Teori Tanpa Praktek: Hambar

untuk merubah keadaan agar ―kembali ke nabi‖ menjadi tidak dapat dihindari. Seperti kata Charles Olson dalam puisinya; what does not change is the will to change, maka keinginan Yusuf, dan diteguhkan kelompoknya, untuk menggantikan hukum negara dengan hukum islam haruslah dilakukan. Itu semua perlu dilakukan agar perbaikan negara dicapai. Namun perlu kita ingat bahwa selama dalam intensi untuk ―kembali ke nabi‖, maka sikap anarkis, jenuh, anti, maupun apatis masih dipahami dalam mode Umwelt . Seperti sudah dielaborasi singkat pada bagian sebelumnya, anarkisme sebagai jalan untuk ―kembali ke nabi‖ dan menjadi ―orang yang berguna‖ belum mencapai titik kulminasi. Titik kulminasi yang dimaksud adalah status pemelukan secara kafah. Untuk memeluk secara kafah, Yusuf memerlukan untuk melakukan jihad secara fisik. Menurut Yusuf, syarat untuk melakukan jihad besar melawan diri sendiri adalah dengan melakukan jihad fisik. Jihad fisik dalam hal ini merupakan praktek dari teori jihad yang telah diperoleh Yusuf dari buku, film, maupun orang di sekitarnya.

4. Teori Tanpa Praktek: Hambar

Eigenwelt Dari pengamatannya terhadap konflik agama yang terjadi, Yusuf menemukan bahwa muslim mengalami penindasan dan ketidakadilan. Padahal ―umat Islam sendiri sudah punya warna sendiri.‖ Warna yang dia maksud bahwa Islam telah memiliki karakter sosial yang kukuh secara historis. Hal ini ditunjukkan dengan sejarah adanya konsep Islam dan nasional dalam negara. Di samping itu, simpati yang muncul dari pembantaian dan pembumihangusan muslim di berbagai tempat ini mendorong Yusuf untuk merefleksikan hidupnya lebih tepatnya; eksistensinya. Dari hasil pengamatan terhadap dirinya tersebut Yusuf berkesimpulan bahwa dirinya apatis terhadap konflik di sekitarnya. Yusuf juga melihat bahwa orang-orang di lingkungan sekitarnya juga sama apatisnya dengan hanya belajar tentang Islam namun mengacuhkan konflik yang terjadi dengan muslim di daerah lain. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan tradisi kolektivis yang masih cukup kuat, tidak mengherankan apabila dalam sikap apatis melekat penilaian yang sifatnya buruk secara moral. Untuk menjadi tidak apatis, Yusuf menginginkan sebuah perbaikan sosial bagi dirinya sendiri. Perbaikan sosial ini berkaitan dengan penindasan dan ketidakadilan, dia tidak suka melihat hal tersebut. Wajarnya, perbaikan sosial ini bukanlah sebuah menghadapi kenyataan dengan nilai-nilai, namun lebih terhadap pengatasan atas masalah yang terjadi. Yusuf menyatakan bahwa jika hanya terus berteori itu hambar, ―tapi kalau praktek, yang dipegang itu seolah-olah meresap ke seluruh jiwa.‖ Untuk itu Yusuf kemudian mencari cara-cara berpraktek jihad. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Yusuf melakukan pencarian nilai-nilai yang dapat mengatasi kebalauan eksistensinya. Nilai- nilai tersebut diperoleh melalui buku-buku jihad, film jihad, maupun sharing pengalaman dengan orang-orang di sekitarnya. ― When the question of the truth is raised subjectively, reflection is directed subjectively to the nature of the individuals relationship; ‖ kata Kierkegaard dalam May, 1958 ― if only the mode of this relationship is in the truth, the individual is in the truth, even if he should happen to be thus related to what is not true. ‖ Pada waktu yang sama, terjadi transisi dari pemerintahan yang represif ke pemerintahan yang cenderung longgar Umwelt . Hal ini membuat kondisi yang memungkinkan untuk mencuatnya nilai-nilai jihad dan konflik karena state of control yang melemah. Meskipun manusia hidup dalam suatu masyarakat, tapi yang akan menentukan pilihan-pilihan eksistensial adalah manusia itu sendiri secara individual. “M an is responsible for what he is…We are alone, without excuses. This is what I mean when I say that man is condemned to be free”, Sartre mengatakannya dengan baik. Kebebasan membuat manusia harus menentukan pilihan eksistensial disertai konsekuensinya. Dampaknya, dalam kebebasan ini merekah kebingungan eksistensial sense of confusion karena manusia harus membuat pilihan eksistensial. Kebingungan eksistensial ini dialami oleh Yusuf dalam masyarakat berselimut rasa kebersamaan dalam sebuah otoritas yang sama —yang diideologisasi —yakni Tuhan. Untuk mengatasi kebingungan eksistensial sekaligus mencapai kepuasan eksistensial contentedness maka Yusuf diharuskan untuk memilih sikap maupun perilaku yang sesuai terhadap nilai-nilai dan potensialitas diri. Nilai-nilai sendiri diperoleh Yusuf lewat lingkungan. Lingkungan, hasil transfer of power dan kondisi yang memungkinkan konflik dialami Yusuf secara habitual, mengkonstruksi suatu dunia material sebagai hasil kristalisasi rasa solidaritas terhadap kaum muslim yang tertindas dan kecenderungan untuk memeluk Islam secara kafah. Secara simultan, rasa solidaritas Mitwelt dan kecenderungan untuk memeluk secara kafah Umwelt melahirkan kosmopolitanisme. Rasa solidaritas dan kecenderungan memeluk secara kafah yang melahirkan kosmopolitanisme kemudian mendorong terciptanya rasa kebersamaan sense of togetherness . Di sisi lain, Yusuf menemukan bahwa untuk menjadi kafah, seseorang harus melakukan jihad besar. Jihad besar adalah untuk melakukan perang terhadap hawa nafsu diri. Sebelum melakukan perang besar terhadap diri sendiri ini adalah tuntutan untuk melakukan jihad secara fisik. Jihad secara fisik dipahami dalam operasionalisasi seperti ikut berperang dalam konflik yang melibatkan agama. Secara dogmatis konseptual, jihad yang disebut terakhir ini bertujuan menegakkan amar ma„ruf nahi munkar. Amar ma„ruf nahi munkar sendiri berarti mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Seperti kita tahu bahwa baik dan munkar galibnya berhubungan erat dengan dogma agama —mengarah ke nilai moral. Jihad secara fisik yang bertujuan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran ini menuntut praktek langsung dalam kehidupan. Atau dengan kata lain, menuntut perbenturan terhadap dunia eksternalnya. Nilai dalam amar ma„ruf nahi munkar sendiri baru nyata ketika sudah dilaksanakan dalam sebuah aksi yang praktis practical action . Dengan demikian untuk meneguhkan diri lewat pencapaian kepuasan eksistensial sekaligus mengatasi keber-Ada-annya Yusuf mengikuti jihad fi sabilillah . Peziarahan eksistensial sekaligus spiritual ini juga disertai keyakinan bahwa ―ini adalah perjuangan di tempat yang benar dan niscaya Allah memberikan pertolongan ‖ terhadap pihak yang menderita. Tentu saja dengan harapan setelah itu bisa melakukan jihad besar —melawan hawa nafsu diri sendiri. Dari keempat pemahaman mengenai dunia, pemaknaan dunia ―kembali ke nabi‖ adalah yang paling dominan. ―Kembali ke nabi‖ mengisyaratkan bahwa Yusuf ingin mencapai kesempurnaan agama. Guna membuat dunia Yusuf lebih terpahami, dunia Yusuf dapat dianalogikan ke dalam sebuah limas segitiga. Dalam limas segitiga terdapat alas berbentuk segitiga dan tiga garis rangka yang berdiri dari sudut-sudut alas segitiga tersebut. Dalam dunia Yusuf, ―kembali ke nabi‖ menjadi alas limas tersebut dan ketiga pemaknaan dunia lainnya ―Orang yang ibaratnya ingin berguna‖, ―Anarkisme‖, dan ―Teori tanpa praktek: Hambar‖ adalah garis rangka yang berdiri pada setiap sudut alas limas tersebut. Alas dan ketiga garis rangka tersebut membentuk sebuah titik yang integratif. Ruang dalam limas yang terbentuk dari alas, garis rangka, dan titik integratif tersebut merupakan horizon dunia yang terbentuk. Titik integratif sendiri dianalogikan sebagai kesempurnaan beragama. Pemahaman ―kembali ke nabi‖ yang menjadi alas dalam limas tersebut bersifat subjektif. Subjektif yang dimaksud adalah bahwa pemahaman ini akan kembali lagi pada subjek yang memaknai ―kembali ke nabi‖ sehingga nantinya sikap maupun perilaku yang diambil akan sangat variatif antara orang-orang yang ingin ―kembali ke nabi‖. Sifat subjektif ini berakar dari pemaknaan individu sendiri terhadap pemahaman ―kembali ke nabi‖. Adalah hal yang wajar bahwa pemahaman seturut subyektivitas individu ini selanjutnya dimuati nilai positif maupun negatif dari masyarakat. Tidak dapat ditampik bahwa penilaian menjadi implikasi wajar dari kehidupan individu di tengah masyarakat dan bahwa setiap individu memuat kapasitas untuk menilai. Selanjutnya yang menjadi tera mana yang positif dan mana yang negatif adalah efek lebih lanjut dalam kehidupan. Negatif jika cenderung Keterangan: x : Kembali ke nabi alas y : Titik integratif a : Orang yang ibaratnya ingin berguna b : Anarkisme c : Teori tanpa praktek: Hambar x c b a y Gambar 4. Analogi dunia Yusuf dalam limas segitiga destruktif bagi diri dan orang lain, serta positif jika cenderung konstruktif bagi diri pemeliharaan eksistensi dan orang lain pemeliharaan Mitdasein . Selain kecenderungan konstruktif dan destruktif tersebut, kongruensi antara sikap maupun perilaku sesuai hak asasi manusia juga menjadi tera apakah sikap maupun perilaku seseorang masuk dalam ranah yang konstruktif, baik secara individual maupun komunal Cohrs, Maes, Moschner, Kielmann, 2007. Jika sikap dan perilaku memuat anasir penghargaan bagi hak asasi manusia, maka sikap dan perilaku tersebut konstruktif. Sikap dan perilaku yang mendukung hak asasi manusia adalah berupa ekualitas. Ekualitas ini menyokong kehidupan manusia sehingga hak-hak individual tidak terkacaukan ada kontrol sosial. Dengan tidak terkacaukannya hak-hak individual maka manusia menjadi bebas. Jika ditilik dari syarat berkaitan dengan hak asasi manusia ini, maka ada diskrepansi antara sikap dan perilaku Yusuf terhadap hak asasi manusia. Diskrepansi ini berupa tiadanya ekualitas dan kebebasan manusia yang dilawan, maupun Yusuf sebagai yang melawan. Meskipun demikian, ditiadakannya ekualitas dan kebebasan manusia saat melawan outgroup dipahami sebagai reaktivitas. Reaktivitas ini kemudian mendorong Yusuf untuk ―kembali ke nabi‖ lewat jihad fisik. Bagaimanapun, horizon ―kembali ke nabi‖ dipengaruhi oleh berbagai pengalaman religius yang terlewati. Pengalaman religius yang dimaksud adalah pengalaman yang berkaitan dengan penerimaan dogma agama. Penerimaan dogma agama secara tidak reflektif dan tidak kritis akan berimbas pada ketidakmatangan religius Allport, 1950. Lebih jauh lagi, ketidakmatangan religius menjadi indikasi bahwa seseorang tidak menganut agama secara sehat. Salah satu yang menjadi indikasi ketidakmatangan religius adalah sentimen dalam bentuk permusuhan Allport, 1950. Selain menjadi indikasi ketidakmatangan religius, permusuhan juga menunjukkan kapasitas menghadapi nonbeing yang tidak mumpuni. Data yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa permusuhan muncul sebagai akibat konflik yang telah terjadi di daerah lain dalam penelitian ini adalah konflik Poso dan Sarajevo dan diperkuat dengan kesalahan tafsir isi kitab suci secara fragmentatif. Permusuhan ini kemudian termanifestasikan ke dalam aksi destruktif yang terjadi dalam diri seorang fundamentalis. Destruktivitas sendiri, menurut Fromm 1942, dikasatmatakan dalam penelitian ini adalah ketika berperang dengan penghilangan pihak lain di luar otoritas. Dalam permusuhan, dunia di luar diri dan kelompok dipahami dalam cakrawala yang harus dilawan Mitwelt . Apa yang dilawan Yusuf adalah mereka yang menindas saudara seagamanya, termasuk pemerintahan Filipina. Perlawanan ini diperkuat dengan intensi untuk mencapai kesempurnaan dalam agama Umwelt . Tidak jarang untuk mencapai kesempurnaan agama ini para fundamentalis kerap mengambil jalur kekerasan atau jihad secara fisik. Jihad secara fisik, yang juga bersifat destruktif, inilah yang kemudian diterapkan oleh Yusuf. Manusia lain yang dilawan cenderung diobjektivikasi sebagai sesuatu yang dijadikan sarana mencapai kesempurnaan agama. Lebih jauh lagi, diri sendiri dijadikan sebagai budak yang harus mempertahankan agama. Dalam pemaknaan yang dilakukan Yusuf ini, terjadi dominasi untuk menjadikan nabi sebagai kiblat dalam menjalankan agama sekaligus otoritas tertinggi. Otoritas sendiri memiliki makna lebih lanjut bahwa ada yang superior dan ada yang inferior. Dalam hal ini Yusuf adalah sebagai sosok yang inferior. Inferioritas ini termanifestasikan dalam keinginannya untuk berguna maupun keinginannya ―kembali ke nabi‖. Inferioritas ini menyebabkan diri sebagai otoritas atas pengambilan keputusan digantikan oleh prinsip ―kembali k e nabi‖. Dengan demikian, terjadi pergeseran otoritas dari diri menjadi prinsip ―kembali ke nabi‖. Adanya pergeseran otoritas ini sesuai dengan tesis Fromm 1942 bahwa individu melakukan mekanisme pelarian diri di bawah kekuatan superior di luar diri yang kemudian bisa membuat diri merasa aman —dalam hal ini agama. Rasa aman yang diperoleh Yusuf adalah berupa terpenuhinya perasaan ingin berguna. Namun, adanya otoritas yang mengikat ini kemudian menghalangi terciptanya kebahagiaan individu Moaddel Karabenick, 2008. Konsekuensi ketidakbahagiaan ini tampil dalam rupa penyesalan dan rasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Selain terciptanya ketidakbahagiaan, menurut perspektif psikologi eksistensial, adanya pemaknaan yang cenderung eksesif dalam mode Umwelt dalam hal ini keinginan untuk ―kembali ke nabi‖, menciptakan kondisi ketidaksehatan secara mental May, 1983. Di samping ketidaksehatan tersebut, tidak dapat dinafikan bahwa manifestasi dogma dalam bentuk melawan dan melakukan tindak kekerasan dalam rangka ―kembali ke nabi‖ berkonotasi nilai yang cenderung negatif. Penilaian nilai yang cenderung negatif ini dapat dipahami lewat melihat akibat dalam dunia sosial, khususnya keluarga. Yusuf menyebutkan bahwa keterpisahan, antipati, serta prasangka yang muncul dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya menjadi masalah sekaligus tanggungjawabnya yang baru. Sikap dunia sekitar yang cenderung memarginalkan ini adalah wujud ketidaksetujuan akan apa yang dilakukan Yusuf. Dengan kata lain, dunia sekitar Yusuf tidak merasa sentosa dengan apa yang dilakukan Yusuf. Lain lagi dengan cara ―kembali ke nabi‖ yang diterapkan oleh beberapa orang tertentu, misalnya Abdurrahman Wahid Gus Dur. Selama hidupnya, Gus Dur mengangkat tema pluralisme dan pribumisasi Islam Muryadi, 2010. Cara Gus Dur untuk ―kembali ke nabi‖ termanifestasikan dalam pandangan yang lebih adaptif berupa pluralisme dan pribumisasi Islam. Arah pluralisme dan pribumisasi Islam ini menuju pada pandangan bahwa manusia lain adalah saudara dan tiap manusia merupakan kesatuan universal yang membentuk harmoni kedamaian. Arah pandangan ini merupakan mode pemaknaan dalam dunia Mitwelt . Dalam kasus kedua ini cara Gus Dur ―kembali ke nabi‖ dan efek psikologis yang diberikan masyarakat cenderung lebih konstruktif laku kritis, bukan anti. Oleh karena itu, ada perbedaan pemaknaan dunia dalam kasus pertama Umwelt dan kasus kedua Mitwelt . Perbedaan pemaknaan ini didasari dari pengalaman individu sebelumnya serta nilai-nilai yang terbentuk dalam diri individu, misalnya konstruksi yang telah terjadi melalui keluarga dan pendidikan. Dengan kata lain, pemaknaan dunia di luar kelompok sebagai sesuatu yang harus dilawan untuk mencapai kesempurnaan religius ini dapat termanifestasikan ke dalam banyak tindakan yang memuat unsur nilai positif maupun negatif. Dari komparasi dua kasus di atas, kesimpulannya adalah bahwa pemaknaan terhadap dogma bisa menembus segala mode pemaknaan dunia. Baik itu Umwelt , Mitwelt , bahkan Eigenwelt . Jika dimaknai dalam mode Umwelt , maka kapasitas untuk menilai dan kapasitas untuk memilih manusia terreduksi May, 1958. Reduksi ini ditunjukkan dengan keberadaan manusia yang menjadi reaktif sebagai akibat dari rangkaian aktivitas yang sekadar menyesuaikan diri dengan kekuatan di luar diri. Dalam mode ini, manusia menjadikan dirinya sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan dogma agama manusia-bagi-agama. Pola manusia-bagi-agama justru berlawanan dengan apa yang menjadi khitah agama monoteistik. Fungsi agama monoteisme bagi manusia adalah sebagai jalan keselamatan Dhavamony, 1995. Sebagai sebuah jalan, pola yang muncul seharusnya bukan manusia-bagi-agama, melainkan agama-bagi-manusia. Dalam mode Mitwelt , dogma agama yang diimbangi dengan kapasitas menilai yang konstruktif akan menciptakan kondisi sentosa dan perdamaian dalam kehidupan manusia. Namun, jika dalam mode kedua ini kapasitas menilai dan memilih cenderung destruktif, maka reduksi mode pemaknaan ke dalam mode Umwelt tidak akan terhindarkan May, 1983. Ketika dogma dipahami dalam mode Eigenwelt , maka pengembangan diri lewat nilai-nilai dan pengembangan visi humanis dalam diri seseorang akan tercapai. Bagaimanapun dampak pemaknaan dalam mode Eigenwelt ini akan cenderung konstruktif atau, dalam bahasa Allport 1950, akan dicapai kematangan religius. Dalam kelanjutannya, yang tentu masih nisbi, manifestasi pengembangan diri ini juga akan cenderung ramah dan konstruktif dalam dunia sosial. Bukankah, selain bertanggungjawab terhadap dirinya, manusia juga bertanggungjawab terhadap sang liyan ? Gambar 5. Dunia eksistensial Yusuf sebagai fundamentalis Y MITSEIN -Kitab suci -Dogma -Film Dokumenter -Majalah MITDASEIN -Guru -Senior -Teman-teman -Tokoh Agama Being-in-the-World DASEIN dalam proses menjadi Umwelt Kembali ke nabi Amar ma’ruf nahi munkar, intratekstualitas, jihad secara fisik, kafah Anarkisme Intratekstualitas, praktek hukum yang kosong Mitwelt Orang yang ibaratnya ingin berguna Solidaritas, kosmopolitanisme, sorge , mencari diri dengan menjadi berarti bagi orang lain Eigenwelt Teori tanpa praktek: Hambar Bertanggungjawab terhadap eksistensi, pengalaman spiritual dengan Tuhan masih dalam horizon untuk memeluk Islam secara kafah 143

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN