah di depan kita.”, saya tunjuk itu. “Madrasah Aliyah, dulu kita sho lat Jumat di sana. Lha itu saja ijazahnya saya tahu betul, mereka juga pakai jilbab. Langsung di bawah Departemen Agama. Kenapa boleh? Sementara kita kok nggak boleh.... Terus setelah persidangan itu selesai, besoknya perwakilan ke Departemen Agama, minta SK. SK dari kementerian bahwa ijasah tu boleh pakai jilbab. Saya fotokopi. Saya tunjukkan Kepala Sekolah, langsung diem Kepala Seko lah. Iya betul itu. “Pak, SK dari menteri agama. Silakan diperiksa keaslian. Kalau ini palsu, bisa dituntut, Departemen Agama .” Bingung dia, karena ya mungkin sentimen. Karena ada beberapa melihat gelagat. 2105-2179 Pola membela kebenaran di atas terus mendapatkan penguatannya di dalam remaja masjid. Di komunitas inilah muncul heroisme dalam memperjuangkan apa yang dianggap benar baginya. Identitas kelompok yang cenderung kuat meningkatkan kebangaan serta keberaniannya untuk memperjuangkan yang menjadi kebenarannya. Setelah itu setelah juara 1 tadi kita mendapat ya mungkin ada unsur “Kita ini juara 1, masak hanya berhadapan dengan keputusan Kepala Seolah kok kita mundur gitu lho.” Hampir seperti itu, ada nilai opo ya, heroisme dalam diri-diri kami. Kami tu sungguh-sungguh gitu lho memakmurkan Masjid di sekolahan. Terus begitu saya kelas 3, kader kelas 1, kelas 2 sudah siap. Jadi makna pengkaderan itu pengajian keputrian banyak, keputraan juga banyak, terus kemudian pengajian bersama banyak. 2180- 2191 Terjadinya penguatan kelompok membuat Yusuf memiliki dinamisme keberanian ketika menghadapi apa yang berada di luar kebenarannya. Wujud dari penguatan sendiri tampil dalam rasa bangga yang membuatnya terlibat aktif dalam komunitas.

d. Keberpihakan terhadap hukum Islam

Proses membandingkan antara dua hal yang berbeda disertai dengan penilaiannya sendiri merupakan wujud mode Eigenwelt . Yusuf melihat ketumpulan praktek UU di Indonesia. Hal ini mendatangkan konklusi bahwa hukum hanya sekadar nilai kosong. Dikatakan nilai kosong karena aturan hukum hanya sekadar kata- kata belaka tanpa ada penerapan yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa praktek hukum Indonesia sangat kontras dengan praktek hukum Islam. Kontrasnya penerapan hukum ini, di mana hukum Islam dipandang lebih baik, mendatangkan apatisme terhadap praktek hukum negara. Proses komparasi antara kedua hukum ini menjadi sebuah implikasi dari otherness yang termanifestasikan dalam permusuhan. Permusuhan dalam arti adanya unsur untuk menentang atau melawan. Di samping praktek hukum yang buruk, bagi Yusuf ketentuan demokrasi juga menyimpang jika dilihat dari perjalanan historis bangsa. Ya berkenaan dengan undang-undang lah. Undang- undang kan, misalnya kita pasal 28 ya, ya kemerdekaan berserikat berkumpul mengeluarkan bebas mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan. Itu aja sudah ada pembatasan ketika kita menulis dilarang, dibredel misale, itu kan sudah ndak sesuai undang-undang lagi. Lha kita menghafalkan itu sudah bosan gitu lho. Hafal cuma nilai-nilai kosong. Halah GBHN nggak perlu, undang-undang nggak perlu dan asas tunggal nggak ada. 2213-2234 Misalnya Pak Harto. Pak Harto itu 95 sudah menjabat presiden itu tahun…20 tahun ya, eh 25 ya. Sekitar 28 tahun ya. Pelita 1 Pelita 2 Pelita 3 tu. Kita juga sebagai orang Islam melihat memang orang Islam itu memang kalau amir ketua jamaah itu diangkat sampai mati. Betul. Tapi itu kan ketentuannya Islam, bukan ketentuan demokrasi. Tapi kalau ketentuan demokrasi kan jadi presiden, jadi presiden, kan nggak ada tuntunannya. Kan gitu, gak ada aturannya. Lha itu juga sudah mulai ada perbedaan. Mestinya Pak Harto sudah lengser. Terus sejarah juga dengan Pak Karno, dengan DITII itu juga diutarakan. Perbandingan sejarah. 2312-2326 Diskrepansi terhadap praktek hukum Indonesia ini memunculkan kekecewaan, baik secara sosial maupun personal Yusuf. Di sisi lain, Yusuf melihat keapikan penerapan hukum Islam. Yusuf sering mengadakan dialog dengan teman-temannya untuk menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia adalah untuk berjihad maka seharusnya diberi kemudahan untuk mengisinya dengan ajaran Islam. Hal-hal yang aneh tentang undang-undang apa sih, apalagi dalam ayat Al- Qur‟an misalnya “Barangsiapa yang berhukum selain hukum Islam, dia orang ya ng dzolim.” misalnya. Nah, itu kan tekstual ayat ketika melihat kita bersama dengan DPR-MPR. Ya kan kita GBHN komplit, ada MPR ada DPR, legislatif, yudikatif, kan dipelajari semua. Lha dari situ saya sudah mulai jenuh gitu lho melihat eee di satu sisi saya jurusan biologi kemudian satu sisi, PMP misalnya Pendidikan Moral Pancasila waktu itu ya. Itu tidak pernah saya gagas, saya her dapat 5 ndak ada masalah. Karena tidak ada beban, untuk kelas 2 kelas 3 sudah mulai tertanam keberanian meninggalkan itu. Tapi walaupun itu sifatnya itu masih idealisme. Oo, aku ini ini gitu lho. Tapi belum ada action gitu lho. Kalau jaman sekarang kan ada action-action teroris itu kan sudah action. Bukan hanya ndak setuju, kalau perlu mberontak. 2234-2254 Daya kritis sekaligus rasa kecewa ini berkelindan dalam sebuah sikap anti. Anti memiliki konotasi ketidaksetujuan dan memusuhi. Dengan demikian sarat akan unsur melawan. Yusuf mengindentikkan sikap anti ini dengan keinginan untuk memberontak.

e. Rasa ingin tahu terhadap jihad meningkat

Asupan informasi mengenai jihad yang didapat dari orang sekitar, buku, majalh, maupun video sejak SMA terus meningkat ketika dia belajar di pondok. Rasa ingin tahu yang meningkat ini juga kadang kala ditunjukkan Yusuf secara berani dan terbuka. Yusuf menyatakan keinginan maupun pendapat kepada orang di sekitarnya mengenai pemahaman dirinya Dan menurutnya, pertanyaan yang dia tanyakan cenderung tidak ditanyakan oleh teman-teman di pondok. Kadang ada sempet pertanyaan sama dosen. “ Pak, eee kalau kita mendirikan negara Islam apa salah?” Sempat nanya begitu saya. Di antara temen-temen yang lain nggak berani. Tapi saya terbuka. “Kita jujur saja, Pak. IAIN di seluruh Indonesia melahirkan sarjana agama. Lha kebetulan saya ini fakultas syariah, Pak. Kita kalau bicara syariah ya syariah Islam. Kalau bicara syariah dalam hukum, fakultas hukum UGM sudah ngajarkan.” Saya bilang gitu. “Fakultas Unibraw, Unair sudah mengajarkan semua.” Saya bilang gitu. Kenapa kita, terus kemudian fakultas syariah kemudian mau berprinsip pengantar ilmu hukum umum atau bagaimana. Kurang anu kan, kurang fair, kita kan fakultas syariah, mestinya mengkaji hukum-hukum syariah. 237-253 Rasa ingin tahu yang besar mengenai jihad membuat Yusuf tidak menemukan kesesuaian pandangan dalam kelompok di pondoknya. Menurutnya cara berpikir Yusuf berbeda dengan para penghuni. Hal ini kemudian mendorongnya keluar dari pondok. Untuk mendapatkan asupan informasi mengenai jihad, Yusuf lalu mempelajarinya lewat dialog dan buku. Selama saya berbisnis itu sudah mulai banyak rasa ingin tahu. Saya datang ke pondok Al-Mukmin. Tapi bermain tok, dolan. Saya lewat mana saat itu, pokoknya Solo-lah. Saya lewat waktu itu, oo ini lho pondok Al-Mukmin. Saya datang ke Al-Islam Lamongan. Pondoknya Amrozy itu lho. Pondok Al- Mukmin itu udah pecah. Mana pecahannya? Lamongan. Ah Lamongan deket, naik bis. Main ke sana kenalan sama ee pondoknya. Wis, pokoknya kenalanlah sama… Pulang lagi. Besok dateng lagi bulan depan. Pulang lagi. Kenal santrinya, tak ajak ke tempat saya. Ngobrol, kurang lebih begitu lah. Nah, dari situ terus ada buku-buku jihad itu. Itu saya mulai mengenal. Buku-buku jihad Afghanistan. Kalau jiha d secara umum tadi sudah lihat… Pulang mbawa buku mbawa batik, kenal sama itu tadi, Al- Islam Al-Mukmin, terus dari Sahadah Boyolali. Sudah mulai kenal. Terus saya pernah mengajar di sekolah Muhammadiyah selama 6 bulan. Lumayan. Ya ke pondok, ngaji, terus ke kota Malang, silaturahmi ke Surabaya, ke Al-Falah. Ya pokoknya kaya keliling gitu aja…. 25 68-2609 Rasa ingin tahu ini juga berbasis pada keyakinannya mengenai Islam di Indonesia. Menurut Yusuf, Islam sudah punya warna sendiri sehingga negara tidak perlu ada. Warna yang dimaksud Yusuf adalah identitas Islam. Karena identitas yang telah kuat ini, negara tidak berhak membatasi pergerakan umat Islam. Orang yang secara jelas-jelas, okelah atas nama tugas negara tapi kok disalahgunakan dengan peristiwa yang sangat besar itu. Contoh lagi ada hal-hal yang lain. Yang sifatnya itu ya mungkin komji. Komando jihad, musro, laskar jihad terus berangkat ke Ambon dan Poso itu sudah ada runtutan- runtutan tersendiri. Kita yang nglihat “Oh, ternyata negara ini tidak perlulah…” Dalam arti membatasi pergerakan yang ada di kubu umat Islam. Karena umat Islam sendiri sudah punya warna sendiri gitu lho Mas. 498-509 f. Concern terhadap konflik Jika sebelumnya jihad hanya sebatas pandangan, maka pada kali ini Yusuf ingin merealisasikan pandangannya. Keinginannya untuk terlibat langsung lewat jihad mulai muncul. Muncullah ketertarikan untuk tergabung dalam ormas, tapi bukan sekadar menjadi anggota. Yusuf memilih untuk melibatkan diri bukan atas dasar kepentingan kelompok, melainkan karena kehendak yang dia ingini. Jadi tertarik di sini saya, tertarik bukan mau jadi anggota gitu ndak. Saya bukan tipe seperti itu. Saya tertarik ingin termasuk di dalamnya. Dalam arti pribadi. Jadinya hanya anggota. Kalau anggota, “Pak, saya anggotanya JAT, saya anggota MMI, saya anggota perwakilan Pemuda Muhammadiyah” ndak. Itu hanya formalitas. Ini terlibat langsung ini. 254-261 Ketertarikannya untuk berjihad didasari oleh pemahamannya akan jihad. Menurutnya untuk berjihad melawan diri sendiri maka sebagai syaratnya harus berjihad secara fisik seperti para mujahidin. Pada saat itu, Poso adalah lahan berjihad terdekat dari pulau Jawa. Oleh karena itu daripada harus ke Afghanistan, dia memilih untuk menuntaskan jihadnya di Poso. Muncullah dorongan dari dalam hati untuk mengetahui konflik Poso dengan melihatnya sendiri. Selain untuk menuntaskan jihadnya dan terlibat langsung, dorongan ini berjalin kuat dengan rasa senangnya pada perang. ....dari kaum muslimin sendiri, intern, bahwa orang- orang yang tertarik dengan dunia konflik itu tidak hanya satu. Tapi banyak. Kenapa? Ketika mereka menerima ideologi jihad dari buku-buku, dari literatur, dari pemahaman dia mau pergi ke Afghanistan jauh tapi dia melihat konsep yang dekat, ya Ambon dan Poso itu. “Wah ini lho betul - betul jihad” Ndak usah jauh -jauh ke Afghanistan, ke Irak, atau ke Amerika. Realisasi itu yang menyebabkan perbedaan. Termasuk saya pribadi melihat konflik itu konflik jihad betul. 521-532 Tapi ingin melihat konflik itu langsung, ada apa sih? Lhah, berkenaan dengan ini, dengan seneng perang ya. 224-226

g. Kesiapan untuk berjihad

Kekecewaan, sorge , solidaritas, serta ketertarikannya secara pribadi untuk terlibat langsung dalam konflik mendorong Yusuf untuk merealisasikan jihad secara fisik. Dengan demikian, muncullah kesiapan untuk berjihad. Kesiapannya untuk berjihad juga terwujudkan lewat penggabungan dirinya dalam laskar jihad. Bersama laskar jihadnya, Yusuf kemudian berangkat ke Poso. Namun, sesampainya di Poso Yusuf mengalami penolakan karena pengalaman yang minim. Meskipun mengalami penolakan, demi mencapai tujuan awal, Yusuf memutuskan untuk mengikuti dan mempercayakan dirinya pada guide Lihat pada bagian Umwelt : Kepatuhan . Mengikuti dan mempercayakan dirinya pada guide menandakan bahwa Yusuf bersedia mengatasi ketidakmampuan dengan bersedia dididik. Oleh karena itu, bukan masalah besar jika dia harus mengikuti pelatihan. Asalkan, nantinya dia akan bisa ikut berjihad di Poso. Yusuf yakin bahwa konflik agama di Ambon dan Poso sangat dahsyat, makanya dia harus terlibat. Demi mencapai hal tersebut, Yusuf memutuskan untuk mengikuti pelatihan militer. Dari situ tadi, ketika di Filipin tadi “Kamu ngapain belajar perang? Lhoh, kan ada konflik Ambon dan Poso. Itu perang Indonesia Timur.” Gedhe. Dan itu lebih dahsyat dari Filipin kan mestinya. 104-108 Dorongan untuk mengikuti pelatihan tergolong dalam mode Mitwelt karena dipahami Yusuf sebagai fungsi solidaritas dan manifestasi kosmopolitanisme di Indonesia. Sedangkan kepatuhan terhadap guide merupakan wujud Umwelt seperti telah diuraikan sebelumnya. Namun, keinginan untuk belajar perang merupakan percampuran antara Mitwelt dan Eigenwelt , antara solidaritas dan keinginan atas dasar ketertarikan. Ketika semuanya ini dikembalikan ke Yusuf dan dia memaknai jihad sebagai sebuah cara untuk mempraktekkan teori, maka Yusuf memahaminya dalam mode Eigenwelt . Bagian pemahaman praktek ini akan dijelaskan oleh bagian di bawah ini.

h. Praktek ideologi

Ideologi dalam hal ini merupakan paduan atau penyesuaian antara apa yang ada dalam diri Yusuf dan pandangan yang diperolehnya. Pada dasarnya, Yusuf merupakan orang yang senang perang dan memiliki ketertarikan terhadap masalah konflik umat Islam Eigenwelt . Di lain pihak, untuk menjadi kafah, maka dia harus membela umat Islam yang sedang berkonflik lewat jihad. Jika tidak, maka dapat dikatakan bahwa dia memeluk Islam secara tidak kafah Umwelt . Untuk mencapai sintesis antara kedua mode dunia tersebut, maka Yusuf belajar ilmu perang secara militer. Yusuf mengatakan bahwa kehendak untuk berjihad sudah bulat sehingga dia berani untuk belajar ilmu sekaligus praktek militer. Dengan tidak diterimanya [Poso] . Ya ibaratnya kuliah dulu lah. Iya to, biar tahu ilmunya. Kalau modal uwong tok, perang nggo pedang ki ngapain. Kan gitu, nggak efektif. Kalau dengan ilmu bom tahu kan enak. 119-123 Selain karena keinginan personalnya dan kesenangan terhadap perang, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap Islam juga memicu Yusuf membangun suatu dinamisme kebencian. Kebencian ini membuat Yusuf berkesimpulan bahwa perang bisa menjadi solusi. Oleh karena itu, Yusuf memandang latihan militer, secara nilai Islam yang diniatkan sebagai i‟daad, adalah sah. Karena latihan ini adalah sebentuk solusi. Baginya, latihan dianggap sah sejauh berbenturan dengan kepentingan. Yusuf memahami ―kepentingan‖ sebagai keberadaan konflik yang melibatkan Islam. Cuma saya secara prinsip ya, secara prinsip melihat latihan militer itu sebenarnya versi saya sah-sah saja. Sepanjang itu secara nilai Islam itu diniatkan sebagai i‟daad, persiapan. Kalau mau latihan bagi saya ya monggo. Seperti kemarin saya menjalani di Moro tu latihan. Tetapi dalam kondisi tertentu, kondisi tertentu karena terpaksa, berbenturan dengan kepentingan, ya kayak kepentingan Ambon- Poso. Itu kan kepentingan Mas. Itu baru diterapkan. 1171-1192 Selama latihan perang itu berlangsung, ada banyak pengalaman baru yang menarik. Menurut Yusuf, praktek sebagai mujahidin seolah-olah meresap ke dalam jiwa, jika cuma teori terasa hambar. Yusuf memahami bahwa apa yang diperoleh dari agama adalah apa yang harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan praktek, kepuasan secara batin akan meningkat dan tentu, seperti telah dikatakannya, bersifat meresap ke dalam jiwa. Ya tentu kalau kita antara teori itu seolah-olah apa ya, hambar ya. Tapi kalau praktek, yang dipegang itu seolah-olah meresap ke seluruh jiwa. 804-807 Pengalaman barunya ini membuat Yusuf merasa tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Dia tidak percaya bahwa kali ini dia akan mempraktekkan teori tentang berjihad fisik telah dia peroleh dari berbagai sumber. Praktek teori ini tidak seperti yang dia inginkan. Awalnya, dia menginginkan untuk praktek di Poso, namun kini dia justru di Filipina. Yusuf justru bingung kenapa dia harus ke Filipina. Namun, setelah melihat keadaan di Filipina, mulai tertanam keyakinan bahwa dia sedang berada di negeri muslim yang gagah. Dia mulai menyerap informasi mengenai keadaan di Filipina. Yusuf kemudian mencintai negeri tersebut meskipun dia merasa tidak percaya dengan keberadaannya di medan perang karena yang diimpikannya kini menjadi kenyataan. Masuk ke jantungnya, namanya camp-nya MILF itu besar. Satu kecamatan. Itu ada gedung-gedung. Itu gedung apa Pak? Gedung militer. Kok ada militernya. Saya mulai tertarik. Itu apa itu? Bengkel pembuatan bom. Itu bengkel pembuatan roket. Itu pasar. Tak delok pasarnya juga gedhe. Lha dari situ sudah mulai tertarik. Berarti kota kecil tadi tu pintunya. Dari situ sudah mulai tertanam. Saya di negeri muslim yang gagah, gitu. Dari situ sudah mulai tertarik bahwa saya cinta negeri itu. 744- 755 Yaaa, ya ambillah antara sesuatu yang nonsens, sesuatu yang mimpi dengan nyata. Jadi seolah-olah tu anu. Seolah-olah malah nggak percaya. Ternyata kemarin baru baca sekarang sudah jadi kenyataan. Ya kita mbaca tu tahun 98 ya. Tahun 2000, dua tahun kemudian, dua tahun setengah baru terbukti. 808-814

i. Adanya diversitas perjuangan

Bagian ini berhubungan dengan pemahaman dunia dalam mode Umwelt . Pada bagian kepatuhan telah disampaikan bahwa sensibilitas seorang fundamentalis terhadap nilai baru melemah dan menciptakan keadaan self-closure yang cenderung close-mindedness terhadap dunia luar selam hal tersebut menentang isi kitab suci. Dalam hal ini akan diuraikan bahwa hal tersebut benar, namun ketika dunia dipahami dalam mode Eigenwelt maka hal tersebut sepenuhnya salah. Tidak semua perjuangan yang mengatasnamakan Islam dapat dianggap benar. Untuk dapat berjuang membela umat Islam, Yusuf melanjutkan hidupnya dengan latihan militer di Filipina. Namun, bukan berarti tujuan awal Yusuf berubah. Yusuf tetap ingin berjuang di Poso setelah belajar perang di Filipina. Ketika Yusuf kembali dari Filipina dan ingin berjuang di Poso ternyata Poso sudah tidak membutuhkan ruang perang lagi. Baginya, konflik di Poso ini berbasis pada kepentingan kesejahteraan umat Islam sehingga Yusuf ingin melibatkan diri di dalamnya. Ketika saya tahun 2002 pulang, mau masuk Poso, sudah bisa perang ya di sana, Poso sudah tidak membutuhkan ruang perang lagi karena sudah ada Malino 1 Malino 2. Ndak ke sanalah saya. Jadi walaupun ada keinginan, karena pembimbingan, pembinaan, pelatihan yang ada di Filipina itu sudah komplit. Jadi sejak perlawanan, menata senjata, bagaimana perang, bagaimana gerilya, bagaimana logistik semuanya sudah dipraktekkan semua. 59- 69 Meskipun dia ikut berjuang, namun di sisi lain, Yusuf tidak setuju dengan aksi yang bersifat parsial karena cenderung menghidupkan konflik. Aksi bersifat parsial ini menurut Yusuf tidak berbasis pada kepentingan umat Islam. Berbeda dengan konflik Poso yang punya misi dan kepentingan tersendiri bagi kesejahteraan umat Islam. Jadi, meskipun Yusuf memiliki perhatian terhadap konflik, namun bukan semata-mata konflik yang tanpa kepentingan. Melebarnya konflik yang tanpa kepentingan, menurutnya, bukan hal yang sesuai dengan dirinya. Adapun cara pandang saya, detik ini, detik ini ya, ee misalnya nyerbu pos polisi. Menurut Pak Yusuf bagaimana sih? Bagi saya termasuk gereja Jebres ya di Solo, sekarang ini temen-temen ini melakukan perlawanan karena, apa ya istilahnya, parsial artinya dewe-dewe. Isone iki neng Poso pos polisi Solo , eh pos Poso. Iki kok isone, ho‟o, neng gereja Jebres gereja. Neng Mapolres Cirebon tak sikate misale. Hampir sama. Kemiripan antar Cirebon dengan Solo itu sudah ndak ada hubungan. Mereka kalau ada yang sama, pos polisi targetnya. Tapi kok polisi, satu orang lagi, nembak lagi. Lha ini pos, kantor polisi bom. Karena sudah dewe-dewe. Sudah ndak ada koordinasi. Ini layak ndak, ini bagaimana, ndak ada pertimbangan. Menyikapi yang seperti itu, saya termasuk dengan yang tidak setuju, tidak sependapat dengan action-action seperti itu. 1192- 1211

j. Hukum Indonesia benar-benar bobrok dalam prakteknya

Bagian ini menguraikan dunia Yusuf di dalam penjara yang menjadi jawaban nyata atas poin membandingkan praktek hukum di Indonesia dengan hukum Islam. Secara kronologis, bagian selama di penjara ini terjadi setelah Yusuf berjuang di Filipina. Pengalaman atas hukum di penjara dapat diidentifikasikan sebagai pengalaman Yusuf sebagai seorang fundamentalis karena adanya similaritas pada kebencian terhadap hukum, kebencian terhadap pemerintah, dan pembelaan atas muslim. Komparasi atas praktek hukum di Indonesia yang buruk dengan hukum Islam yang baik mengalami penguatan ketika berada di penjara. Yusuf semakin meyakini bahwa praktek hukum di Indonesia banyak celanya. Fasilitas ibadah di penjara yang sangat minim menujukkan tidak disalurkannya dana yang seharusnya digunakan bagi kesejahteraan tahanan. Kesejahteraan yang diabaikan ini menunjukkan bahwa negara berusaha mengucilkan Yusuf dan teman-teman teroris lainnya agar mentalnya jatuh. Rasa benci terhadap pemerintah meningkat disertai dengan adanya prasangka. Karenanya, level permusuhan dan anti-pemerintah semakin meningkat. Kemudian proses, proses kubi, proses remisi, dari sana kita bisa melihat cara pandang negara terhadap kami. Gimana sih kami diperlakukan oleh negara. Negara saat itu menganggap kami extra ordinary, kejahatan luar biasa ya. Tapi negara tidak mengimbangi, makna tidak mengimbangi mungkin ya fasilita s, mungkin ya berupa perlakuan… Dari situ kita melihat negara sebagai negara yang ingin mengucilkan kami sebagai tahanan teroris itu agar mental kami jatuh, agar kami tidak diberi kesempatan, dipisahkan dari narapidana lain. Padahal narapidana lain itu kan juga muslim gitu lho. Ada kewajiban, misalnya pesantren. Ramadhan. Mestinya dicampur, ada diskriminasi. Ndak boleh khotbah misalnya. Banyak hal yang lain, yang sifatnya itu perbedaan negara dengan kami. Sehingga perlawanan dari sisi ideologi, “Oo ternyata negara tu negara yang bejat.”, klaim dari kami para teroris dari sisi seperti itu. 1109-1142 Pengabaian kesejahteraan tahanan ini dipahami sebagai apatisme pemerintah terhadap kehidupan rohani para tahanan. Selain apatis, sekali lagi Yusuf menekankan bahwa hukum Indonesia benar- benar bobrok, kontras dengan hukum Islam. Ketimpangan hukum ini memperkuat pandangan bahwa hukum Indonesia tidak layak diterapkan dan keyakinan bahwa hukum Islam wajib diterapkan. Jadi mereka tu haus agama. Saya katakan haus agama kan itu tadi, dipenjara dipakani tok. Tapi nggak dibimbing rohaninya. 1506-1509 Bentuk daripada negara ini memperlakukan yang tidak tepat dzolim-lah. Mereka balas dendam misalnya. Ya mungkin berkaitan dengan tembak mati, ya kan misalnya. Eksekusi Amrozy. Belum waktunya sudah dieksekusi. Baru 6 tahun. Macem- macemlah. Jadi cara pandang saya dengan negara, adapun hukum, misalnya maling ayam dihukum 2 tahun. Koruptor 2 tahun. Koruptor 2 milyar 2 tahun. Maling ayam, bunga, waktu itu bunga gelombang cinta. Nyuri itu aja hukumannya 2 tahun. Contoh. Berarti betul-betul tidak adil. Berarti hukum Indonesia tidak layak diterapkan. Sementara hukum Islam wajib diterapkan. Contoh seperti itu. Perbandingan ideologi maksud saya. Betul-betul bobrok hukum Indonesia, betul-betul bagusnya hukum Islam. Dari keyakinan. 1152-1170 Kehidupan rohani yang terabaikan menghambat seseorang untuk memeluk Islam secara kafah. Hal ini membuat Yusuf prihatin sekaligus tidak menyukai sistem di penjara yang sangat tidak sesuai dengan harapannya. Ditambah lagi dengan fakta yang dia peroleh bahwa hukum di Indonesia tidak adil. Implikasinya adalah bahwa rasa permusuhan yang semakin sengit tidak bisa dihindari.

k. Keyakinan bahwa Allah Maha Penolong, maka kita harus

berpasrah kepada-Nya Bagi Yusuf, perang jihad merupakan pengalaman spiritual dengan Allah lewat berkorban dan menyerahkan diri ke Allah. Dengan pengorbanan dan penyerahan diri, Yusuf yakin bahwa Allah memberikan pertolongan terhadap pihak yang menderita. Keyakinan ini yang kemudian membuat Yusuf yakin bahwa dia akan mampu bertahan selama perang. Dan dalam waktu mendatang masih bisa bertemu kembali dengan keluarga. Saat ini kan saya hidup, dua tahun ya, dua tahun saat saya hidup di luar sana. Berada di tengah- tengah muslim yang jelas-jelas menderita. Ketika Allah memberikan pertolongan, ya Allah memberikan pertolongan dengan cara Allah gitu lho. 330-335 Jadi kalau pengalaman spiritual dengan Allah ya saya yakin kalau nanti memang aku meninggal di sini, di Filipin ini, bumi Filipin; menerima anu gitu lho, ya pengorbananku lah bumi Islam di Filipin. Hanya sebatas itu, kemudian selebihnya ya saya serahkan sama Allah. 336-342 Saya punya keluarga, selama dua tahun saya tinggal ya saya yakin suatu saat Allah akan mempertemukan aku dengan keluarga. Kalau saya tidak syahid gitu lho. Karena keyakinannya itu tertanam banget gitu lho. 342-346 Dengan berada di jalan Allah dan membela mereka yang jelas-jelas menderita, Yusuf yakin bahwa dia berada di tempat yang benar dan berada pada pihak yang lemah. Keyakinan ini memberikan kekuatan bagi Yusuf sehingga dia berani untuk menyerahkan jiwa maupun raga kepada Allah. Saya juga tidak berdiri di tempat yang salah. Saya yakin tidak di tempat yang salah, wong saya berada di tengah-tengah orang yang lemah kok. 347-350 Penyerahan diri ini muncul begitu kuat ketika sedang berada di medan perang. Selama berperang, dia tawakal kepada Allah saat nyawa terancam sehingga muncul harapan hidup. Tawakal kepada Allah bukan berarti lalu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Selain menyerahkan diri, dia juga berusaha dengan kekuatannya. Meskipun demikian, dia masih sangsi akan apa yang terjadi. Menurutnya, secara manusiawi, dia akan mati karena peluru musuh. Namun, karena tawakal kepada Allah dia bisa selamat. Ya mungkin yang jelas-jelas saat yang menentukan mungkin saat hidup mati, saat-saat bombardir misalnya. Yang, jadi kita berada di killing zone, pesawat itu kan, pokoknya dibombardir lah. Di tengah-tengah itu muncul harapan hidup, maksud nggak? Jadi menurut logika, bomnya itu ratusan. Kita kan mati itu. Tapi ternyata juga masih hidup. Lha itu pertama, saat-saat yang indah... Karena, ya itu mungkin tawakal ya, Allah, kalau memang Engkau bisa menyelamatkan ya diselamatkan kenyataannya. Iya kan. Ratusan lho Mas anu, peluru itu. 1519-1539 [Peluru dijatuhkan] Ya ndredeg to. Secara manusiawi ndredeg nek keno, ndredeg nek mati gitu lho. Tapi karena usaha manusiawi, begitu ada pesawat ngeeenng lerrr, kita langsung tidur, di selokan. Masuk ke dalam, kan banyak bukit-bukit itu, kan bisa masuk ke… untuk keamanan. Kalau jatuhnya di lapangan, deerrr Mungkin kita kena. Mbok tidur‟o mungkin kena ya. Tapi kalau bergelombang kan…lherr Goyangannya iya, kayak gempa. 1540-1549

D. Pembahasan